Love Me Again [1]
Aku tak pernah menyangka jika suatu hari akan kembali melihat Edgar berdiri menjulang di hadapanku. Suasana Special One mendadak menjadi hening. Aku mendengar Edgar menyapa Kimi dengan ramah, mengangguk sopan ke arah Marcus, sebelum berhenti tiga langkah dari sofa. Dia menatapku dengan senyum mengembang.
"Apa kabar, Leala?" tanyanya dengan suara lembut.
Aku tak pernah menyangka bahwa kehadiran Edgar membuat perasaanku seolah terbanting-banting di pusat badai. Lalu, sapaan sederhananya membuat lidahku terkelu. Entah berapa lama aku cuma mampu menatapnya tanpa bergeming. Hingga Marcus menyenggol bahuku, bertepatan dengan Edgar yang mengulangi kalimatnya.
"Oh ... halo, Ed. Aku kabar baik. Kamu?"
Edgar tak pernah menjawab pertanyaanku. Dia malah bicara dengan nada santai. "Punya waktu, Lea? Aku pengin ngobrol sama kamu. Sesuatu yang penting."
Kepalaku mendadak pengar. Dua tahun setengah ini tidak kulewati dengan mudah. Andai aku terlihat baik-baik saja, itu karena aku berjuang mati-matian agar tak ada seorang manusia pun yang tahu kepahitan yang kukecap. Kini, melihat Edgar berdiri di hadapanku dan mengajukan permintaan yang tak masuk akal tanpa tedeng aling-aling, aku tahu semua usahaku kembali ke titik nol.
"Marcus, sini deh! Ada yang pengin kutanyain untuk ngubah urutan baju yang muncul di web," Kimi bersuara. Marcus segera bangkit dari sofa dan menghampiri Kimi tanpa protes. Sementara itu, Kimi juga meminta Efri bersiap menutup butik karena Dinda masih sibuk melayani dua teman sekantor Marcus.
"Lea, kamu belum ngasih jawaban," Edgar mengingatkan.
Aku menggeleng. "Maaf Ed, aku nggak bisa. Dulu aku udah pernah bilang, kan? Aku nggak mau ketemu kamu lagi. Kita nggak punya alasan apa pun untuk ngobrol berdua. Semua udah jadi masa lalu yang sama sekali nggak penting lagi untuk dibahas."
Tanpa kupersilakan, Edgar duduk di sebelah kiriku, menggantikan posisi Marcus. Kepercayaan dirinya patut mendapat acungan jempol karena Edgar tak terintimidasi dengan kata-kataku sama sekali. Aku menatap ke arah pintu masuk, berusaha keras untuk tidak menoleh ke arah laki-laki satu ini.
"Sekarang kita punya alasan, Lea. Makanya aku berani datang ke mari. Situasinya udah berubah drastis."
Aku menahan napas tanpa sadar. Kalimat Edgar membuat imajinasiku menari dengan liarnya sekaligus menjadikan denyut jantungku kian kencang. Aku pun membuat tebakan tanpa basa-basi.
"Apa kamu kira aku akan berubah pikiran hanya karena kamu ninggalin istrimu? Aku pernah bilang kan, Ed? Aku nggak mau cara kayak gitu. Meski kamu sekarang udah jadi laki-laki bebas, aku nggak akan balik sama kamu," gumamku dengan suara lirih.
"Leala...."
Aku menahan diri agar tidak mendesah putus asa. "Kenapa kamu tiba-tiba muncul sekarang? Dua setengah tahun ini hidupku baik-baik aja. Aku hepi, Ed. Aku udah lupa sama kamu," kataku.
"Lea, ini bukan tempat yang tepat untuk ngobrolin soal kita. Aku benar-benar minta waktumu. Nggak lama, cukup setengah jam aja. Kamu pasti belum makan. Baiknya, kita...."
"Ed!" aku akhirnya menoleh ke kiri. Mata Edgar menjadi objek yang membuat tatapanku berhenti. Aku nyaris sesak napas seketika, menyadari laki-laki ini memandangku dengan penuh cinta. Sama seperti dulu. "Aku nggak tertarik makan malam atau ngelakuin apa pun sama kamu. Pulanglah! Kamu nggak bisa bikin aku berubah pikiran!"
Edgar malah tersenyum, mengabaikan nada tajam pada kalimatku. "Aku udah siap mental, kok! Tapi aku nggak akan menyerah, Lea. Nggak masalah meski kamu nolak aku seribu kali. Kamu tau gimana Edgar yang asli, kan? Aku mundur cuma kalau terpaksa banget. Dua setengah tahun lalu, aku nggak punya pilihan. Tapi sekarang?" Pria itu menarik napas. "Aku cuma butuh setengah jam, Lea."
Kepalaku kian pusing. Terlalu lama berdekatan dengan Edgar bukan hal yang kuinginkan. Sesaat, kutatap Kimi yang masih bicara dengan Marcus. Saat ini, aku tidak bisa meminta saran apa pun darinya. Di detik yang sama, Marcus malah menoleh ke arahku.
Aku menangkap ekspresi muram di wajahnya yang memelintir perutku. Seingatku, Kimi pernah memberi tahu Marcus tentang Edgar saat laki-laki itu kutolak untuk kesekian kalinya. Kimi berusaha memberi pengertian bahwa aku masih mencintai orang lain. Marcus tak bisa mendapatkan hatiku kecuali aku sudah melupakan Edgar.
"Leala," panggil Edgar lagi. "Aku akan terus datang sampai kamu berubah pikiran."
Aku tahu, Edgar tidak main-main. Jika aku bersikeras menolaknya, dia hanya akan lebih bersemangat untuk mengubah pendirianku. Setelahnya, kami akan terbelit dalam adu keras kepala yang melelahkan.
"Oke, setengah jam. Tapi kita nggak akan makan malam," putusku buru-buru. "Aku harus menutup butik dulu."
Aku beranjak dari sofa, meninggalkan Edgar sendirian. Lalu berpura-pura sibuk merapikan pakaian-pakaian di gantungan yang sebenarnya sudah rapi. Biasanya, Dinda dan Efri yang diserahi tugas menutup butik. Namun kali ini aku butuh pengalihan untuk menenangkan diri.
"Apa kamu akan balik lagi sama dia?" tanya Marcus sebelum pulang. Dia sengaja mendekatiku dan bicara dengan suara rendah. Pertanyaan tanpa basa-basi itu membuatku tercengang. " Aku baru tau dia yang namanya Edgar. Dia yang bikin kamu nggak pernah mau ngeliat ke arahku."
Itu tak sepenuhnya benar. Bahkan sebelum aku bertemu Edgar, aku sudah pernah menolak Marcus. "Jangan ngomong aneh-aneh, deh! Kamu cuma bikin aku ngerasa kayak penjahat."
"Kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu mau balikan sama dia?" desak Marcus.
"Nggak!" tegasku. "Dia udah punya istri, aku nggak mau ngerusak rumah tangga orang."
"Jadi, ngapain dia ke sini?"
Aku mengedikkan bahu. "Entahlah. Dia cuma pengin ngobrol sebentar." Perasaan tak nyaman kian menggumpal di dadaku. "Mungkin mau beliin istrinya koleksi terbaru Special One," kataku asal-asalan.
Aku melirik ke arah sofa sekilas. Di sana, Edgar sedang mengobrol dengan Kimi. Laki-laki itu tampak santai seperti biasa. Sesekali dia membenahi letak kacamatanya. Aku tiba-tiba diingatkan betapa aku merindukan pemandangan itu.
Marcus akhirnya pamit pulang bersama dua temannya meski tampaknya dia meninggalkan Special One dengan berat hati. Efri dan Dinda berkali-kali mencuri pandang ke arah Edgar dengan tatapan penuh tanya. Mereka tentu saja pernah mendengar nama lelaki ini disebut-sebut di masa lalu. Keduanya juga pernah bertemu Edgar saat pembukaan butik.
Ketika akhirnya aku memberikan setengah jamku kepada Edgar, kami tidak ke mana-mana. Aku bertahan di butik, sementara Kimi pulang karena sudah dijemput oleh suaminya. Kedua karyawati Special One pun sudah naik ke lantai dua.
"Kimi udah hampir punya anak. Dia keliatan bahagia banget. Banyak yang terjadi selama dua setengah tahun ini," kata Edgar. Aku masih mondar-mandir memeriksa ini-itu yang sebenarnya tidak perlu.
"Kamu sendiri gimana? Udah punya berapa anak?" tanyaku sambil lalu.
"Belum punya walau pengin."
Berita baru. Putus kontak dari Edgar selama sekian lama, membuatku sama sekali buta seputar kabar terkini tentangnya.
"Kamu masih sendiri sejak kita pisah. Aku tau itu," kata Edgar begitu aku duduk di sebelahnya. "Marcus bukan pacarmu. Siapa tau kamu tertarik ngarang cerita untuk bikin aku mundur. Aku mungkin nggak pernah muncul di depanmu, Lea. Tapi setengah tahun ini aku selalu berusaha nyari tau tentang kamu."
Kalimatnya mengejutkan. Aku seakan kembali berhadapan dengan Edgar yang tidak suka berbasa-basi. "Kamu mau bilang kalau selama ini udah menguntitku?" tanyaku dengan nada dingin.
"Bukan gitu," Edgar bersuara. "Nggak pas kalau dibilang menguntit."
Kutunjuk arloji yang melingkari pergelangan tangan kiri. "Waktumu tinggal dua puluh menit lagi. Tapi kalau masih bicara omong kosong kayak barusan, aku bakalan ngusir kamu."
Edgar membuang napas tajam. "Aku masih Edgar yang sama kayak dulu, Lea. Laki-laki yang cinta setengah mati sama kamu. Dua tahun penuh aku berusaha untuk ngelupain kamu dan fokus sama hidupku sendiri. Tapi aku gagal total. Aku nggak bisa ke mana-mana tanpa mikirin kamu. Terdengar gombal banget? Aku tau. Menjijikkan? Aku juga tau itu. Nggak masuk akal? Mungkin. Kalau..."
Aku tak bisa lagi menahan diri. Berdiri dari sofa dengan tergesa, tangan kananku teracung ke arah pintu. "Pulanglah, Ed! Itu pintunya. Kamu nggak diterima lagi di sini. Kalau lain kali kamu nekat...."
"Aku udah pisah dari Nina," balas Edgar mengejutkan.
Lelaki itu menarik tangan kiriku, mendesakku untuk kembali duduk. Sentuhan fisik yang cuma terjadi selama tiga detik karena buru-buru kutepis itu, mampu membuat perutku mulas dan lututku goyah.
"Aku nggak peduli soal itu. Kalau kamu kira ninggalin Nina bikin aku mau balik sama kamu, itu namanya terlalu pede. Meski aku masih cinta sama kamu, tapi...." aku menggigit bibir karena tanpa sadar sudah kelepasan bicara.
"Kamu masih cinta sama aku, kan?" suara Edgar dipenuhi keriangan.
"Aku belum selesai ngomong! Itu cuma pengandaian," elakku ketus. "Pokoknya, nggak ada yang bisa bikin kita kayak dulu lagi, Ed. Aku pernah bilang, kan? Aku nggak...."
Kata-kataku tak pernah tuntas karena Edgar sudah membungkamku dengan ucapannya yang tak kuduga. "Apa kamu nggak pernah terpikir kalau Nina yang ninggalin aku? Nina yang merasa kami nggak bisa lagi terus bersama karena aku nggak memenuhi syarat sebagai pasangan yang bisa bikin dia bahagia?"
Lagu : Love Me Again (John Newman)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top