Kuncup · 20

Sejak Matt bisa menggali ingatan mengenai adiknya, sulung itu selalu merasa bahwa Celine terlahir dengan segala keceriaan yang ada di dunia.

Saat balita, Celine tidak banyak merengek, melainkan lebih sering tertawa. Memasuki hari-hari bersekolah di école maternelle, setara TK di Prancis, Matt ingat bahwa Celine kecil sudah pandai berteman. Saat dijemput oleh papa mereka, Celine akan berlari dan melambaikan tangan, tertawa berpamitan dengan teman-teman dan guru. Semua hal itu dilakukan dengan ceria.

Ketika perusahaan Papa bangkrut, yang terlihat gundah dan cemas di rumah mereka seperti hanya Matt dan mamanya. Entah bagaimana, Papa dan Celine masih bisa tetap riang.

Rupanya senyuman Celine tak luntur meski mereka pindah ke negara terpuruk ini. Dan Matt diam-diam salut akan hal itu.

Tapi perlu disadari, bahwa ada sisi lain dari sikap periang dan outgoing Celine yang menurut Matt cukup... merepotkan.

"Sepertinya dia terlalu perhatian kepada orang asing." Matt menggumam tatkala memperhatikan adiknya membungkus sesuatu ke dalam paper bag.

"Huh?" Celine mengangkat wajahnya sebenar. "Oppa ngomong, barusan?"

Matt berdecak. "Nggak. Nyamuk."

"Oooo." Celine melanjutkan kesibukannya.

Matteo menggelengkan kepala dan mengalihkan perhatiannya pada TV. Channel diganti, volume dinaikkan. Setelah beberapa menit berlalu, terdengar Celine yang mendesis puas.

"Selesai! Oppa, gimana? Bagus ya?" Celine memamerkan paper bag dengan bubuhan baby's breath segar mencuat dari dalamnya.

"Hm. Lumayan." Matt lebih tertarik dengan iklan tak bermutu di televisi.

Sang adik cemberut. "Kamu belum lihat," protesnya.

Melihat respons sang kakak yang masih minimalis, Celine memutuskan untuk tidak berbasa-basi lagi.

"Sekarang antar aku, Matt."

"Ke mana?"

"Rumahnya Ran. Besok kan class meeting, Ran biasanya bingung mau pakai apa. Tiap tahun selalu gitu." Celine menjelaskan sambil menimang-nimang paper bag itu. "Ini momen yang pas banget, ya kan?"

Matt mendengkus. "Lagi-lagi, aku yang direpotkan."

Celin hanya membalas dengan senyuman lebar. "Please?" mohonnya.

Matt tidak menjawab, namun tak ayal pemuda itu bangkit dari duduknya dan mematikan TV.

Melihat itu, Celine langsung tersenyum. "Kamu mau?"

"Hm," gumam Matt. "Aku ambil dompet dulu."

Celine mengerutkan kening.

"Buat apa? Kan cuma ke rumah Ran..." Lalu, detik berikutnya, seakan ingat sesuatu, sang adik melanjutkan, "Oh! Pasti buat ngamanin kertas jimat itu, ya kan? Yang warna kuning itu?"

Matt tertegun karena tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana adiknya bisa tahu tentang keberadaan benda tersebut?

"Aku lihat waktu ambil uang kamu buat bayar siomay kapan hari itu. Inget, kan? Lagian jimat apa sih itu, Matt? Penarik rejeki, ya? Atau bawa keberuntungan? Kok tulisannya Cina?"

Celotehan Celine itu membuat Matt bernapas sedikit lega. Setidaknya, adiknya itu tidak benar-benar tahu.

"Bukan apa-apa," ucap Matt cepat.

"Aaah, jinjja (beneran)? Pasti kamu kelamaan main sama Om Sakti nih, diajarin begitu-begituan. Aku pernah denger dari Ran, katanya jimat macem itu nggak boleh dibawa pup, terus harus selalu dibawa ke mana-mana—"

"Celine, assez (cukup)," potong sang kakak. "Aku bawa dompet itu supaya kita bisa jajan kalau ketemu penjual siomay di jalan nanti... atau tukang bakso... atau mie tek-tek."

"Oh là là!" Celine memekik riang. "Oppa, kamu ini pengertian banget! Beneran mau jajanin aku, kan? Tau aja yang aku paling suka! Ayo, kita let's go kalau begitu!"

Matt benar-benar bisa bernapas lega sekarang. Sang adik rupanya bisa dialihkan dengan iming-iming receh seperti itu.

Ya, setidaknya untuk sekarang, meskipun bersifat sementara, mereka akan aman.

**

Ran selalu enggan menyambut acara anual Dharma Sunya yang diadakan mendekati pergantian tahun ajaran. Pada hari-hari biasa, dalam seragam yang menyetarakan saja, rasa minder masih membungkam dadanya.

Apalagi kini, di acara class meeting yang dihadiri murid-murid elit yang berpakaian bebas, terdapat tradisi di Dharma Sunya di mana murid-murid akan memanfaatkan momen kebebasan ekspresi busana ini untuk mengenakan dresscode tak tertulis; kostum.

Sebenarnya aturan ini tidaklah wajib. Pakai baju yang normal-normal saja juga bisa diterima. Namun, beberapa golongan—terutama murid-murid elit—akan berpenampilan all out, totalitas, untuk menunjukkan jati diri mereka.

Mereka yang edgy akan berpakaian mamba serba hitam, cewek-cewek manis biasanya memakai baju berwarna kue, anak-anak pencinta alam kerap memadukan busana berwarna earth tone, hingga yang ekstrim seperti Potterheads yang mengenakan jubah sihir dan wibu yang ber-cosplay ringan tanpa wig.

Layaknya remaja biasa, Ran sebenarnya ingin berekspresi juga. Mungkin memakai gaun renda-renda, kaus kaki dengan pita, sepatu pantofel berbahan kulit layaknya hantu Belanda.

Tapi, tidak bisa. Mubazir, kata Bunda. Pakai baju yang ada saja.

Demikian, sepertinya malam ini semesta sedang berbaik hati pada anak tunggal Kuncoro ini.

"Ran, ada Selin dateng ini lho. Eeeh, sama Matt juga toh."

Suara Ayah yang terbit dari ruang tamu sukses membubarkan konsentrasi Ran. Gadisi itu sedang sibuk memantau isi lemari pakaiannya, mencari kira-kira baju mana yang cukup pantas untuk dipakai menghadiri class meeting besok.

"Kok tiba-tiba?" batin Ran sambil melangkah ke luar kamar.

Benar saja. Selin dan kakaknya sudah duduk di kursi ruang tamu, lengkap dengan Ayah Sakti yang menjamu.

"Ran!" Selin langsung bangun dari duduknya. "Eee, sorry dateng malem-malem, tapi... ini."

Bungsu Lafleur-Tan itu menyerahkan paper bag, yang diterima nona rumah dengan ragu-ragu.

"Ini...?"

"Buat kamu."

"Oo. Makasih." Ran mengucap sebelum mengintip apa isinya.

Ketika menyikap gerombolan baby's breath dari bingkisan itu, seketika bibirnya terkatup. Di dalam bingkisan itu terdapat dress putih incaran Ran di mal, yang tak pernah kesampaian untuk dibelinya.

"Kamu suka, kan? Cobain, dong." Selin berkata saat melihat Ran mengeluarkan dress itu.

"I-iya." Ran bagai terhipnotis. Kain dari baju ini begitu lembut dan ringan. Warna broken white yang halus di mata, juga model renda minimalis di setiap ujung sisinya.

"Aku temenin ke kamarmu. Ayo." Selin melangkah di sisi Ran, meninggalkan Sakti dan Matt di ruang tamu.

Rasanya Selin sengaja mengambil kesempatan untuk satu ruangan dengan Ran. Sepertinya si bungsu bisa merasakan padatnya udara akan batas tak kasatmata yang dibangun oleh sahabatnya itu.

Saat Ran mematut diri di depan cermin, dengan setelan putih yang jatuh memeluk kulit sawo matangnya, Selin hanya memperhatikan dari sisi kasur dalam diam. Senyum terplester di wajah blasteran gadis itu.

"Cantik, ya?" ucap Selin tiba-tiba.

"Mmmm... iya, bajunya. Ini kan mahal banget, Sel. Yakin nggak apa-apa?"

"Bien sûr (tentu saja)! Kamu harus pakai baju ini besok. Cocok banget sama kamu." Selin tersenyum.

Perlahan, dari pantulan cermin, Ran membalas senyum itu. Sekelumit rasa hangat yang familier menyembul dari dalam dada. Betapa lama dia dan Selin tidak bertatap muka.

Ran membuka mulut untuk mengucap, tapi Selin terlebih dahulu bersuara.

"Maafin aku, Ran..."

Bibir Ran terkatup. Dia mengatur napas. "Untuk apa?"

"Entahlah." Selin menunduk, bahunya melorot. "Sepertinya aku berbuat salah sama kamu, tapi aku nggak tau apa..."

"Sel..." Ran menggeleng. "Kamu nggak harus minta maaf, kok. Kamu nggak ada salah." Yang bikin salah itu orang-orang di sekitarmu.

Mendadak, Ran merasa perilakunya belakangan ini sungguh tak masuk akal. Untuk apa dia mengikis habis persahabatan dengan Selin, yang sudah berjalan selama empat tahun terakhir, karena hal yang tidak terlalu penting?

"Terus, kenapa kamu nggak mau ngobrol sama aku akhir-akhir ini?" Selin menegakkan duduknya. Gadis itu belum menemukan jawaban.

"Itu—"

"Jangan bilang karena kamu mau fokus belajar, ya. Ujiannya udah selesai. Nggak bisa dijadiin alasan lagi."

Ran hanya tersenyum kecut menanggapi itu. Dalam hati ia membatin, Selin, you know me so well.

"Pasti karena Matt, ya?" lanjut Selin.

"Eh?"

"Dan anak-anak VIP juga, kan?"

Double kill. Ran mati kutu, menandakan perkataan Selin barusan benar-benar jitu.

"I knew it!" Selin bangkit dan meraih bunga-bunga putih yang bertebaran dekat paper bag. Senyum puas terplester di wajahnya. "Ayo, Ran. Let me fix this all for you."

Ran pasrah saat Selin memimpinnya ke luar kamar. Setengah penasaran juga dengan apa maksud Selin dengan kata 'memperbaiki' itu.

Jawaban Ran tersuguh saat mereka tiba di ruang tamu, di mana Matt sudah duduk seorang diri.

"Loh, Ayahku ke mana?" Ran celingukan. "Kok tamu ditinggal sendirian?"

"Lagi angkat telepon." Matt menjawab pendek. Matanya terangkat sedetik, dan berhenti beberapa detik lebih lama.

Ran, dengan balutan dress putih, tampak lebih manis dari biasanya. Beberapa potong baby's breath bertengger di telinga kirinya.

"Jangan melotot gitu liatin temen aku," celetuk Selin.

Sang adik, dari belakang bahu Ran, mendorong gadis itu lebih dekat ke kursi Matt sambil cekikikan. "Nih, aku udah bawa Ran supaya kamu bisa minta maaf."

Mendengar itu, Ran dan Matt bersitatap sedetik, namun segera putus karena Ran membuang muka, sementara Matt membelalakkan mata.

"Celine, apa-apaan—"

"Ssst! Ayo, tu as promis (kamu udah janji)," desak sang adik.

Dengan enggan, Matt menghela napas. Demikian, raut wajahnya bebas dari gurat-gurat ketidak tulusan. Kalimat yang diucapkan berikutnya terdengar lumayan tulus.

"Maaf. Untuk... masalah kolam. Dan yang lain-lainnya."

Begitu saja. Ran tersenyum kecil, dan mengangguk.

**

"Iya, Ayah tau kalau Bunda paling anti masalah yang itu, tapi... ya... iya. Sudah separah itu."

Ini bukan pertama kalinya Matteo mendengar perselisihan antar suami istri. Belakangan ini, hal itu sering terjadi di rumahnya sendiri. Demikian, Matt yang sedang bertamu, tetap menahan posisinya di ruang tamu tanpa ingin lebih jauh mencari tahu.

"Ayolah, Bun, sekali ini saja. Ya. Iya, memang harus coba komunikasi sama... itu. Ayah cuma ingin—ya, Bunda tau juga toh? Demi kebaikan bersama. He'eh. Enggih, Ndoro. Matur suwun Bunda cantik."

Monolog Om Sakti menandakan konflik itu selesai dalam satu panggilan telepon. Aneh. Agak berbeda dengan perselisihan yang sering didengarnya, yang biasanya tak akan redup sedamai ini. Rasanya asing, dan... menyesakkan.

Kenapa papa dan mamanya tidak begini?

"Ayo Matt, aku udah siap pulang." Celine menyelamatkan Matt dari momen ini.

Adiknya itu sudah berdiri di samping Ran yang kini sudah berganti baju. Masih terplester ingatan segar tentang dress putih yang dicoba Ran tadi, yang entah kenapa agak susah dilupakan dari benak si sulung Lafleur-Tan ini.

"Sudah?" Matt berdiri dari kursinya.

Bersamaan dengan itu, pintu rumah terbuka. Om Sakti berdiri di sana sambil memasukkan ponsel ke dalam saku.

"Lho, wis mau pulang semua tho ini?" ucap ayah Ran itu.

"Iya, Om. Kita pamit dulu." Celine melemparkan senyum, lalu beralih pada sahabatnya. "Ran, sampai ketemu besok yaa! Jangan lupa paka baju yang tadi, ya!"

Ran tersenyum. "Iya, pasti. Makasih ya Sel."

"Kamu udah bilang makasih delapan kali!" Selin terkekeh sambil menyamakan langkah dengan kakaknya.

"Hati-hati di jalan ya, kalian," pesan Om Sakti ketika melepas duo kakak-beradik ini keluar halaman rumahnya. Matt mengangguk, sementara Celine melambaikan tangan lagi ke arah Ran.

Hari sudah malam. Bulan purnama membulat di langit yang berawan.

"Oppa, aku mau siomay."

"Apa? Sekarang?"

"Iya!"

"Harus banget cari jajanan sampai ke luar kompleks?"

"Woya dong! Pencapaian ini harus dirayakan! Aku seneng banget akhirnya Ran cair lagi." Celine berjalan dengan lompatan kecil, meninggalkan Matt yang mengekor di belakangnya.

"Lain kali aja lah, Celine. Atau kita pesan delivery aja."

"Ih, kamu takut ya?"

"Takut dijambret, iya. Ayo pulang aja."

"Dih, lebay. Siniin dompet kamu, deh. Kamu aja yang pulang sendiri, aku pokoknya mau beli siomay."

Tangan Celine terulur, dan pada detik itu juga, Matt sadar dia sudah kalah.

"Fine. Kita cari siomay, terus langsung pulang." Matt menjawab dengan suara rendah, upaya menutupi rasa gelisah. Sejak tiba di negara ini, Matt tidak pernah suka keluar rumah malam hari.

Mereka berjalan menuju gerbang perumahan, di mana tak jauh dari sana akan terdapat perempatan yang biasanya dipenuhi berbagai pedagang kaki lima.

Ini yang Matt hindari. Ada alasan mengapa Matteo Lafleur-Tan sebisa mungkin tidak meninggalkan rumahnya saat mentari telah terbenam.

Satu-satunya akses keluar-masuk ke dalam perumahannya adalah gerbang double way yang dijaga sebuah pos satpam. Tak jauh sebelum mencapai gerbang itu, terdapat sepetak tanah yang rimbun dengan pohon dan semak belukar. Matt mendengar dari Ran bahwa tempat ini dinamai Kebun Satpam. Dan tempat ini... adalah tempat yang mengerikan.

Di Kebun Satpam, terdapat sebuah pohon sukun besar yang berdiri menjulang. Lebih tinggi dari bangunan manapun di perumahan ini, membuat siapapun yang hendak melihat pucuknya harus mendongak tinggi-tinggi.

Dan pada pohon itu, Matt pernah melihat sesuatu yang sangat tidak menyenangkan.

"Oppa, tunggu sebentar, jangan cepet-cepet jalannya!" Celine merengek di samping sang kakak. Mereka tepat melewati Kebun Satpam.

Meski hanya sepintas, tapi Matt melihatnya, lagi. Sekelebat kain berwarna putih. Benda itu, makhluk itu, entah apa bentuk aslinya, tampak menggantung di satu sisi dahan pohon sukun yang tinggi. Terikat, berayun.

Matt memalingkan wajah ke arah berlawanan, sedikit menunduk, dan berjalan cepat. Digandengnya pergelangan tangan sang adik sampai mereka berjalan melewati pos satpam.

Satu-satunya doa Matt malam itu adalah semoga rasa siomay yang akan mereka beli akan setimpal dengan semua penderitaan ini.


À Suivre.
1883 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top