Saujana Cinta [3]
Kini, Kimi kembali menawari pekerjaan meski untuk posisi yang berbeda. Obrolan sambil lalu yang terpenggal dan kukira akan terlupakan, ternyata sebaliknya. Setelah kuliah usai, sorenya kami memutuskan untuk menonton di bioskop berdua saja. Tadinya aku ingin mengajak Krishna tapi dia harus menemani mamanya.
"Lea, kamu dengar, nggak? Ada lowongan kerja jadi asisten Mbak Zoe. Kerjaannya nggak berat, kok! Dan tetap bisa disambi kuliah karena nggak harus ada di kantor selama delapan jam penuh. Asisten yang kemarin juga masih kuliah, tapi dipecat karena ternyata nggak jujur. Masalahnya apa, aku nggak terlalu ngerti juga."
Aku menoleh ke kanan sambil geleng-geleng kepala. Kami baru keluar dari bioskop yang menayangkan film terbarunya Mark Wahlberg. "Astaga, kamu ngebahas soal kerjaan lagi? Kukira udah lupa."
Kimi malah tersenyum tanpa dosa. "Sayang aja, Lea. Peluang bagus dengan jam kerja fleksibel. Kerjaannya pun nggak terlalu berat. Jarang-jarang bisa dapat yang kayak gini."
"Kalau memang seoke itu, kenapa bukan kamu aja yang mengajukan diri?"
"Aku kan udah terikat kontrak jadi SPG perusahaan rokok sampai tiga bulan ke depan." Kimi mendadak menarik tanganku ke arah sebuah restoran Jepang yang berada di lantai dasar mal. "Kita makan dulu, ya? Aku yang traktir."
"Apa nggak bisa nyari tempat makan yang lebih mahal lagi? Duitmu kan banyak," gurauku.
"Hari ini aku lagi nggak mau bayar mahal untuk makan malam sama kamu. Aku lagi pelit," Kimi menjulurkan lidahnya. Kucubit lengannya dengan gemas saat melewati pintu masuk restoran.
Belakangan ini penghasilan Kimi tampaknya memang meningkat cukup lumayan. Setahuku, Kimi berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Namun belakangan temanku itu mulai suka bersentuhan dengan benda-benda bermerek. Sebagai sahabat yang baik, aku tidak pernah bertanya. Aku juga tidak mau menduga apa-apa. Aku melihatnya sebagai sebuah kewajaran.
Kami sedang menunggu makanan yang sudah dipesan ketika Kimi kembali bersuara. "Kamu beneran nggak tertarik sama tawaranku? Kenapa nggak dipertimbangkan dulu baik-baik?"
"Aku mau fokus beresin kuliah. Setelah kelar, baru deh mulai melebarkan sayap," gurauku. "Lagian, heran banget karena kamu nggak menganggap serius soal Mama dan Papa. Aku pasti dimutilasi kalau nekat kerja sambil kuliah."
"Aku takut kamu keburu pengin nikah begitu kuliah selesai. Tahun depan Krishna bakal jadi sarjana, kan? Lalu kamu menyusul." Kimi menyipitkan mata. "Karena aku jadi saksi betapa kalian saling cinta, nggak mustahil ada yang berniat kawin muda."
Aku tertawa geli karena kata-kata Kimi. Pramusaji datang dengan makanan yang kami pesan. "Ya nggaklah! Secinta-cintanya aku sama Krishna, nggak bakalan kawin muda. Aku pengin punya kerjaan dan karier sendiri yang cukup mapan sebelum mikirin untuk menikah."
"Eh iya, baru ingat. Itu... soal Jordy. Kamu serius pas minggu lalu bilang kalau dia dan teman-temannya bikin taruhan? Untuk bikin kamu dan Krishna putus?"
"Apa nggak ada bahasan lain yang lebih menarik?" sergahku malas. "Kamu menyebut nama Jordy, cuma bikin mood-ku berantakan."
"Lea, taruhannya serius?" desak Kimi.
Aku akhirnya mengangguk. "Pertama sih, aku dengar nggak sengaja waktu ada yang bisik-bisik heboh. Iseng, aku ngomong sama Krishna. Aku nggak tahu dia nanya sama siapa, intinya sih semua jadi lebih jelas. Jordy, Marcus, dan entah siapa lagi memang bikin taruhan. Selain bikin aku dan Krishna putus, kalau mau menang harus bisa jadi pacarku. Soal apa yang jadi hadiahnya, aku nggak tau pasti." Aku menggeleng pelan. "Sinting, kan? Aku tau mereka punya banyak duit. Tapi, males banget nggak sih, dengar cerita tentang anak-anak borju yang bikin taruhan gila dan nggak penting kayak gitu?"
Kimi malah membantah. "Nggak gila, sih! Namanya juga usaha, apa aja pasti dibuat untuk ngedapetin apa yang diinginkan. Kalau soal Jordy, aku sih udah nebak dia memang suka sama kamu. Tapi nggak heran juga, sih! Anak itu kayaknya naksir semua makhluk yang memakai rok. Kalau ada monyet bergaun pun kurasa bakalan dikejar-kejar sama dia. Sayang banget ya, meski Jordy itu cakep, tapi dia murahan."
Aku terbahak-bahak mendengar kalimat pedas dari Kimi. "Kata-katamu itu kejam banget," ujarku setelah berhasil meredam tawa.
Gadis itu malah mengedikkan bahu dengan gaya santai. "Itu kenyataan, kok! Kalau Jordy agak jual mahal dikit, dia akan jadi paket lengkap cowok idaman di kampus kita." Perhatian Kimi teralihkan saat ponselnya berbunyi, menandakan ada pesan WhatsApp yang masuk. Gadis itu mengetikkan balasan lebih dulu sebelum kembali bicara kepadaku.
"Tapi kalau soal Marcus, aku beneran kaget. Maksudku, dia itu kan nggak kayak Jordy. Agak-agak misterius malahan, makanya banyak cewek yang demen. Tapi, gimana bisa dia ikut-ikutan taruhan konyol kayak gitu?"
Lalu, sahabatku itu menghabiskan lebih dari lima menit untuk membahas segala hal tentang Marcus yang sama sekali tidak menarik minatku. Aku tidak terkesan dengan makhluk berhormon testosteron di Fakultas Hukum kecuali Krishna.
"Lea, jadi cewek jangan cantik-cantik amat, kenapa? Risikonya, banyak yang terpesona sampai bikin taruhan segala. Dulu pas kita SMA, rasanya kamu biasa-biasa aja deh. Kenapa sekarang mendadak jadi primadona, ya?" Kimi menyipitkan mata saat memandangku.
"Hah? Primadona? Ngoceh apa sih kamu, Kim?" Aku mengibaskan tangan kananku.
"Halah, Lea! Jangan sok-sokan rendah hati gitu, deh! Nyatanya, kamu memang jadi primadona kampus, kok! Tapi mungkin karena terlalu sibuk pacaran, kamu nggak merhatiin cowok-cowok yang ngences tiap kali kamu lewat."
Itu kalimat yang sangat berlebihan dan tidak masuk akal. Kimi, jauh lebih pas mewakili kata "primadona" yang mendadak dia sebut hari ini. Maka, kami menghabiskan waktu puluhan menit untuk memperdebatkan soal itu.
***
Malam Minggu selalu menjadi saat yang istimewa. Aku dan Krishna biasanya menghabiskan waktu bersama. Seperti remaja lain, kami biasanya merintang waktu dengan makan malam di tempat yang dianggap romantis atau nyaman atau menonton di bioskop. Hari itu, Krishna mengajak makan malam di restoran di kawasan Puncak.
Aku merapatkan jaket, menghalau suhu yang menggigit dan membuat menggigil. Kami baru keluar restoran dan memilih untuk menghabiskan waktu sejenak di area parkir yang luas. Di kejauhan lampu-lampu di Kota Bogor menyajikan pemandangan yang menawan. Krishna melingkarkan lengan kanannya di bahuku.
Kami mengobrol ringan tentang berbagai hal hingga tiba-tiba Krishna menyinggung tentang sahabatku. "Jujur, aku sebenarnya merasa sayang karena Kimi jadi SPG. Tapi nggak mungkin juga aku ngelarang, kan?"
Alisku terangkat. "Kenapa?"
"Karena profesi SPG itu seringnya malah jadi topeng. Banyak di antara mereka yang berprofesi ganda. SPG plus-plus itu memang benar-benar ada." Pacarku tertawa kecil. "Kadang ada yang ngegosipin Kimi. Anak-anak ngebahas soal penampilan Kimi yang sekarang agak berubah. Dalam arti, makin oke. Jadi SPG itu, berapa sih gajinya? Nggak akan..."
"Aku yakin Kimi nggak akan begitu," bantahku. "Walau banyak juga SPG yang nggak bener. Kita sama-sama taulah. Tapi Kimi memang nyari duit untuk biayai keluarganya. Kalau penampilannya lebih oke, itu kan kebutuhan juga. Jujur, jadi SPG itu modal utamanya kan penampilan fisik."
"Mudah-mudahan aja," respons Krishna. "Aku cuma ngerasa agak aneh, kenapa dia suka banget nawarin kerjaan buatmu."
Aku bukan orang yang mudah tersinggung. Namun lain halnya jika ada yang mulai menjelek-jelekkan Kimi.
"Kamu mau ngomong apa? Kamu kira Kimi mau bikin aku celaka? Lagian, dia cuma nawarin dua atau tiga kali. Itu pun karena Kimi pengin aku mulai mikirin soal tanggung jawab, belajar ngurus diri sendiri secara finansial. Meski dia tahu keluargaku cukup mampu untuk biayain keperluanku. Latar belakangnya yang bikin dia kayak gitu. Dia pastinya nggak mau aku kelimpungan kalau sesuatu terjadi sama keluargaku. Kayak yang pernah dia alami," uraiku panjang.
Krishna tampak serbasalah mendengar kalimatku yang tajam. "Maaf, bukan maksudku mau menuduh Kimi itu jahat. Jangan salah ngerti, Lea," bujuknya.
Aku tidak menjawab. Aku hanya berusaha meredakan napasku yang mendadak memburu. Aku sudah cukup mengenal Kimi untuk tahu bagaimana dirinya yang sesungguhnya.
"Lea, aku minta maaf," ulang Krishna.
"Aku nggak marah, cuma kurang suka kalau ada yang menilai Kimi negatif."
Krishna melihatku menarik jaket lagi. Bahkan kali ini gigiku turut beradu. Udara malam ini memang sangat menggigit.
"Kamu kedinginan? Masuk ke mobil yuk! Atau, mau istirahat dulu?" tawarnya dengan suara tenang.
"Istirahat?" tanyaku tak mengerti.
"Iya. Di sekitar sini kan banyak vila. Gimana kalau kita menyewa salah satunya? Ada temanku yang punya vila di sini. Nggak usah lama-lama, satu atau dua jam aja. Setelah itu, baru deh kita pulang."
Aku merasa ada yang salah dengan pendengaranku. Buru-buru aku memalingkan wajah dan menatap Krishna lekat-lekat.
"Kamu mengajakku menyewa vila?" tanyaku cemas. Aku berdoa semoga aku keliru menangkap kalimatnya.
"Iya. Gimana? Mau? Kita kan bisa beristirahat di vila supaya kamu nggak kedinginan." Krishna mendekatkan wajahnya ke arahku sembari mengetatkan pelukan. Hangat napasnya menyapu pipiku.
Aku merasa perutku ditinju. Cowok yang baru saja membicarakan dugaan buruk tentang sahabatku, kini malah mengajakku menyewa vila. Meski Krishna tidak bicara terang-terangan, aku bukan gadis bodoh yang tidak tahu apa tujuannya.
"Lalu kita mau ngapain di vila?" Aku menjauhkan tubuh dari Krishna. "Kamu serius mau mengajakku main dokter-dokteran?" tanyaku pedas. Senyum Krishna memudar dengan cepat.
Lagu : La Samba Primadona (Krakatau)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top