Love Me Again [3]

Kalimat-kalimat Edgar mirip bom yang dijatuhkan tanpa aba-aba. Aku masih belum pulih dari efek kaget karena kehadirannya yang tiba-tiba. "Dari mana kamu tau aku masih... single?" tanyaku penasaran. "Kimi?" tuduhku.

Edgar menggeleng. "Dari Mbak Zoe."

Aku terperangah. "Mbak Zoe?" tanyaku tak percaya.

"Ya. Suatu hari, aku nggak sengaja ketemu Mbak Zoe di Jakarta. Waktu itu, aku lagi ngurus perceraian. Aku tanya-tanya tentang kamu. Setelah aku balik ke Brisbane pun kami tetap kontak."

Aku cukup sering bertemu Mbak Zoe, tapi perempuan itu tak pernah bicara apa pun. Tak sengaja, tatapanku berhenti di jam tangan. Edgar sudah mendapat waktu empat puluh menit. Aku berdiri dari sofa.

"Kamu harus pulang sekarang, Ed. Waktu setengah jam yang kamu minta udah lewat. Aku juga mau istirahat."

Edgar berdiri seraya membenahi letak kacamatanya. "Leala..."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Kamu nggak bisa datang gitu aja dan minta aku terima kamu lagi. Dalam waktu dua setengah tahun ini, ada banyak banget yang terjadi. Kamu butuh waktu lama untuk menganalisis soal cinta lama versus cinta baru tadi. Aku juga butuh waktu lama untuk merasa yakin bahwa kamu cuma bagian masa lalu, Ed. Meski kamu sekarang udah jadi laki-laki bebas, bukan berarti kita bisa memulai segalanya lagi."

Edgar mengembuskan napas. "Kamu tau kan, aku nggak akan menyerah gitu aja? Kita sama-sama nggak akan bisa bahagia kecuali bareng lagi. Kita punya cinta yang begitu kuat. Aku belahan jiwamu, ingat? Dan kamu cinta matiku."

Aku menggeleng kencang, menahan rasa panas yang mulai merambah mataku. "Cinta kita cuma bagian masa lalu, Ed. Kurasa, dulu aku terlalu terburu-buru bikin kesimpulan bahwa kamu belahan jiwaku. Kayak yang tadi aku bilang dan belum kamu jawab. Aku takut suatu hari nanti kamu juga akan nggak setia sama aku. Kamu ngulangin apa yang pernah kamu buat ke Nina."

Tampaknya, Edgar sudah menebak bahwa aku akan mengajukan pertanyaan itu. Dia seolah sudah siap dengan jawabannya.

"Lea, aku takabur kalau bilang udah pasti setia sama kamu, nggak akan jatuh cinta sama perempuan lain. Bersumpah sehidup semati bareng kamu atau semacamnya. Bisa sih aku ngomong kayak gitu, tapi kamu kan tau kalau aku bukan tipe laki-laki yang suka ngomong gombal. Bahkan pas mau nikah pun aku jujur sama kamu." Edgar menghela napas panjang. Wajahnya tampak murung. "Aku nggak bisa meramal masa depan. Aku nggak pernah selingkuh dari Nina. Tapi, siapa sangka aku bisa ketemu dan jatuh cinta sama kamu? Perasaan kayak gitu nggak bisa direkayasa, kan? Yang pasti, aku cuma bisa janji satu hal. Aku akan berjuang untuk selalu setia sama kamu."

Itu jawaban yang realistis. Jika Edgar menjawab dengan kalimat bujukan demi memastikan aku segera luluh, atau diikuti sederet janji dan sumpah, kemungkinan besar aku akan muntah. "Pulanglah," cuma itu responsku.

Aku memalingkan wajah dan mulai berjalan menuju pintu. Edgar mengikutiku. Lelaki itu berhenti di depanku. Tangan kanannya mencengkeram pegangan pintu butik.

"Aku nggak kaget ngeliat reaksimu, Lea. Aku memang udah yakin kamu bakalan nolak aku mati-matian. Tapi kayak yang udah kubilang berkali-kali, aku nggak akan menyerah sampai kamu takluk."

"Ed, itu bakalan sia-sia."

"Aku nggak mau tersiksa lagi karena pisah dari kamu. Aku akan berjuang dan jadi laki-laki yang pantas buat kamu, Leala. Dulu aku udah ngikutin apa yang kamu mau. Dua setengah tahun tersiksa rasanya udah lebih dari cukup. Dulu, aku punya alasan untuk melepasmu. Sekarang? Nggak ada."

"Kamu makin ngawur. Aku bukan Leala yang dulu lagi. Aku bukan lagi cewek bodoh yang gampang menyerah. Sekarang, aku udah jadi perempuan dewasa yang rasional."

"Aku tau."

"Aku juga nggak menganggapmu belahan jiwaku lagi. Perasaanku udah mati."

"Nggak masalah perasaanmu sama aku udah berubah. Aku akan berjuang untuk bikin kamu jatuh cinta lagi."

Aku mendorong bahu Edgar agar dia meninggalkan Special One.

***

Aku sulit tidur semalaman karena Edgar. Aku baru terlelap sekitar pukul setengah empat dan terbangun lagi karena harus salat Subuh. Ya, paling tidak ada hal positif setelah semua yang kualami. Meski belum menjadi perempuan salihah, kini aku berjuang menjaga salatku.

Aku mencoba bersandar kepada Tuhan, mensyukuri semua hal baik dan buruk yang membentukku. Mengikhlaskan segala yang kehilangan yang kurasa tanpa harus bertanya mengapa aku yang dipilih-Nya untuk mengalami ini?

Itulah yang kemudian membuatku bisa berdamai dengan Papa dan Mama, ikut bahagia dengan keluarga baru yang mereka bentuk kemudian. Aku tak lagi menyumpahi jalan yang dipilih kedua orangtuaku.

Sebelum mandi, aku meraih ponsel sejenak untuk memeriksa WhatsApp dan surel. Ada pesan dari Mama yang belum kubaca, mengajakku liburan ke Bali bulan depan. Aku mengetikkan jawaban dengan cepat, memberi tahu bahwa kemungkinan aku tidak bisa karena itu saatnya Kimi mulai cuti. Aku harus berada di Bogor untuk memastikan Special One beroperasi dengan baik.

Namun ada satu pesan WhatsApp yang sama sekali tak terduga. Ralat, seharusnya aku sudah punya dugaan dan tak perlu terlalu kaget. Berasal dari sebuah nomor yang tidak ada di daftar kontakku. Isinya?

Lea, ini nomorku. Edgar.

Aku menatap layar ponselku tak berdaya. Apa yang harus kulakukan? Mengganti nomor lagi hanya supaya Edgar tak bisa menghubungiku? Itu sama sekali bukan pilihan cerdas. Edgar, ketika sudah berkemauan, takkan bisa dihalangi dengan mudah.

Paginya, begitu tiba di butik, Kimi membombardirku dengan jutaan pertanyaan yang membuat kepalaku makin berdenyut. Namun aku juga mustahil mengabaikan keingintahuan sahabatku. Paling tidak, aku menaruh sedikit hormat karena dia tidak langsung meneleponku tadi malam untuk menginterogasi. Aku pun meringkas perbincanganku dengan Edgar.

Setelahnya, aku menyibukkan diri dengan setumpuk laporan yang harus kuperiksa. "Aku lagi sibuk, Kim. Nanti ajalah bahas soal dia," kataku tanpa mengangkat wajah. Kimi duduk di sofa, dengan laptop berada di pangkuan. Dia sedang mengecek media sosial yang dimiliki Special One.

"Kamu sengaja menghindar."

Itu kesimpulan Kimi. Aku tidak membantah. Namun aku tak bisa terus-menerus mengelak menjelang jam makan siang. Pekerjaanku sudah selesai dan ini waktunya kami membahas menu makanan. Kami terbiasa makan bergantian. Sayang, hari itu aku tidak berselera menyantap apa pun. Selera makanku bersembunyi entah di mana.

"Mau makan apa, Lea?" tanya Dinda yang selalu ditugaskan untuk membeli makanan.

"Aku nggak tau," kataku tak jelas. Aku akhirnya duduk di sofa sambil bersandar. Leherku terasa agak kaku karena terlalu banyak menunduk.

"Beliin buat kita bertiga aja, Din. Lea nanti nyusul. Aku udah lapar banget, tadi cuma minum susu doang. Sekarang ini, mengkhayal pun udah bisa bikin perut Lea kenyang," gurau Kimi.

Dinda menatapku penuh arti dengan seringai tercetak di bibirnya. "Oke. Makanan Lea belinya belakangan aja, ya? Apa perlu minta bantuan Bang Bonnie? Siapa tau selera makan Lea bisa balik lagi setelah ngeliat si Abang."

Kimi mencibir. "Bang Bonnie beda level sama yang datang kemarin. Walau Bang Bonnie jadi penari striptis dadakan, selera makan Lea nggak akan balik lagi."

"Kim, ingat lho apa yang pernah kubilang. Jangan ngeledek Bang Bonnie mulu. Ntar kalau bayinya..."

"Stop, Lea! Stop!" balas Kimi panik. "Oke, aku nggak akan nyinggung Bang Bonnie lagi. Dia tukang parkir junjunganku." Kimi membelalak ke arah Dinda yang sedang terbahak-bahak. "Awas kalau aku dengar kamu nyebut namanya lagi."

Efri yang jauh lebih kalem dari Dinda pun tak tahan untuk menceletuk. "Bang Bonnie udah kayak Voldemort aja. Dia yang namanya nggak boleh disebut."

"Fri, kamu dan Dinda harus hati-hati. Jangan sampai jatuh cinta sama Bang Bonnie," Kimi memperingatkan. Dia berjalan pelan ke arah sofa.

Dinda meninggalkan butik sambil tergelak. Sementara Efri meneruskan pekerjaannya merapikan pakaian di rak. Pintu butik terbuka, dua orang perempuan melangkah masuk. Efri menyapa pengunjung yang baru datang itu dengan ramah.

Kimi mengambil tempat di sebelahku. Kepalanya menempel di bahu kananku, sementara tangan kirinya mengelus perut dengan lembut. Aku tahu, ini saatnya harus berhadapan dengan interogasi dari Kimi. "Pasti kamu ada maunya."

Tawa Kimi pun berderai. "Ish, tau aja." Lalu, tanpa bertele-tele dia bertanya, "Apa yang bakalan kamu lakukan soal Edgar? Dia nggak akan nyerah, Lea."

"Aku nggak tau, Kim." Kupijat pelipisku dengan tangan kiri. "Seharusnya dia nggak pernah muncul lagi di depanku. Dia cuma bikin semuanya kacau. Seharusnya, hidupku baik-baik aja. Dua setengah tahun, semuanya bisa kulalui tanpa masalah gede. Tapi begitu ngeliat dia muncul di sini, entahlah. Bernapas pun rasanya sulit. Apalagi berkonsentrasi. Seolah Edgar udah ngeborong semua oksigen di dunia ini," kataku dengan nada gurau yang dipaksakan. Kimi sama sekali tidak tertawa.

Dia melepas pelukannya dan menjauhkan tubuh dariku. Dia menatapku dengan intens. "Kalian masih sama-sama cinta, itu poinnya. Kalau kamu udah nggak punya perasaan apa pun, aku bakalan ngelakuin segalanya untuk ngusir dia. Tapi dalam kasus ini, aku nggak bisa apa-apa." Jeda. "Aku munafik banget kalau minta kamu jauh-jauh dari Edgar. Karena aku paham banget apa yang kamu rasa. Mungkin ini kayak kutukan, Lea. Kita tipe cewek yang nggak bisa melawan perasaan cinta. Buat orang lain, cinta bisa jadi urutan kesekian. Tapi buat kamu dan aku, cinta itu bahan baku utama untuk bersama seseorang. Mungkin pilihan kita dianggap nggak rasional. Kita nggak bisa maksa orang untuk ngerti." Jeda lagi. "Kalau gitu, biar Edgar sendiri yang buktiin sejauh mana keseriusannya untuk bisa bikin kamu nyerah. Aku juga penasaran, cara apa yang bakalan dipake Edgar untuk ngejar-ngejar kamu."

Aku tertawa sumbang. "Ide yang bagus. Kamu nggak ngasih solusi apa pun, Kim. Makasih, ya."

Kimi bicara dengan nada serius. " Di sisi lain, aku kasian ngeliat Marcus. Dia... entahlah. Kalau kemarin-kemarin aku punya harapan kalian bisa pacaran meski nggak terlalu optimis, sekarang malah sebaliknya. Harapan untuk Marcus udah benar-benar mati. Padahal dia laki-laki baik, Lea. Tapi, cinta memang nggak bisa dipaksa."

Mendengar nama Marcus disebut, aku pun dijejali rasa bersalah. Secara fisik, Marcus pun tak kalah menawan dibanding Edgar. Kendati begitu, semua nilai plusnya tak mampu membuat hatiku memujanya. Bahkan sebelum Edgar menyegel namanya di dadaku. Meski mantan teman kuliahku itu juga makin menunjukkan kegigihannya selama dua tahun terakhir. Marcus ditakdirkan bukan untukku. Aku kebal akan pesonanya.

Pintu butik terbuka lagi. Aku baru hendak membuka mulut tapi tubuhku membeku karena melihat siapa yang datang. Edgar lagi. Kali ini, dia membawa sebuah kantong plastik berisi beberapa buah kotak styrofoam.

"Hai, Kim," sapanya pada sahabatku. Kimi menegakkan tubuh dan membalas sapaan lelaki itu.

"Kamu panjang umur, Ed. Baru aja diobrolin sama Lea, eh... orangnya udah nongol," respons Kimi santai. Aku menoleh ke kanan, memelototi Kimi segalak mungkin. Untuk apa dia mengucapkan kata-kata itu?

"Oh ya?"

"Kamu sekarang tinggal di mana, Ed? Jam segini udah ada di sini. Nggak ngurus showroom lagi?" Kimi berdiri, sudah pasti berniat memberikan tempat duduknya kepada Edgar. Aku memegang tangan kiri sahabatku, mencegahnya pergi.

"Kimi, jangan ke mana-mana!" sergahku. Bukannya bekerja sama, Kimi malah sengaja agak menyentakkan tanganku. Aku benar-benar gemas.

"Aku sekarang ngurus bisnis sendiri, Kim," jawab Edgar. Dia bersikap seolah tidak melihat apa yang barusan kulakukan. "Pokoknya, sekarang ini aku tinggal nggak jauh-jauh dari Lea."

Kimi menyeringai ke arahku sambil berkata, "Semoga berhasil ya, Ed. Aku cuma bisa bilang, jangan mudah nyerah."

"Nggak akan, Kim. Aku pejuang tangguh," balas Edgar. Lelaki itu tiba-tiba berjongkok di depanku, dan menghadiahiku seulas senyum.

Kimi malah sengaja meninggalkanku sembari tertawa geli dan menggumamkan sesuatu tentang "pasangan yang klop".

"Ngapain kamu datang siang-siang gini?" Aku menumpahkan kekesalan kepada Edgar.

"Oh, maaf. Mulai besok, aku datang lebih sore. Sebelum butik tutup," gurau Edgar. "Atau kamu maunya lebih pagi?"

"Ed! Kamu tau bukan itu maksudku."

Edgar menaikkan kacamata dengan telunjuk kiri. Tanpa meminta izinku, Edgar meletakkan kantong yang dibawanya ke pangkuanku. Wadah itu masih hangat. Lalu, hidungku pun diserbu aroma yang menggelitik perut. "Aku datang cuma untuk bawain makan siang buat kalian berempat."

Kata-kata seolah musnah dari otak dan lidahku. Apalagi saat Edgar berdiri sebelum berbalik meninggalkanku. "Aku nggak akan ganggu karena kamu lagi kerja. Kamu harus makan ya, Lea. Aku masak sendiri, lho!"

Lalu, si raksasa itu berjalan menuju pintu dengan gaya santai. Seolah bukan dia yang baru saja mengacak-acak dunia dan membuat hidupku lebih sulit. Mataku terpejam. Aku menyadari masalah serius yang harus kuhadapi. 

Lagu : Leave A Light On (Tom Walker)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top