Cinta Sehangat Pagi [4]
Aku akhirnya menemukan laki-laki yang kucintai dengan begitu besar. Orang yang mampu mengikis kekelaman dalam hatiku, mencintai tanpa alasan apa pun. Hari-hari bahagia pun kurasakan lagi. Ketika aku merasa diriku begitu bermakna untuk seseorang. Edgar menghapus semua cerita kelam yang pernah kualami dengan cintanya. Dia memberiku tujuan hidup, membuatku mulai serius memikirkan masa depan. Aku pun makin intens berdiskusi dengan Kimi, makin mantap membangun usaha bersama dan meninggalkan Medalion.
Kami sepakat ingin membuka butik. Hanya saja, aku dan Kimi belum satu suara. Sahabatku lebih suka jika kami bekerja sama dengan pemasok yang akan diseleksi. Sebaliknya, aku lebih suka kami menyiapkan tim desain dan memproduksi sendiri barang-barang yang akan tersedia di butik. Dengan begitu, kami menyediakan produk eksklusif yang tidak ada di tempat lain. Namun tetap harus dengan harga standar.
"Kita bikin lini busana sendiri, Kim. Tiap desain diproduksi terbatas, jangan massal. Pokoknya, butik kita harus eksklusif."
"Idemu bagus, tapi kita kudu ngurusin mulai dari desain sampai diproduksi. Ribet, ah," Kimi tak setuju.
"Justru di situ istimewanya. Kita cuma jual barang-barang spesial yang nggak ada di tempat lain," aku bersikeras. "Kalau pengin punya ciri, ya jangan nanggung, Kim."
"Tau apa kita soal lini busana? Kita ini sarjana hukum yang nyasar jadi SPG. Saranmu itu terlalu repot untuk diwujudkan, Lea. Kalaupun pengin kayak gitu, nanti-nanti ajalah. Kalau kita udah lihai berbisnis."
Kali ini, aku dan Kimi kesulitan mencapai kata sepakat. Namun hal itu justru membuatku bersemangat. Karena sekarang aku sudah tahu apa yang ingin kulakukan dalam hidup. Menurutku, dunia fashion tidak ada matinya.
Rencana bisnis dan kehadiran Edgar membuat hidupku dipenuhi gairah lagi. Hingga aku menjadi lalai dan melupakan faktor Krishna. Kukira semuanya sudah selesai di antara kami. Sayang, aku keliru.
Aku baru saja diantar dengan mobil jemputan usai menjadi SPG pameran gadget yang berlangsung selama seminggu penuh. Karena ini termasuk event khusus, aku tidak keberatan bergabung meski mendapat shift malam. Sementara Kimi malah memilih absen karena baru sembuh dari penyakit cacar air.
Ini hari terakhir pameran dan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas ketika aku tiba di depan rumah indekos. Aku langsung turun dari mobil, mengucapkan terima kasih kepada supir yang sudah mengantarku. Aku tidak memperhatikan situasi sekitar yang sepi. Toh, aku sudah berada di depan tempat tinggalku.
Gerakanku yang sedang membuka pintu pagar terpaksa berhenti karena seseorang menekankan sesuatu yang berbau menyengat di hidungku. Aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi hingga kemudian terbangun di rumah sakit keesokan harinya. Rasa panik luar biasa menghujaniku dari berbagai penjuru mata angin. Untung saja genggaman tangan yang lembut dan hangat milik Edgar mampu membuat semua badai berhenti mengamuk.
"Aku di mana? Apa yang terjadi?" Aku menggeliat di ranjang perawatan. Aroma khas rumah sakit langsung menusuk hidungku.
Edgar mengelus keningku dengan kasih sayang yang memancar dari tiap gerakannya. "Sebentar ya, Lea. Aku panggil dokter dulu," ujarnya lembut.
"Ed ... jangan ke mana-mana," pintaku nyaris merengek.
"Aku mau mastiin kondisimu dulu. Supaya nggak cemas lagi."
Aku pun terpaksa menekan rasa penasaranku dalam-dalam selama dokter memeriksa kondisiku. Dokter ingin tahu apa yang kurasakan. Sejujurnya, aku cuma merasa sedikit lemas dan agak mual. Setelah dipastikan baik-baik saja, dokter dan perawat yang mendampinginya pun berlalu. Namun sebelumnya dokter berpesan agar aku berusaha mengisi perut. Makan siangku diantar tak lama kemudian.
"Ayolah Lea, kamu harus makan dulu." Edgar membujukku. "Supaya nggak lemas lagi. Kamu juga harus minum obat untuk lambung, kan?" Lelaki itu mengerling ke arah obat yang terletak di sebelah gelasku.
Kali ini, Edgar tidak menyerah untuk terus membujuk hingga aku pun menurut. Seperti dugaanku, menu dari rumah sakit itu bercita rasa hambar. Aku menyerah setelah menghabiskan kurang dari setengah porsi.
"Sini, Ed," aku menggeser tubuh ke kiri dan menepuk ranjang di kananku. Jarum infus masih terpasang di tangan kiriku. "Tiduran di sini, temani aku."
Raksasa menawan itu menurut. Dia berbaring miring menghadap ke arahku setelah sebelumnya melepas kacamata dan meletakkannya di atas meja. Tangannya mengelus rambutku. Aku membenamkan wajahku di dadanya. Mataku terpejam, mencoba mengais-ngais ingatan yang mungkin masih tersisa. Aku hanya ingat bau menyengat itu.
"Apa aku beneran baik-baik aja?" suaraku teredam di dada Edgar. Kecupan sekilas di rambutku membuat hatiku menghangat.
"Kamu baik-baik aja," bisiknya penuh perasaan. "Nggak mau menelepon mama atau papamu, Lea?"
Tawaran mengejutkan itu kutampik dengan gelengan. Aku tidak merasa perlu menghubungi kedua orangtuaku. Kecuali kondisiku antara hidup dan mati. "Kimi mana?" tanyaku, sengaja mengganti tema perbincangan.
"Baru aja pulang. Dia mau mandi sambil bawa baju ganti untukmu."
"Kenapa aku diinfus? Dan kenapa aku nggak ingat apa pun?"
"Nanti aja ceritanya ya, Lea. Kamu harus sehat dulu. Sekarang ini nggak usah mikir yang rumit-rumit."
Bibirku mengerucut. "Aku merasa sehat, kok. Aku cuma mau tahu apa yang terjadi."
Edgar mendesah pelan. Jika Reiner selalu bisa membujukku untuk melakukan sesuatu, Edgar sebaliknya. Dia cenderung mengalah dan menurut pada tuntutanku.
"Leala bisa berbahaya kalau dituruti. Lama-lama dia jadi macan bertaring ganda," gurau Kimi suatu ketika, saat melihat Edgar selalu mengalah padaku.
Lalu apa jawaban Edgar? "Nggak apa-apa. Selama Lea hepi, nggak ada yang lebih penting lagi."
Bagaimana mungkin perasaanku tidak menggelembung dan makin dalam pada Edgar? Diakui atau tidak, aku makin merasakan kuatnya ikatan di antara kami. Juga meningkatnya ketergantunganku padanya. Bukan dalam hal finansial melainkan pada kehadirannya.
"Ed, aku kenapa? Kalau kamu nggak mau jawab, aku terpaksa turun dari ranjang dan nanya langsung ke dokter," ancamku kekanakan. Aku bergerak agak menjauh.
Edgar meraihku dalam pelukan hangatnya. Wajahku kembali menempel di kemejanya. Aku menghirup aroma parfumnya dengan penuh syukur. Kembalinya rasa aman.
"Oke, aku akan cerita. Tapi, kamu janji nggak akan menyela. Kamu nggak boleh marah atau kesal. Kamu harus tenang. Ada aku yang jagain kamu, Lea."
Aku tidak punya pilihan selain setuju.
"Seseorang punya niat jahat sama kamu, Lea. Dia berusaha nyulik kamu tadi malam. Kamu dibius. Tapi kepergok sama salah satu teman kosmu yang baru pulang nonton. Dia bareng pacar dan beberapa rekan sekantor. Mereka berhasil bikin si penculik kabur dan ninggalin kamu. Singkatnya, kamu buru-buru dibawa ke rumah sakit karena nggak sadarkan diri. Kimi udah menghubungi polisi sebelum aku sampai di sini."
Aku memejamkan mata dengan rasa takut yang menggelora. Edgar merespons dengan mempererat pelukannya. Baru lewat beberapa bulan ketika Krishna hampir berhasil menyeretku ke dalam mobilnya. Kini, aku nyaris mengalami hal buruk lainnya. Apa yang terjadi jika tidak ada yang menolongku?
"Siapa yang nyoba nyulik aku?" tanyaku lemah. "Krishna?" tebakku tak yakin.
"Ya. Temanmu sempat mencatat nomor polisi mobil Krishna. Polisi udah menangkapnya."
Aku tak bisa menahan diri lagi dan menangis tak terkendali. Kemeja Edgar basah oleh air mataku. Jika kebanyakan lelaki tidak akan tahan dengan air mata, Edgar sebaliknya. Dia membebaskanku untuk menangis jika memang bisa menjadi pelepasan untuk emosiku. Dia tidak akan menyuruhku berhenti. Dia cukup memberikan pelukan dan menunggu hingga aku menuntaskan tangis sebelum membuka mulutku lagi.
Dia selalu tahu, pada akhirnya aku akan membagi perasaan terdalamku dengannya. Dia hanya memeluk untuk menenangkanku. Justru hal seperti itu yang membuatku makin merasa terikat padanya. Sikapnya itu mendorongku untuk memandang kebebasan dengan pendapat berbeda.
"Aku nggak tau kenapa Krishna...."
Kalimatku tak pernah tuntas. Aku menangis lagi, terlalu sedih dengan kenyataan yang harus kuhadapi. Krishna, cowok yang dulu mengaku mencintaiku, berusaha mencelakaiku berkali-kali. Dia seolah tak memandangku sebagai manusia, melainkan objek untuk memuaskan fantasinya. Bagaimana bisa cinta berubah sedangkal itu?
Sementara Reiner pun tak jauh lebih baik. Bedanya, aku mengikuti kemauannya dengan sukarela. Laki-laki yang selama ini berada di dekatku, selalu ingin memanfaatkanku. Berlindung di balik perasaan cinta yang konon mereka miliki. Seolah cinta menjadikan perbuatan dosa menjadi sesuatu yang indah.
Sementara Edgar, tak pernah memperlakukanku sebagai objek. Dia membuktikan cintanya dengan rasa hormat yang ditunjukkan dengan jelas. Edgar tidak pernah mendesakku untuk membuktikan cinta dengan cara menyerahkan tubuhku.
"Ed, aku bersyukur karena ketemu kamu. Orang yang tulus cinta sama aku. Nggak pernah ngambil keuntungan apa pun dariku," ucapku setelah tangisku tuntas. Aku agak mendongak agar leluasa menatapnya.
"Kalau cinta, seharusnya memang gitu, Lea. Kata orang bijak, cinta itu tentang memberi. Bukan meminta. Itu yang berusaha aku lakukan. Karena aku cuma pengin kamu bahagia."
"Kalau kamu bikin aku patah hati, kayaknya aku nggak bakalan bisa jatuh cinta lagi."
Tiba-tiba aku melihat kilatan gelap di matanya. Aku terpana dan merasa takut tanpa alasan. Namun sebelum aku bicara, Edgar mempererat pelukannya. Membuatku bisa mendengar gemuruh jantungnya yang menyerupai irama staccato.
"Ed...." panggilku.
"Sstt, jangan mencemaskan apa pun, Lea. Aku ada di sini," bujuknya dengan suara lembut. Entah kenapa, kali ini kalimat Edgar tak mampu meredakan badaiku.
Lagu : Ghost (Ella Henderson)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top