Out of The Blue [1]
Kimi baru keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi membalut tubuhnya. Kimi tampak lebih cantik tanpa riasan. Terkesan muda. "Aku suka kamu kayak gini," aku melontarkan kalimat kacau. Kimi tertawa geli.
"Aku juga suka kamu, tapi aku masih normal. Nggak berminat menjalin hubungan sejenis. Jadi, kamu jangan berharap banyak, ya?" guraunya. Aku menyambar bantal dan melempar ke arahnya.
"Aku mau minta tolong soal Reiner," kataku tiba-tiba. "Belakangan aku makin terganggu karena dia terus ngontak atau datang pas aku kerja."
Kimi tak langsung bersuara. Dia membubuhkan krim malam di wajah dan leher sebelum memakai celana pendek dan kaus tanpa lengan favoritnya "Ravel bilang, biasanya Reiner nggak kayak gitu. Kali ini benar-benar jatuh hati."
"Aku capek ngomong sama Reiner. Dia nggak peduli sama pendapatku. Dia terus aja ngasih perhatian. Akhirnya aku malah merasa jengkel, bukannya tersanjung. Dia mungkin nggak pernah ditolak."
Kimi manggut-manggut. Sambil menguap dia membuka selimut yang sebelumnya terlipat rapi. Setelah menepuk bantalnya dua kali, Kimi menjatuhkan diri di kasur. "Reiner mungkin nggak tau kapan harus berhenti. Itu masalahnya."
Aku membenahi posisiku di ranjang. "Ya, aku setuju," aku mengaminkan. "Reiner terlalu keras kepala untuk nyadar kalau aku udah benar-benar nggak berminat sama dia. Kamu bener banget waktu bilang aku nggak cinta sama dia. Apa sebabnya? Sungguh, aku sendiri nggak tau. Andai bisa menyulap hatiku, tentu aku pengin bisa jatuh hati sama Reiner. Di luar hobinya itu, dia adalah sosok cowok idaman," desahku. Mataku menerawang mengenang hubungan kami.
"Reiner romantis," tukas Kimi.
"Keren."
"Setia meski jelalatan. Kata Ravel, kamu banyak mengubahnya."
"Banyak duit dan nggak pelit."
"Agak cemburuan, dan itu bisa dianggap kelebihan juga," tawa Kimi terurai pelan.
"Selalu berusaha menyenangkanku."
"Sabar. Super sabar malah."
"Selalu punya waktu untukku."
Kami berdua menguraikan kelebihan-kelebihan yang dimiliki Reiner. Ternyata daftarnya cukup panjang. Jauh melebihi kekurangan yang dimilikinya. Ya ampun, dan kenapa aku tetap tidak bisa menyerahkan hatiku dengan utuh padanya? Apa yang salah padaku?
"Aku nggak normal, ya?" tanyaku kelu. Kimi memandangku dengan tatapan tanya. "Reiner punya banyak kelebihan, tapi aku tetap nggak bisa jatuh cinta padanya. Sekarang, aku cuma pengin dia menjauh dari hidupku. Tolong minta bantuan Ravel untuk ngomong sama temannya itu ya, Kim," pintaku.
Kimi melipat kedua tangannya di belakang kepala.
"Oke," balasnya. Gadis itu menarik napas pelan. "Cinta nggak kayak gitu. Nggak ada hitung-hitungan yang bisa ngejelasin alasan seseorang jatuh cinta. Reiner punya segudang kelebihan, tapi tetap nggak bisa bikin kamu terpana. Nggak ada yang bisa menjabarkan penyebabnya. Jawabannya mungkin akan kamu temukan nanti."
Aku membenahi posisi bantalku. "Ada banyak hal yang pengin kuubah di masa depan, Kim. Salah satunya, aku pengin berhenti jadi SPG meski mungkin masih agak lama."
"Kamu mau kerja kantoran?" Kimi menghadap ke arahku dengan ekspresi bertanya.
"Nggak. Aku pengin punya bisnis sendiri. Tapi masih belum yakin mau ngapain. Intinya, aku mau lebih serius ngurus masa depanku."
Kimi berguling ke arahku, terkesan antusias dengan kalimat yang kulontarkan. "Kurasa sebaiknya kita mikirin soal itu berdua. Kamu kan tau sendiri, aku pun mikir hal yang sama. Kita bisa patungan untuk buka usaha, Lea," usulnya.
Aku tertawa pelan sambil menepuk pipi sahabatku sekilas. "Aku memang mau bilang gitu. Cuma rada muter-muter dulu untuk alasan diplomasi."
Kimi mencibir sebelum mencubit lenganku dengan gemas.
***
Mbak Zoe memanggilku dan Kimi ke ruangannya. Hari itu kami sedang libur dan datang hanya untuk mengambil honor. Kimi mengekor di belakangku. Mbak Zoe mengisyaratkan untuk menutup pintu.
"Ada apa, Mbak?" tanya Kimi heran. Biasanya Mbak Zoe bebas bicara di depan semua orang.
"Kalian mau kerjaan?" tanyanya tiba-tiba. Keningku berkerut.
"Memangnya selama ini kami nggak kerja, ya?" tanyaku polos.
"Kali ini acaranya gede, bukan kayak biasa. Masih rokok juga. Perusahaan yang sama. Cuma ini berkaitan dengan launching produk baru. Berminat? Mereka minta aku nyediain lima orang SPG. Tiga kursi udah terisi, tinggal sisanya. Banyak yang ngincer, makanya aku ajak kalian ke sini karena nggak enak ngobrol di depan yang lain."
"Mau, Mbak!" jawaban serempak meluncur dari bibirku dan Kimi.
Mbak Zoe menyindir, "Wah, kalian semangat banget."
Launching produk tentu saja merupakan impian banyak SPG. Selain bayarannya yang berlipat ganda dibanding pekerjaan reguler, acaranya pun biasanya dikemas dengan mewah. Maklum saja, ini mempertaruhkan image perusahaan di mata masyarakat.
"Kapan, Mbak?" tukas Kimi cepat, mengabaikan ekspresi nakal di wajah Mbak Zoe.
"Dua minggu lagi. Tapi, persiapan udah mulai dibuat. Maklum, ini mega proyek dengan biaya gila-gilaan. Jadi pasti acaranya besar-besaran."
Aku masih belum mengerti. "Kenapa kami bisa terpilih, Mbak?"
Mbak Zoe menatapku seolah-olah kepalaku sudah menguap sebagian. "Karena aku mau ngerjain kalian."
"Hah?" bibirku membuka.
"Astaga, anak ini ternyata serius banget ya, Kim?" Mbak Zoe menoleh ke arah Kimi. Kimi tergelak sambil menganggukkan kepala. Aku makin kebingungan melihat mereka.
"Leala," Mbak Zoe kini serius. "Kalian yang dipilih tentu ada alasannya. Yang jadi pertimbangan utama adalah kemampuan kalian. Kriterianya ada beberapa, antara lain keterampilan, pengenalan produk, sama sikap saat bekerja. Terutama pas menghadapi pelanggan yang iseng atau kurang ajar. Kalian kunilai memenuhi kualifikasi." Mbak Zoe memajukan tubuhnya. "Cukup puas sama penjelasanku?"
Aku mengangguk malu. "Cukup, Mbak."
"Ya Tuhan, apa yang sebenarnya dilakukan dua orang sarjana hukum ini di kantorku? Kalau kalian menekuni karier yang sesungguhnya, aku yakin kalian sukses. Tapi ya udahlah, ini jadi keuntunganku. Apa jadinya Zoe tanpa Kimi dan Leala?"
Tidak ada yang bisa menahan tawa mendengar kalimat Mbak Zoe. Apalagi caranya mengucapkan yang benar-benar menggelitik.
"Serius, aku butuh orang-orang yang bekerja dengan sepenuh hati. Nggak menganggap kerjaan ini cuma sambilan untuk ngisi waktu luang dengan imbalan bikin ngiler. Mengelola Medalion nggak gampang. Ada banyak pesaing. Harus selektif milih SPG. Kalian lihat sendiri, yang kerjaannya nggak becus nggak akan lama di sini."
Mbak Zoe meraih gelas dan meminum isinya. "Kalian tahu nggak kalau agency selalu dievaluasi tiap tiga bulan?" tanyanya lagi. Aku dan Kimi menggeleng.
"Itu sebabnya aku nggak main-main soal kerjaan. Kalau hasil evaluasi jelek, maka siap-siap aja nggak dapat kesempatan lagi. Aku harus jaga kualitas kalau mau awet kerja bareng sama perusahaan-perusahaan bagus. Makanya aku sangat menghargai orang-orang yang bekerja dengan serius." Tatapannya menyapu kami berdua.
"Iya Mbak," balasku. "Kami selalu berusaha bekerja sebagaimana harusnya."
Mbak Zoe mengangguk. Senyumnya terarah padaku. "Kesalahanmu cuma satu, pertama kali jadi SPG di acara pameran mobil. Baru dua hari udah mau berhenti. Ingat?"
"Hahaha, tentu aja ingat. Nggak mungkin bisa lupa sampai kapan pun," balasku tergelak.
Mbak Zoe meraih secarik kertas dan menekurinya sesaat. Perhatiannya tercurah di sana.
"Oh ya, karena ini launching tentu prosedurnya agak beda. Artinya, persiapannya lebih serius. Terutama seminggu menjelang hari-H. Mungkin kalian terpaksa mengosongkan jadwal. Bakalan ada semacam training. Karena ini peluncuran produk baru, kalian harus benar-benar punya pengetahuan mendalam. Jadi, nggak bakalan gagap saat ada yang nanya. Ada masalah dengan jadwal yang kosong ini?"
Seperti robot, aku dan Kimi sepakat menggeleng.
"Jadi, kalian setuju, kan?"
"Iya, Mbak," Kimi mewakili.
"Ada beberapa agency dari Jabodetabek yang turut terlibat. Jadi, ini pertarungan gengsi juga. Ingat, kalian jangan sampai bikin namaku jadi rusak, ya? Aku bisa mengandalkan kalian, kan?"
Kimi mendadak jail. "Tentu bisa, Mbak. Apalah jadinya Mbak tanpa aku dan Lea?"
Gelak kembali memenuhi ruangan kecil itu. Aku pribadi merasa terhormat karena mendapat kesempatan ini. Padahal, ada puluhan SPG yang bekerja di bawah komando Mbak Zoe. Namun dia memberikan kesempatan ini padaku, salah satu dari lima kursi yang tersedia.
"Makasih ya, Mbak," kataku tulus.
"Untuk apa?"
"Untuk kesempatannya."
"Halah, jangan lebay!" Tangannya dikibaskan di udara.
Mbak Zoe benar. Kami harus mengosongkan jadwal selama seminggu untuk mengikuti semacam pelatihan. Ada puluhan SPG yang terlibat dan semuanya diharuskan untuk ikut serta. Tujuannya tentu saja untuk membuat kami fasih saat harus menjelaskan tentang produk baru ini kepada para tamu. Tak hanya itu, kami juga mendapat pelatihan bagaimana cara terbaik untuk membujuk pelanggan agar tertarik pada produk ini.
Para SPG juga dihadiahi seragam baru yang sangat kusuka. Baju berlengan panjang dengan kerah model sabrina, berpasangan dengan rok maksi berbelahan lumayan tinggi. Motif batiknya sangat menawan.
Sepanjang menjadi SPG rokok, baru kali ini aku mengenakan seragam yang –dapat dikatakan- tertutup. Biasanya kami diberi mini dress tanpa lengan atau kemeja dipadu dengan celana pendek dari bahan denim. Seragam baru ini mengingatkanku pada seragam pramugari maskapai penerbangan nasional. Cantik dan elegan.
Peluncuran rokok merek baru itu diselenggarakan di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, Hotel Megapolis. Ketika tiba hari-H, aku malah merasa gugup. Aku dan keempat SPG dari Medalion sudah hadir sejak siang meski acara baru dimulai pukul enam sore.
"Aku deg-degan," gumamku pada Kimi. Suara sengaja kurendahkan agar tidak terdengar orang lain. Aku baru saja kembali dari toilet untuk kedua kalinya dalam waktu satu jam terakhir.
"Tenang, aku juga sama kayak kamu," Kimi menyeringai. "Aku cuma berlagak sok cuek aja."
Sebelum acara dimulai, briefing singkat kembali diadakan. Pihak panitia ingin memastikan bahwa para SPG yang menjadi salah satu ujung tombak untuk memperkenalkan produk baru, benar-benar tahu apa tugasnya. Aku merasa mulas. Persis seperti ketika pertama kali mulai melakoni pekerjaanku sebagai SPG. Kimi meremas tanganku, berusaha keras untuk menenangkanku.
Ternyata, kekhawatiranku memang overdosis. Tidak ada sesuatu yang aneh terjadi malam itu. Acara berjalan lancar, nyaris tanpa cela. Panitia dan semua pihak yang terlibat di dalamnya merasa gembira dengan hasil ini. Jerih payah kami selama ini tergenapi dengan sebuah kesuksesan.
Namun kegembiraanku tidak lama. Ketika sedang bersiap untuk pulang, seseorang mengadangku. Krishna! Kami sudah tak pernah bertemu cukup lama. Entah kenapa, kali ini aku merasa bulu kudukku meremang saat mendapati Khrisna menatapku dengan penuh konsentrasi.
Lagu : Out of The Blue (Michael Learns To Rock)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top