Run to You [2]
"Nanti kamu juga tau," balas Vita penuh teka-teki. Ucapannya menimbulkan derai tawa di antara yang lain. Hanya aku yang bengong dan tampak bodoh karena tidak sepenuhnya mengerti.
Alicia memberi usul setelah pertanyaanku tidak mendapat jawaban memuaskan. "Kita makan siang dulu, yuk! Sudah jam setengah satu, nih!"
Semua menyatakan persetujuan dalam waktu singkat, termasuk aku. Kami meninggalkan Medalion menumpang mobil Melanie. Tadinya aku lebih memilih naik angkutan umum, tapi Reiko malah menggandeng tangan kiriku.
"Nggak usah naik angkutan, bareng kami aja! Kita kan bakalan satu tim. Nggak usah sungkan, Lea."
Aku menurut. Lengan kananku mengempit sebuah amplop coklat yang tebal. Isinya adalah berbagai data seputar mobil baru yang akan dipamerkan itu. Menurut Mbak Zoe, kami harus mengenal produk dengan detail supaya bisa menjawab semua pertanyaan dari konsumen. Artinya, aku harus menghafal semua spesifikasi mobil berjenis SUV itu.
Makan siang itu cukup menyenangkan. Aku menyatakan persetujuan saat ada yang mengusulkan restoran Korea yang tidak terlalu asing untukku. Aku pernah beberapa kali makan di restoran itu bersama Mama atau Krishna.
Keempat teman baruku sepertinya sudah saling kenal cukup lama. Namun sikap mereka padaku tetap hangat. Vita bersikeras membayari makan siang kami. Dan meski baru mengenalku dalam hitungan jam, mereka tidak sungkan bercerita tentang kehidupan pribadi masing-masing.
"Kamu mobil baru ya, Mel?" tanya Reiko sambil menyantap bulgogi pesanannya. Aku menahan napas tanpa sadar, bertanya-tanya apakah mereka juga memiliki profesi ganda seperti yang disebut-sebut Kimi?
"Iya, baru dibeliin Adro," balas Melanie ringan. "Memang bukan mobil baru sih, tapi masih nyaman," imbuhnya kemudian. Aku tidak berani bertanya siapa Adro yang dimaksud. Aku menunduk, berpura-pura berkonsentrasi pada makananku.
"Lho, bukannya kamu masih sama Ryan?" tukas Alicia dengan nada penasaran yang kental.
Melanie tertawa kecil. "Ryan itu cerita basi. Aku udah nggak jalan sama dia hampir dua bulan."
Alicia terkekeh geli. Tawanya menulari yang lain, kecuali aku. Aku hanya tersenyum tipis sambil mengangkat wajah. Aku tidak tahu bagaimana harus merespons kalimat mereka. Karena aku tidak benar-benar tahu apa yang sedang mereka perbincangkan.
"Kamu masih sama Kris?" Giliran Vita yang ditanyai. Gadis itu mengangguk senang.
"Tentu. Aku betah sama Kris. Dia nggak pelit."
"Oh."
Reiko tiba-tiba mengarahkan tatapannya kepada Alicia. "Kamu nggak eksklusif?"
Alicia menggeleng.
"Masih ke mana-mana?"
"Iya."
Melanie tampak berpikir sebelum berkata, "Apa itu nggak... hmm... nyusahin?"
Vita mengamini. "Pastinya sih lebih enak kalau cuma sama satu orang aja. Nggak repot."
Alicia tersenyum tipis. "Aku nggak mau terikat. Belum. Mungkin nanti."
Entah kenapa, kata-kata "eksklusif" atau "ke mana-mana" itu mencubit perasaanku. Mereka masih bertukar cerita tanpa sungkan, seakan aku tidak ada di sana. Seolah aku tidak akan kaget mendengarnya. Mulai dari masalah uang, hingga tempat tidur meski tidak dibahas secara spesifik.
Uniknya, Reiko yang terlihat sangat menjaga penampilan, modal utama jika ingin menarik perhatian kaum lelaki, justru lurus-lurus saja. Itu yang kutangkap dari komentar teman-temanku yang lain. Namun Reiko tidak menunjukkan dia merasa terganggu dengan tema obrolan kami. Dia bahkan terkesan sangat memahami apa yang dilakukan tiga gadis lainnya. Jadi, siapa bilang penampilan bisa menjadi dasar untuk menilai seseorang?
Aku pulang ke tempat indekos dengan segudang cerita yang menghebohkan. Setengah hari bersama teman-teman baruku ternyata membuatku mampu mencerocos bermenit-menit di depan Kimi. Sahabatku itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Aku heran, mereka kok bisa nyantai aja cerita ini-itu. Padahal ada aku di sana," aku geleng-geleng kepala. "Aku sampai kikuk banget, nggak tau harus gimana ngasih respons. Untungnya nggak ada yang nanya pendapatku. Tapi, secara keseluruhan sih, mereka oke. Maksudku, teman-teman baru yang cukup asyik."
Karena khawatir ada bagian dalam diri Kimi yang merasa tersentil, aku buru-buru mengalihkan pembicaraan ke topik yang berbeda.
"Kim, bayarannya gile, ya? Kalau aku bisa dapetin kerjaan kayak gini terus-menerus, bisa cepat kaya nih," gurauku. Kimi tertawa melihat isyaratku.
"Jadi SPG untuk pameran kayak gini memang paling enak, Lea. Bayarannya gede tapi sayangnya nggak selalu ada. Kamu keren lho, bisa dapat kerjaan ini. Berarti Mbak Zoe percaya sama kemampuanmu."
"Kayaknya sih karena kekurangan orang, Kim. Mbak Zoe tadi sempat bilang, SPG yang biasa ikutan di acara kayak gini, lagi punya kerjaan. Termasuk kamu. Makanya aku rada deg-degan karena belum pengalaman. Takutnya malah bikin kecewa. Tapi berhubung teman-teman setim udah tinggi jam terbangnya, kayaknya aku nggak perlu cemas-cemas amat."
Aku menceritakan petunjuk-petunjuk yang diberikan Mbak Zoe. Di ranjang berserakan setumpuk kertas dan brosur berisi data tentang mobil yang akan dipamerkan itu. "Aku harus ngapalin ini semua."
Kimi menyemangatiku. "Ayolah, kamu pasti bisa! Hafalin bagian yang penting-penting aja. Informasi umum yang kira-kira pengin didapat sama calon pembeli." Kimi turut membolak-balik brosur-brosur itu dan menunjukkan bagian mana saja yang sebaiknya kukuasai.
"Kamu pernah dapat job kayak gini?" tanyaku ingin tahu.
Kimi mengangguk tanpa menoleh padaku. "Pernah, tapi udah cukup lama. Kayak yang tadi kubilang, kerjaan kayak gini emang gede bayarannya tapi sifatnya insidentil. Nggak setiap saat ada. Aku lebih suka jadi SPG rokok. Kerjaannya rutin dan bayarannya juga lumayan."
Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Ketika aku bertanya tentang godaan yang disebut-sebut saat berada di Medalion, Kimi cuma memberi penjelasan singkat. "Kita bakalan sering ketemu laki-laki yang suka nyepelein cewek atau manfaatin kesempatan. Pokoknya, kudu tegas kalau menghadapi yang model kayak gini. Ah, aku percaya kamu bisa jaga diri. Nggak usah terlalu cemas."
Hari pertama pameran, tidak ada kendala berarti. Namun aku memang harus berjuang untuk menekan rasa malu karena harus "dipajang" sedemikian rupa. Ini sesuatu yang baru untukku meski aku sudah mendapatkan dua pekerjaan sebelumnya.
Satu lagi yang membebaniku adalah kaki yang pegal luar biasa. Berdiri berjam-jam dengan posisi tubuh tegak memang melelahkan. Belum lagi keharusan untuk bersikap ramah dan selalu siap memberi informasi, dilengkapi dengan senyum bersahabat yang tak boleh lepas.
"Aku baru tau kalau nyari duit itu ternyata capek," kataku sambil menelungkup di ranjang. Seragam yang harus kukenakan selama pameran, masih melekat di tubuhku. Tanganku terentang dengan kepala menghadap ke kiri.
"Itu nggak fair banget. Kamu juga udah ngerasain enaknya," canda Kimi seraya melepaskan tawa halus yang ringan.
Aku mengeluarkan gerutuan lagi yang hanya ditanggapi santai oleh sahabatku. "Semuanya lancar kan, Lea?"
Aku duduk di bibir ranjang. "Lancar, kecuali bagian ini," aku menunjuk rok mini yang menunjukkan nyaris sebagian pahaku.
"Tapi kamu cantik pakai itu," respons Kimi. Dia mengamati wajahku. "Hmm... make-up-mu bagus. Pelajaran kilat selama dua hari berturut-turut kemarin ternyata bermanfaat juga, ya?"
Kimi memang mengajariku berdandan dengan benar selama dua hari penuh, sampai membatalkan janji dengan Ravel yang sempat membuatku kurang nyaman. Kimi juga membantuku menghafal setumpuk brosur yang dibagikan Mbak Zoe.
Sayang, di hari kedua aku mengalami masalah. Seorang calon pembeli yang –menurut tebakanku- sudah berusia nyaris setengah abad, secara terang-terangan mendekatiku. Tanpa banyak basa-basi, lelaki perlente itu bahkan berani memegang tanganku sambil berkata, "Kalau kamu bareng aku malam ini, mau dibayar berapa, Cantik?"
Darahku mendidih. Namun aku berusaha tetap sopan saat menolaknya dengan tegas. Sepanjang sisa waktu hari itu aku mengepalkan tangan dengan wajah panas. Apesnya, masih ada satu lelaki lain yang menawarkan godaan yang kurang lebih sama. Bahkan sampai meremas bokongku segala.
Aku merasa terhina tapi juga tak berdaya. Semua wejangan Mbak Zoe dan kata-kata penyemangat dari Kimi bergaung di kepalaku. Sayang, aku tetap kesulitan meredakan emosi yang membuat jantungku terasa akan pecah berhamburan. Teman-temanku pun tampaknya mendapat godaan senada tapi mereka bisa menghadapinya dengan santai. Aku malah melihat Alicia diraba-raba. Namun gadis itu bisa menjaga ketenangannya dan menjauh dari jangkauan si laki-laki mata keranjang itu tanpa kentara. Begitu jam kerjaku usai, aku menelepon Mbak Zoe.
"Mbak, saya mau berhenti."
Lagu : Toxic (Britney Spears)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top