Kuncup · 13

Ajeng dan Gabriella adalah dua wanita berstatus ibu yang saling melengkapi dalam kolaborasi; Bunda yang menekan aspek akademis, serta Tante Gabi yang membanjiri dengan reward berlebih. It's a win-win situation untuk mereka semua—anak-anak dua wanita itu, Ran dan Selin.

Ran baru saja mendapatkan salah satu pembuktian dari fakta di atas, saat hendak berpamitan ke Ajeng untuk menginap di rumah Selin.

"Beneran, Bun?! Kita jadi liburan sama keluarganya Selin juga? Ke vila??" cetus Ran setengah tak percaya.

Biasanya, kabar gembira dari Ajeng tak jauh-jauh dari adanya les tambahan, materi ujian ekstra yang bisa Ran pelajari, lomba-lomba apa saja yang bisa Ran ikuti—yang hampir selalu ditolak oleh anak semata wayang itu, sebab Ran tidak begitu suka berkompetisi.

Intinya, 'kabar gembira' dari Ajeng selalu berkaitan dengan pencapaian akademi. Baru kali ini bundanya menyampaikan kabar gembira yang benar-benar... menggembirakan.

"Iya, tapi masih rencana, sih. Yang pasti setelah kalian selesai ujian akhir. Dan itu lihat juga hasilnya, kalau pahit-pahitnya salah satu dari kalian ada yang gagal, dan harus nyusul ujian persamaan..." Ajeng bergidik mengatakan itu, namun segera melanjutkan, "... naudzubillah. Harusnya jangan, ya? Pokoknya kalian fokus belajar dan lulus dengan nilai yang baik, setelah itu baru pikirin liburan."

Wanita itu tampak berusaha menekan kekhawatirannya. Untungnya, Ran masih terlihat sangat antusias. Gadis kecil itu memandang bundanya dengan mata bundar yang bersinar.

"Tapi beneran kan, Bun? Intinya kita liburan habis UN. Jadi bener, kan??" Ran tidak ambil pusing akan rencana dan perencanaan, serta bayang-bayang adanya kegagalan. Menurutnya, sekali ada kesempatan, kemungkinan itu pantas diusahakan.

"Ya... ya. Nanti kamu tanyakan sama mamanya Selin juga. Tante Gabi yang mengatur semua, harusnya." Ajeng memberi penjelasan terakhir sebelum membantu Ran menyandang tas ransel.

"Yesss!" Ran lagi-lagi tak bisa membendung kebahagiannya.

Sesampainya di rumah Selin, gadis itu otomatis membeberkan kabar baik tersebut.

"OMO! JINJJA?! Kita liburan? Akhirnyaaa!" Respons antusias Selin memekarkan senyum puas di wajah manis Rantika.

"Tapi...." Ran menjeda satu detik. "Kata bundaku, ini kalau kita berdua sama-sama bisa lulus dengan nilai baik, Sel."

"Ah... of course. Ala Tante Ajeng banget deh persyaratannya." Selin sama sekali tak tampak terganggu. "Kita bisa kok. Bisa. Kita udah bimbel dan belajar banyak banget, kan? Pasti ada hasilnya, lah!"

Senyum Ran kembali terbit. Dia memeluk boneka Totoro pemberian Selin empat tahun silam. Boneka kelinci itu sudah menjadi snuggle buddy sekaligus teman menginap yang setia.

"Iya. Eh... ngomong-ngomong, mama kamu mana, Sel? Dari tadi nggak kelihatan. Aku mau nanyain rencana liburannya." Ran celingukan melihat ruang tengah kediaman keluarga Lafleur-Tan. Biasanya Tante Gabi tidak jauh-jauh dari sana, di meja sudut yang menjadi ruang kerjanya.

"Oh, Mama lagi nganter Oppa. Nggak tau ke mana, biasa lah mereka pergi tanpa bilang-bilang." Selin menjawab ringan.

Si adik perempuan sedang memilah judul tontonan layar TV raksasa, menampilkan folder film berbagai genre yang disuplai dari HDD eksternal yang tercolok di sisi televisi. Selin sempat bilang, dia ingin 'membersihkan' mata dan pikirannya setelah menonton film Fifty Shades di bioskop mal tadi. Selin juga sudah meminta maaf atas insiden ditelantarkannya Ran. Alasan Selin simpel saja: dia lupa. Ran curiga, teman-teman VIP-nya lah yang membuat Selin 'lupa'.

"Oooo...." Ran mengangguk seadanya.

Perhatian gadis itu beralih pada beberapa buku yang terbuka di atas karpet tebal. Bank soal ujian nasional yang mereka beli atas mandat mama Selin. Iming-imingan liburan itu tampaknya membuat Ran tergerak untuk sedikit belajar.

Setengah jam berlalu. Matahari mulai tenggelam, namun Ran dan Selin tidak menyadari langit luar yang mulai menggelap. Mereka asyik tenggelam dalam dunia masing-masing; Ran mencoba memecahkan soal Bahasa Inggris, sementara Selin fokus menonton The Fault in Our Stars, film roman yang sudah membuat Ran menguap pada sepuluh menit pertama.

Pintu utama kediaman Lafleur-Tan akhirnya terbuka. Gabriella melangkah masuk dengan hentakan kaki berbalut sepatu heels empat senti. Nyonya rumah itu tidak repot-repot melepas sepatu saat menjajaki ruang tamu.

"Mama, sudah pulang?" sambut Selin tanpa menoleh dari tontonannya, lebih seperti kode ke pada Ran yang sedari tadi tampak menunggu kembalinya Gabriella. Bungsu itu sudah kepalang hapal dengan langkah kaki mamanya.

"Mmmm," jawab Gabriella mengiyakan. "Eh, ada Ran. Kalian sudah makan? Mama pesankan delivery, ya? Hari ini tidak ada yang masak. Bu Mina cuma Mama suruh bersih-bersih saja."

"Belum, Tante...." Ran menjawab dengan sungkan, mendapati Gabriella sudah terlebih dahulu sibuk dengan ponselnya—sepertinya sedang membalas pesan penting.

Gabriella meletakkan tas tangan di meja kopi, seraya menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah, sesekali melirik apa yang ditonton Selin.

"Kebetulan Matt juga belum makan. Oke, how 'bout pizza? Kalian mau pakai topping apa?" tawar Gabriella.

"Pepperoni," sahut Selin tanpa berpikir panjang.

"Apa aja, Tante." Ran bersuara.

"Okay." Gabriella menggumam. "Kalau kamu, mau piza apa, Matt?"

Barulah saat itu Ran menyadari sosok Matt yang berdiri di ambang ruang tamu, melepas sepatu dan kaos kakinya.

"Terserah, asal jangan pakai nanas," ucap Matt sebelum berlalu menuju lantai dua, tempat kamar sekaligus sangkarnya berada. Remaja itu tampak agak kesal.

Beberapa menit dilalui dengan penghuni ruang tengah yang kembali berfokus pada kegiatan masing-masing. Tapi di antara mereka semua, Ran adalah yang paling terpecah konsentrasinya. Soal reading yang berderet panjang tampak semakin tak terbaca. Pikirannya sudah tidak lagi ada pada lembar-lembar bank soal.

"Tante sama Matt tadi habis dari mana? Langsung keluar begitu sampai dari mal, ya?"

Ran memberanikan diri bertanya. Gadis itu menandai bagian terakhir soal yang tidak akan dikerjakannya. Dilihatnya Tante Gabi sedang memijit kepala.

"Oh, itu. Ya, biasa. Matt kan juga ada... perlu. Seperti kamu dan Selin yang sesekali harus pergi Les, si koko juga harus pergi-pergi."

Penjelasan dari Tante Gabi sama sekali tidak memberikan kepuasan. Tapi toh, itu hanyalah preambul Ran untuk memulai percakapan.

"Oooo," gumam gadis itu. "Terus, em, Tante... ngomong-ngomong masalah pergi, tadi Ran dikasih tau Bunda kalau nanti kita mau pergi liburan sama-sama. Katanya Tante Gabi yang bikin rencana, ya?"

Lengkuhan senyum lolos dari bibir Gabriella yang masih berpulas gincu. Bekerja di Kedutaan Besar Perancis membuatnya harus selalu berperawakan 'pantas' setiap hari. Pakaian, riasan, hingga pembawaan diri. Tampaknya kebiasaan itu sudah tertanam pada nyonya rumah ini, dibawa hingga ke hunian pribadi.

"Ya, benar." Gabriella meletakkan gawainya. "Anggap saja sebagai perayaan kelulusan kalian. Kamu jangan pikirkan kita mau liburan ke mana, bagus apa enggak tempatnya... yang jelas, bakal jadi surprise buat kalian semua. Tante jamin semua senang."

Ucapan Gabriella itu membuat Selin menoleh, merelakan beberapa detik lewat begitu saja lepas dari film yang sedang ditontonnya.

"Makasih, Tante. Saya—kita, jadi nggak sabar." Ran mengucapkan hal yang tampaknya senada dengan pikiran Selin, membuat gadis itu mengangguk setuju.

"Ya, sama, Tante juga nggak sabar. Sudah butuh banget break dari ini semua...." Gabriella menghela napas, seakan mengucapkan kalimat tadi untuk dirinya sendiri.

Di sela-sela pijitan Gabriella pada pelipisnya, kilasan percakapan hari itu bermain-main di dalam tempurung otak, memutar ulang bagaikan kaset rusak yang enggan ia tonton.

"Lastri. Namanya Sulastri, Ma. Dia calon pegawai baru Papa, dan aku positif banget dia akan diterima. Padahal, Om Sakti sempat bilang ada kandidat lainnya. Pokoknya, kalau sampai benar si Lastri-Lastri itu kerja di toko kita..."

"Matt," potong Gabriella. Konsentrasinya memarkir mobil hampir pecah.

"... Mama harus persiapkan diri mulai sekarang. Saat Mama menikah dengan Papa dulu, kalian sudah bikin pre-nup*, kan?"

"Matteo!"

Mobil berhenti, mesinnya mati. Mereka sudah sampai di tempat tujuan, rumah praktik dengan plang putih bertuliskan nama Ertha Maria Aditya, M.Psi., wanita yang sudah memiliki janji temu dengan Matt. Seorang psikolog klinis.

"Fokus. Jangan mengada-adakan masalah yang tidak ada. Lagi." Gabriella berkata tegas sambil menekan tombol unlock, membuka kunci pada pintu mobil.

Matt mendengkus gerah sebelum membuka pintu di sisi kirinya dengan kasar.

Sebelum menutup pintu, si sulung menyempatkan diri berkata pada mamanya, "Sedia payung sebelum hujan, Ma. Aku hanya ingin melindungi Mama dan Selin. Itu saja."

Gabriella tersadar akan getaran ponsel di pangkuannya. Dia kembali ke saat ini, di ruang keluarga rumahnya sendiri.

Sebuah pesan BBM masuk. Dari layar notifikasi ponsel canggih itu, tampak balasan dari kontak yang PIN-nya baru ia dapatkan sore tadi. Seorang Notaris anggota keluarga Tjahyadewa, pelaku legal yang terpercaya di ibu kota.

Dibacanya sekilas pesan itu. Isinya janji bertemu. Konyol. Gabriella tak percaya dia benar-benar mendengarkan saran anak sulungnya.

Ini bukan apa-apa. Toh hanya konsultasi, batinnya memberi pembenaran diri.

Sambil bangkit, nyonya rumah itu berkata ke arah dua gadis yang berada di depan TV.

"Kalian lanjutkan belajarnya, ya? Jangan tidur terlalu malam." Ia beralih pada Selin, "Mama istirahat dulu. Nanti kalau delivery pizanya datang, kamu terima saja. Uangnya di meja makan. Jangan lupa sisakan untuk si koko juga, ya. Dia biasanya lapar kalau tengah malam."

Gabriella bangkit dari sofa, dilepas oleh sahutan kata 'iya' yang keluar hampir bersamaan dari mulut Ran dan Selin.

Malam itu, Gabriella menghabiskan waktu berendam lebih lama di dalam bath tub, menyetel pemanas air dengan suhu lebih tinggi dari biasanya, dan menuang bath salt lebih banyak dari biasanya.


* Pre-nup (Prenuptial Agreement): Perjanjian Pra Nikah, adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan, yang isinya mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan dan apa saja selama perjanjian tersebut tidak melanggar hukum, agama, dan kesusilaan.


À Suivre.
1424 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top