Out of The Blue [2]

"Hai, Lea. Makin cantik aja. Masih betah jadi SPG?"

"Ada apa?" balasku datar datar.

Sungguh, Krishna sangat menawan dalam balutan jas dan dasi. Ada apa dengan cowok-cowok lulusan fakultas hukum ini? Seperti Marcus, Khrisna pun tampak lebih matang dan menawan. Dari pakaiannya terlihat jelas kalau dia punya pekerjaan yang menggiurkan. Apakah dia berkarir menjadi pengacara atau profesi lainnya? Entahlah. Aku tidak tertarik untuk tahu lebih jauh lagi.

"Setauku, pertanyaan paling umum kalau udah lama nggak ketemu seseorang pasti nanya kabar. Atau minimal jawab dulu pertanyaanku tadi," sindirnya lugas. Krishna memamerkan senyum indahnya yang melukis dua buah dekik di pipinya.

"Apa kabar?" kataku enggan.

"Baik. Sangat baik. Kamu?" Matanya mengerjap nakal. Detik itu juga aku bisa merasakan rasa dingin menusuk punggungku.

"Aku juga baik," aku memaksakan untuk bersikap tenang.

"Aku ada urusan kerjaan di sini. Kebetulan aku lihat kamu tadi," Krishna menjelaskan penyebab kehadirannya di depan wajahku. Aku hanya ber-oh sebagai reaksi. "Kamu tetap jadi SPG? Apa itu nggak terlalu rendah kalau ngeliat bakat dan pesonamu?"

Aku memejamkan mata selama dua detik. Apa makhluk ini memang pernah menjadi kekasihku? Mengapa aku tidak pernah melihat kepribadian yang ini?

"Bukan urusanmu. Kalau kamu nggak ada perlu, aku mau pulang. Bye." Aku buru-buru melangkah. Namun tidak mudah bagiku untuk melewati Krishna. Dengan cara yang tidak kentara dia menghalangiku. Aku menatapnya tanpa menyembunyikan rasa kesal yang membuncah di dadaku. Sialnya lagi, Krishna tidak terganggu dengan ekspresi galakku.

"Jangan buru-buru gitu dong, Lea! Kita kan udah lama nggak ketemu. Udah lebih setahun, kan?" Dia memberiku senyuman.

"Lea, kenapa? Krishna gangguin kamu?" Kimi mendadak berdiri di sampingku dengan sikap menantang. Matanya menatap tajam ke arah mantan pacarku itu. Namun cowok itu tidak terpengaruh dan tetap santai.

"Aku cuma pengin ngobrol sama Lea. Nggak ada apa-apa, Kim. Takut amat, sih?"

Kimi mendengus. "Mengingat penyebab kalian putus dan kelakuanmu setelahnya, wajar aku curiga."

Ada semburat merah di wajah Krishna sekilas. "Demi masa lalu, aku cuma mau ngobrol sebentar sama Lea. Ada yang mau kutanyain." Cowok itu memandang ke arahku. "Masa iya kamu takut sama aku?" Ada tantangan di suara Krishna.

Kimi menoleh ke arahku. Aku akhirnya mengangguk. "Lea...." Kimi berusaha mencegah. "Mau ngapain lagi, sih? Mending kita pulang, udah malam, nih."

Kupegang lengannya dengan lembut. "Aku nggak apa-apa." Aku meyakinkan sahabatku meski perasaanku sendiri tak nyaman. Aku cuma tidak ingin membuat Krishna merasa puas karena mengonfirmasi bahwa aku takut padanya.

Kimi akhirnya tidak bisa melakukan apa-apa. Dia berlalu setelah mewanti-wanti supaya aku segera menuntaskan urusan dengan Krishna.

"Kita ngobrol sambil jalan ke tempat parkir, ya? Aku mau pulang," tandasku pada Krishna.

"Nggak masalah."

Untuk mencapai tempat parkir yang luas, kami harus melewati lobi hotel megah ini. Meski sangat ingin segera meninggalkan Krishna, aku tidak bisa berjalan secepat yang kuinginkan. Karena pakaian dan sepatu berhak tinggi yang kukenakan.

"Kamu makin cantik aja," pujinya.

"Aku biasa aja. Nggak berubah," bantahku.

Entah sengaja atau tidak, jemari Krishna menyentuh tanganku sekilas. Dulu, aku langsung tersengat aliran listrik tegangan supertinggi yang bisa merusak otak. Sekarang? Datar saja, hampir seperti menyentuh angin.

"Aku pengin ngajak kamu makan malam," katanya tiba-tiba.

Aku buru-buru menukas, "Aku nggak punya waktu. Aku sibuk, kerjaanku banyak. Lagian tadi katanya ada perlu dan cuma mau ngomong sebentar," kritikku.

Cowok itu menghela napas. "Kenapa kamu benci banget sama aku?" tanyanya lunak.

Aku tersenyum tipis. Tetap tidak menoleh ke arahnya. Mataku lurus memandang ke depan. "Aku nggak benci sama kamu," kataku.

"Leala...." panggilnya.

"Kita cuma punya masa lalu. Kita nggak punya apa pun di masa depan, meski cuma makan malam."

"Kamu kejam banget."

"Aku realistis," bantahku.

Lobi yang luas ini terasa hampir tidak terbatas. Kakiku tidak juga mencapai ujungnya. Perjalanan ini terasa begitu panjang. Belum lagi tempat parkir yang juga luas.

"Aku masih cinta sama kamu."

Aku tersentak mendengar kata-katanya. "Jangan ngomong yang ajaib, deh."

Krishna mendesah, "Sungguh, aku masih cinta sama kamu. Meski sikapku nggak dewasa banget setelah kita putus, aku belum bisa lupa sama kamu. Kamu harus maklum, aku masih muda banget, Lea. Nggak bisa...."

"Sayangnya, aku nggak punya perasaan apa-apa lagi," tukasku cepat.

"Kamu bisa belajar untuk jatuh cinta lagi sama aku. Kayak dulu," katanya mengejutkanku.

"Belajar jatuh cinta? Aku udah berhenti belajar apa pun sejak dua tahun lalu!" suaraku agak meninggi.

Krishna terdiam sejenak. Suasana hiruk-pikuk di lobi seperti suara musik asing. Beberapa panitia acara launching tadi berjarak beberapa meter di depanku. Ada rasa lega karena melihat orang-orang yang kukenal. Diam-diam aku dipenuhi rasa sesal karena tadi tak menuruti Kimi. Ucapan Krishna membuat perasaanku makin tak nyaman.

Kini kami sudah melewati pintu lobi. Di kejauhan aku bisa melihat teman-temanku mulai memasuki mobil yang tadi membawa kami.

"Kamu sebenarnya mau ngomong apa?" desakku. Namun cowok itu tidak merespons. Entah dia tak mendengar kata-kataku atau ada alasan lain. "Krishna, kalau memang nggak ada yang mau dibahas, bisa nggak kamu agak ke kanan? Kamu menghalangi jalanku. Aku mau buru-buru," tegurku tak sabar. Alih-alih menuruti keinginanku, Krishna malah berhenti. Dia menatapku lurus-lurus. Wajahnya tampak serius.

"Kenapa kamu selalu nolak aku? Sinis dan nggak bersahabat? Seolah aku ini penjahat."

Mobil yang akan membawaku pulang masih jauh. Andai aku memanggil Kimi pun, pasti tidak terdengar. Suasana tempat parkir agak lengang karena memang sudah malam. Tempatku berhenti agak terlindung oleh beberapa mobil jip dan SUV yang diparkir bersebelahan. Aku menoleh ke kanan dan segera menyadari jika yang terparkir itu adalah mobil Krishna. Mendadak aku dipenuhi oleh rasa panik.

"Krishna, aku mau pulang. Ini udah malam dan aku capek banget. Aku udah ditunggu," kataku beralasan. "Kamu hati-hati nyetirnya, ya?" Aku buru-buru berjalan. Namun Krishna tidak membiarkanku melangkah lebih jauh. Dia menahan lengan kananku.

"Aku tau semuanya," bibir Krishna tersenyum. Namun di mataku itu mirip seringai binatang buas.

"Tau apa?" Alisku terangkat.

Krishna menunduk dan mendekatkan wajahnya ke arahku. Matanya tampak berbinar senang. "Aku tau soal Reiner. Dia teman salah satu seniorku di kantor. Mereka punya kesenangan yang sama. Aku juga tau, kamu pernah berkali-kali diajak Reiner untuk ... yah ... kamu tau yang kumaksud."

Isi perutku terasa jungkir balik, darahku membeku. Kuberanikan diri menatap wajahnya dengan tenang. "Oh ya? Lalu apa hubungannya sama kamu?"

Krishna menjawab tenang. "Kalau kamu bisa kayak gitu sama Reiner, kenapa selalu nolak aku? Andai pun harus bayar, aku nggak keberatan."

Darahku rasanya berubah menjadi magma yang menggelegak. Cowok ini tidak berubah, bahkan makin kurang ajar.

"Kamu nggak akan sanggup bayar aku," kataku dingin. Aku berupaya melepaskan diri dari cekalannya. Namun tentu saja tenagaku tidak sebanding dengan tenaganya.

"Berapa? Udah deh Lea, jangan munafik! Nggak usah sok jual mahal," bisiknya.

"Apa-apaan sih kamu? Mau maksa aku? Aku nggak mau, Krishna! Walau duitmu banyak, aku nggak tertarik. Aku mau pulang!"

Aku mencoba meronta, tapi hal itu sepertinya justru membuat Krishna marah. "Ikut aku!" bentaknya sambil menarik lenganku. Aku mencoba membalikkan tubuh dengan panik.

"Lepaskan aku!" teriakku. Berharap ada orang yang mendengarku. Namun sepertinya aku tidak bisa berharap banyak. Iring-iringan panitia launching yang tadi ada di depanku, sudah menghilang. Aku bahkan tidak leluasa melihat ke arah mobil yang akan membawaku pulang.

"Kali ini kamu nggak akan bisa lepas dariku." Suara Krishna lirih namun mengancam. High heels yang kukenakan membuat gerakanku menjadi terbatas. Sia-sia aku memukul dan menendang, Krishna sudah membawaku makin mendekati mobilnya. Malangnya lagi, aku bahkan terpeleset dan nyaris terjerembab ke tanah. Saat itu, sebuah sedan melaju pelan di dekat kami. Aku menggunakan kesempatan itu untuk berteriak dan memukuli Krishna.

Aku terjatuh dan merasakan nyeri di kaki kananku yang tadi terpeleset. Pinggul dan bahuku pun nyeri. Masih ditambah rasa berdenyut yang tidak nyaman di lenganku, bekas cengkeraman Krishna. Krishna berusaha meraihku lagi, tapi sebuah suara menghentikannya.

"Hei, apa ada masalah?" Suara seorang lelaki terdengar.

Aku merasa lega sekali. Suaranya seakan berasal dari balik kabut tebal yang kukira takkan ditembus siapa pun. Tanpa pikir panjang aku berteriak, "Dia mau menculikku!"

Krishna berdiri sambil berkata dingin, "Bukan urusanmu. Aku dan pelacur ini punya urusan yang belum kelar. Pergilah dan jangan ikut campur urusan orang. Bajumu bisa kotor."

Aku tidak bisa mengingat detail apa yang terjadi setelahnya. Seingatku, aku meronta-ronta sambil memohon untuk diselamatkan karena itu peluang terakhirku. Hingga Krishna melepaskan cekalannya dan mengempaskanku dengan kasar. Tidak butuh waktu lama hingga Krishna terduduk dengan kepala nyaris membentur bumper mobilnya sendiri. Laki-laki yang baru datang itu kemudian menghampiri dan membantuku bangun.

"Apamu yang terluka?" tanyanya dengan suara lembut. Saat itu aku ingin menangis. Aku bersandar di tubuh orang asing itu sejenak karena kakiku ternyata sangat nyeri.

"Kamu terluka?" ulangnya.

"Aku nggak tau ... tapi kakiku sakit banget. Aduh!" Aku meringis saat mencoba berdiri.

Aku mendengar lelaki itu mendesah. Aku melirik Krishna takut-takut, khawatir dia tiba-tiba menerjangku. Ternyata tidak. Mantan kekasihku itu tampak terlalu lemah untuk sekadar bangun dari duduknya. Entah mana yang lebih menyakitkan bagi Krishna saat ini, wajahnya yang beberapa kali kena bogem mentah, atau harga dirinya yang terluka?

"Kamu nggak bisa jalan? Aku gendong aja, ya? Di mana mobilmu?"

Aku memalingkan wajahku ke arah penolongku. Ternyata mataku hanya mendapati lehernya saja. Aku terpaksa mendongak. Aku tidak melihat manusia biasa, melainkan seorang raksasa menawan berkacamata! 

Lagu : When Love and Hate Collide (Def Leppard)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top