Cinta Empat Sisi [3]
Hari itu takkan pernah kulupakan seumur hidup. Di saat Special One mulai beroperasi, aku membunuh bagian lain dalam hidupku. Aku mungkin takkan bisa jatuh cinta lagi seperti pada Edgar. Akan tetapi, aku memilih untuk tak lagi menangisi kehilanganku. Aku mengemasi masa lalu yang tak bisa diubah lagi itu, menempatkannya di area khusus yang tak ingin kujangkau selamanya.
Satu hal yang kusyukuri, kali ini Edgar tidak lagi berusaha keras untuk mengubah keputusanku. Entah bagian mana dari hujan kata-kataku yang membuatnya benar-benar menuruti apa yang kumau. Di sisi lain, aku tahu, apa yang kulakukan takkan membuat lelaki itu berhenti berusaha menemuiku andai dia memang berniat begitu. Edgar adalah laki-laki yang gigih, dia sudah membuktikan itu.
Padahal, untuk mengantisipasi jika Edgar akan terus membombardir dengan telepon, aku mengganti nomor ponselku. Aku juga tidak keberatan jika harus pindah tempat indekos andai terpaksa. Bahkan mewujudkan ancamanku untuk menghilang selamanya dari Bogor jika dia terus mendesak.
Keputusan Edgar untuk memberi apa yang kuinginkan, cukup mempermudahku untuk mengalihkan fokus dan berjuang melupakannya. Walau tentu saja takkan mudah. Kini, tidak ada lagi yang lebih kupikirkan selain Special One. Sudah saatnya berhenti bermain-main dengan hidupku dan berkonsentrasi mengurusi masa depan.
Kimi, sempat membuatku cemas karena tampak murung dan menutup diri. Dia tak banyak bicara, cukup sering tertangkap basah sedang melamun. Misalnya saja saat kami mengadakan rapat dengan tim desain untuk membahas tren busana tahun depan. Meski yang kami kerjakan masih berskala kecil, aku dan Kimi tak mau setengah-setengah.
Saat itu, berkali-kali aku melihat Kimi menunduk atau kehilangan fokus. Sampai akhirnya aku membubarkan rapat lebih cepat dari seharusnya. Karena aku tahu takkan ada gunanya memperpanjang diskusi kami sementara pikiran Kimi tidak berada di sini.
"Kamu kenapa, Kim? Apa masalah Ravel sama istrinya belum kelar?" Malam itu, aku tak kuasa lagi membendung keingintahuan. Kami berdua sudah bersiap untuk tidur. Namun kurasa ini saat paling tepat untuk membahas apa yang mengganggu sahabatku.
"Hampir. Minggu depan akan ada sidang putusan. Kemungkinan besar mereka akan cerai. kemarin rada ribet soal pembagian harta. Tapi, aku masih trauma sama pengalaman waktu itu. Makanya aku berusaha keras mengurangi acara ketemuan sama Ravel."
"Yang bikin kamu banyak melamun itu sebenarnya apa? Karena Ravel bakalan jadi duda, atau karena jarang ketemu dia?"
"Dua-duanya. Aku mikirin gimana masa depan kami setelah dia cerai. Apa kami akan tetap bareng atau sebaliknya? Apa Ravel nggak nyesal karena cerai dari istrinya? Mereka udah nikah bertahun-tahun, kan? Apalagi, aku tau dia cinta sama istrinya, meski katanya sekarang perasaan Ravel udah berubah," Kimi mendesah. "Ah, terlalu banyak yang kupikirin. Telat banget sih, karena seharusnya aku nggak pernah...."
Kalimat Kimi patah begitu saja. Namun kami berdua sama-sama tahu apa yang ingin diungkapkannya. Saat ini, semua itu sudah tak penting lagi. Menyesal itu takkan membawa manfaat apa pun selain rasa sakit yang menggedor dada.
"Kamu sendiri penginnya gimana? Setelah Ravel resmi cerai, maksudku."
"Aku... nggak mau ada yang berubah di antara kami. Aku cinta banget sama dia, Lea. Ravel juga bilang, kami nggak boleh mundur. Dia cerai karena mau bersamaku." Kimi terbatuk. "Kalimatku serem banget ya, Lea."
Kata-kata tentang cinta dari sahabatku itu yang mengusikku. Sekaligus mengingatkan pada alasanku dan Edgar dulu. Aku jijik pada diri sendiri tapi tak mau terus-terusan mengingat luka lama dan dosa yang sudah kubuat.
"Kalau gitu, mending jangan pacaran lama-lama, Kim. Kalau dia udah bebas, mau nunggu apalagi? Nikah sama Ravel, kurasa itu yang terbaik. Soal perbedaan agama, kurasa kalian bisa nyari jalan tengahnya. Aku yakin, Ravel udah mikirin soal itu juga."
Kalimatku tampaknya mengejutkan Kimi. "Tapi aku belum mikirin ke sana, Lea. Lagian, umurku belum juga dua puluh lima. Masih banyak yang pengin kulakukan dalam hidup ini. Special One baru dimulai. Aku...."
"Kamu cuma nikah, Kim. Bukan kiamat. Kalau kamu nikah, bukannya lebih bagus? Kamu dan Ravel akhirnya bersama, legal secara hukum. Yang lain tetap kayak semula. Mungkin cuma aku yang harus kehilangan teman seranjang," gurauku.
Aku berusaha menahan diri agar tidak mengucapkan kalimat yang bisa kusesali. Aku tak perlu mengajari Kimi tentang standar moral karena aku pun sama berengseknya dengan sahabatku.
"Kalau aku nikah, kamu pasti kesepian. Aku nggak mau. Apalagi sekarang ini ... kamu baru putus dari Edgar." Kimi terbatuk kecil. "Apa rasanya ... sakit banget, Lea?"
"Nggak ada hubungan antara aku yang baru putus sama nikahnya kamu. Aku baik-baik aja, nggak akan kesepian. Aku punya setumpuk kerjaan yang bikin mumet dan nggak sempat makan. Mulai sekarang, kita nggak usah menyebut-nyebut nama Edgar lagi. Nanti dianya malah batuk-batuk mulu karena digosipin," kataku sesantai mungkin.
Kimi membenahi posisi tubuhnya, lalu menatapku sungguh-sungguh. "Aku tau, kamu nggak mau ngebahas soal Edgar. Tapi aku juga tau kalau kamu cinta banget sama dia. " Kimi tampak serba salah. "Kamu berusaha tegar, nggak keliatan punya masalah. Masalahnya, aku kenal kamu, Lea. Di dalam sana, kamu pasti babak belur."
Akhirnya, air mata yang kutahan berminggu-minggu ini pun meledak menjadi tangis yang membuatku terisak. Kimi memelukku, ikut meneteskan air mata. "Aku nggak punya pilihan, Kim. Aku patah hati, tapi itu yang terbaik. Seharusnya, sejak awal aku nggak pernah mau balikan sama Edgar. Dia ... dia udah punya istri. Aku jahat karena udah jadi orang ketiga." Aku melepaskan pelukan Kimi.
Yang tak kuduga, tangis Kimi malah mengencang. "Hei, aku nggak bermaksud menyindirmu, Kim. Kata-kataku tadi untuk diriku sendiri. Kasus kita nggak sepenuhnya sama. Kamu ketemu Ravel setelah dia nikah. Aku sebaliknya."
"Sama aja, Lea! Aku pun seharusnya mundur dari dulu."
Dengan hal-hal buruk yang sudah menimpa Kimi dan utang budi setinggi gunung? Kimi dan aku memiliki masalah yang tak serupa. Namun aku menelan kata-kataku. Aku tak mau menambah beban sahabatku.
"Sekarang ini aku nggak mau mikirin Edgar lagi. Aku memang sedih banget tapi semua akan berlalu. Mungkin, selamanya aku nggak akan pernah beneran bahagia lagi. Karena jujur aja, sekarang ini rasanya kayak mau mati." Aku menarik napas. "Hidupku nggak akan pernah sama lagi. Tapi, yah ... siapa tau? Udah ah, tutup buku soal Edgar. Aku nggak mau ngomongin dia lagi."
Kimi menggenggam tangan kananku. "Aku nggak tau caranya bikin kesedihanmu berkurang. Maaf."
Aku cuma berdiam diri. Apa pun yang kuucapkan, takkan membuat suasana hati kami berdua membaik. Hanya saja aku tak henti bertanya-tanya pada diri sendiri setelah mengingat kembali semua yang sudah kulakukan sejak Mama dan Papa bercerai.
Ke mana perginya gadis optimis yang menolak melanggar larangan Tuhan itu? Pertanyaan itu menyentakku hingga membuat dada terasa sesak. Sudah berapa lama aku melupakan Sang Pencipta, dan terlalu sibuk dengan hidup yang rumit?
***
Dua setengah tahun kemudian.
"Kimi! Awas kalau kamu berani ngangkat kardus itu!" teriakku dari seberang ruangan. Sedetik kemudian, Dinda yang sudah bekerja sejak Special One dibuka, berlari tergopoh-gopoh menyeberangi ruangan. Gadis itu buru-buru meminta Kimi mundur sebelum mengangkat kardus lumayan berat yang baru datang itu.
"Aku cuma mau ngeliat isinya," Kimi membela diri ketika aku mendatanginya.
"Sori, aku nggak percaya. Kamu kan selalu nggak sabar untuk beresin kardus-kardus." Aku menggandeng tangan kanan Kimi, memaksanya duduk di sofa yang bersebelahan dengan kursi empuk bersandaran tinggi. Kursi itu menghadap ke arah meja kayu persegi. Ada sebuah laptop terbuka di atas meja, juga setumpuk kertas dan alat tulis. Efri, rekan kerja Dinda, melemparkan senyum tipis sambil mengganti blus di salah satu maneken.
Beberapa kardus pakaian memang baru datang. Merupakan koleksi terbaru Special One yang siap untuk memenuhi toko mulai dua minggu lagi. Aku dan Kimi terbiasa mengecek setiap produk dengan detail, mencari tahu jika ada yang memiliki cacat.
"Jangan ke mana-mana, Kim! Awas aja kalau kamu berani bangun dari sofa," kataku setengah mengancam. Kimi mengernyit tak suka tapi dia berdiam di tempat duduknya. Aku kembali ke salah satu rak untuk meneruskan pekerjaan, merapikan pakaian yang tergantung di sana sebelum butik buka sekitar satu jam lagi.
"Din, apa semua perempuan hamil harus diperlakukan kayak tahanan gini?" tanyanya kepada Dinda yang kembali bergabung dengan Efri. Yang ditanya terkekeh geli.
"Aku nggak tau, Kim. Aku belum pernah hamil soalnya."
"Aku nggak memperlakukanmu kayak tahanan. Malahan aku yang merelakan diri jadi romusa. Sebaiknya, kamu tuh banyak bersyukur," aku menimpali. "Udah nikah, sekarang hamil gede pula. Dan punya sahabat yang selalu berusaha mastiin kamu nggak ngelakuin hal-hal yang membahayakan. Kamu cuma perlu duduk manis, sisanya biar aku yang ngerjain."
"Ralat. Sahabat yang nggak suka ngeliat aku bahagia. Semua-semua dilarang. Lebih parah dari Ravel," gerutu Kimi.
Ponselku berbunyi, membuatku terpaksa merogoh kantong celana jins. Nama Marcus terpampang di layar. Aku bicara di telepon selama kurang dari tiga menit.
"Pasti Marcus," tebak Kimi jitu. "Sebelum kamu kagum karena aku bisa nebak, alasannya sih gampang. Cuma dia yang tergila-gila sama kamu belakangan ini."
Lagu : Lonely (Akon)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top