Cinta Sehangat Pagi [3]
"Aku juga nggak," ucapnya yakin. "Aku bukan tipe orang yang pintar bermain kata-kata. Aku lebih suka ngomong apa adanya." Edgar meraih kacamatanya, mengenakan kembali benda itu. "Tadi kamu nanya apa aku serius, kan? Kamu belum kenal aku, wajar kalau nggak langsung percaya. Aku cuma bisa bilang, aku bukan tipe laki-laki impulsif atau suka iseng untuk urusan ... hmmm ... cewek. Kalau nggak benar-benar tertarik, aku masih bisa menahan diri."
Tampaknya aku harus membiasakan diri dengan pria yang bicara terus terang ini. Mungkin seharusnya aku merasa takut. Namun anehnya Edgar tidak memberi efek itu. Di depanku, Edgar memajukan tubuh. Kini, kedua tangannya berada di atas meja.
"Namaku Edgar Rajasanagara. Umurku 31 tahun. Aku tinggal di Jakarta dan sehari-hari ngurus showroom mobil milik keluarga. Tadinya aku bankir tapi akhirnya berhenti kerja setelah papaku meninggal empat tahun lalu karena masalah ginjal. Mamaku masih sehat dan suka belanja untuk mengobati hatinya sejak ditinggal almarhum Papa.
"Saudaraku ada tiga. Yang sulung, meninggal waktu masih kecil karena radang otak. Kakakku cewek, tinggal di Jakarta juga. Dia udah nikah tapi belum punya anak. Kakakku perancang perhiasan. Nah, aku punya satu orang adik, cowok. Lebih muda tiga tahun dariku dan anti nepotisme. Dia memilih tetap kerja kantoran ketimbang ikut ngurusin showroom. Kami sering berantem karena jarang banget sepakat kecuali satu hal. Lionel Messi adalah pemain bola terbaik sepanjang masa.
"Keluargaku bisa dibilang hangat, selalu saling support. Papa dan Mama nggak pernah maksa ngelakuin hal-hal yang kami nggak suka. Sejak kecil aku suka musik dan baca. Koleksi buku dan CD-ku lumayan banyak. Selain itu aku juga suka taekwondo, travelling, dan suka makan. Aku nggak pernah pilih-pilih makanan.
"Bagi sebagian orang, aku kadang dianggap kaku. Aku memang susah berbasa-basi. Aku juga nggak pintar dalam urusan rayu-merayu. Ngomong dengan kata-kata berbunga, sama sekali bukan keahlianku. Aku lebih suka bicara apa adanya, meski mungkin mengejutkan. Aku cuma pengin menghindar dari penyesalan karena hidup ini cuma sekali."
Aku mendengarkan kalimat panjangnya dengan senyum terkulum. Sungguh, ini kali pertama aku mengenal pria seperti Edgar. Aku sama sekali tidak keberatan dengan keterusterangannya.
"Nama lengkapku Leala Hillyawan. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku sarjana hukum, tapi masih menikmati kerja jadi SPG. Rencana masa depan, pengin bikin usaha bareng Kimi. Aku kurang beruntung untuk urusan cowok. Seringnya ketemu laki-laki yang berusaha ... katakanlah ... manfaatin aku."
Aku terdiam, tidak nyaman menggambarkan diriku lebih jauh. Kedua tanganku berada di bawah meja, saling meremas. Kutatap Edgar. "Aku bukan orang yang nyaman ngomongin tentang diri sendiri."
Lelaki di depanku itu mengangguk. "Nggak masalah. Aku bakalan mengenalmu pelan-pelan, Lea. Sepanjang kamu ngasih aku waktu untuk itu."
Aku menantang mata Edgar dengan perasaan tak keruan yang mengaduk perutku. Aku tak pernah mengira kami akan duduk berhadapan seperti ini, sembari membahas topik yang sudah pasti dianggap berlebihan bagi dua orang yang pertama kali bertemu kurang dari dua puluh empat jam.
Aku dan Edgar pantas disebut anomali. Kami adalah dua orang manusia aneh yang terjerembab oleh perasaan yang tak terdefinisikan oleh akal sehat. Aku membiarkan diriku mengambil risiko besar dengan membiarkan Edgar memasuki hidupku. Setelah melewati banyak pengalaman yang tak melulu manis dengan kaum adam, mungkin sebaiknya aku lebih menahan diri.
Akan tetapi, Edgar membuatku tidak ingin berhati-hati. Aku penasaran ingin tahu apa yang akan terjadi kepada kami di masa depan. Seperti Edgar, aku juga tidak mau ada penyesalan.
Edgar menyelinap dalam hidupku begitu saja. Laki-laki ini memiliki kemampuan aneh untuk meretakkan kesinisanku. Edgar bisa diibaratkan seperti seseorang yang tiba-tiba mengguncang bola kristal salju sekuat tenaga. Atau yang lebih ekstrem lagi, membongkar dan mengubah susunan DNA seseorang.
Aku menikmati kehadirannya hari demi hari. Jarak dan kesibukan membuat kami tak bisa sering bertemu. Namun Edgar selalu berusaha datang ke Bogor setiap minggu meski kadang kami cuma menghabiskan waktu singkat untuk bertemu. Karena kehadirannya, belakangan aku mulai lebih banyak mengambil shift siang. Dia juga rutin meneleponku setiap hari. Aku sudah lebih dari puas jika bisa menatapnya, memastikan bahwa Edgar adalah nyata. Dan bukan sosok imajiner yang kuciptakan karena setengah mati mendambakan cinta.
"Kurasa, Edgar memang orang yang pas buatmu, Lea. Dia dewasa dan pengertian."
"Dia juga nggak pernah minta aku ngelakuin hal-hal aneh. Dia bukan Reiner," imbuhku. "Buat banyak orang, kencan kami mungkin ngebosenin. Edgar paling suka mengajakku makan atau sekadar ngobrol berdua sambil keliling Bogor. Dia nggak pernah mau kuajak ke bioskop karena alasan yang aneh. Edgar bilang, dia lebih demen mendengarku ngoceh ketimbang nonton. Katanya, dia selalu pengin manfaatin waktu semaksimal mungkin utk lebih mengenalku." Aku menghela napas. "Gimana bisa aku nggak jatuh cinta, Kim?"
Kimi tersenyum lebar mendengar kata-kataku. "Jatuh cintalah, nggak perlu takut."
"Aku nggak takut. Aku siap sama risikonya, pahit atau manis."
"Apa Edgar tau perasaanmu?"
"Entahlah, aku nggak pernah ngomong jujur."
"Kenapa?"
"Cuma merasa belum saatnya aja."
Edgar tidak pernah berusaha mengikatku dengan segudang aturan. Dia tak keberatan dengan pekerjaanku. Apa pun yang kulakukan tidak mendapat penilaian negatif darinya. Seakan-akan kebahagiaanku menjadi hal terpenting dalam hidupnya. Bagaimana aku tidak kian mencintainya membabi-buta?
Empat bulan penuh kami berkencan. Aku memberi kesempatan kepada Edgar untuk mengenalku perlahan-lahan, lapis demi lapis. Hingga dia akhirnya tahu tentang perpisahan orangtuaku. Juga alasan aku meninggalkan rumah dan memilih indekos. Aku akhirnya bercerita tentang hubunganku di masa lalu dengan Krishna, Aldy, serta godaan-godaan merendahkan sepanjang berkarier sebagai SPG. Namun aku tak pernah mampu bercerita tentang Reiner.
Makin lama, aku menyadari bahwa Edgar seakan memiliki tongkat sihir. Seburuk apa pun hariku, pertemuan singkat dengan Edgar bisa mencerahkan duniaku. Laki-laki itu cukup tersenyum, perasaanku langsung membaik.
"Ed, kamu jangan terlalu sering tersenyum sama aku," gurauku suatu ketika. "Jangan juga terlalu baik dan pengertian. Sekali-kali omelin aku kek. Karena aku sering banget meneleponku pas jam sibuk, cuma untuk curhat hal-hal sepele yang nggak penting."
Jawaban Edgar malah membuatku melongo dan berakhir dengan pipi memanas.
"Mulai sekarang aku bakalan lebih banyak senyum dan bikin bermiliar kebaikan untukmu. Biar kamu merana, selamanya nggak akan bahagia kecuali ada aku. Karena kamu juga udah bikin aku menderita banget. Nggak mendengar suaramu sehari aja, duniaku mendadak amburadul."
Aku mengangkat tanganku, membentuk huruf T, meminta time out. Saat itu kami sedang duduk berhadapan di restoran piza. "Please deh, nggak usah lebay gitu," kataku salah tingkah. "Kamu selalu bilang kalau nggak pintar merayu. Nyatanya, makin ke sini gombalanmu makin menakutkan."
Edgar menggeleng. "Aku nggak lagi merayu. Aku ngomong apa adanya." Lelaki itu menjangkau tangan kananku, meremasnya lembut. "Kenapa kita nggak pacaran aja, Lea? Kurasa berkencannya udah cukup. Empat bulan ini perasaanku sama kamu makin kuat. Aku pengin jadi orang yang benar-benar penting buatmu. Aku mau jadi laki-laki istimewamu." Dia menatapku sungguh-sungguh. "Bukan berita baru sih, tapi aku pengin kamu tau. Aku jatuh cinta sama kamu, Lea."
Aku sempat terkelu. Ini kali pertama Edgar mengucapkan kata cinta. Selama ini, meski selalu mengakui bahwa dia menyukaiku, tidak pernah ada pengakuan tentang perasaan terdalam yang diawali huruf C itu.
"Kalau aku agak jual mahal, apa perasaanmu bakalan berubah? Atau, kamu lebih suka aku langsung setuju kita pacaran?" tanyaku. Edgar tertawa geli.
"Aku lebih suka yang terakhir," jawabnya.
"Kamu selalu jadi laki-laki istimewaku, Ed," balasku lembut. "Karena itu, aku nggak keberatan kita pacaran. Aku pun jatuh cinta sama kamu."
Edgar berdiri sebelum mengitari meja dan menarikku ke dalam pelukannya. Kami pun menjadi tontonan para pengunjung restoran. Aku jengah menjadi pusat perhatian, tapi aku terlalu bahagia untuk menepis dekapannya.
Lagu : You're All I Need (White Lion)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top