Les Masques [1]
Aku terdiam lama, tidak kuasa melisankan kata-kata. Seolah bibirku mengebas. Kutatap wajah Kimi yang sangat lesi. Tidak ada tanda-tanda jika dia sedang bergurau. Astaga, inikah yang selama ini dialami sahabatku? Apakah tidak tertukar dengan kisah tragedi lain yang pilu dan tak masuk akal?
"Berapa lama dia jadi... ?" Aku tak sanggup menuntaskan kalimatku.
"Empat bulanan."
"Kenapa kamu mau aja, Kim? Kenapa nggak ngelawan? Lapor polisi, bila perlu!"
"Kamu kira aku nyerah gitu aja? Aku berkali-kali menolak, tapi Donnie mengancam. Dia ternyata diam-diam pernah merekam waktu kami... bersama. Bukan cuma satu video tapi tujuh! Dia bersumpah akan nyebarin video itu dan bikin aku malu. Kadang, dia juga main tangan kalau merasa aku ngeselin." Kimi mengerang pelan, membuat kegeramanku kian mengawan.
"Dia juga bilang bakalan ngasih video itu ke Mama dan kampus. Kalau perlu, di-upload di medsos. Intinya, dia mau bikin aku hancur dan nggak punya pilihan. Kecuali... aku bisa nebus video itu dengan jumlah uang yang nggak masuk akal." Kimi mengangkat wajah, menatapku dengan ekspresi paling putus asa yang pernah kulihat dalam hidup. "Jadi, aku nggak punya pilihan, Lea."
Aku benar-benar ingin muntah. Donnie, yang hingga beberapa menit silam kuanggap sebagai laki-laki dewasa yang pas untuk mendampingi Kimi, ternyata monster berhati iblis.
"Gimana kamu bisa lepas dari Donnie?" tanyaku pelan. Saat itu, menyebut nama laki-laki laknat itu rasanya menjijikkan.
"Suatu hari... Donnie bilang ada laki-laki yang pengin bersamaku." Kimi terbatuk di ujung kalimatnya. "Dia mengantarku ke Hotel Metrum untuk ketemu si klien. Itulah kali pertama aku kenal Ravel, yang tadi disebut-sebut mamamu itu."
Aku melongo. Cerita Kimi menyimpan begitu banyak kejutan. "Ravel itu yang punya Hotel Metrum?" tebakku. "Itu hotel bintang lima yang belum lama berdiri di Jakarta, kan?"
"Iya, hotel bintang lima yang lagi ngetop. Tapi bukan Ravel yang punya. Dia dan dua temannya jadi bos di Hotel Cakrabuana." Kimi terdiam ketika ponselnya berdering. Dia meraih gawainya, meragu sesaat sebelum akhirnya meletakkan kembali benda itu.
"Lalu... kamu dan Ravel akhirnya..." aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Kimi mengejutkanku karena menggeleng pelan.
"Percaya atau nggak, Ravel cuma butuh teman ngobrol. Dia udah nikah, Lea. Tapi, entah benar atau nggak, hubungan sama istrinya nggak mulus. Kata Ravel, istrinya nggak cinta sama dia. Mau nikah pun karena uangnya. Ravel pernah bilang, dulu dia optimis bisa bikin istrinya jatuh cinta. Tapi kayaknya nggak berjalan lancar. Apalagi istrinya pindah ke Singapura, ngurus bisnis keluarganya. Mereka paling ketemu sebulan sekali, seringnya Ravel yang terbang ke sana." Suara ponsel terdengar lagi. Kali ini, Kimi mematikan gawainya begitu saja.
"Entah tujuannya mau narik simpatiku atau memang kayak gitu kondisinya, aku nggak tau. Aku juga tau ceritanya baru-baru ini, setelah kami makin dekat. Dulu, Ravel nggak pernah ngomong apa-apa soal statusnya. Kukira dia masih lajang.
"Beberapa kali aku 'kencan' sama Ravel. Katanya dia betah ngobrol sama aku. Sampai akhirnya... aku keceplosan soal Donnie. Waktu itu, gara-gara Ravel tanya kenapa aku milih profesi itu. Entah gimana, aku nggak tau detailnya, suatu hari Ravel berhasil dapetin semua video itu dari Donnie. Dia juga bilang, aku nggak perlu lagi takut sama Donnie dan menuruti semua kemauannya. Sejak itu, Donnie nggak pernah lagi ngontak aku."
Aku baru sadar kalau sejak tadi sudah menahan napas karena terlalu tegang. "Jadi, sekarang kamu nggak lagi jadi... hmmm... kamu taulah maksudku," kataku tak nyaman.
Kimi menggeleng pelan. "Tapi, aku tetap nggak bisa lagi balik kayak Kimi yang dulu. Ravel mulanya cuma mau menolongku. Sayangnya, belakangan semua malah jadi rumit, Lea. Waktu dia bilang pengin bersamaku, aku mau. Bukan karena merasa berutang budi. Tapi karena aku juga udah jatuh cinta sama dia. Di mataku, dia itu pahlawan. Pangeran berkuda putihku." Kimi menjatuhkan satu bom lagi. "Aku tau, seharusnya nggak pernah setuju. Dia udah punya istri dan aku nggak boleh ngerusak rumah tangga orang."
Kejutan bertubi-tubi yang berasal dari bibir Kimi membuat kepalaku berputar. Dalam kondisi normal, aku pasti sudah memintanya berpisah dari Ravel. Namun setelah tahu apa saja yang sudah dilakukan Donnie, bagaimana bisa aku memaksa Kimi menjauhi laki-laki yang dianggap sebagai penyelamat hidupnya?
"Jadi, selama ini kamu sering pergi bareng Ravel ke tempat umum? Nggak pernah takut ketauan?" kataku dengan suara lemah. Aku akhirnya memutuskan untuk berbaring menelentang di ranjang. Kimi juga merebah di sebelah kiriku.
"Nggak terlalu sering. Kalaupun harus, pasti ada orang lain yang ikutan. Asisten atau salah satu karyawan yang dia percaya, supaya nggak nyolok. Mungkin itu sebabnya mamamu nyangka kalau aku jadi karyawannya Ravel." Kimi terdiam sesaat. "Tapi, kami rutin ketemuan. Karena sekarang ini kami pasangan."
Kepalaku makin berdenyut. "Apa dia baik sama kamu, Kim?"
"Ya, baik banget. Minimal, aku nggak terlalu pusing mikirin soal uang untuk keluargaku." Kimi tertawa pahit di ujung kalimatnya. "Aku hina banget ya, Lea? Pada akhirnya, semua berorientasi sama uang. Aku juga nggak nyangka bisa jadi cewek serendah ini. Dulu, aku cuma pengin kerja untuk membiayai semua kebutuhan keluargaku. Aku nggak keberatan kerja keras. Tapi akhirnya... aku malah jadi selingkuhan."
Aku terkelu. Lidahku terlalu kebas untuk merespons. Aku tahu kondisi keluarga Kimi. Dia punya tiga orang adik. Ibunya hanya bekerja sebagai kasir di sebuah departemen store. Setelah ayahnya meninggal dunia, kondisi kesehatan ibunda Kimi ikut merosot. Itulah penyebab Kimi mulai mengambil alih tanggung jawab sebagai pencari nafkah utama di keluarganya. Dia pun menjajal pekerjaan sebagai SPG karena alasan waktu yang relatif bisa dikompromikan dan bayaran yang lumayan.
Salah satu adik Kimi, Yuka, menderita thalassemia dan wajib melakukan transfusi darah secara rutin. Belum lagi biaya sekolah yang tidak sedikit untuk tiga orang sekaligus. Selain itu, keluarga Kimi juga memiliki sejumlah utang untuk mengobati ayahnya yang sakit. Uang, adakalanya sungguh mampu menimbulkan kekalutan. Memicu malapetaka.
"Itulah sebabnya aku selalu ngingetin kamu, cinta harus sesuai porsinya. Aku nggak mau kamu mengalami hal yang sama kayak aku. Aku nggak bilang kalau semua laki-laki kayak Donnie. Tapi kita tetap harus waspada. Di sisi lain, aku juga nggak mungkin ngomong terang-terangan tentang pengalamanku. Aku nggak berani."
Aku masih kesulitan mencerna pengakuan Kimi. Apa yang dialaminya lebih mirip kisah sinetron, bukan fakta.
"Lea..." panggilnya dengan suara ragu.
"Hmm?" Mataku masih terpejam.
"Kamu nggak akan ingkar janji, kan? Kamu tetap mau sahabatan sama aku, kan? Nggak marah dan jijik sama semua kelakuanku?"
Setelah semua yang dilakukan Donnie, dikombinasikan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi Kimi, apa aku pantas marah dan menghakiminya?
"Kenapa kamu nggak pernah ngomong sama aku?"
Kimi memiringkan tubuh untuk menghadap ke arahku. "Kamu nggak tau betapa beratnya ini buatku. Aku selalu pengin jujur sama kamu. Tapi, aku takut kita..."
"Apa? Nggak temenan lagi?" sergahku cepat. "Kamu menghinaku kalau mikir begitu, Kim! Kamu sahabatku, terlepas apa pun yang kamu buat di luar sana."
Kimi tersenyum layu. "Maaf."
"Jadi, pada akhirnya... uang yang bikin kamu mau tetap sama... Ravel?" Aku terbatuk setelah mengajukan pertanyaan itu.
"Awalnya, aku nolak tawaran Ravel meski... jatuh cinta sama dia. Kayak yang tadi kubilang, aku nggak mau merusak rumah tangga orang. Aku lega karena nggak perlu lagi terpaksa melacur. Menimbun dosa dengan penghasilan minim karena sebagian besar diambil Donnie. Sampai suatu saat, Yuka harus transfusi darah dan aku lagi nggak punya uang. Waktu itu, sahabatmu yang bodoh ini bahkan nggak tau kalau ada BPJS Kesehatan. Jadi, aku cuma punya satu jalan keluar. Minta bantuan Ravel."
"Dan dia memanfaatkan kondisimu?" tebakku.
"Sayangnya, nggak. Dia nggak pernah memaksaku untuk bersamanya, Lea. Itu yang justru bikin aku mengubah keputusan." Kimi tampak merenung. "Aku nggak nyari pembenaran atau semacamnya. Apa yang sekarang kulakukan ini salah, aku tahu banget itu. Setelah ketemu Donnie yang lebih mirip monster, bisa kenal laki-laki kayak Ravel, itu rasanya hampir mustahil. Apa pun dosa yang kami lakukan, itu karena persetujuanku."
Aku tak mampu berkata-kata selama belasan detik. Keheningan yang menggantung di udara membuat bulu tanganku meremang.
"Inilah aku yang sebenarnya, Lea. Masalah cinta dan uang bikin aku sampai kayak begini. Aku terlalu lemah sampai nggak bisa menolak Donnie. Lalu sekarang Ravel. Padahal, saat ini aku punya pilihan. Karena nggak ada orang yang mengancamku harus mengikuti maunya. Tapi nyatanya aku menyerah. Menjijikkan, ya?"
"Ssttt..." tukasku sambil bergerak untuk memeluknya. Aku kehabisan kata-kata. Membayangkan sahabatku dipaksa melacur oleh kekasihnya sendiri, bahkan kadang dipukuli, aku sungguh ingin memutilasi Donnie.
Aku tidak bertanya lebih detail lagi. Aku tak sanggup jika harus mendengar lebih banyak hal yang mengejutkan. Aku juga malu karena tidak ada saat dia menderita.
"Makasih Lea. Kamu bisa ngertiin aku."
Kutepuk pipi kirinya yang dingin setelah mengurai pelukan. "Lain kali, jangan main rahasia-rahasiaan lagi! Aku ini sahabatmu, maka perlakukanlah aku kayak gitu. Kita akan berbagi semua suka, duka, pahit, manis, dalam hidup. Gimana?"
Kimi mengangguk. Aku bisa melihat matanya yang berkabut. "Satu hal lagi..."
"Apa?" tanyaku deg-degan.
"Aku nggak berniat jahat waktu menawarimu jadi SPG. Aku tau keluargamu berkecukupan. Pasti orangtuamu nggak akan ngasih izin kalaupun kamu berminat kerja. Aku cuma ingin kerja bareng kamu. Dan ngeliat kamu belajar mandiri secara finansial. Nggak ada ruginya, kan? Bukan kerjaanku yang bikin aku jadi kayak gini..." suara Kimi terhenti sesaat. "Tapi karena aku memilih pacar yang salah."
Kimi memandangku dengan tatapan memohon. Seakan-akan dia adalah seorang terdakwa yang tertangkap basah sedang melakukan kejahatan yang mengerikan dan tak termaafkan.
"Hush! Kamu ini ngomong apa, sih?" potongku cepat.
Kimi memandangku tak berdaya. "Kita sama-sama tau, banyak SPG yang..."
"Kimi, udah deh. Aku nggak pernah punya pikiran sampai sejauh itu. Aku percaya sama kamu. Semua balik lagi ke orangnya. Apa pun kerjaannya, kalau dasarnya nggak bener, bisa nyambi jadi yang serba plus-plus," tukasku.
Lagu : Crazy (Gnarls Barkley)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top