Run to You [1]
Aku harus menjalani semacam tes masuk yang diselenggarakan oleh Medalion. Mbak Zoe yang mengepalai agensi itu adalah seorang perempuan berusia empatpuluhan yang masih tampak muda. Kimi sendiri yang mengantar dan memperkenalkanku dengan Mbak Zoe. Di rumahnya yang disulap menjadi kantor, ada beberapa orang gadis sebayaku.
"Kim, apa aku keliatan grogi atau nggak pede?" bisikku pada Kimi. Sahabatku tergelak.
"Kamu nggak kayak yang lain. Kamu pede, Lea! Kayak singa yang siap mengacak-acak sarang ayam." Aku tidak bisa menahan tawa mendengar perumpaan yang diucapkan Kimi. Namun aku buru-buru menutup mulut agar suara tawaku tidak menyembur keluar.
Pertama, tinggiku diukur. Mbak Zoe mengharuskan tinggi minimal 165 senti. Aku pun lolos dengan mudah karena tinggiku 173 sentimeter. Lalu ada tes tertulis yang menurut Kimi "hanya sebagai formalitas aja". Aku pun bisa melewatinya tanpa kesulitan.
Terakhir, aku diminta memberi presentasi singkat tentang tujuanku menjadi SPG. Tentu saja aku harus mengarang kalimat berbunga yang menunjukkan keseriusanku. Kemarin aku sudah melatih kata-kataku saat sendirian di kamar mandi.
"Kalau memang lolos dan layak, kalian akan dikontrak dan mulai kerja dalam waktu dekat. Ada beberapa event yang memang butuh banyak SPG," kata Mbak Zoe sebagai pamungkas acara hari itu. Senyumnya mengantar kami pulang.
"Kenapa harus ada tes segala, sih?" gugatku pada Kimi dengan rasa geli yang membuncah. "Kukira, cuma penampilan doang yang dinilai. Sepanjang memenuhi syarat tinggi minimal dan nggak jelek-jelek amat," kataku polos.
Kimi tersenyum kecil. "Di tempat Mbak Zoe memang kayak gitu prosedurnya, rada njlimet. Banyak sih agen lain yang nggak pakai tes-tesan kayak tadi. Lebih mudah dapat kerjaan. Syaratnya memang penampilan fisik kayak kamu bilang tadi. Tapi, gitu deh...."
Aku mengerutkan kening. "Gitu deh gimana?" kejarku penasaran.
"Hmm ... dapat kliennya juga umumnya kelas teri. Bayarannya pun kecil. Kalau sama Mbak Zoe kan beda. Makanya timnya selektif banget pas milih calon SPG. Intinya, biar nggak mengecewakan klien."
Aku belum puas dengan penjelasan Kimi. "Tapi, kamu bilang tes tertulis cuma formalitas aja?"
Kimi mengangguk. "Iya, tapi itu cuma buatmu. Aku yang rekomendasiin kamu. Dan Mbak Zoe percaya sama aku. Cantik-cantik gini, kerjaanku kan selalu jempolan."
Aku mencibir, menggoda sahabatku. "Aku percaya. Kamu kan Kimi Yang Hebat," aku mengedipkan mata.
Sepulang dari Medalion, kami sempat mampir di gerai es krim yang berada di mal, tak jauh dari kantor Medalion. Sepanjang perjalanan, Kimi menyetir mobil dengan santai. Belakangan ini dia membawa pulang sebuah mobil sedan yang cantik ke tempat indekos yang diakuinya sebagai milik Ravel.
"Lea...." panggil Kimi pelan. Nada suaranya terdengar asing di telingaku. Aku menoleh ke arah sahabatku. "Nanti kamu bakalan ketemu cewek-cewek kayak aku. Nggak banyak sih," gumamnya.
"Cewek-cewek kayak kamu?" ulangku dengan alis terangkat.
Kimi mengangguk. Dia tetap tidak menoleh ke arahku. Baru kusadari jika dia menghindari kontak mata denganku. "Aku cuma mau ngasih tahu supaya kamu nggak kaget. Ada SPG yang ngejalanin profesi rangkap. Yang serius nyari duit untuk bayar sekolah atau biayai hidup pun banyak juga. Mbak Zoe orang yang nggak suka mencampuri urusan pribadi. Sepanjang kerjaan beres, nggak akan ada komplain." Kimi berhenti sesaat.
Aku menyergah, "Jangan cemas. Aku ini nggak naif-naif banget deh, Kim. Aku tau kok banyak cewek yang berprofesi ganda. Bukan cuma SPG. Tapi itu pilihan seseorang, bebas-bebas aja. Aku nggak mau ambil pusing. Aku punya masalah sendiri, nggak tertarik untuk nyinyirin hidup orang lain."
Aku lulus dan bisa bergabung dengan Medalion. Dalam kurun waktu seminggu, aku mendapatkan pekerjaan pertamaku. Aku menjadi SPG peluncuran produk minuman ringan di salah satu mal yang berada di Jakarta. Selama menunaikan tugasku sekitar delapan jam, semuanya berjalan mulus.
Berselang empat hari kemudian, aku diberi tanggung jawab baru, mengikuti semacam road show sebuah merek jam tangan yang sedang gencar berpromosi di wilayah Jawa Barat. Tugas selama total tiga hari itu mengharuskanku berangkat ke Bandung dan bolos kuliah selama dua hari.
Kini, aku merasakan sendiri bagaimana harus berusaha menyamankan diri dalam balutan rok mini, stocking, atau sepatu berhak lebih dari tujuh sentimeter. Juga riasan lumayan mencolok yang sebenarnya tidak kusukai. Aku juga harus kuat berdiri berjam-jam, menahan pegal di area kaki.
Dua hari setelah pulang dari Bandung, aku diminta datang ke Medalion. Karena Kimi ada kuliah pagi, dia tidak bisa menemaiku. Aku berdandan rapi tapi tidak berlebihan. Aku mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang digulung rapi sebanyak tiga kali. Ada tali di tiap lengan yang harus kupasang dengan kancing di bagian luar.
Sebagai padanan kemeja putihku, aku mengenakan celana panjang berwarna cokelat. Ini hadiah dari Mbak Ilsa. Dan aku sangat suka celana yang nyaman ini. Saat menelepon kemarin, Mbak Zoe menyinggung sekilas tentang "ada tawaran kerjaan bagus yang sayang untuk dilewatkan". Sekali lagi aku memandangi pantulanku di cermin.
"Kamu udah cantik. Matahari pun pasti minder ngeliat kamu," Kimi menirukan gombalan seorang anak SMA yang kami dengar di mal kemarin.
"Dasar!" Aku masih menyempatkan becermin sekali lagi.
"Kita bareng, ya? Biar aku antar."
Aku buru-buru menggeleng. Dengan tiga langkah panjang aku menyambar tas yang tergeletak di ranjang. Aku memeriksa sejenak isinya dengan gerakan serba cepat.
"Aku nggak mau kamu telat ke kampus. Aku bisa naik angkot," tolakku.
"Nggak akan telat," Kimi melihat jam tangannya. "Apalagi kalau kita berangkat sekarang."
Kimi memaksa untuk mengantarku. Dan sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya. Kadang kala aku merasa jika di tubuh Kimi berdiam sosok seorang diktator. Sahabat cantikku itu tidak suka bila keinginannya dibantah oleh orang lain.
Kimi mengantarku ke rumah Mbak Zoe, dan melambai hangat sambil mengucapkan "semoga berhasil" dengan penuh semangat. Seakan-akan pekerjaanku adalah yang paling hebat di dunia. Hatiku mendadak terasa hangat melihat sikap Kimi.
Suasana kantor agen penyalur SPG itu lumayan ramai. Selain aku, ada empat orang gadis cantik yang usianya tidak jauh beda denganku. Kami berkenalan satu sama lain. Tidak ada wajah familier yang kutemui saat menjalani tes atau dua pekerjaan awalku.
Hari itu, sepertinya dandananku terlalu sederhana dibanding yang lain. Betapa tidak? Melanie tampil sangat cantik dengan rok mini dan blus trendi berbahan sutra. Alicia mengenakan terusan di atas lutut bermotif kembang-kembang. Vita memakai kemeja dan celana panjang sepertiku, tapi dengan model yang seksi dan keren. Celananya memiliki belahan di sisi kiri dan kanan hingga ke paha. Terakhir adalah Reiko yang tidak kalah menawan. Celana panjangnya dipadu dengan blus asimetris yang minggu lalu di-endorse seorang artis di Instagram. Di mataku, penampilan Reiko yang paling mencolok, tapi dalam artian positif.
Keempatnya memakai make-up. Mereka juga menenteng tas dan mengenakan sepatu yang sama cantiknya. Penampilan teman-teman baruku ini jelas-jelas dipersiapkan dengan matang.
Apakah aku lantas menjadi tidak percaya diri? Tidak juga. Aku tergolong orang yang cukup mencintai diriku apa adanya. Aku tidak pernah terganggu oleh kekuranganku. Karena aku selalu merasa kalau Tuhan sudah memberikan banyak untukku. Menginginkan apa yang dimiliki orang lain cuma akan menyiksa diri sendiri.
Mbak Zoe memberi pengarahan khusus karena ternyata kami akan terpilih menjadi SPG untuk sebuah pabrikan mobil asal Jepang yang akan berpameran. Pabrikan itu sedang meluncurkan produk terbaru untuk Indonesia. Waktu pameran tidak terlalu lama, hanya sekitar 2 minggu. Namun nilai nominalnya sungguh membuat air liurku menetes.
Sangkaku, aku adalah orang yang tidak mata duitan. Aku tidak pernah terpengaruh karena uang. Namun hari ini aku merasakan sendiri adrenalinku terasa berpacu begitu mendengar jumlah bayaran yang akan kudapatkan.
"Syarat utama, kalian harus mau bekerja keras. Jangan kira jadi SPG itu pekerjaan yang mudah." Tatapan Mbak Zoe menyapu kami berlima. Dua kali bekerja untuk perempuan ini, kalimat semacam itu selalu diucapkannya. "Kalian harus disiplin untuk masalah waktu, nggak boleh nunjukin wajah lelah, fokus sama kerjaan, dan sebaiknya punya kemampuan untuk meyakinkan orang untuk membeli produk yang kalian wakili. Boleh dibilang, jadi SPG itu mirip bintang iklan, dalam versi yang lebih sederhana. Kalian itu punya tanggung jawab yang besar, lho!" paparnya.
Mendadak aku merasa jika pekerjaan ini sangat berat. Mungkin mirip dengan penyelamat dunia dari masalah global warming yang sedang meresahkan para pecinta lingkungan.
"Ingat, jangan terpengaruh sama ucapan atau godaan dari para pengunjung. Hal-hal kayak gitu udah jamak terjadi. Perempuan selalu menarik untuk diamati dan diganggu. Lagian, bukan hal aneh kalau banyak yang berpandangan miring sama profesi kalian. Kalau masih bisa, abaikan aja. Yang penting, jangan sampai ngecewain klien. Jangan bikin malu Medalion juga."
Mbak Zoe masih menambahkan beberapa kalimat lagi. "Abaikan semua godaan dengan cara yang sopan. Meskipun kalian sebenarnya merasa terhina, lakukan dengan elegan. Artinya, nggak perlu marah atau memaki. Kontrol emosi itu penting banget. Karena kalau sampai gagal, bisa jadi bumerang dan merusak kredibilitas kalian sendiri."
Mbak Zoe memberikan pengarahan tentang tugas yang akan kami emban dengan cukup detail. Aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Apa memang godaan jadi SPG itu parah banget?" tanyaku kemudian kepada teman-teman baruku. Keempat kepala itu menatapku dengan pandangan aneh, seakan aku berasal dari dunia lain.
"Kamu belum pernah jadi SPG, ya?" tanya Melanie dengan kening berkerut.
"Baru dua kali," ujarku sambil menceritakan secara ringkas apa yang terjadi setelah aku diterima di Medalion.
"Godaannya parah!" ungkap Reiko. Senyum terukir di wajahnya yang bermata sipit dan berkulit putih. Dagu Reiko agak lancip, membuat wajahnya terlihat tirus. Namun dia mengimbanginya dengan rambut bergelombang besar sehingga membuat semuanya tampak proporsional.
"Separah apa?" tanyaku ingin tahu. Dadaku berdebar. Diam-diam aku memaki diriku sendiri yang tidak pernah tertarik menanyakan hal semacam ini pada Kimi sebelumnya.
"Nanti kamu juga tau," balas Vita penuh teka-teki. Ucapannya menimbulkan derai tawa di antara yang lain. Hanya aku yang bengong dan tampak bodoh karena tidak sepenuhnya mengerti.
Lagu : Run to You (Whitney Houston)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top