Bibit · 5
Beberapa hari berlalu, rasa kagum bercampur penasaran Ran akan rumah besar sekaligus penghuninya—baik yang hidup maupun tidak—di sudut blok perumahan ini tak kunjung surut.
Sakti yang belakangan ini sibuk (atau sok sibuk?) di kantor real estat baru juga membuat Ran menaruh curiga, bahwa ayahnya kemarin membual demi mereka tidak pindah ke rumah mahal tersebut.
Keadaan ini membuat Ran tak segan mengadu pada Bunda.
"Kenapa sih, kita nggak jadi orang kaya aja, Bun?" protes Ran saat mereka sedang mempersiapkan perlengkapan sekolah baru. Buku, alat tulis, tas punggung, semuanya baru.
Ajeng mendengkus geli dan menjawab dengan argumen diplomatis.
"Kita ini lebih dari sekadar cukup, Ran. Bunda bisa ngejar gelar doktor, nanti jadi dosen tetap di universitas negeri, nggak jadi honorer lagi. Ran juga nanti masuk sekolah favorit. Apa itu nggak bisa disebut kaya?"
Ran menggerutu, "Tapi rumah kita nggak sebesar rumah yang di pojok situ...."
Ajeng hanya tertawa dan mencubit pipi putrinya. Baru saja sang ibunda hendak memberikan wejangan tentang pentingnya bersyukur, tiba-tiba Sakti mengejutkan mereka dari pintu depan.
"Asalamualaikum! Ran, ikut Ayah, yuk. Kita kenalan sama penghuni rumah besar yang kamu suka itu. Mereka punya dua anak, yang kecil perempuan seumuran kamu, lho!"
Gadis kecil itu langsung pecah atensinya. Menampik kesempatan itu adalah sebuah kemustahilan. Ran, dengan langkah kaki terlalu cepat, sudah meraih tangan Sakti. "Ayo, Ayah!" ucapnya lantang.
Hanya butuh beberapa menit sebelum Ran lagi-lagi melihat rumah istana itu. Kali ini, Sakti menuntunnya melewati pagar, menyeberangi halaman bagai padang rumput yang terawat rapi, dan mengetuk pintu ganda gaharu raksasa yang kemudian terbuka.
"Bonjour (halo), Sakti! Akhirnya kamu berkunjung juga."
Seorang pria bule dengan tinggi hampir dua meter menyambut mereka. Ran sontak terperangah sambil mendongakkan kepala memandang sang tuan rumah.
"O mon Dieu (oh Tuhan), siapa ini? Halo, anak manis!" Raksasa itu berjongkok di hadapan Ran. Logat pria itu aneh, terdengar berat di kerongkongan, tapi bahasa Indonesianya lumayan bersih.
Ran berkedip sekali. Pria itu mempunyai wajah yang dihiasi bulu halus—bukan, bukan jenggot, tapi benar-benar bulu-bulu kecil!—rambutnya pirang cerah sewarna kopi susu yang biasa diseduh Bunda, dan matanya berwarna cokelat muda. Senyum dan wajah pria asing itu tampak ramah.
"Ran, ini Pak Victor." Sakti menyentuh bahu putrinya. "Monsieur (Tuan), ini Rantika, anak saya yang kapan hari saya ceritakan itu...," lanjut Sakti pada pria itu.
"Victor Lafleur. Panggil saja Om Vic. Halo, Rantika." Suara lain menyambut dari dalam rumah.
Ternyata di belakang Victor sudah berdiri seorang wanita. Wajah orientalnya tersenyum, kalimatnya juga ramah, tapi jelas sekali pandangannya tajam, seakan menilai tamunya dari atas ke bawah, mengintimidasi. Ran yang merasa takut pada wanita itu langsung berlindung di balik pinggang ayahnya.
"Ah! Kalau ini, panggil saja Tante Gabi. Istri saya, mamanya anak-anak." Suara hangat Victor kembali terdengar.
Pria super tinggi itu berdiri dan lanjut bicara pada Ran kecil. "Kamu pasti main ke sini untuk bertemu mereka, iya kan, Ran? Sini, sini... ayo masuk." Victor membuka pintu lebih lebar, memberi akses untuk Sakti dan putrinya melangkah ke dalam ruang tamu.
Belum sempat Ran puas terperangah akan kemegahan isi rumah, tiba-tiba sebuah teriakan tegas mengudara.
"MATTÉO! CÉLINE! Cepat kemari, ada tamu!" Lantang suara wanita yang diperkenalkan sebagai Tante Gabi itu menggema di langit-langit rumah yang berbentuk kubah. Seketika Ran bersyukur Bunda-nya tak segalak Tante Gabi.
Tak berselang lama, sepasang anak laki-laki dan perempuan turun beriringan dari tangga lantai dua. Mata Ran memandang tak putus ke arah mereka dengan mata kagum. Perawakan mereka sungguh memancarkan sinar yang berbeda. Seperti aura... anak orang kaya.
Si kakak laki-laki berbadan tinggi, memiliki rambut hitam dan kulit kuning langsat seperti mamanya, dan hidungnya mancung dan bermata dalam seperti Om Vic, sang papa.
Si adik perempuan, yang kata Ayah seumuran dengan Ran, datang berlari menuruni dua anak tangga sekaligus. Bagaikan antitesis kakaknya, kulit gadis itu putih sekali, hampir kemerahan, dengan rambut cokelat tua dan hidung kancing seperti Tante Gabi. Berbeda dengan fitur tubuhnya yang sangat Eropa, wajahnya benar-benar Asia. Matanya sipit, pipinya bundar, dan bibirnya menyuguhkan senyum lebar. Manis.
"Halo!" sapa gadis kecil itu setibanya di hadapan Ran. Tangannya terjulur cepat. "Aku Celiné. Apa kamu tetanggaku yang baru? Anaknya Om Sakti? Wah, kamu cantik sekali! Aku suka rambutmu...."
Sedikit ragu, Ran menyambut jabatan itu. Tak pernah sebelumnya ada anak lain yang sebegini girang untuk berkenalan dengannya, terlebih memuji rambut keriwilnya yang sering menjadi bahan olokan Didi CS, pitik walik.
"Ya... aku Ran. Salam kenal, Selin." Lirih, Ran akhirnya bersuara.
"Enchanté (salam kenal). Kamu mau main bersamaku, Ran? Ayo ke kamarku! Aku mau tunjukkan sesuatu." Celiné, yang tampak rela-rela saja namanya disebut asal oleh Ran, terlihat kebelet kembali ke lantai dua.
Keraguan kembali menyergap Ran. Pasalnya, Ran tidak pernah berkunjung main ke rumah anak lain seumur hidupnya, lebih-lebih putri istana rumah victoria ini. Sekilas gadis itu menoleh ke ayahnya, yang tampak sedang terlibat obrolan dengan Tante Gabi dan Om Vic mengenai sesuatu tentang feng shui.
Ran menarik ujung baju Sakti, meminta dukungan. Anggukan persetujuan sang ayah membuat Ran akhirnya mengikuti langkah kaki cepat Celiné.
"Sel... tungguin," panggil Ran dari bawah tangga.
"Hihi, makanya jangan lama-lama jalannya. Sini, Ran!" Celiné—yang sepertinya sudah sah menjadi Selin—menjawab dari tengah tangga.
Mereka berpapasan dengan si kakak laki-laki yang ternyata belum turun dan hanya memperhatikan tamunya dari anak tangga. Tinggi Ran hanya sebatas dadanya, membuat Ran mendongak dan tanpa sengaja menatap anak itu. Sang kakak balas melirik. Mata mereka beradu.
"Itu kakakku, Mattéo. Jangan deket-deket sama dia, dia galak." Selin berbisik cepat di telinga Ran
"Matt—?"
"Udah, ayooo!" Selin menarik pergelangan tangan Ran dan memutus kalimatnya. Beberapa detik kemudian, dua gadis itu sudah hilang dari pandangan, memasuki salah satu kamar di lantai dua.
Ya ampun! pekik Ran dalam hati saat memasuki kamar Selin. Perabotan yang mengisi ruang luas itu bertemakan princess, dengan dominasi warna merah muda lembut dan putih tulang, seperti wallpaper dengan gambar bunga mawar kuncup dan kasur besar empuk yang dipeluk kelambu empat sisi.
Jadi seperti ini toh, isi kamarnya putri raja?
Ran benar-benar terpesona. Rasanya seperti memasuki taman Eden, surga dunia bagi gadis kecil.
"Aku mau nunjukin boneka-boneka yang dibelikan Mama, khusus buat di kamar baru aku. Kata Mama, ini hadiah karena aku mau pindah ke Indonesia. Kamu suka boneka, Ran? Mau ambil satu? Aku ada banyak!" Selin menunjuk ke lemari kaca empat tingkat, yang penuh berdesakan dengan berbagai plushies, mulai dari barbie, beruang teddy, sampai...
"Totoro!" Ran memekik dan menunjuk satu boneka berbentuk kelinci gendut di sudut lemari.
Selin tersenyum. "Wah! Kamu juga suka nonton My Neighbor Totoro, ya? Sebentar, aku ambilkan." Teman baru Ran itu langsung bangkit dan meraih boneka kelinci abu-abu itu, juga beberapa boneka lain.
Gadis kecil yang menjadi tamu di kamar merah jambu itu merekahkan senyum semakin lebar. Hari itu, Ran bersyukur dalam hati. Ternyata begini rasanya punya teman manusia.
**
Langit bersemu keunguan, menandakan magrib hampir tiba. Pintu kamar anak bungsu keluarga Lafleur-Tan terbuka dengan si sulung yang berdiri di sana.
"Hei, kamu, anaknya Om Sakti. Sudah waktunya pulang." Mattéo berkata dengan tangan masih memegang knop pintu.
"Eh... iya." Ran menjawab gagu seraya melempar pandang ke arah Selin. Tanpa terasa, mereka sudah bermain sepanjang sore.
"C'est n'imp (omong kosong), Koko! Kami mau main sampai besok. Ran nggak akan pulang. Dia sedang menginap. Ya kan, Ran?" Selin berkelit dengan posesif, sukses membuat tamunya kebingungan.
Pasalnya, 'menginap' adalah aksi main rumah-rumahan yang sedang mereka lakukan sekarang. Boneka kelinci Ran sedang menginap di rumah Selin, yang merupakan tumpukan bantal sofa dibentuk tenda. Sejak kapan agenda menginap itu akan sungguhan mereka lakoni?
"Tais-toi (diam lah), Meimei. Aku tahu kau sedang pura-pura." Suara Mattéo terdengar tegas. Dia lantas melirik ke arah Ran. "Ayahmu sudah menunggu di bawah."
"I-iya." Ran menelan ludah. Ternyata Selin tidak berbohong, Kakaknya itu beneran galak!
Akhirnya, Ran turun ke lantai bawah dipandu dua bersaudara Lafleur-Tan. Mattéo memimpin jalan tanpa berbicara, sementara Selin tak kunjung bungkam suara.
"Sekolahmu di mana, Ran? Kamu baru pindah juga, kan? Mama bilang, aku bebas memilih sekolah mana saja, asalkan bagus, minimal national plus."
"Mmmm, aku lupa. Nanti aku tanyain Bunda," jawab Ran polos.
"Oke!" Selin membalas dengan ceria. Tepat saat kaki gadis itu menapaki anak tangga terakhir, tiba-tiba ia menepuk kepala. "Aduh, aku lupa! Ran, tunggu sini sebentar."
Selin lantas ambil langkah seribu, kembali menuju kamarnya. Ditinggal berdua dengan kakak Selin yang galak, Ran otomatis mati kutu.
Diam-diam, sambil curi-curi pandang, Ran mulai penasaran penasaran. Seperti apa rasanya mempunyai kakak laki-laki yang hidup? Apakah... Kangmas akan menjadi pendiam seperti Mattéo ini?
"Matt, ya?" sapa Ran. "Gimana rasanya pindah ke Indonesia?" Entah apa yang membuat gadis kecil itu berani bertanya. Yang jelas, Mattéo jadi meliriknya sedetik.
"Kamu... suka, di sini?" lanjut Ran. Nada polosnya menandakan dia berpositif thinking karena Selin bersikap begitu ramah. Mungkin keramahan Selin dan Om Vic bisa menular sedikit pada si kakak.
"Nggak. Negara kalian ini terlalu percaya dengan takhayul dan omong kosong."
Jawaban Mattéo membuat Ran kicep seketika. Percakapan mati di udara. Untungnya, Selin segera kembali dan menyodorkan boneka kelinci gendut Totoro ke arah Ran.
"Ini, tadi kan kamu suka banget. Bawa aja, Ran. Hadiah karena kamu sudah mau berteman denganku." Senyum Selin yang begitu lebar dan boneka itu sukses membuat Rak terbelalak.
"Seriusan ini, Sel? Buat aku?"
"Iya!"
Dua gadis itu melanjutkan langkah menuju ruang tamu, di mana ayah Ran sudah menunggu, mendahului Mattéo yang masih berdiri di anak tangga.
Dalam perjalanan pulang bersama Ayah, sambil memeluk boneka pemberian Selin, pikiran Ran sekilas berkelana. Kalimat Mattéo yang ketus membuatnya bertanya-tanya.
Ada apa sih, sama bocah blasteran songong itu? Punya masalah apa dia dengan Indonesia?
À Suivre.
1552 mots.
**
A/N:
eeeh, bersambung 🤭
aku sebagai otor mau say hi dulu deh.
terutama untuk silent reader di cerita ini.
haloooo~
segenap boneka Totoro dan anakannya mengucapkan; jangan lupa Vote dan Komen! 🐇
betewe ini cerita setan-setanan bukan si? ngapa ada boneka yak? hahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top