Saujana Cinta [1]
Interupsi,
Novel berjudul "La Samba Primadona" ini pernah kuunggah di Wattpad sekitar dua tahun silam.
Sambil menunggu proses terbitnya, kuposting ulang untuk pembaca yang belum sempat kenalan dengan Leala dan Edgar. Tentunya ini versi yang sudah kuedit.
Selamat membaca. Siapa tau bisa suka.
Aku menyeruput es teh manis dengan penuh nafsu. Tenggorokanku rasanya sangat kering di siang yang terik ini. Kuliah masih setengah jam lagi, tapi wajah dan tubuhku sudah dibanjiri keringat. Tidak ada jejak yang menunjukkan bahwa tempat tinggalku ini benar-benar sesuai dengan julukannya, Kota Hujan. Tidak ada hujan yang mampir di Bogor sejak hampir dua bulan terakhir.
Kantin dipenuhi sejumlah mahasiswa. Aku tidak bisa memikirkan tempat yang lebih nyaman dibanding kantin ini. Tempatnya yang strategis, memudahkanku untuk melihat ruang kuliah dari kejauhan. Aku bisa tahu apakah dosenku sudah datang atau belum.
"Leala, boleh duduk di sini, nggak?"
Aku mendongak, mendapati wajah salah satu seniorku yang dipenuhi senyum. Sebelum aku menjawab, cowok bernama Jordy itu sudah menarik kursi di depanku. Dia meletakkan sebuah piring berisi mi goreng dan sebotol air mineral.
"Tumben sendirian," ucapnya lagi. "Yakin, cuma minum es teh manis? Kalau kamu mau makan sesuatu, aku beliin."
Tawaran yang manis andai aku tidak tahu ada maksud lain di balik kata-kata Jordy. "Kalau aku nggak sendirian, saat ini kamu pasti duduk di kursi lain," balasku lugas.
Cowok itu mengabaikan kalimatku yang sudah jelas bernada menyindir. "Kalau kamu nggak berminat makan di kantin, aku traktir, deh! Kamu tinggal sebut nama tempatnya, aku bakalan..."
"Hai, Lea!" Seseorang melambai dan mendekat. Aku menoleh dan terpesona melihatnya. Aku tahu, mataku pasti dipenuhi binar. Wajahku mungkin memerah dadu. Senyumku mengembang sempurna. Reaksi kimia yang tidak bisa kuredam meski sudah berusaha keras. Hal ini sudah terjadi sejak pertama kali aku dan dia bertemu pandang dalam satu garis lurus.
"Hai, Krish," balasku tak kalah hangat. Sosok yang sama menawan dengan Jordy itu menarik satu kursi lagi di depanku.
"Mau apa kamu duduk satu meja sama Lea, Dy? Masih nekat mau menangin taruhan, bikin kami berdua putus? Mimpi kamu kalau kira aku bakalan diam aja."
Kalimat tajam dari Krishna itu membuat wajah Jordy memucat. Cowok itu batal memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya, menatap Krishna dengan pupil melebar. "Taruhan apa? Jangan ngomong aneh-aneh deh, Krish!"
"Aku juga tahu soal taruhan itu," imbuhku. " Kenapa kalian nggak bikin taruhan yang lebih bermutu, sih?"
Krishna menimpali dengan suara dingin. "Sekarang, kamu bisa pindah ke meja lain. Dan berhentilah berpura-pura polos. Setelah ini, kuharap kamu nggak lagi sengaja dekat-dekat Lea." Cowok itu sengaja mengetuk-ngetukkan jari di atas meja dengan tidak sabar. Jordy akhirnya mengalah tanpa membela diri.
Krishna menghela napas sebelum pamit untuk membeli minuman. Seperti hari Rabu lainnya, dia sudah selesai kuliah. Sementara aku justru baru akan mulai. Cowok satu ini adalah seniorku di Fakultas Hukum. Hatiku langsung kalang kabut begitu pertama kali menambatkan pandang ke arahnya. Acara orientasi mahasiwa baru yang menyebalkan itu akhirnya berubah menjadi momen paling berkesan dalam hidupku.
Ya, kami bertemu saat itu. Mengulang cerita klise yang sudah sering didengungkan. Krishna Zafiro menjadi salah seorang senior menakutkan. Membentak para mahasiswa baru, memasang wajah galak, memberi perintah konyol yang mengerikan. Namun dia tetap tidak bisa menjadi orang yang paling dibenci. Krishna terlalu menawan, itu alasannya. Sehingga para mahasiswi baru justru berlomba-lomba membuat kesalahan hanya agar dihukum olehnya. Setajam itulah pesona Krishna.
Aku mendadak merasa berubah menjadi Cinderella dalam semalam tatkala cowok itu menunjukkan perhatiannya yang terang-terangan setelah mulai kuliah. Kurasa, acara orientasi semacam ini bisa dimasukkan sebagai salah satu cara efektif untuk mengintai makhluk-makhluk menawan di luar sana. Barangkali selevel dengan resepsi pernikahan.
Krishna cukup jangkung, dengan berat yang proporsional. Atletis, tentu saja. Postur yang ada dalam mimpi gadis-gadis. Berkulit kuning langsat, Krishna mempunyai sepasang lesung pipit yang menawan. Rambutnya berwarna kecokelatan, tebal dan sehat. Warna bola matanya sama seperti rambutnya. Hidungnya serasi dengan wajahnya. Intinya, Krishna itu memiliki kombinasi fisik yang aduhai.
"Jangan ngeliatin dengan kagum gitu!" canda kekasihku. Dia sudah kembali duduk di depanku dengan segela jus semangka. Aku tergagap karena tertangkap basah sedang menatapnya penuh konsentrasi.
"Salahmu karena cakep," kataku berani, meski wajah terasa memanas dan perut mulas luar biasa. Aku terbiasa menunjukkan perasaanku pada Krishna. Toh, kami adalah pasangan.
Krishna menyentuh pipiku sekilas. Beberapa pasang mata memperhatikan kami. Bahkan ada yang terbatuk-batuk dengan sengaja. Namun aku dan Krishna memilih untuk mengabaikan saja.
"Kenapa kamu biarin Jordy duduk di sini? Padahal kamu tau kalau dia dan teman-teman berengseknya lagi bikin taruhan gila itu."
"Aku nggak sempat melarang, tau-tau dia udah menarik bangku," aku membela diri. Di depanku, Krishna mengaduk jus dengan sedotan sebelum mulai menyesapnya.
"Aku benci kalau ada cowok yang sengaja tebar pesona di depanmu. Apalagi yang jelas-jelas punya niat busuk kayak Jordy." Krishna menatapku sungguh-sungguh. "Aku nggak mau kamu sampai tergoda."
Aku tertawa geli sambil menggeleng. "Aku nggak akan tergoda, Krish! Aku cewek yang kuat iman," candaku.
Krishna malah cemberut. Namun dia justru terlihat menggemaskan dengan wajah seperti itu. "Aku ini pencemburu, tau! Aku nggak mau kamu didekati cowok lain. Kamu sering nggak nyadar kalau banyak cowok-cowok di kampus ini yang iri sama aku. Banyak yang pengin pacaran sama kamu, Lea. Aku udah lama dengar gosip kalau Jordy dan Marcus memang naksir kamu." Krishna menyebut nama salah satu teman Jordy. "Mereka sengaja bikin taruhan, mungkin supaya jadi tambah semangat."
"Ih, apaan, sih? Memangnya aku multivitamin?" Aku mengibaskan tangan kanan. "Udah ah, aku nggak mau membahas masalah ini. Lagian, kenapa sejak tadi kita harus menyebut-nyebut nama orang lain, sih? Nggak penting banget," protesku.
"Oke, aku yang salah. Udah kubilang, itu karena aku pencemburu," Krishna akhirnya mengalah. Cowok itu mengecek arlojinya. "Kelasmu belum mulai? Udah siang, lho! Dosenmu kan kadang masuk lebih cepat dari jadwal." Krishna mengingatkan sembari menatap tepat ke mataku..
"Kayaknya sih belum," kataku yakin setelah memanjangkan leher dan melihat melalui bahu Krishna. Teman-temanku masih bergerombol di depan ruang kuliah. "Mudah-mudahan aja kali ini sesuai jam masuk, sekitar dua puluh menit lagi," harapku.
"Hei, jangan pacaran melulu! Berempatilah dikit sama orang-orang yang belum punya pasangan." Suara yang sudah sangat akrab di telingaku itu, menginterupsi. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang datang. Kimi, sahabatku sejak duduk di bangku SMP.
"Lho, bukankah seharusnya kami yang mendapat empati?" bantah Krishna. Kimi menarik kursi di sebelahku. "Karena nggak gampang ketemu orang yang tepat. Jadi, kalau udah ada yang pacaran, tolong jangan diganggu," argumen pacarku.
"Lea, aku minta ini," Kimi langsung menyeruput es teh manis yang ada di depanku. Aku mengangguk pelan. Ada titik-titik keringat di pelipis dan kening sahabatku. "Panasnya pol," imbuh Kimi.
Aku dan Krishna sudah sangat terbiasa dengan kehadiran Kimi di antara kami. Tidak ada yang merasa keberatan. Kadang kami bahkan "kencan bertiga" terutama jika Kimi sedang tidak punya pacar.
Krishna melihat jam tangannya lagi sebelum berdiri seraya membenahi letak ranselnya. "Aku pulang dulu, ya? Biasa, ada kencan sama Mama," katanya sambil mengelus puncak kepalaku. Ini adalah salah satu yang kukagumi darinya. Krishna selalu menjadi anak berbakti. Mengantar dan menemani mamanya ke mana-mana tanpa keberatan sedikit pun. Tipe cowok ideal yang mungkin dianggap too good to be true oleh banyak orang.
"Hati-hati nyetirnya, Krish! Jangan ngebut, lho!" pesanku. Krishna menjauh setelah pamit juga pada Kimi.
"Kamu cinta banget sama Krishna, ya? Cuma saran, sih. Kalau cinta sama seseorang, jangan kebangetan, Lea. Sesuai porsi ajalah," canda Kimi.
"Itu kan semacam peristiwa langka, Kim! Jatuh cinta sampai kebangetan versimu itu. Nggak setiap orang yang kita cintai bisa sampai tahap itu, kan?" bantahku. "Iri, ya? Karena lagi nggak punya pacar?" godaku. Kimi mengecimus sebagai respons untuk kata-kataku.
"Sok tau!" balasnya. Kimi memberi isyarat untuk meninggalkan kantin sekarang.
Kami berjalan bersisian di koridor yang panjang. Kampus selalu ramai sepanjang hari. Tempat ini selalu membuatku merasa nyaman, merepresentasikan gambaran masa depan untukku. Begitulah aku memandangnya. Akarku sebelum kelak bergelut di bidang hukum.
"Kamu mau kerja, nggak? Ada lowongan di Medalion," Kimi menyebut nama agensi yang menaunginya sebagai SPG. "Tenang, kerjaannya di kantor, kok!"
Ini lagi. Tawaran ketiga yang diajukan Kimi padaku. Anak ini tidak pernah jenuh mengajukan tawaran serupa sejak setengah tahun terakhir ini. "Kim, aku masih belum berubah pikiran," tolakku. "Aku belum pengin kerja. Aku lebih suka beresin kuliah dulu."
"Lea, nggak ada salahnya kalau..."
Pembicaraan kami tidak tuntas karena mataku menangkap bayangan yang sangat kukenal. Buru-buru aku menarik tangan Kimi. "Ayo, Pak Dosen sudah datang," kataku.
"Lea, sakiit," gerutu Kimi. Aku tidak memedulikan protesnya. Aku memaksanya berjalan lebih cepat.
"Aku pasti akan membalasmu!" ancamnya dengan mata melebar.
Aku selalu suka membuat sahabatku itu kesal. Cara terbaik untuk melakukannya adalah menarik pergelangan tangan dan memaksa Kimi melangkah lebih cepat. Kimi selalu benci hal itu. Karena suka mengenakan sepatu berhak tinggi nan lancip, dia selalu kalang kabut jika kupaksa berlari. Beda dengan diriku yang lebih nyaman dengan sepatu model flat.
"Leaaaaa... jangan lariii...."
Lagu : Saujana (KLa Project)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top