My Better Half [4]
Edgar tampak jelas-jelas memikirkan sesuatu. Pria itu minim bicara. Bahkan kadang aku harus mengulangi kalimatku karena Edgar tak mendengar dengan sempurna. Dia bahkan tidak berinisiatif mengajakku makan seperti biasa. Alhasil, aku memintanya berhenti di depan sebuah toko roti karena perutku lapar.
Edgar membawaku ke vila keluarganya di kawasan Lido. Hujan rintik dan azan Isya menyambut kedatangan kami. Vila itu berlantai dua, seluruh bagian depannya memakai kaca dengan gorden-gorden panjang terpasang. Bangunan bergaya minimalis ini sangat memancarkan kesan modern. Menurut Edgar, hanya ada dua buah kamar tidur berukuran luas yang terletak di lantai dua. Tanpa bicara, Edgar membimbingku masuk.
Dia menunjukkan kedua kamar tidur dan memintaku memilih salah satunya. Aku lebih menyukai kamar utama yang lebih luas dan menghadap ke jalan. Tasku kuletakkan di salah satu sofa yang ada di sana.
"Nih, bawa ke kamarmu," kataku sambil menyerahkan tas milik Edgar yang sejak tadi kubawa. Dia menyambut tas itu sebelum melemparkan benda itu begitu saja di sofa. Tepat di sebelah tasku. Aku menatapnya dengan alis terangkat.
"Kamu mau tidur di sini juga?"
"Rasanya kita nggak akan sempat tidur. Ada banyak hal yang harus kita bahas," katanya dengan suara pelan. Ucapannya itu membuatku makin yakin ada masalah serius yang sedang kami hadapi. Dadaku hampir pecah karena jantungku yang berdentam-dentam kencang.
"Kamu mau makan dulu? Tadi penjaga vila udah nyiapin makanan," kata Edgar lagi. "Setelah itu, baru kita bahas masalah yang kumaksud tadi."
Astaga, siapa yang bisa menelan makanan dalam kondisi seperti ini? Aku pun menggeleng. "Aku nggak selera makan," tolakku. "Lagian, tadi aku udah makan roti. Kalau kamu mau makan, yuk kutemani."
Edgar menurut. Kami turun ke lantai bawah. Edgar menunjukkan ruang makan yang merangkap dapur. Di atas meja makan untuk enam orang itu, sudah tersedia berapa menu. Ayam goreng, tumisan buncis dan wortel, serta bakwan jagung.
Edgar hanya makan sedikit. Begitu selesai makan, dia mengajakku ke ruang keluarga. Laki-laki itu menyalakan televisi sebelum menghilang entah ke mana. Aku duduk sendiri dengan kebingungan dan kecemasan yang berkecamuk tanpa henti.
Dalam hati aku merasa keputusanku mengikuti Edgar ke sini bukanlah hal yang cerdas. Bukannya segera membahas banyak hal yang konon akan membuat kami bicara panjang dan butuh privasi, Edgar malah meninggalkanku entah ke mana.
"Ed...." panggilku ketika kekasihku kembali ke ruang keluarga. Bukannya duduk di sebelahku, Edgar malah berjalan menuju pintu.
"Sebentar, aku mau periksa pintu pagar dulu."
Aku tidak tahu apakah Edgar memang harus sesibuk ini atau sengaja ingin menghindariku. Aku akhirnya mematikan televisi dan naik ke lantai atas. Edgar menyusul beberapa menit kemudian. Aku duduk di bibir ranjang, terhanyut dalam pikiran yang naik turun. Kulihat Edgar sudah berganti pakaian. Dia memakai celana longgar dan kaus. Tanpa kacamata, Edgar masih menawan.
"Ed ... sebenarnya ada apa? Kamu bikin aku takut. Bukannya langsung ngomong, kamu malah buang-buang waktu dari tadi."
Edgar duduk di sebelah kananku. "Maaf," responsnya.
Aku menunggu Edgar bicara lagi. Namun hingga beberapa menit setelahnya, Edgar masih berdiam diri. Akhirnya, kesabaranku pun menyentuh titik tertinggi hari ini. Aku menyerah. Aku bangkit dari ranjang dan menyambar tasku. Tanpa bicara aku menuju pintu untuk keluar. Tiba-tiba langkahku terhenti karena Edgar memelukku dari belakang. Aku mencoba meronta, tapi tenaganya jauh lebih kuat dariku. Dia membenamkan kepalanya di rambutku.
"Maafin aku, Lea. Kamu memang pantas marah. Kamu...."
"Katamu kita perlu bicara, tapi dari tadi kamu malah sengaja menghindar. Kamu nyuekin aku," ujarku setenang mungkin.
Edgar mengambil tas yang kupegang, melemparkannya kembali ke arah sofa, lalu membalikkan tubuhku. Dia kembali memelukku.
"Kamu bikin aku takut," bisikku. "Apa kita punya masalah besar?"
Edgar tak menjawab, dia malah menarik tanganku dan berjalan ke ranjang. Kami kembali duduk bersisian seperti tadi. Sekarang, hatiku yang sempat panas, mulai melembut. Apalagi saat melihat ekspresi tertekan di wajah Edgar. Pria itu menghela napas beberapa kali.
"Kita memang punya masalah besar. Aku ... seharusnya sejak kita ketemu aku udah jujur sama kamu. Tapi, aku nggak sanggup, Lea. Aku terlalu bahagia. Aku lupa kalau hari ini akan datang. Salahku, Lea. Semuanya salahku. Karena aku serakah dan lupa diri." Edgar menggosok pelipisnya dengan tangan kiri. "Oh Tuhan, apa yang udah kulakukan?"
Aku menjadi gemetar. Ada rasa dingin yang asing mulai merayapi punggungku. Namun aku berjuang menenangkan diri. Edgar sudah terlihat panik, aku tidak boleh kehilangan ketenangan. "Ed, jangan bikin aku makin takut! Ayo, ngomong aja! Apa masalah kita?"
Edgar buru-buru memeluk bahuku dengan tangan kirinya, menarikku ke arahnya. Samar-samar aku mendengar bisikannya di telingaku. Sangat lirih.
"Aku punya kesalahan yang nggak akan bisa dimaafkan. Aku berdosa. Aku jahat banget sama kamu. Andai bisa, aku nggak mau kamu tau kebusukanku. Tapi aku nggak punya pilihan. Leala, aku tau kamu pasti akan benci aku seumur hidup. Aku juga benci sama diriku." Edgar berhenti. Aku menunggu dengan dada terasa hendak pecah.
"Leala, andai bisa kembali ke masa lalu, aku pengin kita ketemu sepuluh tahun silam. Kalau itu terjadi, kita nggak akan mengalami semua ini. Kamu nggak akan kecewa sama aku."
Aku semakin bingung. Namun aku hanya mengunci mulutku dalam bisu. Sepertinya Edgar menyimpan banyak kata-kata yang akan diucapkannya padaku. "Jelaskan padaku," pintaku dengan nada membujuk. Aku mengelus punggungnya dengan tangan kiri. Kepalaku bersandar di bahunya.
"Entah apa aku sanggup bikin pengakuan. Rasanya ... sulit banget. Padahal aku udah berlatih berminggu-minggu." Edgar mendesah. "Kamu ingat nggak aku pernah ngomong tentang sisi gelap seseorang yang sebenarnya pengin disimpan sendiri? Saat itu, sebenarnya aku ngomongin diri sendiri. Aku takut karena kamu pasti kecewa setelah tau semuanya. Kita akan hancur, Lea."
Tengkukku kian membeku. Edgar bukan orang yang berlebihan. Jika dia sudah bicara seserius itu, pasti karena memang ada masalah pelik yang menurutnya susah untuk diselesaikan.
"Nggak usah muter-muter, Ed. Kamu cuma bikin aku makin penasaran. Ngomong aja," cetusku.
"Aku...." Edgar terdiam lagi.
Kesabaranku akhirnya benar-benar lenyap. "Aku juga punya rahasia mengerikan. Setelah tau, kamu bakalan pengin menendangku sejauh mungkin. Kenapa kita nggak saling berbagi aja? Mari kita hancur bersama-sama kalau memang itu yang harus terjadi. Ambil ponselmu!" kataku bernada perintah. Edgar menjauhkan tubuh dariku meski tangannya masih berada di bahuku.
Aku merogoh kantong celana jeans untuk mengambil ponsel. "Aku nggak punya stok sabar yang banyak. Kayaknya kalau nunggu kamu ngaku, kita akan berada di sini minimal setahun. Nggak akan kelar. Mending gini, kamu tulis rahasiamu. Aku juga sama. Poinnya aja, nggak usah bertele-tele. Nanti kita sama-sama kirim via WhatsApp. Jadi, bisa menghemat waktu. Gimana? Setuju?"
"Hal penting gini mana bisa dibahas lewat WhatsApp, Lea," balas Edgar ragu. Aku bisa melihat jemarinya gemetar. Namun aku mengulangi permintaanku. Aku ingin menuntaskan semua kebingungan ini.
"Setelah baca pengakuan dosa masing-masing, kita punya waktu sampai besok pagi untuk ngomongin semuanya. Entah sambil marah dan bakar vila, atau dengan kepala dingin," kataku dengan nada sarkastis
Tanpa menunggu jawaban Edgar, aku menulis rahasia yang belum pernah kubagi pada kekasihku ini.
"Aku pernah mendapat banyak uang dan dihujani hadiah dari pacarku. Karena mau menghabiskan malam bareng dia, melewati banyak petualangan seputar seks. Dari yang normal sampai yang menjijikkan. Jadi, aku bukan cewek suci tanpa noda kayak yang mungkin kamu bayangin selama ini."
Kalimatku mungkin kasar dan tidak pantas. Namun saat ini aku tidak bisa menemukan kata-kata yang sopan untuk menjelaskan masa laluku yang busuk. Aku sendiri tidak mengerti kenapa harus membongkar ceritaku dengan Reiner. Kimi pun melarangku mati-matian. Akan tetapi, hari ini aku berubah pikiran. Jika aku memang mencintai Edgar seperti yang selama ini kuyakini, bukankah dia berhak tahu seperti apa Leala yang sesungguhnya?
"Udah kelar?" tanyaku.
Edgar mengangguk. Wajahnya tampak tertekan dan pucat. Aku belum pernah melihat Edgar seperti ini. Hatiku pun tercubit. Tampaknya, Edgar memang tidak main-main dengan semua ucapannya.
"Oke, sekarang kirim WhatsApp-nya," perintahku. Aku memencet tombol panah di sudut kanan bawah sambil memejamkan mata. Kuhalau sekuat tenaga kepanikan yang memukul-mukul dadaku. Aku mendengar denting ponselku, menandakan ada pesan yang masuk. Seketika aku membuka mata dan melihat Edgar sedang membaca WhatsApp yang kukirim. Ekspresinya datar saja, tidak menunjukkan emosi apa pun.
"Aku nggak peduli." Hanya itu jawabannya.
Badai di hatiku yang sejak tadi mengamuk, seketika luruh tanpa jejak. Lelaki ini, yang kucinta sepenuh hidup, membaca pengakuanku dan hanya berkata "aku nggak peduli" dengan tegas. Aku memeluk Edgar seketat mungkin tanpa bicara. Mataku terpejam.
"Kamu nggak mau baca WatsApp-ku? Ini permintaan egois, aku tau. Tapi, maukah kamu nggak lantas benci sama aku apa pun yang tertulis di sana? Kamu mau berusaha maafin aku? Tetap bersamaku?"
Aku menggangguk setelah melepaskan pelukan. "Nggak ada yang bisa bikin aku berhenti jatuh cinta sama kamu, Ed. Nggak ada kesalahanmu yang nggak bisa kumaafin. Kalau kamu bisa terima aku apa adanya, kenapa aku nggak?"
Janji yang baru saja kubuat itu tidak mampu menahan tanganku untuk melempar ponsel ke dinding begitu membaca kalimat yang tertera di layarnya. Di antara semua kemungkinan buruk yang mungkin terpikirkan, takkan pernah sedetik pun aku membayangkan bom berkekuatan mematikan dalam bentuk kalimat pendek tulisan Edgar.
"Lusa aku mau nikah sama tunanganku."
Lagu : Secrets (OneRepublic)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top