Rainbow of You [2]
"Aku ... aku mau nangis dulu. Kamu diam ... aja. Nyetir aja ... aku nggak apa-apa...."
Lelaki itu menuruti kata-kataku. Mobil kembali bergerak dan aku tersedu-sedu tanpa malu. Memasuki jalan tol sekitar Taman Mini, aku keletihan. Tangisku pun akhirnya berhenti. Aku tidak bisa percaya ketika bibirku tiba-tiba berceloteh lagi tanpa terkendali. "Aku mau makan."
Kalaupun Edgar terkejut, dia tidak menunjukkan. "Kamu mau makan apa?" tanyanya tenang. Dia membenahi posisi kaca spion agar bisa menatapku.
"Apa aja. Yang penting nasi. Nasi goreng, nasi padang, apa pun aku mau. Aku belum makan sejak siang. Lapar," balasku sambil menepuk perutku.
Aku menangkap senyum di matanya. "Menangis membuatmu kelaparan, ya? Baiklah, kita akan cari makanan. Tapi sabar dikit, kita harus keluar tol dulu."
Aku ragu-ragu saat berkata, "Aku pinjam uangmu, ya? Dompetku kan ada di tas."
Edgar tertawa untuk pertama kalinya. Entah apa yang ada di benaknya tentangku saat ini. "Santai aja, nggak usah pusing mikirin uang untuk beli nasi goreng."
"Aku menyedihkan, ya?" kalimat kacau itu malah meluncur dari bibirku. Edgar kembali menatapku lewat spion. Tawanya berhenti.
"Kenapa kamu bilang gitu?"
Aku mendesah dan hampir menangis lagi. "Kamu ngeliat aku dalam kondisi terburuk. Hampir diculik mantan, terluka, kaki terkilir, menangis bermenit-menit kayak orang idiot, ujung-ujungnya kelaparan dan mau pinjam uang untuk beli makanan. Mimpi apa aku kemarin, sampai malang banget kayak gini."
Suaranya terdengar begitu lembut saat mengajukan pertanyaan. "Apa semua itu yang bikin kamu nangis?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Kamu."
"Aku? Kenapa aku membuatmu menangis? Apa tadi aku membuat kakimu makin sakit?" Edgar panik.
"Itu yang bikin aku nangis. Kamu baik banget, padahal kita nggak pernah kenal. Sementara mantan pacar yang ngakunya cinta banget sama aku, malah mau bikin celaka." Aku menghela napas. "Tuh kan, aku jadi mau nangis lagi."
Edgar terdiam. Suasana canggung mendadak melingkupi kami berdua. Aku menggigit lidahku, berharap bisa menelan kembali kata-kata yang sudah telanjur meluncur. Ketika lelaki itu bicara, suaranya seakan berasal dari suatu tempat yang hangat. "Menangislah kalau itu bikin kamu lega."
Namun kali ini aku tidak menuruti nasihatnya. "Aku takut dehidrasi kalau nangisnya kelamaan," jawabku asal-asalan.
Ketika mobil akhirnya menepi, aku segera menyadari bahwa Edgar memenuhi janjinya untuk membelikan makanan untukku. Ada banyak warung tenda yang berderet di sepanjang jalan.
"Kamu mau makan apa? Kalau yang praktis mungkin nasi goreng. Dan di sini ada nasi goreng yang enak. Mau?" Edgar menghadap ke arahku. Aku mengangguk.
"Nasi goreng kambing, kalau ada," kataku cepat. "Kalau nggak ada, nasi goreng seafood atau yang biasa aja."
"Pedas atau tidak?"
Ya ampun, dia bahkan menanyakan tentang tingkat kepedasan yang kuinginkan. "Sedang."
Edgar mengangguk. "Tunggu di sini, ya? Aku pesan dulu."
Sekitar lima menit kemudian Edgar kembali dan menyalakan CD. Suara Marcell menyenandungkan lagu "Mau Dibawa ke Mana". Aku mengambil kesimpulan, lelaki itu tidak ingin mengobrol denganku. Aku bisa memakluminya. Posisinya sangat tidak enak. Bertemu aku dengan kondisi seperti ini. Andai tidak ada sisi kelembutan seorang manusia, tentu dia akan memilih mengabaikan diriku. Toh dia tidak mendapat keuntungan apa-apa selain segudang kerepotan.
Setelahnya, aku bergerak tanpa pertimbangan. Akibatnya mudah ditebak, kakiku yang terkilir mengantarkan rasa nyeri yang luar biasa dan tak tertahankan. Aku mengaduh. Edgar menoleh kaget dan segera melompat keluar dari mobil. Beberapa detik kemudian dia sudah berada di dekatku. Wajahnya menyiratkan kecemasan.
"Ada apa? Mana yang sakit? Apa sebaiknya kamu kubawa ke rumah sakit aja?" tanyanya panik.
Aku membatu seketika. Ada serbuan gelitik di sekitar perutku. "Nggak apa-apa...." suaraku mengambang.
"Tapi kamu kesakitan, kan?"
Aku mengangguk. "Tadi aku bergesernya nggak hati-hati. Lupa kakiku sakit."
"Sekarang masih sakit?"
"Kalau aku nggak bergerak kayaknya nggak apa-apa."
Edgar memeriksa kakiku. "Pergelangan kakimu mulai bengkak. Nanti harus dikompres air hangat."
Mendadak aku tidak punya keberanian untuk menatap wajahnya. Hatiku diserbu oleh perasaan asing yang tak berani kuterjemahkan. Untuk meminimalisir rasa gugup, aku memainkan rambutku dengan ujung jari. Tadi, rambutku yang kriwil digelung rapi. Namun kontak fisik dengan Krishna membuatnya jadi tak karuan. Hingga akhirnya kubiarkan rambutku tergerai begitu saja.
Aku sangat bersyukur ketika saat itu ada yang mengantarkan nasi goreng pesanan Edgar. Kecanggungan kami untuk sementara teratasi. Kukira dia akan pindah ke jok pengemudi untuk makan, ternyata tidak. Dia bertahan di sebelahku meski harus menempati area yang agak sempit karena posisi kakiku.
"Makannya pelan-pelan aja, ya. Mudah-mudahan rasanya pas sama seleramu." Edgar memberikan sepiring nasi goreng yang menyebarkan aroma menggelitik.
Aku akhirnya tidak tahan untuk tidak mengangkat kepala dan menatap matanya. "Apa kamu selalu secerewet ini?" tanyaku tanpa basa-basi. Edgar balas menatapku, tanpa senyum.
"Nggak juga."
Aku tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Kuterima piring yang disodorkannya. "Kamu pesan apa?" tanyaku pelan. Aku memasukkan suapan pertama ke dalam mulutku.
"Sama kayak kamu. Biar yang masak nggak repot."
Aku mengunyah perlahan. Suara sendok beradu dengan piring memenuhi mobil nyaman itu. Kami makan tanpa bicara. Begitu isi piringku tandas, lelaki itu menyodorkan sebotol air mineral. Edgar menghilang sebentar, mungkin untuk membayar pesanan kami.
Di sisa perjalanan, awalnya kami lebih banyak berdiam diri. Mulutku terkunci, perasaanku melayang tak menentu, pikiranku memantul-mantul ke sana kemari. Edgar pun terkesan tidak ingin mengobrol dan lebih suka berkonsentrasi menyetir. Namun itu ternyata hanya sebentar. Karena kemudian dia justru mulai mengajukan pertanyaan.
"Kenapa mantanmu tadi bisa membuatmu terpisah dari yang lain?"
Aku menyelipkan rambut ke belakang telinga kanan. "Dia mencegatku di lobi. Katanya pengin ngobrolin sesuatu. Bodohnya aku, mau aja ngasih kesempatan. Padahal tadi temanku udah melarang mati-matian. Kimi, yang tadi kutelepon."
Edgar dan aku bertukar pandangan lewat spion. "Ada alasan temanmu melarang?"
Aku mendesah. "Entahlah. Mungkin karena mantanku bersikap berengsek setelah kami putus," kataku tanpa menjelaskan lebih rinci.
"Sebelum ini, apa kalian pernah ketemu? Berantem atau apalah?"
"Nggak," responsku."
Lelaki itu geleng-geleng kepala. "Apa sekarang kamu takut? Sama aku, maksudnya."
Aku menjawab cepat, "Nggak. Kalau takut, aku nggak mungkin mau aja kamu antar pulang ke Bogor."
Dia menatapku dari kaca spion. Dalam satu jam yang aneh ini, aku mungkin meletakkan kepercayaan terbesarku pada lelaki di pundak Edgar. "Aku bukan orang jahat yang suka memanfaatkan situasi. Aku akan mastiin kamu sampai rumah tanpa kurang suatu apa pun."
Aku hanya tersenyum tipis, menggumamkan kepercayaanku dalam hati saja.
"Tidurlah! Kamu pasti capek banget. Udah kerja seharian, mengalami hal kayak gini, masih ditambah menangis mirip bayi. Persediaan energimu pasti defisit. Nanti kalau udah nyampe Bogor, aku akan bangunin."
Aku juga sangat ingin tidur. Sayang, mataku tidak mengantuk. Peristiwa malam ini membuat rasa kantuk menjauh. "Aku pengin mendengarmu ngomong. Ceritalah tentang apa aja," kataku tanpa tedeng aling-aling.
Lelaki itu menangkis. "Aku nggak punya cerita yang menarik."
"Nggak percaya. Masa iya hidupmu datar-datar aja? Ayolah, berbagi dikit sama aku. Kita kan nggak punya kesempatan untuk ketemu lagi. Sesekali cerita sama orang asing itu menyehatkan." Aku mulai santai. Di depanku, Edgar menggeleng tegas.
"Kamu bakalan minta aku berhenti buka mulut. Dan aku nggak mau ambil risiko itu."
Aku mencebik. "Curang!"
"Aku?"
"Iya. Kamu banyak nanya sama aku. Giliran aku minta cerita, kamu nggak mau," sungutku.
Dia tampaknya tidak setuju. "Aku nggak banyak nanya, kok! Cuma beberapa aja."
"Tetap aja namanya pertanyaan. Dan aku jawab semuanya dengan jujur."
Dia tiba-tiba mengembalikan perkataanku. "Sesekali cerita sama orang asing itu menyehatkan. Setuju, kan?"
Aku tertawa kecil, tidak kuat menahan rasa geli. Edgar pun tertular oleh tawaku. Dadaku berdenyut misterius.
"Rambutmu unik," tiba-tiba Edgar membelokkan percakapan.
"Unik? Baru kamu yang ngomong kayak gitu." Tangan kananku terangkat, menyentuh rambutku tanpa sadar. "Teman-teman di SMA selalu bilang kalau rambutku mirip buntelan wol," aku tertawa kecil. Terkenang kejailan teman-temanku yang tak pernah memberi komplimen untuk rambutku.
"Rambutmu sama sekali nggak mirip buntelan apa pun. Unik. Mungkin kamu taunya Nicole Kidman berambut lurus. Tapi waktu dia baru berkarir, rambutnya kayak kamu."
Aku tahu itu. Namun aku hanya menutup mulut. "Ed...." panggilku dengan suara canggung. Edgar menatapku lewat spion..
"Ya?" ucapnya setelah aku tak jua membuka mulut.
"Makasih ya. Kamu udah jadi penolongku hari ini. Aku nggak akan bisa membalasmu. Kata-kata aja nggak cukup," ucapku dengan tulus.
"Kamu ngelakuin apa yang nggak pernah dilakoni orang yang mengenalku," cetusnya.
Aku tak mengerti. "Apa?"
"Manggil 'Ed'. Nggak ada yang memotong namaku seenaknya kayak kamu. Tapi kamu bisa lega, aku nggak keberatan."
"Memangnya kamu biasa dipanggil apa?" tanyaku penasaran.
"Edgar atau Gar. Tapi kamu udah bikin aku jadi 'Ed'. Thanks," lelaki itu tersenyum.
Aku terpana.
Lagu : Breathe Again (Toni Braxton)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top