Les Masques [2]
Setelah Kimi pulang, aku terpaksa minum obat pereda sakit kepala. Di depan sahabatku aku berlagak baik-baik saja. Padahal, di balik tulang dadaku keadaannya sangat kacau. Jantungku bergerak tanpa terkendali, memukul-mukul dadaku hingga menimbulkan rasa nyeri. Aliran darahku sepertinya terbalik dan mengacaukan tubuhku.
Aku terlentang dan menutup wajahku dengan kedua tangan. Hingga cahaya lampu tidak bisa menerobos masuk lewat jari-jemariku. Aku ingin menangis menghadapi kenyataan ini. Bukan hal yang menyenangkan membayangkan Kimi yang harus mengubah haluan hidup begitu drastis. Melangkah ke tempat tidur dengan orang-orang yang berbeda karena paksaan kekasihnya yang gila.
Aku akhirnya melompat dari ranjang untuk mencari Mama dan Papa. Di rumah berkamar lima ini hanya tinggal aku yang menemani orangtuaku. Tiga kamar berada di lantai dua, termasuk kamarku. Kakak sulungku sudah menikah dan tinggal di Sumatera bersama istri dan anaknya. Sementara kakakku yang kedua sedang melanjutkan S2 ke Australia dengan beasiswa.
"Ma..." panggilku. Seisi rumah begitu lengang. Aku menoleh ke dinding, sudah pukul sepuluh lewat. Pantas saja sepi.
Aku membuka pintu kamar Mama dan Papa yang juga berada di lantai dua setelah mengetuk terlebih dahulu. Kosong. Tidak ada siapa pun. Aku terus mencari-cari hingga menemukan Mama sedang bicara di telepon. Mama berjalan hilir-mudik dengan santai di balkon. Balkon itu tidak terlalu luas, bisa dicapai dari ruang keluarga di lantai dua.
Aku mendengar Mama tertawa kecil. Lalu berbisik-bisik entah apa. Aku tidak mendengar dengan jelas. Kudorong pintu geser yang memisahkan kami, Mama tampak kaget.
"Nanti kita sambung lagi ya..." Mama buru-buru mengakhiri perbincangannya.
"Mama lagi nelepon Papa? Mesra banget," gurauku. "Papa mana, Ma? Kok belum pulang?"
Mama mendesah pelan. "Papa ada kerjaan di Jakarta. Mungkin nggak bisa pulang."
"Oh."
Ini bukanlah hal yang aneh. Sejak aku masih kecil, Papa kadang terpaksa tidak bisa pulang ke rumah karena kesibukannya yang luar biasa sebagai pengacara. Aku selalu melihat Papa sebagai orang yang berdedikasi hingga tergerak ingin mengikuti jejaknya.
Di mataku, Mama dan Papa adalah pasangan yang saling melengkapi. Mama punya karier yang bagus di sebuah perusahaan oli nasional. Entah bagaimana, Mama dan Papa membuat anak-anaknya tak pernah merasa ditinggalkan. Jika Papa tak ada di rumah, Mama yang akan menemani kami. Begitu juga sebaliknya.
Tiba-tiba aku teringat tujuanku mencari Mama. Buru-buru aku mendekat dan memeluk Mama. Dalam hati aku mengucapkan berjuta rasa syukur karena Tuhan membiarkanku tumbuh dalam keluarga ini. Meski bukan konglomerat, boleh dibilang aku tidak pernah kekurangan uang.
"Hei, ada apa ini? Pasti ada maunya. Mama jadi curiga nih," ucap Mama. Namun lengannya melingkari tubuhku dengan lembut.
"Aku cuma mau meluk Mama. Aku bahagia banget punya Mama dan Papa. Punya Mas Troy dan Mbak Ilsa. Semua, pokoknya."
Mama melepaskan pelukanku perlahan. Kini, wajahnya berubah menjadi sangat khawatir. "Kamu nggak lagi punya masalah, kan?" selidik Mama dengan tatapan serius tertuju padaku.
Bibirku mengerucut, kesal. "Apa yang salah sama pelukan sih, Ma? Kenapa malah curiga?"
"Sungguh, nggak ada apa-apa?"
"Mama!" Aku pura-pura marah.
Mama memegang dadanya dan mengembuskan napas lega. "Mama cemas banget barusan. Soalnya tiba-tiba datang sambil meluk kencang. Kirain ada sesuatu."
"Ma, jangan curiga gitu, dong!" gerutuku. "Emangnya aku udah kehilangan hak untuk memeluk mamaku sendiri?"
"Oh, maaf!" Mama ganti memelukku dengan hangat. "Peluklah sepuas hatimu. Sampai tua juga boleh."
Aku terkekeh di bahu Mama. Hidungku tiba-tiba menangkap sesuatu yang berbeda.
"Mama ganti parfum, ya?" tanyaku heran. Seumur hidupku, Mama selalu memakai parfum yang sama. Kulepaskan pelukan dan menatap Mama yang masih cantik meski usianya sudah melampaui setengah baya. Mama adalah sosok nyata perempuan yang sangat menjaga penampilan di sela-sela kesibukan yang cukup tinggi. Mama hanya bersedia keluar rumah dalam keadaan cantik.
"Iya, Mama memang ganti parfum. Untuk penyegaran. Bosan puluhan tahun pakai parfum itu-itu melulu. Gimana? Enak nggak wanginya?" Mama meminta pendapatku. Aku mengendus ke arah Mama.
"Enak banget. Jujur aja Ma, lebih enak yang ini ketimbang yang biasa," aku mengaku.
"Serius, kan? Hmmm, berarti Mama nggak salah pilih, nih." Kemudian Mama membalikkan tubuhku ke arah pintu kaca sebelum mendorong punggungku dengan lembut. "Tidur sana! Kamu seharusnya udah mimpi sejak jam sembilan."
Aku membalikkan badan dan mengajukan protes. "Ma, umurku udah dua puluh tahun."
"Di mata Mama, kamu masih balita."
Andai itu benar, rasanya aku pasti akan sangat bahagia. Anak balita adalah makhluk yang hidup tanpa beban. Tidak perlu mengkhawatirkan apa pun selain tidur siang.
"Selamat tidur, Sayang. Mimpi yang bahagia."
Aku meninggalkan Mama dengan senyum mengembang. Masuk ke kamar dan merebahkan diri di ranjang, aku tetap tidak mampu mengundang kantuk. Sakit di kepalaku sudah berkurang, tapi tidak membuat pikiranku menjadi bening. Aku masih sekusut dan sekacau sebelumnya.
Aku mencemaskan pagiku esok hari. Jika aku tak bisa terlelap, bisa jadi aku akan bangun kesiangan. Sementara aku harus mengikuti kuliah pukul 8 pagi. Ingatanku kembali pada sahabatku. Hari ini, aku menyadari satu hal. Siapa bilang kisah di sinetron itu terlalu berlebihan? Faktanya, kehidupan nyata kadang jauh lebih mencengangkan ketimbang kisah rekaan. Lebih kompleks dan meremangkan bulu roma.
Rasa haus menyiksa tenggorokanku. Aku enggan untuk bangkit dan keluar kamar. Namun sepertinya leherku terlalu kering untuk diabaikan begitu saja. Aku pun memaksa tubuhku untuk bangun dari ranjang, menyeret kaki untuk melangkah malas.
Suasana rumah demikian sepi. Aku menuju dapur dan mengambil air es dari dalam kulkas. Saat hendak kembali ke kamar, aku bisa menangkap suara tawa milik Mama. Tawa yang dipenuhi oleh amunisi bahagia. Ah, hatiku pun ikut serta merasakan lonjakan kegembiraan.
"Mama sudah kayak remaja yang lagi puber aja. Apa nggak bosan nelepon Papa berjam-jam? Padahal besok mereka ketemu lagi," gumamku geli. Cinta seperti itu yang kelak ingin kumiliki.
Paginya, aku terlambat bangun andai Mama tidak menepuk-nepuk pipiku dengan kencang. Aku mencoba membuka mata yang terasa seperti diganduli seisi dunia. "Ma, kenapa aku... dibangunin?" tanyaku malas.
Mama menarik selimutku, mematikan AC, serta membuka jendela selebar mungkin. "Ini udah hampir setengah tujuh. Mama berusaha membangunkanmu sejak satu jam yang lalu."
Aku terlonjak kaget. Setengah tujuh? Aku mandi dan berpakaian dengan terburu-buru.
"Sarapan dulu, Lea," kata Mama sambil menunjuk roti panggang yang sudah tersedia di meja makan ketika aku hendak pamit.
"Maaf Ma, nggak sempat. Nanti aku beli makanan di kampus aja. Aku pergi dulu, ya?" aku mengecup kedua pipi Mama sekilas. Papa sepertinya benar-benar tidak pulang. Hanya ada aku, Mama, dan asisten rumah tangga, Mbak Gina.
Aku mirip seorang buronan yang sedang dikejar polisi. Melakukan segalanya dengan terburu-buru. Untungnya, buku-bukuku sudah tersusun rapi sejak kemarin siang. Kalau tidak, aku sangat yakin pasti ada yang tertinggal..
Di perjalanan aku berdoa mati-matian semoga tidak terlambat. Karena jika itu terjadi, aku tidak akan diizinkan masuk ke dalam kelas. Dosenku pagi ini adalah orang yang sangat disiplin. Tidak ada mahasiswa yang dapat masuk ke dalam kelas jika beliau sudah datang.
Aku berjalan secepat yang aku bisa. Suara sepatuku ikut meramaikan dengung di koridor yang cukup ramai. Saat berjarak beberapa meter dari kelas, aku terpana oleh satu pemandangan bodoh yang tak terduga.
Di sana, hanya dua meter dari pintu ruang kuliahku, Krishna duduk di bangku beton. Ia tidak sendiri, melainkan bersama seseorang. Cewek cantik yang aku lupa namanya tapi sejak lama sudah terpikat pesona Krishna. Mereka bercanda dan berbincang dengan cara yang sangat akrab.
Darahku seakan menggelegak. Bukan oleh cemburu, tapi oleh rasa marah pada kebodohanku yang bisa tertipu karena menyukai cowok berlesung pipit itu. Aku bisa melihat tatapan tajam Krishna ke arahku. Lalu tingkah menyedihkan yang ditunjukkannya : pamer keakraban dengan cewek barunya. Seakan dengan begitu aku akan cemburu sampai sinting dan menyesali putusnya hubungan kami. Dasar cowok kelas rendah!
Bibirku bergerak, siap meliukkan kata-kata tajam yang akan membuat wajah Krishna terpanggang oleh rasa malu dan... mungkin kemarahan. Kepalang basah, kan? Emosi membuatku tidak waspada. Aku tersandung saat harus melewati dua anak tangga dan nyaris terjerembap di lantai kalau saja seseorang tidak buru-buru menangkap lenganku.
"Pagi, Leala. Buru-buru banget, ya?" Marcus tersenyum di depanku. Tanpa kentara, cowok itu menarikku agar terus berjalan menuju ruang kelas. "Pasti hari ini ada kelas Pak Aldy dan kamu nyaris telat," tebaknya jitu. Ini kali pertama cowok itu bicara padaku. Biasanya, Marcus hanya menatapku sambil tersenyum tipis ketika kami berpapasan.
Lagu : Cinta Yang Lain (Chrisye ft. Ungu)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top