Bibit · 4
Jakarta, 2011
"Wah! Ini rumah kita, Yah, Bun?"
Kaki kecil Ran melompat keluar dari taksi, langsung menjurus ke halaman sebuah rumah satu lantai bercat putih yang minimalis.
Gaya rumah itu sungguh berbeda dari tempat tinggal Eyang Uti di Jogja. Tak ada lagi arsitektur Jawa dalam bangunan megah rumah Joglo. Kini, hunian modern yang asri menyambut mereka.
"Welcome home, Ran." Sakti mengusap rambut gadis kecilnya, membuat senyum lima senti terbit di bibir Rantika.
"Kok sudah rame tamannya, Yah? Ayah yang tanam, ya?" Ran bertanya saat menjelajahi halam rumah itu pertama kali.
Sakti mengangguk sambil menjelaskan, "Iya, Ayah tanami sekalian waktu bangun rumahnya."
Ran tersenyum lebar. Pasalnya, sang ayah adalah arsitek gagal sarjana yang hobi berkebun. Tanaman dan kembang adalah satu-satunya hal yang menghubungkan Sakti dan ibu mertuanya—selain mencintai Ajeng, tentu saja. Itu lah sebabnya, rumah keluarga Kuncoro di Yogyakarta asri dengan penghijauan di taman halaman. Ayah dan Eyang Putri adalah duo green thumb sejati yang kompak berkolaborasi.
Ran menebarkan pandangnya, masih tersenyum begitu lebar saat mendapati beberapa flora yang dia kenali. Tumbuhan yang sama seperti di rumah Jogja.
"Itu pohon cempaka ya, Yah?" tunjuk Ran ke arah pojok halaman.
Sakti mengangguk.
"Kalo itu... jasmine!"
Tebakan Ran berikutnya tepat sasaran, pohon melati bisa dengan mudah dikenali karena sudah berbunga sebagian.
Selanjutnya, Ran mengerutkan dahi pada tumbuhan asing yang ditanam lurus menempel sepanjang pagar, berdiri tegak bagaikan lidi hijau.
"Itu...?" Ran mengerucutkan bibir, tanda menyerah.
"Sedap malam, Nduk. Wajib itu." Kali ini Bunda yang menjawab, tepat setelah menyerahkan koper besar terakhir dari bagasi taksi kepada Ayah.
"Oooo...," gumam Ran. Dia benar-benar miss sama kembang yang satu itu, karena di memori otaknya, sedap malam selalu berwarna putih. Kuncup hijau itu tampak asing tanpa bunga.
Padahal, kata Bunda, sedap malam adalah lambang keluarga Kuncoro. Tolak bala, jalan pulang, dan pertanda tamu datang. Jembatan dua alam, pengingat dan perekat akan daulat Tuhan segala alam. Malam yang wangi, menandakan kuasa-Nya tak pernah lelap. Gusti Allah mboten sare.
"Kalau itu, kates (pepaya) ya, Bun?" Ran menunjuk pohon kurus berbatang lurus di sudut lain halaman. Lebih ke arah samping rumah, menempati sebaris jalan sempit menuju area jemuran di belakang, seakan sengaja untuk tidak dipertontonkan.
"Iya," ucap Ajeng.
"Biar kita nggak disantet orang ya, Bun?" lanjut Ran.
Ajeng langsung bungkam. Kalau bukan karena paksaan ibunya—yang lucunya, berdalih sama persis dengan Ran—maka Ajeng ogah sekali menanam pohon pepaya di halaman rumah.
Lebih baik sedia payung sebelum hujan, kurang lebih itulah argumen preventif yang diutarakan Ibu terhadap Ajeng. Sebenarnya, Ajeng tidak setuju. Toh kalau mau benar-benar menjaga, kenapa dia tidak jaga sikap dan baik-baik terhadap sesama saja, agar tak ada orang yang iri dengki hingga memutuskan untuk menyantet mereka? Itu lebih logis dan efektif, kan?
Sudah jadi cerita lama bahwa Ajeng dan ibunya selalu punya perspektif berbeda. Demikian, Ajeng masih ingin menjadi anak yang tidak durhaka. Maka, tertanamlah pohon kates itu.
"Ran, sini... coba lihat." Suara Sakti membahana, membuat gadis kecil itu menoleh.
"Apa, Yah?"
"Tuh...." Sakti menunjuk langit-langit kanopi teralis dengan tanaman rambat yang menggagahi garasi rumah. "Tebak, yang ini tumbuhan apa?"
Ran mendongak tinggi-tinggi, lalu mengerutkan kening. "Mmmm... apa ya, Yah? Nggak tau."
Gadis kecil itu selalu kesulitan mengidentifikasi ketika tidak ada bunga atau buah pada satu tumbuhan. Sakti tertawa sebelum membisikkan kata pada telinga mungil anaknya.
"Mar-ki-sa."
Mata Ran membulat. "Markisa, Yah? Yang dari rumah Yang Uti??"
"Iya, betul. Ini bibitnya dibawa dari rumah Jogja, lho! Jadi buah markisa di sini itu anakan dari kebun Eyang Putri."
"Waaaah! ASYIK!!"
Sakti tertawa puas melihat mata Ran berbinar-binar. Sang ayah sadar, dia telah sukses membangun 'rumah' baru untuk anaknya.
**
Ran dan Sakti berjalan mengitari kompleks perumahan baru. Rumah-rumah berjejer rapi, sebagian besar masih kosong, siap huni bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas yang mampu membeli.
Meskipun terletak di daerah Tebet Dalam kota Jakarta, ternyata masih ada lahan kosong yang rimbun dengan pepohonan di sudut blok pertama dari gerbang masuk kompleks. Ran menamainya 'kebun satpam', karena memang letaknya tak jauh dari pos penjagaan.
Di kebun itu, terdapat satu pohon sukun yang sangat tinggi dan rimbun.
"Mirip pohonnya Totoro ya, Yah?" Ran menunjuk pohon itu seraya menyebutkan salah satu film favoritnya. Sang ayah buru-buru menurunkan telunjuk Ran.
"Iya, tapi jangan nunjuk-nunjuk gitu, Sayang. Nggak sopan."
Menghabiskan setengah jatah usia bersama keluarga Kuncoro sudah membuat Sakti sedikit banyak paham dengan aturan semesta ini—yang terlihat, juga yang tidak. Pun Sakti sudah terbiasa dengan pertanyaan absurd Ran terhadap alam astral, yang sepertinya terpupuk subur dengan lingkungan keluarganya yang 'ramah hantu'. Sakti telah menerima kenyataan jika anak gadisnya memiliki minat lebih terhadap topik itu.
Sementara Ran mendadak mengernyitkan dahi. "Memangnya Ayah ngelihat penunggu pohon itu?" tanya gadis itu polos.
Bagi Ran, meski ayahnya menyandang nama yang sangat fenomenal—Sakti Pamungkas—namun kenyataannya, Ayah tidak ada sakti-saktinya sama sekali.
Sama seperti Bunda, Ayah lumayan paham dengan hal-hal 'beginian'. Namun berbanding terbalik dengan Bunda yang bisa merasakan kehadiran 'mereka', Ayah sama sekali... bebal. Tumpul. Tak peka.
"Semua tempat ya ada, Ran. Di mana-mana, mereka pasti ada. Makanya kita jaga-jaga saja, bersikap sopan dan respect sama makhluk lain. Inget kan, yang diajarin Bunda sama Eyang Putri?" Ayah berkata sambil menuntun Ran menjauh dari kebun itu.
"Eh... iya, ya," ucap Ran buru-buru sambil memasukkan telunjuk ke dalam mulut, mengulum ruas jarinya itu sebagai tindakan tolak bala, sambil berharap penunggu di sana sebaik Totoro dan tidak mudah tersinggung—tidak akan marah hanya karena ditunjuk.
Saat perjalanan pulang, ayah dan anak itu mengambil rute yang memutar. Ran menemukan satu bangunan yang begitu menarik perhatiannya; rumah paling besar bergaya victoria di ujung blok sayap kanan, hanya berjarak 200 meter dari rumah mereka.
"Wuah! Ini rumahnya bagus banget, Yah!" Ran menganga terkagum-kagum.
Pagar besi tinggi berwarna putih dengan ukiran meliuk membatasi jalanan paving dan halaman luas berhambur rumput jepang. Taman buatan yang menampilkan bukit-bukit kecil seperti dalam dunia Teletubbies membangkitkan imajinasi kecil Ran. Bangunan rumah bertingkat dengan pilar raksasa dan rimbun pohon mangga yang—mata Ran membulat—ada ayunannya! Rumah ini benar-benar jelmaan sebuah istana.
"Kenapa kita nggak beli rumah yang ini aja, Yah? Ran suka banget!" Mata bocah itu semakin berbinar.
"Terlalu mahal, Ran. Uang kita nggak cukup." Sakti menjawab blak-blakan, membuat Ran bungkam seketika.
"Hmmm... Ayah boleh pecahin celengan kukuruyuk Ran, kok. Pake uangnya buat nombok beli rumah ini."
Mendengar ocehan polos anak itu, Sakti tak kuasa menahan tawa.
"Kenapa, Yah? Kurang, ya? Ran bisa bantu nabung lagi, kalo masih kurang. Nanti uang sangu ke sekolah baru ditabung aja buat pindahan ke sini...."
Sakti jongkok di hadapan putrinya, tersenyum sambil menahan tawa yang masih tersisa.
"Nggak bisa, Ran...."
"Kenapa?"
"Rumah ini sudah ada yang beli duluan."
"Siapa? Ayah kenal? Ayah yang jual rumah ini, ya?" Nalar kecil Ran langsung berkelana. Keluarga bangsawan mana yang akan menempati istana ini?
"Iya." Pendek saja jawaban Sakti, membuat Ran memberengut. Rasanya argumen sang ayah sangat-sangat diragukan.
"Nanti Ayah ajak kamu main-main ke rumah itu, kalau penghuninya sudah datang. Oke?" ucap Sakti seakan-akan bisa membaca jelas keraguan di wajah putrinya.
Ran mengangguk setuju dan menggenggam jemari ayahnya seraya dituntun pulang. Sekali lagi, Ran menoleh ke arah rumah itu.
Tak bisa dipungkiri, kini benak gadis kecil itu dipenuhi rasa penasaran yang menggantung.
Kata Bulik Jani, tempat bersejarah, bangunan megah, atau rumah-rumah tua bekas kolonial umumnya diisi hantu-hantu kompeni berwujud orang-orang Belanda, merupakan arwah para kompeni pada jaman penjajahan Belanda yang dibabat saat pendudukan Jepang.
Bulik Jani bilang, hantu kompeni biasanya suka dengan tempat-tempat yang bersih dan bagus, karena mereka adalah orang-orang yang 'berkelas' selama hidupnya.
Ran sendiri belum pernah bertemu hantu kompeni—ralat, malah belum pernah ketemu hantu manapun—sedihnya. Maka wajar kan, kalau rasa ingin tahu gadis itu semakin meletup?
Berbeda dengan hantu-hantu lokal yang biasa Bulik Jani jabarkan di Jogja, kali ini Ran bersemangat sekali ingin mengulik suatu entitas baru. Mungkin hantu kompeni akan lebih ramah dan mau berbaik hati menampakkan diri pada Ran, menjadi temannya yang baik.
Ya, semoga ada hantu baik hati di luar sana yang mau menjadi temannya di tempat baru ini.
À Suivre.
1301 mots.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top