Love Me Again [2]

Tentu saja aku tak pernah membayangkan semua itu. Bagiku, jauh lebih mudah berimajinasi tentang Edgar yang memilih bercerai.

"Aku nggak percaya!" Akhirnya aku mampu bersuara setelah keheningan selama belasan detak jantung. "Gini ya Ed, kita udah selesai. Aku nggak mau balik ke masa lalu. Kamu sendiri udah tau apa yang kumau, kan? Aku cuma pengin bersama laki-laki yang memang pantas untuk kupertahankan. Bukan milik perempuan lain, bukan juga yang sengaja ninggalin pasangannya untuk milih aku.

"Sampai kapan pun, aku nggak bangga kalau kamu ngelakuin itu. Aku hanya mau bersama orang yang cuma bisa cinta dan setia sama aku. Selain itu, laki-laki yang pernah nggak setia kemungkinan besar akan mengulangi hal yang sama. Aku nggak mau nantinya dikhianati sama kamu. Dulu, aku pernah jahat sama istrimu. Aku ogah ngalamin hal yang sama kayak Nina. Aku percaya, karma itu ada."

Napasku agak terengah usai menuntaskan kalimat-kalimatku. Edgar mendengarkan dengan mimik datar. Aku tidak menemukan lintasan emosi yang bisa menggambarkan perasaan laki-laki itu.

"Udah selesai kamu ngomongnya? Sekarang, bisa ngasih kesempatan sama aku untuk jelasin semuanya?"

Karena merasa semua uneg-unegku sudah tersampaikan, akhirnya aku cuma mengangguk tanpa suara.

"Tuduhan kamu itu semuanya salah. Aku nggak pernah berniat untuk ninggalin Nina untuk kamu. Kenapa? Karena aku tau banget kalau kamu serius sama semua kata-katamu dulu. Kamu bakalan menghilang dari Bogor andai aku nekat tetap maksa supaya bisa bareng kamu terus. Itulah yang bikin aku mundur, Lea. Kalau aja aku nggak terlalu takut bayangin kamu beneran ngilang dari hidupku, aku nggak akan menyerah. Aku nggak sanggup bayangin kamu harus ninggalin semuanya di sini cuma untuk menjauh dariku. Aku jadi makin merasa berdosa. Segitu aku cintanya sama kamu sampai rela tersiksa sendiri, Lea."

Aku terkesima. Itu jawaban untuk pertanyaan yang kadang bergema di kepalaku selama bertahun-tahun ini. Jawaban yang di luar dugaan.

"Kamu pasti nggak nyangka kalau kubilang bahwa setelah kita pisah, aku beneran berusaha untuk menata ulang hidupku. Semua yang kamu bilang dulu itu nggak salah, Lea. Aku udah memilih Nina, jadi harus siap sama konsekuensinya.

"Aku harus ngelepasin kamu, nggak peduli sepahit apa rasanya. Aku nggak akan cerita detail sulitnya kayak gimana. Yang jelas, aku berjuang jadi suami yang bertanggung jawab, Lea. Aku pengin menebus semua dosaku sama Nina dan kamu."

Aku terkelu. Seharusnya aku hanya mendengarkan kata-kata Edgar saja tanpa menatap wajahnya. Karena itu berarti aku menangkap geliat emosi yang terpampang di paras lelaki itu. Tanpa bisa kucegah, hatiku ikut ngilu. Karena selama mengenalnya Edgar tidak pernah mendustaiku, meski akal sehatku melarang, sedikit-banyak aku percaya kata-katanya.

"Tau nggak Lea, aku pernah punya keinginan untuk ngomong sama Nina tentang kita. Karena aku pengin mengakui dosa-dosaku dan lepas dari rasa bersalah. Tapi aku nggak bisa. Karena aku nggak mau masalah itu akan terus menghantui kami nantinya. Aku berusaha ngelupain kamu, fokus sama rumah tanggaku. Pokoknya aku berjuang jadi laki-laki yang diinginkan istriku."

Kecemburuan menerjangku. Kusangka, perasaanku kepada Edgar takkan sedahsyat dulu. Akan berkurang seiring waktu yang menjauhkan kami. Nyatanya, aku salah besar.

"Ed, aku nggak mau dengar semuanya. Nggak ada artinya," kataku getir.

"Kamu harus dengar semuanya karena ada cerita panjang yang terjadi sejak kita pisah," Edgar bersikeras. "Dua tahun lalu, kami pindah ke Brisbane. Nina mendapat tawaran kerja yang menurutnya lebih oke, sampai dia nekat mau pindah ke sana. Aku nggak keberatan. Aku ninggalin kerjaan di sini dan ngikut istriku. Showroom diawasi sama adikku dan sepupuku. Kamu liat sendiri kan, kulitku sekarang lebih hitam. Itu karena sering berjemur di pantai," Edgar bergurau. Dia menunjuk ke arah lengannya yang memang lebih gelap.

"Setahun setengah kami di sana. Nina sibuk kerja, aku lebih banyak di rumah. Masak dan mengurus rumah. Tapi bukan berarti aku jadi pengangguran. Aku tetap memantau showroom. Lumayan sering dapat job bikin website untuk perusahaan-perusahaan. Intinya, aku kerja serabutan mengandalkan koneksi internet dari rumah. Belakangan ada lumayan banyak tawaran untuk bikin seminar online tentang perencanaan keuangan. Kebetulan, pendidikan formalku memang bagian finansial. Awalnya, klienku memang orang-orang yang udah kukenal. Teman-teman SMA atau pelanggan showroom. Skalanya pun kecil.

"Seiring waktu, kerjaanku makin banyak. Promosinya dari mulut ke mulut, tapi kemudian bikin aku cukup sibuk meski cuma kerja dari rumah. Meski sebenarnya nggak betah di Brisbane, aku tetap bertahan. Demi Nina, aku mengorbankan banyak hal. Aku nggak keberatan sama itu semua. Aku juga setuju menunda punya anak karena Nina pengin fokus sama kerjaannya dulu. Asal istriku bahagia, kenapa nggak?"

Aku sungguh ingin menutup telinga. Mengapa Edgar justru memaparkan semua pengorbanan yang dilakukan demi Nina? Apa dia tidak menyadari jika semua kata-katanya membuatku makin sedih.

"Pada akhirnya, hal-hal buruk yang pernah kulakukan sama orang lain, berbalik menyakitiku. Aku merasa rumah tanggaku baik-baik aja, nggak ada masalah berarti. Masalah kami satu-satunya ada sama aku, karena nggak pernah bisa ngelupain kamu. Meski aku udah berusaha mati-matian untuk itu," Edgar mendesah.

"Belakangan, Nina usul supaya aku kerja kantoran di Brisbane. Masalahnya, aku udah punya klien lumayan banyak, kerjaanku nggak bisa dilepas gitu aja. Penghasilanku pun lebih dari cukup. Bahkan lebih gede dibanding pas masih di Jakarta. Jadi, usul Nina terpaksa kutolak. Tapi akhirnya itu jadi bumerang."

Edgar menyugar rambutnya dengan tangan kiri. Aku menahan diri agar tidak menyela karena ingin tahu kelanjutan cerita Edgar.

"Aku dan Nina hampir nggak pernah ribut. Tapi, suatu hari Nina bikin aku kaget saat bilang dia pengin pisah dari aku. Dia nggak bisa bertahan sama suami yang kerjaannya nggak jelas, gitu deh kira-kira inti persoalannya menurut dia.

"Yang sebenarnya terjadi, Nina punya... katakanlah... semacam hubungan sama atasannya. Aku nggak bilang dia selingkuh karena nggak pernah punya bukti. Aku juga nggak pernah berusaha nyari tau sejauh apa hubungan mereka. Yang jelas, permintaan Nina itu cuma membuatku sadar. Cinta Nina udah habis untukku. Kalau nggak, dia mustahil berani mengambil keputusan itu. Kami udah pacaran bertahun-tahun, nikah sekitar dua tahunan. Pada akhirnya semua itu nggak cukup. Tapi karena aku pernah ada di posisi Nina, hanya saja aku terlalu pengecut untuk melepas salah satunya, aku memaklumi keputusannya. Kami bercerai setengah tahun yang lalu."

Aku mengerjap berkali-kali. "Dia yang ninggalin kamu?" tanyaku dengan suara tercekat.

Edgar tertawa pelan. "Ya. Kenapa itu bikin kamu kaget? Kamu kira aku nggak mungkin ditinggalin seseorang? Kamu lupa ya Lea, kamu juga ninggalin aku."

"Ed," kataku dengan nada menegur. "Kita nggak lagi ngomongin soal aku."

"Maaf," balas Edgar cepat. "Nina baru nikah bulan lalu, sama atasannya itu."

"Kamu nggak sedih? Kenapa kamu nggak berjuang untuk mendapatkan istrimu lagi? Kenapa malah menyerah gitu aja?" Aku mengernyit, mengingat lagi semua upaya yang pernah dilakukan Edgar untuk membuatku berubah pikiran.

"Untuk apa? Kalau seseorang udah nggak punya rasa cinta yang cukup, bodoh kalau maksain untuk tetap bersama. Itu yang seharusnya kulakukan dulu, Lea. Di saat aku udah tunangan sama Nina, aku malah bisa jatuh cinta sama kamu. Seharusnya, waktu itu aku jadi laki-laki yang lebih berani.

"Ketika ada cinta baru yang datang di saat aku masih bersama seseorang, itu sebenarnya tanda bahaya. Cinta baru nggak akan pernah bisa mengusik kalau cinta lama masih kokoh. Cinta baru yang nggak bisa diabaikan itu artinya ada sesuatu yang nggak beres sama cinta lama. Aku nggak nyalahin Nina lho, ya. Bisa jadi sejak awal semua masalahnya ada di aku.

"Tapi, dulu aku nggak punya nyali. Aku nggak siap kehilangan salah satu dari kalian. Aku nggak mampu jadi laki-laki yang tegas. Makanya, aku nggak mau mempersulit Nina. Demi kebahagiaan kami berdua, aku melepas Nina. Langkah yang seharusnya udah kulakukan sejak dulu. Karena sejak aku ketemu kamu, Nina bukan lagi perempuan terpenting dalam hidupku."

Kejujuran Edgar selalu memiliki sisi pahit dan manis yang membuat lidahku mengebas. Laki-laki ini datang dengan badai yang mengacaukan hidupku. Apa yang harus kulakukan sekarang ini?

"Jangan kamu kira aku buru-buru mencarimu setelah aku cerai, Lea. Setengah tahun aku bertahan di Brisbane. Aku nggak mau kamu salah sangka atau apalah. Aku juga nggak mau salah ambil keputusan. Setengah tahun juga aku berusaha memperjelas perasaanku yang sebenarnya ke kamu. Benarkah aku masih cinta banget sama kamu? Bertahun-tahun nggak pernah bisa lupa sama kamu, apa perasaanku memang tulus? Apa aku lebih bahagia kalau nggak pernah ketemu kamu lagi?

"Mungkin kamu anggap aku laki-laki berengsek yang datang lagi setelah nggak ada pilihan. Setelah semua yang kulakukan, wajar kalau kamu mikir kayak gitu. Tapi maaf, bukan bermaksud sok pede, kurasa aku selalu punya pilihan, Lea. Aku datang lagi karena semua upaya untuk ngelupain kamu, sia-sia.

"Aku bukannya nggak berjuang supaya tetap jauh dari kamu setelah ultimatummu dulu. Tapi, ada hal-hal yang nggak bisa hilang atau berkurang walau mati-matian coba dibuang. Makanya ada perasaan lega waktu Nina pengin pisah. Karena itu artinya aku nggak perlu terus pura-pura dan bohongin diri sendiri. Aku capek ngelakuin itu bertahun-tahun.

"Jadi, berbulan-bulan setelah sepakat cerai dengan Nina dan mikirin semuanya dengan kepala dingin, akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan. Aku nggak bisa lupa sama kamu, nggak bisa bahagia kayak dulu lagi tanpa kamu. Perasaanku nggak pernah berubah, Lea. Kalau kamu udah punya seseorang, aku nggak akan pernah muncul di depanmu lagi. Tapi setelah aku tau kamu masih sendiri, aku pulang. Aku udah mendapat hukumanku, menebus semua dosa-dosa lama. Sekarang, aku pengin memulai segalanya dari awal lagi. Kali ini, aku nggak mau pisah lagi sama kamu."

Lagu : Karma (Alicia Keys)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top