Black Angel [2]

"Lea, Kimi kok sekarang jarang ke sini?" tanya Mama di pagi itu. Aku baru menghabiskan segelas cokelat hangat. Setiap pagi, itu menu sarapanku.

"Kimi sibuk, Ma. Dia kan harus kerja juga," kataku seraya mencuci gelas di wastafel.

"Tapi dia masih kuliah, kan?"

"Masih." Aku berbalik menghadap ke arah meja makan, tempat Mama sedang mengolesi rotinya dengan selai kacang. "Memangnya kenapa, Ma?"

"Soalnya, Mama pernah beberapa kali ketemu dia pas jam kamu kuliah. Dandanannya rapi dan cantik gitu, ala orang kantoran. Mama jadi agak pangling lihat Kimi sekarang. Cantik banget."

"Iya, Kimi memang sekarang makin cantik," pujiku. "Semester ini ada beberapa mata kuliah kami yang beda. Karena itu tadi, Kimi kudu menyesuaikan sama jadwal kerjanya juga."

"Oh, gitu. Mama sempat ngira dia jadi asisten atau sekretaris. Pernah beberapa kali ketemu Kimi jalan sama Ravel Abraham. Tapi Mama cuma lihat dari jauh, sih. Ravel itu pengusaha hotel, pernah kerja bareng sama salah satu teman Mama."

Kimi tidak pernah bicara apa pun tentang pengusaha hotel, membuatku mengernyit. "Aku nggak tau soal itu. Mungkin Kimi ada kerjaan lain juga. Dia kan bisa dibilang punya jaringan yang oke karena sering banget ikutan pameran-pameran bergengsi, Ma."

Sorenya, Kimi muncul di rumahku. Berita tentang kandasnya hubunganku dengan Krishna, tampaknya mengejutkan sahabatku itu. Hari itu aku tidak ada kuliah sama sekali sedangkan Kimi sebaliknya.

"Yakin kalau kamu memang udah putus dari Krishna?" tanyanya serius. "Kok kamu kesannya gimana gitu. Terlalu tenang."

Aku tergelak kecil. "Memangnya kamu mengharapkan pemandangan yang kayak apa? Mataku bengkak dan berwajah bodoh? Nggak berselera ngelakuin apa pun? Niat bunuh diri? Sungguh, kamu mau aku kayak gitu?" tanyaku sambil menatap mata sahabatku dengan intens.

Kimi tergelak. Matanya berpendar indah. "Apa ini gara-gara taruhan konyol Jordy dan teman-temannya? Kamu terpengaruh?" Kecemasan terselip di suaranya.

"Kamu kira imanku selemah itu? Merasa tersanjung karena ada yang nekat taruhan cuma untuk ngedapetin cintaku yang mahal ini?" aku mencebik. "Kamu sendiri yang bilang, Jordy cowok murahan."

"Tapi, Marcus kan beda, Lea!" sergahnya cepat. "Bukan tipe cowok kulkas yang bikin penasaran, sih. Bukan juga bad boy yang biasanya malah membuat cewek-cewek pengin naklukin. Tapi... apa ya? Marcus itu menarik dengan caranya sendiri."

"Please deh Kim, jangan berperan seolah mau nyomblangin aku sama Marcus," aku pura-pura bergidik.

Kimi tertawa saat meletakkan tasnya di atas meja belajarku. Lalu dia turut bergabung di ranjang bersamaku. Aku sedang menonton sebuah serial Korea. Kamarku memang dilengkapi dengan televisi dan DVD player. Kimi berbaring di sebelahku

"Andai bisa, aku lebih suka jatuh cinta sama kamu aja, Kim. Kamu pasti akan menghargai aku, nggak akan nyuruh ngelakuin hal-hal sinting," ucapku datar. "Sayang, kalau kita nekat jadi pasangan, mungkin akan dilempari batu sampai mati."

Kimi terkekeh geli. "Tahu dari mana kalau aku nggak akan ngelakuin hal-hal sinting yang kamu sebut itu? Cinta itu bisa bikin orang jadi sableng," canda Kimi. Senyumnya yang jail mengembang saat aku memiringkan tubuh dan menatapnya.

"Apa sih yang sebenarnya terjadi?" tanyanya serius. Tidak ada lagi jejak gurau di wajah dan kata-katanya. Aku memicingkan mata, mengumpulkan semua kata-kata.

"Krishna dan aku malam mingguan di Puncak. Lalu dia ngajak untuk nyewa... hmm... vila," kataku dengan suara kaku.

"Apa?" Kimi terbelalak dengan suara meninggi.

"Aku nggak mau dan memilih putus. Aku sendiri nggak nyangka bisa mengambil keputusan itu tanpa merasa sedih. Kukira, kalau aku pisah dari Krishna, aku akan patah hati dan mungkin mogok makan minimal setahun," kelakarku setengah hati.

"Bagus kalau kalian putus," balas sahabatku dengan tajam. "Cowok yang pengin ngeseks untuk membuktikan kalau pacarnya benar-benar cinta, bagusnya memang ditendang ke neraka."

"Ya, aku setuju banget." Aku mendesah lemah. "Entahlah, aku nggak tau apakah keputusanku terlalu terburu-buru atau sebaliknya. Aku udah nggak tahan. Sebenarnya, udah ada tanda-tanda nggak sehat. Ciuman yang berlebihan, isyarat yang nggak pada tempatnya, meraba-raba bagian yang nggak pantas. Gitu-gitu deh. Tapi selama ini aku mengabaikannya. Atau mungkin aku lebih suka pura-pura nggak nyadar. Karena aku cinta Krishna. Kuanggap dia nggak sengaja, cuma terdorong perasaan atau semacam itulah. Aku memang bodoh karena merasa..."

Kalimatku tidak tergenapi karena tiba-tiba saja air mata sudah berhamburan. Kimi bergerak maju untuk memelukku. Aku menangis, merasa sakit hati dan kecewa dengan tingkah mantanku. Aku tidak sedih tapi marah.

"Cowok kayak gitu nggak pantas buatmu," bisik Kimi lembut sambil mengurai pelukannya.

"Aku nangis bukan karena merasa sedih. Aku kesal dan marah," balasku dengan suara serak.

"Bagus. Aku nggak mau kamu sedih gara-gara dia. Mulai sekarang, nggak usah sebut lagi namanya. Najis!" Kimi mengelus bahuku.

Kami menghabiskan sore itu dengan obrolan ngawur yang panjang. Di depan Kimi aku menangis, memaki, menggerutu tanpa henti. Saat itu aku baru menyadari kalau hatiku sesungguhnya teramat sakit. Namun aku setuju dengan sahabatku, takkan lagi sudi menyebut nama cowok itu.

"Aku jadi tau dia nggak serius cinta sama aku, Kim. Cinta nggak akan begitu. Cinta itu selalu memberi, bukan meminta. Tapi rasanya menyakitkan banget saat menyadari ini. Rasanya ditipu. Bodoh!"

"Aku juga nggak nyangka dia berani ngajak kamu ngelakuin sesuatu yang kamu nggak mau. Itu pemaksaan dengan cara halus. Suatu saat kamu bisa aja jatuh karena rayuannya. Siapa tau? Lain halnya kalau kamu memang mau."

"Tentu aja aku nggak akan mau!" sergahku cepat.

Kimi terkekeh. "Iya, aku tau kamu nggak akan mau. Kamu itu kuat dan nggak mudah dibujuk. Susah ketemu cewek kayak Leala," celotehnya. "Hari ini kamu boleh nangis sepuasnya. Tapi, mulai besok haram hukumnya nangisin cowok berengsek itu. Janji?"

Aku mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kananku ke udara. Kimi akhirnya memesan pizza. Kami mengabaikan tawaran makan malam dari Mama. Aku dan sahabatku mengunyah piza sambil menonton drama percintaan ala Korea.

"Apa dia marah waktu kamu menolak?" tanya Kimi hati-hati.

Aku mendengkus. "Biasa aja. Dia nggak marah, nggak menyesal, nggak minta maaf. Itu yang justru bikin aku makin emosi. Kupikir, memang udah nggak bisa diterusin. Anehnya Kim, perasaanku bisa dibilang... apa ya? Lenyap gitu aja. Kayak kena sihir. Tiba-tiba... wusss! Hilang."

Kimi terdiam lama. Sia-sia aku menunggu komentarnya. Entah apa yang sedang bergelora di benaknya. "Cinta itu kadang menyakitkan," gumam Kimi akhirnya. "Ketika ketemu orang yang salah, cinta akan jadi malapetaka. Tapi, andai sebaliknya, kamu akan punya seisi dunia."

"Kamu sekarang jadi bijak deh, Kim! Harusnya aku ikutin saranmu. Cinta nggak boleh kebangetan, sesuai porsi. Apa daya, otak manusia nggak diprogram untuk segala hal yang 'sesuai porsi'. Pasti ada aja yang overdosis dan melakukan hal-hal bodoh."

"Kamu nggak bodoh karena berani menolak. Itu prestasi hebat, Lea. Karena biasanya kalau cewek sudah cinta banget, akalnya nggak berfungsi dengan baik."

Aku terkekeh, merasa terhibur dengan kata-kata Kimi. Kuraih gelas berisi air putih di atas meja belajar karena tawa membuatku terbatuk-batuk. Mendadak, aku teringat sesuatu.

"Kamu nggak pernah cerita kenapa tiba-tiba putus dari Donnie. Padahal, kalian pasangan yang cocok. Kamu pernah dibawa ketemu keluarganya kan, Kim? Sumpah, aku dulu pernah mikir kalian akan buruan nikah setelah kuliahmu tamat. Donnie udah mapan, keliatannya cinta banget sama kamu. Apalagi yang dicari?" tanyaku.

Kulihat wajah Kimi berubah manai. Lalu dia menyibukkan diri dengan ponsel dan menjawab dengan suara pelan. "Kami nggak cocok," jawab Kimi pendek. Dia masih berkonsentrasi pada gawainya yang seolah mendadak menjadi benda terpenting di dunia, menolak melihatku.

Instingku segera terusik. Aku sangat kenal Kimi. Aku tahu jika ada sesuatu yang tidak beres. Reaksinya selalu aneh tiap kali aku membicarakan Donnie. "Kim, ada apa, sih? Aku nggak percaya alasan kalian putus cuma karena nggak cocok. Donnie selingkuh, ya?" tebakku.

Gadis itu menggeleng. "Nggak ada hal-hal kayak gitu," akunya pelan.

Aku mendesah. "Sungguh?"

"Iya, Lea. Donnie nggak selingkuh. Kami putus bukan gara-gara itu."

Aku menarik napas lega. Aku harus memercayai kata-kata sahabatku. "Oh iya, tadi pagi Mama bilang, beberapa kali pernah ngeliat kamu bareng pengusaha hotel. Siapa ya namanya, aku lupa?" Keningku berkerut, mencoba menggali memori dari perbincangan kami tadi pagi. "Eh... Karel, kalau nggak salah. Makanya Mama kira kamu udah berhenti kuliah dan kerja jadi asisten atau sekretaris si pengusaha. Kok kamu nggak pernah cerita, sih?"

Kimi buru-buru meletakkan ponselnya di ranjang. "Bukan Karel, tapi Ravel. Mamamu bilang gitu? Pernah ngeliat kami? Di mana? Gimana mamamu bisa tau soal kerjaan Ravel," semburnya dengan cepat.

"Kata Mama sih, si Ravel-Ravel ini pernah kerja bareng sama temannya." Aku menyipitkan mata. "Kok kamu keliatannya kaget banget? Ada apa?"

Kimi malah terdiam lama. Kepalanya tertunduk dengan jari-jari bertaut di pangkuan. Aku mengikuti arah pandangan Kimi, kaget mendapati tangannya tampak gemetar. Kalau sudah begini, aku makin yakin ada masalah serius yang mengadang sahabatku.

Kuraih kedua tangannya, memberi remasan lembut yang semoga saja bisa mereduksi ketidaknyamanan Kimi. "Kamu kan tau, bisa cerita apa aja sama aku, Kim. Aku sahabatmu, orang yang paling dekat denganmu," bujukku dengan suara lembut. Saat itu, masalahku dengan Krishna rasanya bukan lagi persoalan penting. Karena aku tahu bahwa Kimi bukan tipe gadis yang suka mempersoalkan masalah sederhana. Jika dia tampak terbebani, berarti ada hal serius yang harus ditanggung Kimi.

"Aku... punya banyak masalah serius, Lea. Sebenarnya, aku pengin cerita ke kamu sejak tahun lalu. Tapi, aku nggak punya nyali. Aku juga nggak mau kamu berubah dan ngasih penilaian jelek ke aku. Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai sahabatku, Lea." Kimi tampak tegang.

Aku kian bingung. Kalimatnya terdengar kacau dan membuatku takut. Bagaimana bisa dia akan kehilanganku sebagai sahabatnya? "Hei, ada apa, sih? Kamu jangan bikin aku takut dong, Kim! Ayolah, cerita," aku mengguncang lengannya pelan.

"Aku nggak tahu harus mulai dari mana." Kimi mengusap wajahnya dengan tangan kanan, setelah melepaskan cekalanku di lengannya. Wajahnya begitu pias. "Kayak katamu, Donnie orang yang pas buatku. Itu juga yang kurasa. Kamu tau kan, aku selalu tertarik sama cowok-cowok dewasa? Aku nggak pernah naksir sama cowok sebaya. Aku butuh pasangan yang bisa dijadiin tempat bersandar." Kimi memandangku serius.

"Iya, aku tau," anggukku. Aku berusaha keras menyabarkan diri agar tidak mendesak Kimi untuk langsung melompat ke poin terpenting dari ceritanya.

"Sampai suatu ketika... dia bersikap kayak si kunyuk mantanmu itu."

"Hah? Dia juga..." aku tak sanggup menggenapi kata-kataku.

Kimi mengangguk. "Bedanya, kamu bisa nolak tanpa pikir panjang. Aku sebaliknya, Lea. Aku mau aja nurutin kemauan Donnie."

Kimi menunduk lagi. Bayangan menakutkan mulai bermain-main di benakku. "Jadi, gara-gara itu kalian akhirnya putus?" tebakku. Kimi menggeleng.

"Kami menjalani hubungan kayak gitu selama kurang lebih tiga bulanan."

Aku menggigit lidahku tanpa sadar, mencegah bibirku melisankan berjuta pertanyaan yang siap meluncur. Namun rasa penasaranku terlalu kuat untuk ditaklukkan. "Lalu? Kamu hamil dan dia ogah bertanggung jawab?" sentakku dengan pupil mata melebar. Itu alasan yang paling masuk akal sampai mereka putus, kan? "Kamu aborsi?"

Kimi lagi-lagi menggeleng. "Bukan itu yang terjadi. Aku nggak pernah hamil, Lea. Donnie selalu mastiin kalau itu nggak akan terjadi."

Aku menukas dengan suara tajam. "Jadi, dia ninggalin kamu setelah bosan?" Rasa geram seakan membakar ubun-ubunku.

"Nggak juga," balas Kimi. "Donnie udah ngenalin aku ke keluarga dan teman-temannya. Aku, si bodoh Kimi, mengira kalau itu tandanya dia serius. Karena dia kan udah punya kerjaan bagus, umur pun cukup matang. Sampai kemudian...." Kimi memejamkan mata, menggantung kalimatnya begitu saja.

"Apa?" desakku tak sabar. Telapak tanganku terasa berkeringat.

Kimi membuka mata dan tersenyum, tapi dia justru tampak begitu menyedihkan. "Donnie... jadi perantara untuk orang-orang yang butuh... jasaku. Germo. Muncikari. Dia jadiin aku pelacur, Lea."

Donnie menjadikan sahabatku, malaikat dalam keluarganya, menjadi seburuk itu? Aku kehilangan oksigen, mengira akan mendapat serangan jantung. Namun yang kutakutkan tak pernah datang. Bibirku mengeja satu kata dengan gemetar. Pelacur.

Lagu : Skinny Love (Birdy)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top