Cinta Empat Sisi [2]
Pembukaan Special One menjadi momen pahit manis untukku. Teman-teman indekosku dan para SPG di Medalion datang ke butik, Mbak Zoe juga. Kimi sempat mengundang segelintir teman kuliah kami, satu hal yang tak sempat kupikirkan. Sementara Ravel terpaksa absen karena masih harus mengurusi pertikaian dengan istrinya yang berbuntut panjang.
Butik ini akan beroperasi mulai dari pukul sepuluh pagi hingga pukul enam sore. Menempati sebuah ruko berlantai tiga yang kami kontrak dengan durasi selama tiga tahun, lokasi Special One cukup strategis. Di sekitar butik ada tempat les bahasa Inggris terkenal, restoran, toko-toko busana, hingga studio lukis.
"Apa serunya buka butik cuma acara makan-makan gini? Sama ngasih diskon buat yang mau belanja. Terlalu mainstream," canda Vienna, salah satu SPG yang sudah kukenal setahun terakhir. "Kreatif dikit kenapa, Kim?"
Kimi yang mampu menyamarkan memar di wajahnya dengan riasan, menukas cepat. "Kamu penginnya kita undang penari striptis cowok? Butik ini keburu ditutup kalau ngikutin maunya kalian."
"Nggak gitu juga, sih. Tapi kalau memang ada, aku nggak nolak."
Aku terhibur mendengar dialog-dialog lucu yang terdengar di mana-mana. Sayang, aku tak bisa sepenuhnya tertawa lepas. Karena hari ini aku akan membuat keputusan pedih. Tamu yang datang tak terduga adalah Marcus. Menurut cowok itu, dia bertemu Kimi seminggu silam dan diundang datang.
"Itu pacarmu, Lea?" selidik Mbak Zoe pada suatu kesempatan. Dia memberi isyarat ke arah Marcus yang sedang mengobrol dengan Kimi, Vienna, dan beberapa SPG yang baru bergabung dengan Medalion.
"Marcus? Bukan, dia itu teman kuliahku."
"Sayang banget."
"Lho, kok?" protesku. Tangan kananku yang hendak menyuapkan potongan buah apel, berhenti di udara.
"Kalian bisa jadi pasangan yang cocok. Marcus itu cakep." Mbak Zoe mengedipkan mata dengan jenaka. Aku tertawa geli.
"Mbak Zoe mau nyoba karier jadi makcomblang? Nggak cocok, Mbak! Udahlah, mending fokus ngurusin SPG aja."
Perempuan itu tersenyum lebar. "Aku serius, lho!"
"Aku juga serius. Marcus memang cakep, anaknya juga baik. Tapi Mbak, aku mati rasa sama dia. Nggak pernah naksir atau sejenisnya."
"Berarti kamu kurang cerdas, Lea. Cowok secakep itu disia-siakan."
"Wah, kalau...."
Kalimatku patah begitu saja tatkala mataku menangkap bayangan Edgar yang baru datang. Refleks aku mengecek arloji. Saat ini masih pukul dua siang. Artinya, Edgar sengaja meluangkan waktu untuk datang ke sini.
"Oh, jadi itu yang bikin kamu mati rasa sama Marcus? Oke, kuralat kata-kataku tadi. Kamu cerdas ternyata." Mbak Zoe mengikuti arah pandanganku.
Gurauan Mbak Zoe hanya kutanggapi dengan senyum tipis. Rasa sedih yang mendesak tiba-tiba, membuat kepalaku pening. Aku menatap Edgar yang mendekat dengan langkah-langkah panjang dan senyumnya yang memikat. Dia hanya mengenakan kaus berkerah V dan celana jins biru muda dengan sobekan di lutut. Tampak begitu muda. Meski hanya berpakaian sederhana, Edgar seolah baru keluar dari katalog mode.
"Lea," sapanya dengan suara hangat. Aku mengerjap sebelum memperkenalkan Edgar dengan Mbak Zoe. Aku sempat menjauh sejenak, membiarkan keduanya mengobrol. Aku merasa sesak napas. Kimi tampaknya melihat sesuatu yang mengusiknya.
"Kamu kenapa?"
"Aku nggak kenapa-napa. Cuma agak pusing," dustaku.
"Tapi tadi baik-baik aja, kan?"
"Iya. Mungkin kecapean atau masuk angin."
Aku lega karena Kimi bisa menerima penjelasanku tanpa banyak kecurigaan. Dia kembali bergabung dengan para tamu. Beberapa calon pembeli sudah mulai berdatangan sejak satu jam silam. Kimi patut dipuji untuk masalah ini. Dia yang mengurusi promosi dengan gencar. Dibantu beberapa teman yang dikenalnya cukup baik.
Aku berusaha menyibukkan diri hingga hari kian sore. Aku dan Edgar nyaris tak punya waktu untuk berbincang santai. Namun, aku tak bisa terus-menerus menunda, kan? Pada akhirnya, semua harus dituntaskan. Karena itu, ketika akhirnya Edgar mengantarku pulang setelah kami selesai makan malam, aku tak bisa membuang waktu lagi.
Seperti biasa, begitu aku membuka pintu, Edgar juga melakukan hal yang sama. Dia mengitari mobil sebelum berhenti di depanku. Berjarak selangkah, Edgar meraih tangan kananku. Namun aku memilih mundur hingga Edgar hanya menyentuh udara.
"Ed, tolong dengar semua kata-kataku, ya. Jangan ngomong apa pun sebelum aku kelar. Jangan juga maju untuk menyentuhku atau apalah." Suaraku terdengar datar.
"Kenapa kamu bikin aku takut, sih?" tanya Edgar.
"Kamu mau ngasih aku kesempatan ngomong atau nggak?"
"Lea, kamu...."
Aku mundur lagi dua langkah sambil menggeleng. Melarang Edgar melakukan apa pun. Di depanku, dia mematung.
"Aku cuma mau ngomong ini sekali aja. Setelah ini, aku nggak akan ngasih kamu kesempatan untuk bikin keputusanku berubah lagi. Aku nggak bisa kayak gini terus, Ed. Entah cuma jadi pacar gelap atau istri muda. Aku udah bikin kesalahan besar karena hampir sebulan setengah ini jadi orang jahat. Dengan sadar, pacaran sama suami orang.
"Sekarang ini aku cuma pengin mundur dari hidupmu selamanya. Aku nggak sanggup lagi ngejalani hubungan kayak gini. Kita pisah, Ed. Jangan lagi pernah datang ke sini untuk ketemu aku. Kalau kamu maksa, selamanya aku akan menghilang dari Bogor. Jangan bikin aku harus ninggalin semuanya cuma untuk menghindarimu," kataku serius.
"Leala, kenapa jadi gini? Kita...."
"Karena kamu bukan milikku, Ed. Kamu udah punya istri, satu-satunya orang yang berhak ada di sisi kamu. Cinta itu nggak bisa dibagi, Ed. Aku orang yang egois. Aku nggak mau cuma jadi pemain cadangan. Aku nggak mau hanya jadi bayang-bayang. Aku pengin bersama laki-laki yang dengan bangga menunjukkan bahwa aku orang yang paling dicintainya. Hubungan sembunyi-sembunyi kayak gini nggak bisa kuterusin lagi.
"Meski katanya kamu cinta banget sama aku dan istrimu, dua-duanya mustahil bisa kamu dapatkan. Kamu bukan anak kecil yang bisa memegang dua permen favorit dan menikmatinya bergantian, Ed. Kamu orang dewasa. Dan orang dewasa selalu membuat pilihan dan nyadar risikonya masing-masing."
Aku mati-matian berjuang agar tidak menangis atau malah memeluk Edgar yang menatapku dengan mata terbelalak.
"Kamu udah nikah, artinya kamu pilih istrimu dibanding aku. Apa pun alasanmu, aku nggak mau dengar lagi. Jangan salah sangka, aku nggak akan pernah minta kamu pisah dari istrimu supaya bisa bareng aku lagi. Nggak akan! Aku yang jadi orang ketiga, maka aku yang harus mundur.
"Cinta seharusnya nggak bikin orang menderita. Tapi kamu udah bikin aku dan istrimu jadi korban." Napasku tertahan. "Oke, aku nggak fair kalau cuma nyalahin kamu. Aku punya andil yang sama besar. Kesalahanku gede banget. Tapi, aku pengin berhenti membuat kesalahan itu sekarang. Kita pisah."
Lalu, aku membalikkan tubuh dan berjalan cepat menuju pintu pagar. Meski ada banyak kata-kata yang hendak kutumpahkan, aku tak kuasa bicara lagi. Sayang, Edgar menarik lengan kananku, memaksaku berbalik ke arahnya.
"Aku tau apa yang kita lakuin ini bukan hal yang baik. Tapi...."
"Kalau memang tau ini salah, kita harus berhenti, Ed." Kulepaskan tangannya dengan kasar.
"Leala...."
"Aku pernah bikin banyak kesalahan dan nggak bangga sama semuanya. Kamu juga tau aku bukan cewek polos tanpa dosa. Tapi mulai hari ini aku akan berubah, Ed. Aku cuma mau bersama laki-laki yang memang pantas kucintai, pantas untuk kupertahankan. Orang yang cuma bisa jatuh cinta dan setia sama aku. Lelaki yang nggak terikat sama perempuan lain. Nggak berkhianat dengan alasan apa pun!" Kutantang mata Edgar sambil melisankan kalimat terakhirku dengan tegas. "Aku nggak mau terima yang kurang dari itu!"
Lagu : Cry Me A River (Justin Timberlake)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top