Kuncup · 14

Sains dan takhayul adalah dua hal yang berseberangan, dan itu membuat Matt senang.

Setidaknya, sains memberinya validasi dan sedikit jawaban. Dengan menyerahkan diri pada konseling intens dan berkala kepada Bu Ertha—psikolog klinis kepercayaan mamanya—Matt berkesempatan untuk membuktikan pada Gabriella bahwa kondisinya tidak dibuat-buat, dan setidaknya, akan ada orang di dunia ini yang percaya bahwa Matt sedang tidak baik-baik saja.

"Paranoia. Stres berat yang berkepanjangan, lingkungan baru, kehidupan baru... culture shock. Saya yakin pressure-nya nggak main-main, terlebih lagi untuk anak remaja seusia Matteo, masa yang paling sensitif dan bergejolak."

Penuturan dari Bu Ertha membuat Gabriella mengangguk-angguk, sementara Matt, si pesakitan, lebih sibuk memperhatikan sekitarnya.

Ornamen yang menghiasi ruangan praktik ini memberi kesan layaknya planetarium mini. Terdapat lampu kristal yang berlapiskan kaca oranye tergantung di langit-langit, bak matahari, yang dikelilingi planet-planet kecil disekitarnya. Bagian atas ruangan juga dicat biru gelap, bercampur ungu dan tosca, berbintik putih, melukiskan Bima Sakti.

Tampak sekali, psikolognya ini adalah seseorang astrophile, orang yang tergila-gila astronomi dan benda langit, sebab ruang kerjanya dipenuhi pernak-pernik benda langit artifisial begini. Bahkan, Matt dengar anak bungsunya sendiri dinamai Pluto.

Entah di mana mamanya itu menemukan nama Bu Ertha, lebih jauh mengakui kemampuannya. Yang jelas, Gabriella tampak benar-benar mendengar dan mempercayai validitas setiap kata-kata psikolog itu.

Mama Matt itu tampak berdiskusi intens, membahas jadwal kunjungan mereka selanjutnya, dan apa 'PR' untuk Matt di rumah. Sesi konseling itu selesai dalam 90 menit.

"Oh iya, tunggu sebentar, Matteo...," panggil Bu Ertha saat si sulung dan ibunya itu hendak meninggalkan ruangan. "Bisa bicara sebentar?" ucap wanita itu.

Matt melirik pada mamanya, yang lantas mengatakan akan menunggu di mobil, sebelum akhirnya berbalik menghadap Bu Ertha. Wanita yang sudah kerap kali ditemuinya dalam satu tahun terakhir ini selalu tampak smart dengan kacamata tipis.

"Sejauh ini, bagaimana perkembangan keadaan kamu... yang sebenarnya?" Nada itu tenang diucapkan oleh Bu Ertha, namun tak ayal sukses membuat Matt mengerutkan keningnya.

"Maksud Ibu bagaimana?" bingung Matt.

"Saya bisa lihat kamu semakin apatis di sesi-sesi kita belakangan ini." Pandangan mata Ertha tegas menembus bola mata Matt yang sedikit membelalak. "Apa kamu sudah mulai kehilangan minat?"

Matt hanya bisa tersenyum tipis mendapati tajamnya intuisi (atau kemampuan mengamati?) dari psikolognya ini. "Kalau mau ngomong terus terang sih... iya, Bu."

Bu Ertha mengangguk puas, seakan menghargai kejujuran Matt.

"Kamu tahu, cara bertahan dengan menjadi batu memang efektif, tapi tidak dalam jangka panjang. Lambat laun kamu harus belajar untuk menjadi vulnerable, Matteo. Percaya pada orang lain."

"Oh." Matt menjawab acuh.

Alih-alih tersinggung, Bu Ertha malah tersenyum. "Mungkin saya bukan orang yang tepat untuk jadi pembuka kunci kamu, tapi saya yakin, suatu hari pasti kamu akan ketemu sama juru kunci yang tepat."

Matt menaikkan satu alisnya. "Maksud Bu Ertha... ini kita nggak usah lanjut konsul lagi?"

Kali ini wanita itu tertawa pelan. "Saya hanya mau bilang, kalau kamu terlalu defensif itu bisa berakibat menahan progres sendiri. Tapi kembali lagi, kamu mau lanjut konsultasi atau tidak, keputusan itu ada di kamu dan mamamu sebagai klien. Saya hanya pihak penyedia jasa, tidak akan menolak rezeki."

Matt hanya merespons dengan tawa kaku. Pandangan cowok itu melayang ke sebuah salib kayu yang terpajang di dinding, tepat di belakang kursi kerja Bu Ertha. Tiba-tiba saja Matt merasa penasaran.

"Ibu percaya tentang keberadaan roh jahat?" tanya Matt dengan nada yang (diusahakan) terdengar senormal mungkin. Pengalihan topik ini membuat tawa Bu Ertha reda perlahan.

Wanita itu mengangkat kedua bahunya sebelum menjawab, "entahlah. Menurut saya, hal yang paling jahat di muka Bumi adalah akal manusia."

Kalimat itu membuat Matt mengangguk sopan, menyimpan simpulan pikirannya sendiri, sebelum akhirnya memutuskan untuk pamit meninggalkan ruangan.

Untungnya, sepanjang perjalanan pulang mamanya tidak menanyai apa yang mereka bicarakan secara privat tadi. Sepertinya ada hal lain yang mengisi pikiran sang mama. Ditambah lagi, rumah mereka kedatangan 'tamu menginap' yakni sahabat si bungsu Celine, Ran.

Malam harinya, saat Matt terbangun dini hari, cowok itu meraba nakas untuk mencari botol di sisi nakas. Udara kering Jakarta dipadu pendingin ruangan kamarnya kerap membuat remaja ini terjaga dengan kerongkongan kering. Saat Matt berhasil meraih botol minum, isinya sudah kosong.

Sial, pikir Matt. Dia paling benci kalau harus keluar kamar di malam hari. Tentu saja, karena jam dini hari merupakan waktu 'mereka' beraktivitas, layaknya dunia ini sudah tidak dikuasai manusia lagi.

Tadinya Matt berniat untuk mengabaikan rasa hausnya dan kembali tidur. Namun setelah beberapa menit mencoba, rasanya tenggorokan cowok itu semakin gatal saja. Ditambah lagi, sekarang tiba-tiba perutnya terasa kosong dan keroncongan. Benar-benar sial.

Karena mustahil tidur dengan kondisi tersiksa begini, Matt akhirnya memberanikan diri, bermodalkan rasa kesal, keluar dari selimut dan meraih botol minum.

Sepanjang perjalanan menuju dapur, Matt memfokuskan mata ke punggung kakinya yang melangkah buru-buru. Dia enggan mengangkat wajah dan melihat sekeliling, enggan mengambil risiko bersirobok dengan mereka. Meskipun sudah empat tahun dihuni, namun masih ada 'penunggu lama' rumah ini yang mengungsi di gudang loteng. Biasanya mereka akan turun di jam-jam segini, jam yang paling membuat Matt malas.

Lantai dapur berlapis marmer yang dingin menyambut kaki Matt. Cowok itu buru-buru menaruh botol, mengisi air, dan memindai isi kulkas. Hm, sepertinya perutnya akan kram jika harus menerima makanan beku di jam segini.

Pandangan Matt berhenti pada sebuah kotak piza di konter dapur. Dibukanya kotak itu. Masih ada sisa beberapa potong irisan piza dengan topping yang berbeda-beda. Oke, sepertinya ini sisa dari Ran dan Celine.

Matt meraih isi kotak itu, namun dia dikejutkan saat sebuah tangan asing terulur untuk mengambil isi kotak yang sama.

"Ran?" geram Matt. "Ngapain kamu turun jam segini?"

Cowok itu memindai sosok tamu menginap adiknya. Rambut ikal gadis itu tergerai, baju kaus kusut dan celana training membalut kakinya yang sedang berinjit, meraih piza di atas konter.

"Oh, maaf, Kak. Aku kelaperan. Nggak biasa kalau makan malam nggak sama nasi," jawab gadis itu dengan nada polos. Ran menggigit sepotong piza pepperoni.

"Nggak tidur kalian?" Matt meraih piring dan mengamankan dua iris piza untuk dibawa ke kamarnya. Sejujurnya, ada sebersit rasa lega saat ia tahu ada manusia lain yang masih terjaga di rumah ini.

"Selin udah tidur. Aku engga, lagi main game di komputer..."

Kening Matt berkerut. "Game yang horor itu?"

"Iya."

"Hati-hati. Nanti disamperin beneran." Matt berkata asal, namun alih-alih takut, Ran malah mengangguk riang.

"Iya, nggak papa. Biar aku nggak main sendiri."

"...." Matt hanya bisa bungkam sambil menggelengkan kepala. Bocah aneh, pikirnya selalu.

"Aku naik dulu ya, Kak," pamit Ran setelah menelan kunyahan terakhir pizanya.

Matt berpikiran akan menghardik sahabat adiknya itu dengan omelan semacam 'jangan panggil 'kak', saya bukan kakak kamu' yang entah sudah ke berapa kali, namun mengurungkannya. Sepertinya gadis ini terlalu bebal untuk itu. Akhirnya, Matt hanya memanggil dengan satu kata."Heh."

Ran menoleh sebentar.

"Belajar yang bener, kalian bentar lagi ujian. Ajak Celine belajar juga. Setidaknya kalau kamu manfaatin dia buat pinjem komputer sama main game nggak jelas itu, harus ada timbal balik pengaruh positif dari kamu."

Perkataan Matt barusan membuat Ran mematung sebentar. Namun hanya butuh beberapa detik sebelum gadis itu tersenyum lagi dan mengangguk.

"Iya, Kak," gumamnya.


À Suivre.
1134 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top