Everything for You [1]
Hubunganku dengan Reiner mirip candu. Membuat ketagihan karena selalu ingin merasakan kedekatan fisik dalam setiap kesempatan. Aku melupakan semua pinsip yang pernah kupegang. Aku menghalau semua rasa bersalah dan berdosa yang menghampiri kepalaku.
"Lea, kamu serius sama Reiner?"
Kimi akhirnya bisa meraba apa yang terjadi di antara kami setelah beberapa kali aku pergi bersama Reiner dan tidak pulang hingga esoknya. Wajah sahabatku tampak cemas. Karena dia tahu pasti prinsip yang selama ini kupegang teguh.
"Kenapa, Kim? Untuk saat ini tentu aku serius, entah kalau nanti," balasku ringan. Aku berusaha bicara dengan nada santai sehingga terkesan sambil lalu.
Kimi berdeham pelan, membuatku mengangkat wajah untuk menatap sahabatku. Aku berada di ranjang, sedang menekuri ponsel. Punggungku bersandar di bantal dengan kaki bersila. Kimi mendekat.
"Aku nggak punya niat khusus pas ngenalin kalian berdua. Ravel bilang Reiner baik, mereka udah lama temenan. Makanya aku nggak keberatan waktu Ravel bilang Reiner pengin kenalan sama kamu. Dia pernah ngeliat kamu di suatu acara." Kimi duduk di tepi ranjang. "Saat kamu bilang Reiner cowok genit, aku yakin kamu nggak tertarik sama dia. Sampai kemudian kalian mulai sering jalan bareng. Tapi, belakangan ini kayaknya ... hmmm ... intensitas hubungan kalian udah beda," katanya hati-hati. "Aku nggak mau kamu kayak aku...."
"Tetotttt! Itu jawaban yang keliru," tukasku cepat. "Apa pun yang kita pilih, kita tanggung konsekuensinya masing-masing. Kita kan udah dewasa, tau banget risiko yang akan ada di depan mata."
Kimi termangu beberapa detik sebelum berbaring di ranjang. Ponsel yang sedang kupegang pun kuletakkan. "Kenapa?" tanyaku sembari menelentang di sebelah kirinya.
"Aku merasa berdosa."
"Berdosa? Untuk apa? Oh, aku tau! Jangan bilang karena kamu yang ngenalin Reiner sama aku?"
"He-eh. Kalau aku nggak ngenalin kalian, tentu nggak akan begini jadinya. Kukira Reiner dan kamu nggak akan ... terlalu jauh," desahnya.
Aku memiringkan tubuhku. Kini, tangan kananku menopang kepalaku. Wajah Kimi terlihat serius. "Kim, kamu tau nggak umurku udah berapa?"
Kimi memalingkan wajahnya ke arahku dan menatapku dengan pandangan yang aneh. "Hampir duapuluh dua, kan? Aku juga ingat tanggal lahirmu. Emang kenapa? Lagi nyensus?" guraunya.
Aku tersenyum tipis. "Aku cuma mau kamu nyadar kalau aku udah cukup dewasa. Jadi, aku tau banget risiko yang kuambil seputar hubunganku sama Reiner. Nggak ada paksaan, bujukan, atau iming-iming apa pun. Aku nggak menyesali apa yang udah terjadi."
Kimi sama sekali tidak tertawa mendengar ucapanku.
"Aku tau banget tentang prinsip hidupmu. Kamu selama ini kan nggak pernah setuju sama apa yang kujalani."
Aku terbatuk kecil. "Kim, bisa nggak kalau kita berhenti ngomongin soal ini? Aku mungkin udah berubah. Atau mungkin selama ini memang nggak benar-benar kenal diriku sendiri. Apa pun yang kulakuin sama Reiner, karena aku memang mau. Bahkan mungkin aku membutuhkannya. Hidupku kayaknya jauh lebih menarik sejak ada dia."
Aku sendiri tidak pernah mengira akan mengucapkan kalimat semacam itu. Aku tersenyum tipis. "Jadi, berhentilah cemas, oke?"
Kimi masih belum puas, aku tahu itu. Wajahnya terlalu jujur menampakkan perasaannya.
"Kamu mau aku bahagia, kan?" tanyaku serius. Kimi mengangguk.
"Tapi bukan kayak gini yang kumau."
Aku mengabaikan kata-katanya. "Saat ini, bersama Reiner yang bikin aku bahagia. Nggak tau nanti gimana. Nggak jelas juga akhirnya kayak apa. Aku cuma mau menjalaninya tanpa mikir terlalu banyak."
Kimi menepuk punggung tangan kiriku yang bebas dengan lembut. "Baiklah kalau gitu. Aku cuma nggak pengin kamu tersesat kayak aku. Nggak ada jalan kembali, Lea. Tapi, aku nggak bisa bilang apa-apa sepanjang memang membuatmu bahagia," suaranya lirih. Terdorong perasaan, aku bergerak memeluk Kimi.
***
Hubunganku dengan Reiner mirip rollercoaster. Naik dan turun tanpa terprediksi. Reiner mendorongku untuk melakoni hal-hal yang sebelumnya tidak berani kulakukan. Aku seperti diberi energi tambahan tiap kali bersama dengannya. Aku nyaman dengan Reiner. Namun, apakah aku memang benar-benar mencintainya?
Entahlah. Aku tidak bisa mendefinisikan perasaanku. Reiner memang figur istimewa buatku. Karena banyak hal yang telah dilakukannya untukku. Reiner menggemukkan tabunganku. Dia tidak pernah perhitungan untuk urusan uang. Dia menghadiahiku dengan benda-benda bermerek yang mahal dan berkualitas. Yang utama, Reiner adalah orang pertama yang kubiarkan berbagi ranjang denganku. Bagi laki-laki ini mungkin tidak penting. Sebaliknya untuk perempuan. Segala hal yang pertama dan berbau keintiman adalah istimewa.
Reiner adalah lelaki berpengalaman dalam hal seks. Sementara aku sebaliknya. Aku sangat mentah untuk masalah itu. Namun Reiner tidak keberatan dan justru tampak senang. Dia rela membagi pengalamannya padaku tanpa sungkan. Termasuk hal-hal tabu yang membayangkannya pun rasanya berdosa. Awalnya aku risih sekaligus ngeri, tapi Reiner seperti punya kekuatan khusus yang membuatku tak sanggup berkata "tidak".
Reiner menjadi guru bagiku. Aku tidak lagi mempermasalahkan matanya yang selalu jelalatan. Yang penting, selama bersamaku dia tidak pernah melakukan hal-hal yang menyakiti perasaanku. Menggoda perempuan lain dengan terang-terangan, misalnya.
Kami memiliki hubungan yang membebaskan. Namun bukan dalam arti kami bisa saling berkhianat. Meminjam istilah teman-temanku, hubungan kami "eksklusif". Artinya, aku dan Reiner tidak bisa bermain-main dengan orang lain. Kami memiliki jalinan yang saling mengikat. Selama kami bersama, tidak ada perselingkuhan.
"Kamu nggak tertarik untuk serius sama Reiner? Maksudku, nikah. Punya rencana ke sana?"
Aku terhenyak mendengar pertanyaan tidak terduga dari sahabatku. "Menikah?" pikiranku melayang-layang.
"Iya. Aku belum pernah ngeliat kamu begitu terikat sama seseorang, kayak kamu dan Reiner."
Aku tergelak. Tanganku berhenti menyisir rambutku. Sejak kian intim dengan Reiner, aku tidak terlalu banyak bekerja lagi. Aku lebih suka menghabiskan waktu bersama kekasihku. Sebentar lagi, Reiner akan datang untuk menjemputku.
"Kamu nggak lagi ngeledek, kan?" tanyaku dengan alis terangkat.
Mata Kimi membulat. "Ngeledek gimana?"
"Itu... soal nikah. Umurku memangnya berapa? Nikah itu kayak dunia lain yang sama sekali nggak terpikirkan. Tidur bareng bukan berarti harus diakhiri sama pernikahan, kan?" Aku menahan diri agar tidak berjengit. Ucapan barusan takkan pernah meluncur dari bibirku setahun silam.
Lagu : (Everything I Do) I Do It for You (Bryan Adams)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top