Crazy Little Thing Called Love [1]

Melawan hati sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun saat ini aku tidak memiliki pilihan lain. Hidupku yang tenang meski bisa dibilang membosankan, menjadi kacau karena kehadiran Edgar yang membawa tornado bersamanya. Adakalanya aku sangat ingin menyerah dan memberi tahu Edgar tentang perasaan yang sesungguhnya berdiam di dadaku. Bahwa semuanya masih seperti dulu.

Aku bukannya tidak berusaha untuk move on. Setelah Kimi menikah, aku pernah nekat mencoba membuka hati. Bukan karena takut kesepian. Melainkan disebabkan oleh hasrat untuk segera melepaskan diri dari semua impak cinta lama. Aku juga ingin tahu, seberapa besar hatiku bisa berubah?

Aku sempat memberikan Marcus kesempatan kedua, mengira kali ini diriku akan berubah pikiran dan bisa merasakan sesuatu. Marcus pria yang baik, menawan pula secara fisik. Siapa tahu, kali kedua hatiku bisa berubah arah.

Sayang, kebersamaan dengan Marcus terpaksa kuakhiri hanya setelah kami pergi bersama sebanyak lima kali. Tak ada perubahan sama sekali dengan hatiku. Dengan Marcus, meski lelaki ini sangat baik, tidak ada ketertarikan fisik sama sekali. Ditambah dengan satu obrolan sambil lalu yang membuat hatiku benar-benar tawar. Obrolan yang mungkin bagi orang lain hanya hal sepele.

Aku beruntung karena Marcus adalah orang yang begitu pengertian. Keputusanku tak membuatnya marah kendati dia tak keberatan menunjukkan kekecewaan. Kami masih berteman seperti biasa.

Sejak Edgar datang membawa makan siang berupa empat porsi nasi goreng seafood bumbu ketumbar yang cita rasanya memang enak, lelaki itu rutin mendatangi Special One. Membawakan makan siang dan makan malam yang semua diakui sebagai masakannya sendiri. Kali ini, aku sulit untuk percaya karena Edgar tidak pernah menyinggung keterampilannya di dapur saat kami masih pacaran.

Namun, aku memilih untuk tidak menyuarakan opiniku. Jauh lebih penting bagiku untuk bersikap tak peduli meski sebatas pura-pura belaka. Berkali-kali aku meminta Edgar tidak datang lagi membawakan apa pun untuk kami berempat. Bahkan melarangnya menginjakkan kaki di butik. Sayang, lelaki itu menampik keinginanku dengan terang-terangan.

Mungkin tindakan yang seharusnya kulakukan adalah membuang makanan yang dibawanya di depan lelaki itu. Laporan ke polisi mungkin akan menjadi sentuhan yang bagus walau tak orisinil. Sayangnya, aku tak sanggup berbuat seekstrem itu.

"Ed, jangan bawain makanan lagi. Kamu nggak perlu nyogok sampai segitunya. Aku masih sanggup beli makanan untuk kami semua," kataku judes.

"Aku nggak punya niat busuk, kok! Aku cuma nggak mau kamu telat makan. Kamu punya sakit mag, Lea. Jadi harus selalu jaga makanan. Jaga emosi juga. Jangan marah-marah melulu." Matanya menatapku serius. "Aku tau kamu bisa beli segerobak makan siang. Tapi ini sama sekali bukan soal uang. Aku pamer duit segepok pun nggak akan bisa bikin kamu tergoda."

"Aku nggak akan marah-marah kalau kamu nggak bikin ulah. Aku nggak akan berubah pikiran cuma karena kamu bawain makanan. Aku juga nggak percaya kamu masak semuanya sendiri. Bohong pun ada batasnya, Ed."

"Kalau nggak percaya, terserah aja sih. Mungkin aku sesekali perlu bikin demo masak di sini. Ada dapurnya, kan?"

Tak mempan mengusir Edgar dengan berbagai variasi kalimat dan nada bicara, aku akhirnya memilih untuk benar-benar menunjukkan bahwa aku tak peduli padanya. Ketika Edgar datang, aku sengaja pergi. Kadang ke lantai dua, keluar dari Special One untuk makan siang di restoran tertentu, atau sekadar berkeliling tanpa tujuan dengan bermobil.

Belakangan, aku merasa makin bodoh saja. Mengapa justru aku yang harus pontang-panting mencari "tempat persembunyian" tiap kali Edgar datang? Bukankah seharusnya aku menunjukkan bahwa kehadirannya sama sekali tidak menggangguku?

"Aku kayaknya mau minta tolong kamu, Lea. Temenin ke dokter tiga hari lagi, ya? Ravel lagi ke Thailand, ada urusan kerjaan. Dia baru pulang empat hari lagi. Tadinya sih dia nggak mau pergi, tapi kupaksa. Soalnya acara di Thailand ini udah disiapin jauh-jauh hari. Lagian perhitungan persalinanku masih tiga mingguan lagi," kata Kimi suatu ketika.

"Tiga hari lagi? Oke."

"Beneran bisa? Kamu nggak ada acara?"

"Nggak ada. Kapan sih aku punya acara sejak buka Special One? Palingan nggak jauh-jauh dari urusan kerjaan." Sesaat kemudian aku mengernyit. "Seharusnya kamu nggak maksa Ravel pergi deh, Kim. Tiga minggu itu sebentar lagi, lho! Bukannya mau nakut-nakutin, tapi bisa aja kamu lahiran minggu ini, kan? Tuh, istrinya papaku kan melahirkan lebih cepat dari perkiraan dokter. Untungnya Papa ada di Bogor."

Kimi menatapku dengan kening dipenuhi kerut. "Kamu memang mau nakutin aku, kan?" katanya kesal. "Aku juga nggak mau Ravel pergi kalau nggak kepaksa. Masalahnya, kerjaan di Thailand ini penting banget," imbuhnya dengan bibir cemberut.

Aku segera diingatkan bahwa kalimatku barusan bukan sesuatu yang pantas diucapkan di depan seorang perempuan yang sedang hamil tua. Karena hanya akan membuat Kimi cemas dan stres, hal yang tidak akan berpengaruh positif bagi kandungannya.

"Maaf, aku salah omong. Aku nggak bermaksud bikin kamu jadi senewen. Edgar yang pantas disalahin karena udah bikin otakku korslet. Semua gara-gara dia."

Untungnya kalimatku membuat Kimi terkekeh geli. "Ya, paling aman memang nyalahin Edgar. Dia yang pantas dijadiin kambing hitam untuk semua persoalan dunia ini. Oh, Edgar yang malang." Sahabatku menggeleng pelan.

"Kemarin mamanya Ravel nelepon aku," beri tahu Kimi mengejutkan. Aku menatapnya dengan alis terangkat. "Aku juga kaget dan nggak nyangka banget. Noraknya, tanganku sampai gemetaran, Lea."

"Mamanya Ravel nggak marah-marah, kan?" tanyaku cemas. Setahuku, keluarga Ravel belum menurunkan restunya setelah tahu Kimi adalah selingkuhan lelaki itu.

Kimi menggeleng dengan senyum lebar. "Nggak, kok. Beliau tanya-tanya soal kandunganku. Kesan yang kutangkap, keluarga besar Ravel senang banget karena akan segera punya cucu." Kimi menunduk, tangan kanannya kembali mengelus perut. "Ini kan cucu pertama mereka."

Aku mengangguk lega. "Cucu pertama selalu istimewa. Kuharap, hubunganmu sama keluarga Ravel jadi makin baik," kataku tulus.

"He-eh. Aku juga berharap kayak gitu. Seharusnya besok kami makan malam bareng untuk pertama kalinya. Tapi terpaksa ditunda karena Ravel harus ke Thailand."

Aku benar-benar senang mendengar berita itu. Kukecup pipi Kimi sembari menggumamkan ucapan selamat. Aku kembali menekuri laporan penjualan bulan ini setelah melirik sekilas ke arah jam tangan. Sementara Kimi memeriksa pesanan via website dan WhatsApp. Sudah pukul sebelas, biasanya Edgar akan segera muncul di butik. Namun kali ini aku tidak bisa meninggalkan Special One karena harus menuntaskan pekerjaan.

"Omong-omong, masakan Edgar memang enak, lho!" Kimi menarik satu kursi beroda lainnya, menempatkan benda itu di sebelah kananku. Mau tak mau, aku menggeser kursiku ke kiri sedikit, agar ada ruang yang cukup untuk sahabatku. "Kamu sih, cuma makan nasi goreng seafood doang, itu pun setelah dipaksa-paksa. Coba deh entar cicipi kalau Edgar bawa makanan lagi."

Aku menoleh ke kanan. "Kamu dan yang lain kok senang banget dapat makanan gratis dari Edgar? Kayak orang miskin aja! Padahal kamu punya suami pengusaha tajir," omelku. "Dinda juga udah nggak pernah lagi beli makan siang. Kalau aku mau nitip beli sesuatu, pasti malah disuruh nunggu Edgar datang. Padahal, kalian tau kalau aku lagi berusaha jauh-jauh dari dia. Kalian benar-benar nggak setia kawan!"

Kimi tertawa, terkesan geli mendengar kalimat seriusku. Aku mendesah tak berdaya, berusaha tetap menjaga konsentrasi pada pekerjaanku.

"Edgar cuma bawain makanan, Lea. Dia mau mastiin kamu makan tepat waktu. Itu niat yang mulia. Satu hal yang aku agak heran. Kok dia bisa bolak-balik Bogor-Jakarta tiap hari? Bahkan sehari bisa dua kali ke sini. Apa dia pindah ke sini?"

Itu pertanyaan yang juga mengusikku. Edgar memang selalu muncul di Special One pada jam tertentu. Lelaki itu tak pernah bertahan lebih dari lima belas menit di butik. Meski sesekali masih berusaha mengajakku makan di luar, yang selalu kutolak dengan judes.

"Entahlah. Kalau penasaran, kamu tanya aja sendiri ke orangnya."

"Oh, itu pertanyaan titipan, ya? Kamu juga penasaran tapi gengsi mau nanya, kan?" respons Kimi sok tahu.

"Astaga! Terserah deh."

Lelah bermain kata-kata dengan Kimi, aku hanya geleng-geleng kepala sambil kembali bekerja. Pintu butik terbuka. Tanpa sadar, aku mengangkat kepala untuk mencari tahu siapa yang datang. Jantungku berdegum-degum.

"Hai kalian, apa kabar? Udah ada koleksi baru, belum?"

Bukan Edgar, ternyata.

Lagu : Crazy Little Thing Called Love (Maroon 5) 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top