Everything for You (3)
Kunjungan ke klub itu ternyata tidak berhenti sampai di situ. Aku tidak lagi banyak protes ketika diajak untuk yang kedua kalinya. Dan berhenti menolak setelah yang ketiga kalinya.
Begitulah yang terjadi. Ternyata ada hal-hal liar yang selama ini tertidur di bawah kulitku. Begitu mendapat kesempatan untuk melepaskan diri, aku tak bisa lagi melakukan apa-apa untuk mengendalikannya. Aku ikut larut mencobai tantangan yang menakutkan sekaligus menggairahkan.
"Kamu harus tanggung jawab, Rein," gurauku suatu kali. Tak kusangka, wajah lelaki itu bertukar warna. Dia terlihat sangat takut dan cemas. Seketika meledaklah tawaku.
"Kamu kenapa? Kamu kira aku hamil? Jangan cemas gitu! Yang kumaksud 'tanggung jawab' tadi adalah soal dosa. Kamu udah bikin aku jadi berlumur dosa. Makin lama makin banyak."
Seketika ada kelegaan luar biasa yang tergambar di wajah Reiner. Entah kenapa, tiba-tiba ada yang terasa meremas perutku. Laki-laki ini punya satu kekurangan besar seperti tebakanku: takut pada komitmen. Aku tidak tertarik untuk menikah dengannya. Namun responsnya barusan terasa menyakitkan.
Reiner mengelus punggungku dengan kemesraan yang menaikkan denyut jantung. "Dosa itu rasanya manis, Lea. Bukankah dosa selalu menimbulkan efek ketagihan yang bikin mabuk?"
Bibirku tersenyum mendengar kata-katanya itu, sekaligus membenarkan dalam hati. "Tapi itu mencemariku yang sebelumnya masih sangat polos," bantahku sambil menghadiahinya senyum.
Aku tidak keliru mengucapkan kalimat itu. Sebelumnya, aku tidak terjamah oleh aktivitas berbau seksual yang kental seperti ini. Namun Reiner menyeretku ke sana secara halus.
Apakah aku menyukainya? Sejujurnya saja, tidak. Aku tidak suka, tapi juga tidak membencinya. Ketika tercebur di dalamnya, aku bisa menjalaninya dengan santai dan tanpa beban. Bahkan mungkin menikmatinya. Namun jika suatu ketika nanti hal seperti ini tidak lagi kami lakukan, pasti aku pun tidak akan merasa keberatan. Tidak merasa kehilangan.
Bersama Reiner, sepertinya tidak ada yang "cukup". Ibarat menu, klub striptis hanyalah makanan pembuka. Setelah merasa bosan dengan aktivitas di sana yang tidak pernah berbeda, Reiner mengajakku menjelajahi pengalaman berbau seksual lainnya.
Pengalaman kedua, Reiner membawaku mengunjungi pertunjukan langsung sebuah hubungan intim. Seperti sebelumnya, aku menolak mentah-mentah kali pertama diajak.
"Jangan Rein, aku nggak mau. Bisa muntah nanti lihat orang bercinta. Apa nggak ada tontonan lain? Kamu kan bisa nonton film porno pakai DVD aja," sergahku jijik, hampir menggigil.
Seperti biasa pula, Reiner punya sejuta jurus untuk membuatku menuruti kemauannya tanpa merasa terintimidasi. Aku tercengang saat melihat lelaki itu mengajakku ke sebuah hotel terkenal di Bandung. Kukira, kami akan mengunjungi tempat terpencil seperti pengalaman sebelumnya.
"Rein, kita mau apa ke sini? Pesan kamar sebelum ke tempat ... itu?"
Aku tidak sanggup mengatakan tempat tujuan kami. Reiner malah tersenyum tipis dan melepas kacamata hitam yang sejak tadi dikenakannya. Dengan kacamata trendi yang harganya menakjubkan itu, pesona Reiner meningkat beberapa persen.
"Kenapa? Kamu nggak yakin kita bakalan bisa menemukan pertunjukan liar di tempat kayak gini?" tantangnya. Matanya berbinar jail, senyumnya masih bertahan sambil melihat reaksiku.
"Hah?" aku menutup mulut tanpa sadar. "Jangan bilang kalau tempatnya di sini!"
Reiner meraih segenggam rambutku yang tergerai dan mengecupnya sekilas dengan lembut. "Ayo turun, Lea! Kamu bakalan kaget kalau tau ada begitu banyak rahasia yang disembunyikan di tempat-tempat sepopuler ini. Mereka ngasih 'pelayanan' ekstra untuk orang-orang yang berdompet seksi."
Reiner keluar dari mobil. Aku tak punya pilihan kecuali mengikutinya. Kusambar tasku, tapi Reiner memberi isyarat untuk meletakkannya lagi di dalam mobil. "Jangan bawa apa pun, bahkan ponsel. Tinggalin di mobil aja." Lelaki itu menunjuk ke satu arah. "Ke arah sini, Lea. Kita nggak akan lewat lobi."
Gelap sudah merangkak di atas Tanah Pasundan sejak tadi. Reiner membimbingku memasuki sebuah pintu khusus yang terletak di belakang hotel. Suasana di situ cukup sepi. Tidak ada penjaga di sana, hanya ada sebuah panel yang dipenuhi tombol. Reiner menekan beberapa kali sebelum pintu membuka. Ternyata pengunjung harus memasukkan kode akses tertentu.
"Apa nggak pernah ada yang masuk tanpa izin?" bisikku setelah pintu membuka. Kami kini berjalan memasuki lorong yang cukup gelap. Reiner menggandeng tanganku.
"Kodenya diganti secara berkala. Kode yang baru hanya dibagikan sejam sebelum acara. Sistemnya sama kayak di klub, bayar biaya masuk dulu sebelumnya," jelasnya.
Aku sempat tersandung karena lorong itu memang cukup gelap. Reiner menyelamatkanku sehingga tidak terjerembap ke lantai.
Lorong itu ternyata hanya sepanjang tujuh atau delapan meter. Ada beberapa pintu di ujungnya dengan lampu merah dan biru yang berkedip di bagian atasnya. Reiner mengajakku masuk ke dalam pintu berlampu biru. Aku bisa menebak artinya, tidak ada orang di sana. Kami memasuki lorong lagi setelah beberapa meter berjalan, yang makin lama ukurannya kian lebar. Lagi-lagi aku dan Reiner berhadapan dengan pintu-pintu seperti tadi. Reiner kembali memilih pintu dengan lampu biru yang berkedip tak henti.
Begitu pintu menutup, terdengar bunyi klik, menandakan pintu terkunci otomatis. Kukira kami akan masuk ke lorong lagi. Ternyata salah! Kami berada di sebuah ruangan kecil dengan dua buah sofa nyaman yang cukup untuk kami berdua. Di depan kami ada sebuah tirai gelap yang menutup pemandangan ke arah depan. Aku penasaran ingin tahu.
"Sabar, Lea! Nanti kamu bakalan tau apa yang ada di depan. Sini!" Reiner menarik tanganku dan mengisyaratkan agar aku duduk di sebelahnya. Lengan kanannya melingkari bahuku.
"Kita nggak ketemu siapa pun," gumamku tiba-tiba.
"Tentu aja. Kalau di lorong masuk masih ada orang, pintu depan tadi nggak akan terbuka. Begitu seterusnya. Jadi, nggak ada kemungkinan untuk ketemu orang lain di lorong," balasnya lembut.
"Oh, gitu. Untuk alasan privasi?"
"Yup. Mereka nyiapin keamanan seketat mungkin, tapi bukan dengan cara membayar penjaga bermuka sangar. Percuma dong teknologi udah demikian maju kalau masih mengandalkan semacam bodyguard," urai lelaki itu.
Tidak lama kemudian tirai terangkat secara otomatis. Begitu layar naik, kami disuguhkan pemandangan sebuah ruangan lumayan besar. Bentuknya bundar. Ada berbagai perabotan di dalamnya, mulai dari tempat tidur ukuran king hingga sofa. Juga ada berbagai sex toy yang cuma pernah kulihat di film atau internet. Tebakanku, ada banyak penonton seperti kami di sekeliling ruangan itu. Jadi, semua bisa melihat ke ruangan bundar ini, tapi tidak akan pernah tahu siapa yang sedang menonton di ruang sebelah.
Suara musik instrumentalia nan lembut mulai membelai telinga. Lalu beberapa orang memasuki ruangan, tiga orang perempuan dan dua orang lelaki. Dan adegan yang seharusnya tidak menjadi tontonan untuk konsumsi umum pun dimulai!
Pengalaman ketiga, menurutku lebih mencengangkan. Kali ini Reiner tidak memberitahukan tujuannya kepadaku dengan jelas. Dia membawaku ke sebuah dermaga pribadi di kawasan Jakarta. Lalu, kami naik ke sebuah kapal pesiar. Yang mengherankan, Reiner hanya memintaku menyiapkan pakaian ganti saja. Waktu kutanya, dia hanya tersenyum penuh misteri.
Aku mungkin buta soal ukuran, tapi menurutku kapal pesiar ini cukup besar dan mewah. Ruang di dalamnya disulap sedemikian rupa sehingga di bagian tengah terdapat semacam kolam renang dengan gelembung sabun memenuhi permukaannya.
Jangan bayangkan akan ada lomba berenang di antara para tamu yang berdandan cantik dan wangi. Jangan pula menebak akan ada pertunjukan melepaskan bikini di sana. Bukan itu. Pertunjukannya dimulai setelah kapal itu berlayar sekitar setengah jam.
Kolam penuh busa itu bisa dicapai setelah para tamu menuruni sepuluh buah anak tangga. Terdengar musik mengentak untuk menghangatkan suasana. Aku memilih bertahan di tempat dudukku bersama Reiner. Satu persatu orang turun mengitari kolam renang. Mereka mulai menari mengikuti irama, bersama pasangannya masing-masing. Ada yang tidak bisa menahan diri dan mulai masuk ke dalam kolam yang dipenuhi gelembung sabun luar biasa banyak itu. Pamer kemesraan yang begitu intim pun mulai terlihat.
"Siap untuk nyoba pengalaman baru?" Reiner mengulurkan tangannya. Hanya tersisa beberapa pasangan yang masih bertahan dan menjadi penonton. Bergelas-gelas minuman mungkin menjadi pendorong bagi keberanian banyak orang. Sehingga tidak mempedulikan rasa malu lagi. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Entah karena pengaruh pemandangan di kolam busa, minuman, atau kombinasi keduanya. Aku menatap mata Reiner yang tampak berbinar. Tanpa kata, aku menyambut tangannya.
Aku tidak pernah memikirkan secara serius apakah kebiasaan Reiner tergolong penyimpangan seksual? Atau sebuah hal yang wajar karena terdorong keinginan untuk menjajal pengalaman baru sekaligus menghabiskan uangnya? Yang pasti, makin lama aku mulai terganggu.
Frekuensi mendatangi tempat-tempat ajaib yang kian sering itu membuatku mulai menunjukkan kekhawatiran. "Rein, apa ini nggak berlebihan? Kamu ngeluarin duit terlalu banyak. Ini udah yang kedua di bulan ini kita naik kapal pesiar. Apa nggak sayang tuh duit?"
"Lea, jangan pelit! Duit nggak akan dibawa mati. Nyantai aja, duitku masih banyak," balasnya ringan.
Aku berusaha mengajaknya kembali pada kebiasaan "normal" ketika kami mulai dekat dulu. Menonton film dalam arti yang sebenarnya, misalnya. Atau berkencan tanpa perencanaan matang. Namun Reiner menolak mentah-mentah.
"Aku cinta banget sama kamu, Lea. Makanya aku pengin nunjukin banyak hal yang mungkin nggak pernah kamu bayangin. Hal-hal yang dikira orang cuma ada di dunia fiksi."
Oke, aku tahu dia mencintaiku. Minimal Reiner mengakuinya berkali-kali tanpa sungkan. Dia juga menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang besar padaku. Niat untuk memperkenalkan hal-hal baru di luar sana pun cukup masuk akal. Masalahnya, kenapa selalu harus berbau seks?
"Rein, kita nggak perlu terlalu sering ke tempat-tempat kayak gitu."
Reiner menatapku dengan heran. Hal itu tergambar dari alisnya yang terangkat dan ujung hidungnya yang mengerut. "Kenapa? Kamu nggak suka?"
"Bukan gitu! Ini pemborosan besar-besaran, Rein! Kamu..."
"Jangan mikirin soal duit, bisa nggak? Uang itu bukan segalanya, Leala Sayang."
Adu argumen di antara kami selalu dimenangkan Reiner. Hingga mencapai titik balik yang tak terduga. Seperti biasa, Reiner memperkenalkan petualangan baru seputar dunia orang dewasa yang selalu menyertakan uang, adrenalin, libido, dan musik. Acaranya diadakan di sebuah perumahan elit di jantung kota Jakarta. Ada belasan pasangan yang datang ke sana.
Awalnya, kukira tidak akan ada aktivitas berbau seks di sini. Sejauh yang kulihat, acaranya lebih mirip arisan keluarga. Semua berdandan rapi dan sopan. Makanya aku tak bisa bernapas ketika Reiner membisikkan sebuah kalimat di telingaku.
"Kamu bisa pilih siapa yang pengin kamu jadiin pasangan. Khusus malam ini, aku membebaskanmu dimiliki orang lain. Aku mau jadi penonton aja. Aku janji, nggak akan cemburu atau marah."
Aku pengar, murka, dan nyaris muntah seketika.
Lagu : You Are The Reason (Calum Scott)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top