Everything for You (2)
"Kalian cocok, itu yang kulihat. Memang, kamu masih muda banget. Tapi bukan berarti nggak boleh nikah, kan? Reiner juga kayaknya cinta banget sama kamu. Lain halnya..." Kimi berhenti. Aku tahu apa yang ingin diucapkannya. Pasti menyinggung nama Ravel, lelaki yang dicintainya tapi tak bisa dimiliki sepenuhnya.
"Lagian Kim, aku nggak pernah ngebayangin kami akan menikah suatu saat nanti. Semacam hal yang mustahil gitu deh," imbuhku kemudian.
Dari cermin aku bisa melihat mulut Kimi terbuka. "Kenapa nggak mungkin?"
"Selain alasanku tadi, aku juga nggak yakin Reiner tertarik untuk itu."
"Siapa bilang? Memangnya Reiner pernah ngomong soal itu?"
"Nggak, sih," aku melirik arlojiku sekilas. "Tapi aku cukup kenal dia."
"Oke, anggap kamu benar. Tapi bukan berarti Reiner mustahil berubah pikiran, lho!"
"Aku ... gini, deh. Reiner bisa digolongkan sebagai bad boy. Dan cewek-cewek selalu penasaran mau menaklukkan cowok tipe ini. Mereka menganggapnya sebagai tantangan yang mengasyikkan."
"Tantangan?"
"Iya, tantangan. Bayangin tingkat kepuasan seseorang andai berhasil menaklukkan apa yang selama ini nggak bisa dijinakkan sama cewek lain. Pasti dong, ada kebanggaan tersendiri. Tapi, aku bukan tipe cewek kayak gitu. Aku nggak tertarik 'menyelamatkan' siapa pun. Aku nggak berminat sama bad boy. Bermimpi mengubah hidup seorang cowok yang enggan berkomitmen? Aduh, itu bukan aku banget. Aku nggak sehebat itu, sampai mampu bikin seseorang berubah pikiran untuk hal seserius itu."
***
"Ingat ya Lea, kamu harus setia sama aku," ujar Reiner sambil memainkan segenggam rambutku di jarinya.
Aku bersandar pada lelaki itu. Kami sedang duduk berdua di balkon apartemennya, menikmati pemandangan lewat tengah malam Jakarta yang tidak pernah tidur. Selimut membalut tubuh kami. Tangan kanan Reiner mendekap tubuhku.
"Kapan sih aku nggak setia sama kamu? Aku bukan tipe kayak gitu. Meski..." Aku sengaja menggantung kalimatku. Reiner pasti ingin tahu apa yang terpenggal dari bibirku.
Benar saja. "Meski apa?" tanyanya penasaran. Reiner memang orang yang mudah ditebak.
"Meski... aku ngerasa kamu terlalu banyak jelalatan. Mata keranjang," kecamku halus. Aku mendengar suara tawa rendah lelaki itu.
"Aku cuma memanjakan mataku. Nggak lebih dari itu. Tapi aku setia sama kamu," Reiner mengecup rambutku sekilas. Aku memejamkan mata, menikmati saat-saat itu.
Reiner menghadiahiku keintiman yang membuat hatiku hangat. Apakah itu karena masalah keluargaku yang selalu menusuk-nusuk diriku? Mungkin saja. Mungkin ada kegelapan dan kekosongan yang selama ini tidak terjamah. Begitu Reiner hadir, dia berhasil menyingkirkan semuanya tanpa sisa.
Reiner tidak cuma membuatku punya tabungan dalam jumlah mencengangkan. Reiner mengajakku menaiki rollercoaster asmara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Awalnya, dia hanya mengajakku berbagi tempat tidur saja.
Dia juga pernah mengajakku untuk pindah ke apartemennya. Namun kutolak, beralasan sangat tidak praktis menetap di Jakarta tapi kuliah di Bogor. Pekerjaanku pun mengharuskan lebih banyak berada di Bogor. Lelaki itu tidak mendesak lebih jauh.
Reiner tidak pernah membicarakan keluarganya secara terbuka. Namun dari kepingan-kepingan informasi yang meluncur dari bibirnya ataupun dari Kimi, aku bisa menarik kesimpulan.
Reiner berasal dari keluarga kaya, jika tidak mau disebut konglomerat. Dia pernah bersekolah di Inggris selama bertahun-tahun. Pulang ke Indonesia, Reiner ikut mengurusi usaha keluarganya yang bergerak di bidang migas bersama saudara-saudaranya. Sepanjang kebersamaan kami, aku bisa melihat jika dia selalu dimanjakan. Reiner mungkin tidak pernah gagal mendapatkan apa pun yang diinginkannya.
Mungkin itu yang membuat dirinya tidak jua benar-benar matang meski usianya sudah cukup. Aku merasakan ada bagian dirinya yang masih kekanakan. Entah ada hubungannya atau tidak, Reiner ternyata suka mencicipi aneka hal-hal baru seputar seks. Aku pun diajaknya serta setelah hubungan kami menginjak usia tiga bulanan.
"Apa? Ke klub striptis?"
Aku hampir menjerit ketika melontarkan kalimat itu. Reiner memandangku dengan santai. Dalam mimpi paling horor sekalipun, aku tidak pernah membayangkan akan datang ke sebuah klub striptis. Tempat di mana para perempuan bertubuh indah melepaskan pakaiannya satu demi satu tanpa merasa keberatan.
"Ada sebuah klub yang udah lama nggak aku datangi. Tempatnya asik, pengunjungnya nggak terlalu ramai. Kamu pasti suka. Ayolah Lea, jangan terlalu kaku gitu!"
Aku berusaha menolak dengan segudang alasan yang masuk akal. "Ke tempat kayak gitu mungkin menarik untuk laki-laki, tapi sebaliknya untuk cewek. Itu kan sama aja ngeliat diri sendiri berdiri di panggung dengan tiang dan mengerakkan tubuh seseksi mungkin?" kataku gusar. Tangan Reiner yang coba memelukku kutepis dengan kasar. Dia tidak tampak marah atau terganggu.
"Lea, apa salahnya kalau kita nyari pengalaman baru?"
Aku menoleh ke arahnya dengan kesal. "Rein, aku nggak butuh pengalaman baru kayak gitu!" bantahku.
Pada akhirnya, Reiner terbukti seorang negosiator yang sangat ulung. Dia bisa menjadi seorang pemaksa yang menakutkan. Parahnya lagi, orang yang dipaksa tidak merasakan itu. Reiner sangat halus dan lihai dalam memainkan perannya. Seperti yang sudah-sudah, aku pun akhirnya menurut pada keinginannya.
Dan di sinilah kami...
Reiner mengajakku ke sebuah bangunan mewah di salah satu sudut Jakarta yang tergolong sepi. Aku tidak tahu nama areanya karena belum pernah menjelajah belantara ibukota hingga sejauh ini. Yang jelas, halamannya sangat luas. Ada pagar yang tinggi di sekelilingnya. Dan penjagaan yang ekstra ketat di mana-mana. Reiner menunjukkan sebuah semacam kartu yang kemudian dipindai. Setelah ada hasilnya di layar monitor, baru diizinkan masuk.
Awalnya kukira itu kartu kredit. Ternyata bukan, meski bentuknya sangat mirip. Menurut Reiner, itu kartu khusus untuk memasuki tempat ini. Tidak semua orang bisa mendapatkannya. Ketika seseorang setuju untuk hadir, harus segera membayar sejumlah tagihan. Setelah urusan uang beres, barulah dipastikan mendapat meja. Aku terperangah mendengar penjelasan Reiner.
Ada puluhan mobil bermerek terkenal di sana saat kami tiba. Membuatku mengajukan protes tanpa pikir panjang. "Katamu nggak ramai, tapi ini?"
Reiner malah tertawa ringan tanpa menjawab. Di bawah siraman cahaya lampu, wajahnya kian menawan. Kecuali mata yang selalu jelalatan dan kegemarannya berbuat dosa asmara, Reiner adalah orang yang luar biasa. Penyabar, fisik menawan, memiliki uang, berpendidikan. Sebutkan saja daftar kriteria cowok idaman yang diinginkan, urutan teratas pasti bisa dipenuhi Reiner.
Sejak keluar dari mobil, Reiner menggandengku dengan mesra. Pria ini adalah orang yang tidak pernah sungkan menunjukkan kemesraan di depan umum. Bahkan aku menilai kalau Reiner tergolong posesif. Meski tidak pernah bicara apa pun, aku tahu dia cemburuan.
Reiner menunjukkan perasaannya dengan tindakan. Setiap kali ada lawan jenis yang memperhatikanku cukup intens, dia secara demonstratif akan menunjukkan perbuatan yang bisa diartikan sebagai ungkapan "cewek ini milikku".
Reiner mengajakku masuk ke sebuah ruangan yang sangat luas. Di bagian tengah terdapat panggung dengan beberapa tiang. Juga ada tirai-tirai tipis yang dipasang di berbagai tempat. Suasananya remang-remang. Meja-meja berbentuk bundar dipasang di sekeliling panggung. Hampir semuanya sudah terisi penuh.
Meski masih merasa kurang nyaman dengan tempat yang kami datangi, aku menurut ketika Reiner membimbingku ke sebuah meja untuk dua orang. Di atasnya sudah tersedia minuman dan berbagai makanan kecil.
"Gimana mungkin orang bisa makan sambil ngeliat cewek-cewek melepaskan bajunya?" sungutku sambil menunjuk ke atas meja.
"Lea, kamu nggak tau apa yang bisa dilakukan orang sambil nonton 'pertunjukan'. Makan itu cuma aktivitas kecil." Begitu melihat wajahku menjadi pias, Reiner buru-buru meralat. "Astaga, kamu takut banget, ya? Aku cuma becanda," suaranya membujuk.
Malam itu waktu rasanya lamban berjalan. Seolah tidak ada akhirnya hingga lampu-lampu dipadamkan. Kini, yang menyala hanya area panggung. Kemudian mulai terdengar suara musik. Awalnya pelan hingga kemudian volumenya kian kencang. Satu persatu perempuan cantik muncul di panggung. Berpakaian lengkap dan sopan.
Lalu mulailah pertunjukan horor itu dimulai. Setidaknya begitulah yang kuyakini saat itu. Ada tujuh orang perempuan memenuhi panggung. Mereka bergoyang mengikuti irama musik. Tentu dengan gerakan gemulai dan erotis. Aku menutup mataku dengan tangan, tapi Reiner memaksaku untuk melihat ke panggung. Aku terpaksa menurut sambil menggigit bibir.
Suasana menjadi panas ketika satu persatu wanita yang meliuk-liuk di balik tirai transparan dan tiang besi itu mulai melucuti pakaiannya. Tepukan dan teriakan terdengar di sana-sini. Tiap orang larut dengan apa yang dilihat di depan matanya. Membuatku tidak sempat memikirkan wajahku yang menjadi membara. Mengabaikan rasa malu yang bergumul di hati dan kepala.
Kian malam, pertunjukan makin liar. Jumlah pakaian yang dilemparkan ke arah penonton tentu semakin banyak saja. Sorak-sorai terdengar dari segala penjuru. Adegan untuk kategori dewasa pun bertaburan di mana-mana. Para tamu mulai kehilangan akal sehat dan melakoni adegan yang seharusnya terjadi di balik dinding kamar tanpa celah.
Semua larut tanpa kecuali.
Lagu : Secrets (One Republic)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top