Bibit · 7

Cheng Beng; sebuah tanda bakti. Saat hari cerah (cheng) dan terang (beng), kita kembali dari tempat jauh dan pulang ke kampung halaman; untuk mengingat SIAPA KITA, dan DARI MANA (akar) kita berasal. Semua keturunan datang berlutut di sini, di depan pusara para leluhur yang telah mendahului.

**

Dini hari di Surabaya menawarkan suhu yang kontras dari terik siangnya. Udara menjernih, dingin menggigit, dan wisma keluarga Tan yang biasanya lelap ditelan sunyi, hari ini sibuk dengan hiruk-pikuk mempersiapkan upacara Cheng Beng.

Mereka semua bekerja sama, mulai dari memasak, membungkus, mengemas, dan menata barang-barang aneh berwarna cerah yang belum pernah anggota baru keluarga ini—Mattéo, Celiné, dan Victor—lihat seumur hidup mereka.

Truk pick-up dengan bak terbuka diisi berbagai pernak-pernik berharga; mulai dari tas, sandal, sepatu, hingga baju, yang kesemuanya terbuat dari kertas. Matt sempat terkecoh awalnya, mengira itu semua benar-benar benda biasa.

"Itu nanti buat dikirim ke keluarga sama leluhur kita yang udah meninggal, Matt. Semua itu, sama uang-uang kertas gincua, nanti dibakar di sana, sambil kita sembahyang juga, mendoakan. Buat bekal mereka di seberang sana," tutur William di sela-sela kegiatan.

Matt hanya bisa mengamati sambil mengerutkan kening. Ini semua tidak pernah diajarkan oleh Mama, pun tidak masuk di logikanya.

Untuk apa masih memedulikan orang yang sudah meninggal? pikirnya.

Matahari terbit di atas luas tanah pemakaman. Matt tampak tidak tahu harus berbuat apa. Celiné dan Sally bermain, wajar karena mereka memang masih anak-anak.

Tapi dia? Bahkan adik sepupu lelaki yang lebih muda darinya saja sudah berguna mengarit ilalang di atas tanah kuburan, salah satu pamannya membersihkan batu nisan raksasa, bibi-bibinya menyiapkan makanan dan sesaji, sesekali memuji sepupunya, Wendy, yang baru lulus SD tapi sudah mahir membuat kue-kue yang kini tersaji.

Pandangan Mattéo menyapu sekitar, memperhatikan suasana asing yang tampak hangat ini. Matanya meneliti berbagai batu nisan berhias foto-foto orang yang tidak dia kenal, dengan tulisan asing yang juga tidak bisa dia baca. Matt seketika merasa dia tidak berada di tempat yang seharusnya. Terlalu asing. Dia benar-benar menjadi seorang misfit.

Dari sekian banyak kerabat yang dilihatnya bekerja, Matt akhirnya merasa tidak enak dan berusaha untuk membuat dirinya berguna. Didekatinya William, sepupu yang paling ia hafal.

"Saya harus ngapain ya, Koh?" tanyanya.

"Eh, Matt, sini. Bantu bongkar gincua ini aja, pisahin ya." William menunjuk uang kertas berwarna kuning dan emas yang masih dibundel plastik karung.

Mattéo lantas menghabiskan sepuluh menit berikutnya membongkar dan memilah tumpukan kertas tersebut. Banyak sekali jumlahnya, kertas-kertas itu sampai menggunung di sisi makam.

Kalau saja ini uang sungguhan, mana mungkin akan dibakar, pikir Matt saat melepas bundel gincua terakhir.

Komentar-komentar pahit atas budaya irasional ini masih terus berjalan dalam benak Mattéo, bahkan hingga saat dia beserta Mama, Papa, dan adiknya sembahyang membakar dupa berwarna merah di hadapan makam salah satu leluhur.

Saat mengayun-ayunkan dupa itu, William sempat memberitahu Matt bahwa arwah leluhur akan terpanggil untuk menikmati sesajian, makanan, dan minuman yang telah disediakan, menikmati momen berkumpul bersama anak-cucunya yang saat ini datang.

Setelah melaksanakan upacara bakar-membakar, keluarga Tan ramai-ramai sarapan di tempat pemakaman. Layaknya piknik bersama anggota keluarga tak kasatmata, mereka mengobrol dan menikmati makanan; daging, kue, buah-buahan, bahkan Matt melihat mamanya menenggak arak putih.

Satu hal yang membuat Matt tercenung adalah saat ia mulai menyadari bahwa sosok Mama yang selama ini terlihat tegas dan kaku kini tampak berbeda. Mama memandang keluarga besarnya dengan pandangan yang lembut dan rapuh.

Rasanya ocehan dan perintah pedas tak lagi bisa keluar dari mulut Mama yang terkatup tipis. Rasa-rasanya seperti... Mama diam-diam mengharapkan semua ini. Kebersamaan, kekerabatan, dan segala hal yang belum pernah Matt pahami sebelumnya.

Pagi itu, Matt melihat sisi lain mamanya yang belum pernah dilihatnya selama ini. Mama sebagai anak, keponakan, dan cucu yang merindu.

Di tengah-tengah piknik aneh itu, Matt sadar ada seorang kakek tua yang memperhatikannya. Awalnya Matt cuek, namun tampaknya kakek itu tidak melakukan kegiatan apa-apa—tidak ikut makan, minum, dan tidak mengobrol dengan siapa pun—selain memelototinya saja.

Merasa risi, Matt akhirnya membalas tatapan kakek tua, berharap dengan pandangan sinisnya, si kakek akan hengkang. Diam-diam, Matt mengamati. Kakek itu berpakaian hitam, dengan kumis putih yang menjalari dagu, dan rambutnya yang sepenuhnya beruban, dikepang tunggal memanjang. Matanya yang sudah sipit semakin tipis saat memicing ke arah Matt.

Firasat Matt tidak enak, membuatnya refleks membuang muka.

Siapa dia?

Wajah kakek itu sama sekali asing. Sepertinya kakek itu tidak berasal dari wisma keluarga Tan. Apa dia bukan anggota keluarga Mama? Atau dia orang lain yang ikut upacara Cheng Beng juga? Ah, Matt malas mengira-ngira.

"Koh," panggil Matt ke arah William.

"Opo?" balas Willy yang sedang mengunyah bebek goreng.

"Itu siapa?"

"Mana?"

"Itu, lho. Kakek yang deket pohon itu, sebelahnya nisan warna merah." Matt menunjuk samar dengan tolehan kepala.

Willy menyipit. "Ko Tiu (paman) Hardy?" ujar Willy seraya menunjuk pria paruh baya yang sedang menyeruput kopi.

Matt menggeleng. "Bukan, di sebelahnya."

"Lho, seng ndi tho (yang mana sih)? Kan di sebelahnya Ko Tiu nggak ada sapa-sapa," ucap Willy sebelum lanjut menyantap bebek gorengnya.

Matt bungkam. Agak ragu dia menoleh lagi, dan kakek tua itu sudah tidak ada.

Oke, ini benar-benar aneh.

**

Keanehan pada hari upacara Cheng Beng itu tidak berhenti setelah Matt dan keluarga besarnya pulang dari pemakaman. Seharian, Matt merasakan badannya tidak enak. Menggigil, meriang, seperti akan demam.

"Kamu alergi makanan Indonesia mungkin, Koko," celetuk Celiné saat melihat kakak lelakinya itu menelan sebutir pil herbal yang disodorkan oleh Gua Ma, nenek mereka.

"Cuma masuk angin kokomu ini, Me." Gua Ma membalas sambil memperhatikan dua cucu barunya.

"Istirahat ya, Matthew. Me, ayo, jangan diganggu lagi." Gua Ma berucap ke arah Mattéo sebelum menuntun Celiné ke luar, entah sengaja salah mengeja namanya atau tidak, Matt sejujurnya tidak terlalu peduli.

Sejujurnya, Matt malah merasa lega. Matt sangat butuh ketenangan, istirahat dari semua ini.

Kini, Matt berbaring sendiri. Ruangan itu cukup luas dan lengkap untuk ukuran kamar tamu. AC, ranjang queen size empuk dan jendela ganda kaca yang menyajikan gambar pepohonan taman depan, membuat Matt serta-merta merasa betah. Tak butuh waktu lama untuk si sulung Lafleur terlelap, mengistirahatkan kepalanya yang berdenyut ganjil.

**

Matteo terbangun dengan mata yang berkunang-kunang. Mimpinya aneh sekali, Matt agak lupa, tapi dari serpihan yang dia ingat, dia melihat langit berwarna jingga kemerahan—bahkan bukan langit saja, tapi dinding, meja, ranjang, dan bahkan tubuhnya sendiri yang melayang—semuanya merah. Yang membuatnya semakin resah, adalah saat dia bisa melihat badannya terbaring di tempatnya semula.

Dia... lepas.

Dan tiba-tiba saja, Matt tertarik kembali. Sadar. Matanya terbuka perlahan, mendapati langit-langit kamar dan isi ruangan yang sudah kembali normal, tidak berwarna merah. Matt mencoba duduk, merasakan jiwanya masih utuh di dalam raga. Seketika ia mengembus napas lega.

Apa itu barusan? batinnya.

Merasa butuh udara segar, Matt bangkit dan berjalan menuju jendela, membuka daun kaca itu. Pemandangan langit petang menyambutnya. Pepohonan rindang yang mengisi kebun wisma keluarga Tan tampak bergoyang tenang, dibelai angin. Matt menarik napas dalam-dalam.

Suara gemerisik ranting pohon mangga membuat fokus Matt terpecah. Cowok blasteran itu memicingkan mata. Benar. Dahan pohon mangga dekat jendela kamarnya itu bergerak dengan ganjil, seperti ada yang memanjati. Padahal, dahan tersebut terbilang cukup tinggi.

Matt mengernyitkan dahi. Apakah salah satu sepupu kecilnya sedang main panjat-panjatan? Tapi, untuk apa? Malam-malam, pula.

Mendadak napas Mattéo tercekat saat mendapati siapa—atau apa—yang berada di dahan pohon itu.

Tubuh itu polos, memeluk dahan pohon dengan kaki dan tangannya yang menggenggam ganjil. Sekilas pandang, mirip sekali dengan kera. Besarnya seperti lelaki dewasa, dan badannya tertutup bulu-bulu lebat, serta caranya bertengger di dahan menunjukkan postur yang tidak manusiawi. Benar-benar seperti binatang.

"Aaaah!"

Matt berjengket kaget saat sosok itu meloncat ke dahan lebih dekat, menatap lurus padanya. Sebelum kera jadi-jadian itu melompat ke jendela terbuka, Matt sudah ambil langkah seribu, turun ke lantai satu.

"Matt? Ada apa? Kok kamu lari-lari gitu? Keringetan, lagi. Kamu wes enakan tah?" Suara William yang hampir bertabrakan dengannya membuat Matt menata napas. Dilihatnya beberapa sepupu dan saudara sedang memperhatikan mereka. Matt tidak ingin membuat keributan.

"Ikut saya, Koh...," ucap Matt sambil mencengkal lengan Willy, membawanya ke kamar di lantai dua.

Kini dua remaja itu berdiri di ambang pintu kamar tamu, menghadap ke satu titik yang sama—bingkai jendela.

"Manusia kera?" ulang William. Alisnya berkerut dalam.

"Iya, Koh. Itu... jelas lagi duduk di situ. Masa Koh Willy nggak lihat?" Matt menunjuk jendela terbuka di mana makhluk itu bertengger.

Dari jarak sedekat ini, tampak jelas bulu-bulu cokelat keemasan memenuhi separuh wajah sosok itu, menyisakan tulang pipi dan mata kekuningan yang memandangi Matt dan Willy dengan penasaran. Entah apa yang membuat makhluk itu tidak turun dan masuk ke dalam kamar, melainkan hanya memandangi dua keturunan Tan itu bergantian.

"Kamu sek demam, ta?" William serta-merta menempelkan punggung tangannya ke dahi Matt, membuat sepupunya menggeleng.

"Saya nggak berhalusinasi." Matt kembali melihat ke arah manusia kera itu. Benar. Pandangannya tidak salah. Makhluk itu nyata senyata-nyatanya.

Saat sudah mengumpulkan keberanian beberapa detik, masih diiringi pandangan aneh dari sepupunya, Matt memberanikan diri melangkah satu meter ke arah jendela. Mungkin kalau dia bisa menyentuh manusia kera itu...

"Ada apa ini? Kenapa ramai sekali?"

Teguran dari Gabriella membuat dua remaja itu berjingkat, kaget.

Bersamaan dengan itu, suara gemerisik ranting pohon terdengar, bergerak bagai tertiup angin yang tak kasatmata. Manusia kera itu tak tampak lagi.

"Mama...." Matt menoleh ke arah wanita itu, hendak melayangkan protes.

Gabriella mengindahkan putranya. "Willy, ada perlu ada kamu di sini? Kamu tau kan Matt harus istirahat??"

"A Kou, kayaknya Matt harus dibawa berobat, deh." William menjawab mantap.

Gabriella mengerutkan kening. "Ya, besok kalau keadaan dia masih belum baikan, A Kou mau bawa Matt ke dokter...."

"Bukan," sahut Willy. "Maksud saya, bawa berobat ke orang pintar. Tadi, waktu upacara tek cua di pemakaman, Matt ada lihat kakek-kakek yang nggak kelihatan. Barusan juga, Matt lihat manusia kera jadi-jadian. Di situ...."

William menunjuk arah jendela kosong, bersambut kerutan dahi Gabriella yang semakin dalam.

"Matteo... apa benar yang dikatakan Willy barusan?" tanya mamanya dengan pandangan tajam.

Matt melirik William tak terima. Dia kira sepupunya itu bisa dipercaya menjaga rahasia. Tapi detik berikutnya, Matt juga sadar bahwa mungkin Willy melakukan ini demi kebaikannya juga. Toh Matt benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya hari ini.

Akhirnya, dengan berat hati, Matt mengangguk.

"C'est vrai (itu benar), Mama."


À Suivre.
1611 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top