The Curse of Beauty [2]

"Pa..." Aku menghampiri dua orang yang perbedaan usianya sangat jauh itu. Tidak ada yang mendengar panggilanku. Kata-kata Mama bergema di kepalaku. Bukan Mama yang memulainya. Mama nggak pernah berkhianat selama Papa setia.

Kimi berusaha menarik tanganku, mencegah berbuat nekat. Namun aku menggeleng tegas. Di saat bersamaan, tiba-tiba sebuah pemikiran baru melintas di kepalaku. Aku ingin melakukan sesuatu.

"Hai, Sayang," sapaku dengan suara semesra mungkin. Ada rasa mual hebat yang memelintir perutku. Akan tetapi aku mati-matian berusaha bertahan.

Papa menoleh dan ekspresi gembira di wajahnya mendadak punah dalam sapuan cemas dan takut. Gadis muda itu tampak terperangah dan menatapku dengan tajam.

"Siapa dia?" tanyanya pada Papa.

Papa tampak gelagapan. Wajahnya sebentar putih sebentar merah. "Dia..."

"Aku sama kayak kamu," balasku lembut. Mataku menatap Papa yang tampak kehilangan kata-kata. Si gadis menatapku dan Papa berganti-ganti. Wajahnya tampak menahan marah.

"Lea, apa yang kamu lakukan di sini?" Aku bisa mendengar suara Papa yang bergetar.

"Sayang, kenapa seharian ini nggak nelepon, sih?" Aku memeluk lengan kanan Papa yang bebas. Sungguh, rasa mualku semakin menjadi-jadi. Saat menoleh ke kiri sesaat, aku bisa melihat wajah Kimi seperti baru melihat salah satu adegan horor paling mengerikan dalam hidupnya.

Gadis asing itu menarik lengan kiri Papa dengan wajah marah, berjalan cepat menuju pintu keluar. Aku tidak mau melepaskan kesempatan untuk membuat malu Papa yang selama ini kuyakin tidak bersalah. Sudah kepalang basah, lebih baik kami semua hancur menjadi debu. Karena itu, aku mengekori mereka berdua meski harus melepaskan pegangan tanganku.

"Siapa cewek berengsek itu?" tanyanya dengan nada tinggi. Aku yang tertinggal selangkah di belakang Papa, menahan geram mendengar kalimat tak sopannya. Kepalaku mulai terasa nyeri karena kejutan yang kudapat hari ini. Namun tampaknya ini masih semacam pemanasan. Masih jauh dari selesai.

"Apakah kita bisa ketemu malam ini? Atau besok?" Aku menyela sebelum Papa menjawab. Gadis muda itu tampak murka. Dia berhenti di dekat pintu sambil melepaskan pegangannya dari lengan Papa, menyumpahkan beberapa kata makian yang tidak merdu di telinga. Hingga kemudian kata-katanya ditujukan kepada Papa.

"Kamu dan istrimu sepakat cuma pakai aku dan Richard selama tiga bulan terakhir, kan? Kenapa tiba-tiba ada cewek ini?" Dia menatapku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

"Tenanglah, kamu jangan marah-marah begini," Papa berusaha membujuk gadis itu. "Nanti orang-orang bisa dengar."

"Aku nggak peduli!" balasnya galak. "Selama kita berempat sering party, kita udah komit untuk nggak ikut acara sama yang lain, kan? Kecuali memang udah bosan dan mau ganti suasana. Kamu sendiri yang bilang kalau kalian akan cerai. Kamu lebih milih aku sementara istrimu dan Richard...."

Kepalaku seakan dihantam godam berkali-kali. Dari cerocos panjang gadis muda yang murka ini, aku bisa menangkap banyak kata-kata yang tak pernah terbayangkan. Swinger, iklan di website khusus untuk bertukar pasangan, dan entah istilah apalagi. Jadi, ini cara yang dipilih orangtuaku untuk membuat cinta mereka tetap bergelora?

Setelah gadis muda tadi merasa puas menuntaskan rentetan kalimat yang tak hanya didengar oleh kami bertiga, dia meninggalkan butik sambil membanting pintunya. Sementara rasa sedih, jijik, mual, sakit hati memilin-milin perut dan dadaku. Ketika Papa berbalik, dia menatapku dengan pandangan yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Bukan marah. Bukan pula takut. Melainkan takluk.

"Lea..."

Aku mengibaskan tanganku dengan gerakan cepat. Seakan aku ingin menyingkirkan debu dari sana. "Nggak usah membela diri, Pa! Aku akan ngomong semua yang kulihat dan kudengar hari ini sama kakak-kakakku. Dengan senang hati."

Papa menarik lenganku. Ekspresinya tidak terbaca. "Lea, Papa nggak mau ada masalah baru di rumah..."

Aku tertawa sumbang. Kulepaskan tangan Papa dengan gerakan tenang.

"Maaf Pa, kali ini aku nggak punya toleransi sama sekali. Papa dan Mama punya terlalu banyak dosa yang menjijikkan. Mama dan Papa selalu mengajarkan kami tentang menjaga sikap dan omong kosong lainnya. Ternyata, kalian adalah pasangan hebat yang punya cara menakjubkan untuk menghindari kebosanan," kataku dingin.

"Lea..."

"Udah Pa, nggak ada gunanya bela diri. Aku udah dengar terlalu banyak. Bahkan orang-orang di butik ini. Berdoalah semoga nggak ada yang kenal Papa di sini. Karena kalau sebaliknya, aku nggak berani ngebayangin yang akan terjadi." Bahuku terkedik.

Papa masih ingin mengatakan sesuatu, tapi aku buru-buru berbalik dan berjalan cepat ke arah Kimi. Aku juga menarik lengan sahabatku untuk bergabung dengan Ravel. Beberapa orang yang kemungkinan besar ikut menguping pembicaraan tadi, berpura-pura tidak terjadi apa pun. Mungkin karena tidak ingin memancing kehebohan, Papa akhirnya pergi.

Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Dadaku mendadak dipenuhi udara. Napasku teratur satu demi satu. Baru kusadari jika sejak tadi aku lebih banyak menahan napas.

"Lea, barusan tadi kamu ngapain?" tanya Kimi dengan wajah seputih kapas.

"Kenapa? Aku jadi aneh ya?" kataku datar. Aku kewalahan tapi tak tahu caranya untuk menyikapi pengetahuan yang baru kudapat. Aku yang sangat sayang Papa, merasakan ada sesuatu yang berubah di hatiku. Bayangan yang melekat di kepala tentang kedua orangtuaku pun berubah mengerikan. Bagaimana aku bisa menerima kenyataan yang mengerikan ini?

"Kamu ... kamu menghadapi situasi tadi dengan cara ... menakutkan."

Aku tidak menyangka Kimi memilih kata-kata itu. "Serius?" tanyaku tidak percaya.

Kimi mengangguk cepat. "Ya. Kamu jadi ... gimana bilangnya, ya? Hmm ... dingin. Nggak berperasaan. Nggak kayak Leala yang selama ini aku kenal. Kamu ... jadi beda. Padahal tadinya kukira kamu akan nangis atau langsung nelepon mamamu. Memaki cewek tadi, menjambak rambutnya dan minta dia jangan pernah ketemu papamu lagi. Hal-hal kayak gitu rasanya lebih pas. Karena apa yang kulihat dan dengar tadi ... bikin kaget setengah mati." Mata Kimi berkaca-kaca. "Lea ... aku...."

"Kurasa, selamanya aku nggak akan bisa ngelupain hari ini, Kim. Siapa sangka, Papa dan Mama sampai sebejat itu. Aku mungkin polos tapi nggak bodoh. Mereka anggota swinger club." Napasku agak memburu. "Kukira, aku akan mati karena jantungku rasanya mau meledak. Tapi aku salah." Tangan kananku memijat pelipis.

"Kamu kenapa?" tanya Kimi cemas. "Pusing?"

"Kamar mandinya di mana?"

"Yuk, kuantar!" Kimi menggandeng lenganku dan mulai berjalan. Aku mengikutinya dengan tubuh seakan melayang.

Aku takjub karena tidak ada air mata yang menetes, seakan ada sesuatu yang menahan hingga kesedihan dan rasa frustrasiku tak berwujud dalam bentuk tangis. Tapi aku menyadari satu hal yang baru terjadi. Ada yang mati di dadaku. Kasih sayangku pada Papa.

"Itu...."

Kalimat Kimi belum tuntas saat aku menerjang masuk ke dalam toilet lalu muntah hingga perutku terasa nyaris kram dan tenggorokanku perih.

Lagu : I Don't Believe You (P!nk)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top