The Curse of Beauty [3]

Demi menuntaskan keingintahuanku tentang apa yang sebenarnya terjadi, aku terpaksa mulai memata-matai mamaku sendiri. Aku tahu Mama terlibat hubungan terlarang dengan seseorang. Jika sebelumnya terkesan karena Mama ingin membalas perlakuan Papa, kini aku tahu kebenaran di baliknya.

Aku mencari tahu lebih detail tentang pasangan yang berminat pada aktivitas seksual menyimpang seperti swinger. Walau untuk itu aku harus menahan mual dan mencegah diriku memuntahi laptop. Aku juga diam-diam berusaha menguping jika Mama bicara di ponselnya.

Meski di depan Papa aku mengancam akan membeberkan semua yang kutahu kepada kedua kakakku, aku masih menutup mulut. Karena aku bingung harus memulai dari mana. Selain itu, aku harus punya bukti sebelum menjadi seorang pengadu, kan?

Ketika Mama tidak ada di rumah, aku membongkar ruang kerja yang pernah dibaginya dengan Papa. Aku sampai mendongkel laci terkunci dan menemukan setumpuk foto pria dan wanita muda yang menarik secara fisik. Di belakang foto-foto itu ada data pribadi yang cukup lengkap. Aku tak berani menduga apakah jasa mereka pernah digunakan oleh orangtuaku.

Demi menemukan website khusus yang disebut-sebut pacar Papa, aku membuka laptop Mama tanpa izin. Tapi aku tidak menemukan jejak digital apa pun. Entah karena aku memang termasuk gaptek atau Mama tidak pernah menggunakan laptop itu seperti yang kucurigai.

Namun, hasil berbeda kudapat tatkala memeriksa ponsel Mama. Ketika itu Mama sedang berada di kamar mandi. Aku memanfaatkan waktu kurang dari lima menit untuk mencari tahu. Aku mengirim bukti-bukti yang kutemukan ke ponselku sendiri sebelum menghapus jejak di gawai Mama. Andaipun Mama tahu, aku tidak peduli.

Hasil dari menguntit Mama berhari-hari, akhirnya membuahkan hasil karena bantuan Kimi. Suatu hari, dia melihat Mama sedang makan malam dengan pria muda. Tanpa pikir panjang, aku buru-buru menuju restoran yang disebut Kimi. Kuminta sahabatku pulang karena aku tidak mau dia ikut campur dalam urusan memalukan ini. Aku sengaja menunggu hingga Mama selesai makan. Aku lebih suka konfrontasi demi membuat segalanya lebih jelas. Cukup sudah aku dibohongi bertahun-tahun.

Karena itu, aku mengadang Mama dan laki-laki muda yang digelayutinya saat mereka meninggalkan restoran. Kembali, rasa mual yang makin familier itu bergolak di perutku. Sekuat tenaga aku menahannya agar bisa tampil tegar dan dingin.

"Ma...."

Aku cukup memanggil Mama dengan sepenggal kata itu. Mama berbalik. Dan aku bisa melihat wajahnya kehilangan cahaya. Mama melepaskan pegangannya di tangan lelaki itu. Kekasih Mama menatapku penuh perhatian, tapi tidak berkata apa-apa. Panggilanku tadi sudah cukup menjelaskan segalanya. Mama memaku diri hanya dua meter dariku.

"Jadi kayak gini sebenarnya? Apa sekarang Mama bahagia? Udah ketemu orang yang bisa ngerti dan sebagainya itu?" tanyaku dengan suara pelan.

Aku makin marah karena mendengar kalimat pembelaan yang bodoh. "Ini nggak kayak yang kamu pikir, Lea. Mama dan...."

Aku mengibaskan tangan di depan wajahku. "Ma, jangan kira aku bisa dibodohi terus-terusan! Aku udah tahu segalanya. Tentang pasangan-pasangan yang Mama dan Papa undang untuk bersenang-senang. Apa istilahnya? Swinger kan, ya?" cerocosku dengan nada dingin. "Heran juga, gimana pasangan asing yang cuma dimanfaatin untuk memuaskan nafsu, malah bisa bikin Mama dan Papa akhirnya sepakat berpisah. Puber kedua? Jatuh cinta sama orang-orang yang usianya nggak jauh dari anak-anak Mama dan Papa? Aku cuma merasa...." Ternyata aku tidak sampai hati untuk mengucapkan kata "jijik".

Setelah itu, aku berbalik tanpa pernah memberi Mama kesempatan untuk bicara. Aku pulang ke rumah dengan jantung seakan hendak pecah. Seperti ketika memergoki Papa dan kekasihnya, tidak ada air mata yang mengalir. Akan tetapi, aku tahu bahwa ada yang rusak di dalam hidupku. Mama dan Papa menyembunyikan kebusukan yang kukira cuma ada di dunia fiksi.

Pertanyaan besar yang mungkin takkan pernah terjawab, sudah berapa lama kebejatan ini berlangsung? Sejak kapan Mama dan Papa tertarik untuk melibatkan orang asing untuk memanaskan ranjang mereka? Bukankah apa yang mereka lakukan itu termasuk kehinaan yang cuma dilakukan oleh binatang?

Hal pertama yang kulakukan setelah mampu tiba di rumah tanpa terlibat insiden apa pun meski konsentrasiku kocar-kacir, menelepon kedua kakakku. Aku tidak kuasa menyimpan semuanya sendiri jika masih ingin waras. Mas Troy berkali-kali menggeram marah dan berjanji akan segera pulang ke Bogor. Sementara Mbak Ilsa malah berteriak histeris hingga telingaku hendak pecah. Keluargaku runtuh ripuh.

***

Masalah yang bertubi-tubi terasa menghantam dan melempar-lemparkan hidupku ke berbagai arah. Seolah semuanya belum cukup dramatis, aku menemukan satu lagi titik kehancuran dalam hidupku. Melumpuhkan dan merusakku untuk selamanya. Sekaligus meyakinkan bahwa apa pun kelebihan fisik yang mungkin kumiliki, pada akhirnya justru memangsaku. Menjadi semacam kutukan yang menyengsarakan hidupku.

Namanya Aldy Sjuman. Usianya awal tigapuluhan. Sosok lelaki matang yang menawan, salah satu dosenku untuk mata kuliah Hukum Agraria. Dosen yang terkenal killer karena mengharamkan ada mahasiswa yang bisa memasuki kelas lebih lambat dibanding dirinya. Jika telat datang ke kelas beliau, lebih baik memutuskan untuk absen saja sekalian. Untungnya, Aldy tidak pelit memberi nilai. Sehingga meski kedisiplinannya kadang menyusahkan, laki-laki itu tetap menjadi salah satu dosen favorit.

Banyak kaum hawa yang menyayangkan tatkala Aldy menikah dengan salah satu eks mahasiswinya. Aldy mirip legenda bagi Fakultas Hukum. Bukan cuma karena kerupawanannya, melainkan juga kualitas keenceran otaknya. Begitu meraih gelar sarjana, Aldy langsung ditawari sebagai dosen tetap. Caranya mengajar mata kuliah Hukum Agraria pun mampu membuat seisi kelas menumpukan seluruh konsentrasi padanya.

Banyak desas-desus yang berkembang seputar Aldy. Mata keranjang, memacari mahasiswinya sendiri. Namun aku tidak pernah memercayai itu karena tidak sekalipun melihat indikasi ke arah sana. Dia dosenku, dan aku menghormatinya.

Itulah sebabnya aku yang terlupa mengumpulkan salah satu tugas penting di hari terakhir, langsung menyanggupi saat Aldy memintaku mengantarkan sendiri pekerjaanku ke rumahnya. Aldy yang kuhubungi lewat ponsel memberikan alamat lengkapnya padaku. Jujur saja, itu tawaran yang sangat murah hati. Aldy yang biasanya tidak bisa menoleransi keterlambatan, kali ini tak keberatan memberi kesempatan kedua untukku.

Aku tiba di rumahnya setelah magrib. Tadinya aku ingin mengantar tugasku besok pagi. Namun itu berarti sudah lewat tenggat waktu yang ditentukan. Aku berusaha keras menghindari keharusan untuk mengulang mata kuliah ini hanya karena kelalaian yang seharusnya tidak terjadi. Meski belum pernah mendatangi perumahan tempat tinggal dosenku itu, rumah Aldy tidaklah sulit dicari. Berjarak hanya sekitar dua kilometer dari kampus, tempat tinggalnya berada di lingkungan yang tergolong nyaman.

Aldy sendiri yang membukakan pintu untukku. Dosenku itu tampak berbeda dengan celana bermuda dan kaus oblong polos berwarna biru cerah. Dia tampak belia, santai, dan rileks. Suatu hal yang tidak pernah kulihat saat di kampus. Senyumnya mengembang saat melihatku.

"Maaf Pak, saya datang jam segini. Saya cuma mau nyerahin tugas." Aku menyodorkan sebuah amplop coklat lumayan tebal. Tugas yang kukerjakan selama dua minggu terakhir, ada di dalamnya.

"Masuk dulu, Leala! Masa kamu mau berdiri aja di sana?" Aldy menyingkir dari pintu, memberiku jalan.

Aku menggeleng. "Udah malam, Pak," kataku tidak enak hati. "Saya mau langsung pulang aja."

Namun Aldy ternyata seorang pembujuk andal. Dia bisa membuatku masuk dan duduk di ruang tamunya. Aku tidak memperhatikan ketika dia menutup pintu rumahnya. Belakangan aku tahu jika istri Aldy yang baru menjadi sarjana kurang dari setahun silam, sedang tidak berada di rumah karena ada urusan pekerjaan di Jakarta. Namun aku sama sekali tidak merasakan adanya bahaya. Aku masih bisa santai dan minum sirup dingin yang disajikannya.

"Istri Bapak cantik," gumamku. Foto pengantin yang terpasang di dinding menunjukkan sosok perempuan menawan berkulit putih. Hidungnya sedang, tapi matanya sangat indah. Rambutnya hitam dan terlihat lebat.

Dosenku malah menatapku lekat hingga membuatku merasa seperti sedang dikuliti. Pipiku terasa panas, terganggu oleh tatapannya yang tajam dan asing. "Lebih cantik kamu, Leala," ujarnya lembut. Aldy yang duduk di depanku, nyaris tidak berkedip.

Setelahnya, lelaki itu mengomentari fisikku dengan nada memuji yang menjengahkan. Aku terperangah. Saat itu mungkin menjadi lima menit terlama dalam hidupku. Aroma bahaya segera memuncaki kepalaku. Dengan perasaan yang tidak keruan, aku buru-buru minta diri. Aku baru beranjak dari tempat duduk saat lelaki itu tahu-tahu sudah berdiri di dekatku.

"Kenapa selama ini kamu selalu cuek sama aku? Padahal, kita ini pasangan yang cocok, Lea. Kamu pintar karena ngelepasin Krishna. Aku senang."

Aku diserang rasa panik yang kian melumpuhkan melihat ekspresinya. Bagaimana bisa dia tahu tentang kisah cinta tidak penting salah satu mahasiswinya? Dengan setengah berlari aku berusaha mencapai pintu. Namun Aldy jauh lebih cepat. Dia segera menutup jarak di antara aku dan satu-satunya jalan keluar yang kutahu. Tubuhnya menghalangi pintu.

Ingatan tentang apa yang terjadi selanjutnya begitu samar di memoriku. Aku hanya ingat tubuhku terbanting di lantai dengan rasa nyeri di sana-sini. Lalu, Aldy menindihku dan berusaha melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Tangannya bergerak liar, berusaha menjamah semua bagian tubuhku. Aku melawan sekuat tenaga, meronta-ronta dan menendang untuk melepaskan diri. Aku bahkan menjerit sekuat tenaga hingga leherku terasa nyeri. Ketika lelaki biadab itu berusaha menciumku, aku menggigit bibirnya kuat-kuat. Aldy memaki pelan dan bersiap merobek blusku bagian depan ketika pintu rumah terpentang lebar. Istri Aldy pulang!

"Aldy!" bentaknya dengan suara penuh emosi. Bulu kudukku meremang mendengarnya.

Aldy buru-buru berdiri. Aku merapikan pakaianku yang berantakan dengan gemetar. Lengan kanan bajuku bahkan sobek. Rambutku yang tadi terikat telah terurai tidak keruan.

"Sayang, kamu sudah pulang? Mestinya kamu baru balik besok siang, kan?"

Aku terpukul mendengarnya. Aldy tetap santai dan terkendali meski baru saja berusaha melakukan tindakan nista terhadapku. Wajah istrinya tampak berubah warna tiap beberapa detik. Betapa banyak orang sinting di sekitarku.

"Aku akan menuntutmu...." kataku dengan napas memburu. Tubuhku gemetar oleh sisa rasa takut dan kemurkaan yang membelit jadi satu.

"Menuntutku untuk apa?" tanya Aldy tanpa kehilangan ketenangan. Lalu kalimatnya ditujukan kepada istrinya. "Dia sendiri yang datang ke sini karena tau kamu nggak ada di rumah, Sayang."

Aku menahan rasa muak yang membuat darahku menjadi dingin saat menukas, "Aku akan lapor ke polisi. Untuk tuduhan upaya pemerkosaan...." suaraku sarat dengan dendam. Lalu, kuayunkan tangan kananku sekencang mungkin ke wajah Aldy hingga dua kali. Kuabaikan jeritan istrinya dan rasa nyeri di tanganku. Ketika melihat darah mengalir dari hidungnya, rasa setengah puas membuatku meninggalkan rumah itu. Saat itu aku menyadari, Leala yang lama sudah tidak ada. Musnah tergulung badai.

Lagu : when the party 's over (Billie Eilish)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top