Chapter 13

Update lagi niiih😍😍😍😁

Yok, vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya😘😘😘

Chapter ini panjang banget jadi komen sebanyak-banyaknya juga ya🤗🤗🤗❤️

Bisa nggak nih komennya seribu?🤔

#Playlist: Yoon Mirae - Flower

Di depan restoran Sani mengambil napas dalam-dalam. Dia menolak dijemput ayahnya karena takut suasana di dalam mobil canggung. Sani memutuskan bertemu di tempat yang ayahnya tentukan.

Berulang kali Sani mengambil napas dan mengembuskan perlahan. Setelah menikah orangtuanya tak pernah menanyakan kabar. Berjalan satu minggu pernikahan, pesan yang dikirim ayahnya adalah pesan pertama yang dia dapatkan. Tidak basa-basi bertanya kabar tapi langsung mengajak bertemu.

Setelah mengumpulkan keberanian Sani masuk ke dalam restoran dan segera duduk di depan ayahnya.

"Papa udah lama menunggu ya? Maaf ya, Pa," tanya Sani.

"Belum. Tenang aja. Kamu pesan aja dulu makanan," jawab Derry.

"Sani udah makan tadi. Papa bisa langsung bicara aja kenapa ngajak ketemu. Soalnya aku mau pergi ke rumah temanku kerjain tugas. Apa Papa sama Mama mau pergi ke London lagi?"

"Nggak. Bukan itu."

"Jadi apa, Pa?"

"Kamu kan udah nikah sama Angan. Papa ingin ngajak dia naro saham di perusahaan baru yang Papa bangun. Bisa kamu bujuk Angan untuk ikut serta? Papa dengar sahamnya Angan ada di mana-mana. Jadi ini kesempatan bagus kalau dia bersedia," jawab Derry menjelaskan.

"Nanti Sani bicarakan sama Mas Angan."

"Sekalian kamu bisa kasih uang buat Sanu dan Sana untuk uang jajan bulan depan mereka? Papa merasa kamu harus bantu keluarga. Angan pasti kasih uang banyak buat kamu. Jadi bagi-bagi lah. Buatlah diri kamu berguna sekarang."

"Uang bulanan? Berapa, Pa?"

"Mereka biasanya dikasih masing-masing tiga puluh juta. Kamu bantu ya. Anggap aja ini bakti kamu sebagai anak."

Tiga puluh juta. Sani memikirkan nominal yang benar-benar jauh dari uang bulanannya. Sebulan dia hanya dikasih lima juta sama orangtuanya. Lima juta pun sudah termasuk uang buku, uang jajan, dan kebutuhan lain. Dia baru tahu kedua kakaknya diberi uang sebanyak itu setiap bulan.

"Kalau mereka minta lagi, nanti Papa yang kasih. Jadi kamu kasih segitu aja."

Sani tidak berani menolak. "Iya, Pa."

"Oh, iya. Ulang tahun Mama minggu depan. Katanya dia mau mobil baru. Kamu beliin ya. Papa mau kasih hadiah lain," ucap Derry.

"Iya, Pa." Sani terus mengiyakan. Namun, kepalanya berputar memikirkan cara mengatakan pada Angan.

"Papa pulang sekarang. Jangan lupa permintaan Papa soal saham dan uang jajan untuk kakak-kakak kamu." Derry bangun dari tempat duduknya.

"Pa, kenapa minta uang jajan sama Sani?" Setelah cukup lama memendam pertanyaan itu, Sani memberanikan diri bertanya. "Keluarga kita mampu. Papa juga mampu. Kenapa harus Sani bantu? Uang yang Sani dapat bukan uangnya Sani. Itu uangnya Mas Angan semua."

"Kenapa Papa harus repot keluarin uang kalau kamu dapat suami yang kaya? Manfaatin Angan. Anggap juga ini rasa terima kasih kamu karena selama ini nggak pernah bikin Papa dan Mama bangga. Jangan lupa yang Papa katakan," ucap Derry seraya menepuk pundak Sani, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan putrinya.

Sani meremas celana jins yang dia pakai. Dia pikir pertemuan ini untuk menanyakan kabarnya. Dia terlalu berharap jauh. Orangtuanya tidak mungkin mengajaknya bertemu tanpa tujuan jelas. Dada Sani nyeri. Bagaimana dia mengeluarkan uang sebanyak itu untuk kedua kakaknya? Kalau saja dia sudah bekerja, dia tidak akan minta pada Angan.

Di saat hatinya sedih, ada panggilan masuk dari suaminya. Dia segera mengangkat panggilan. "Halo, Sayang?"

"Kamu ada di mana? Saya udah di kampus nih jemput kamu. Kelas udah selesai semua, kan?" tanya Angan di seberang sana.

"Udah. Tapi saya lagi di luar. Om pulang duluan aja."

"Di luar? Ngapain? Di mana? Biar saya jemput."

"Saya lagi ketemu sama Kak Sugar. Om nggak usah jemput. Saya pulang diantar Kak Sugar. Maaf, Om, saya nggak bilang. Dua puluh menit lagi saya pulang kok."

"Ya udah kalo gitu saya balik deh. Bener nih diantar Sugar?" tanya Angan tak yakin.

"Bener, Sayang. Hati-hati di jalan. Sampai ketemu di rumah."

"Kamu juga hati-hati. Saya tunggu di rumah ya. Love you." Angan membuat suara kecupan sebagai akhir dari kalimatnya. Ini menjadi sesuatu yang rutin dia lakukan tiap teleponan dengan Sani.

"Love you too." Sani turut membuat suara kecupan demi membalas suaminya. Hatinya mulai tenang mendengar suara Angan.

Sambungan telepon berakhir. Sani mencari kontak Mila ataupun Sweety untuk menceritakan pertemuan hari ini. Akan tetapi, dia mengurungkan niatnya. Dia takut Sweety memberitahu Angan. Akhirnya dia menghubungi sepupu yang namanya digunakan.

Setelah Sugar mengangkat panggilannya, Sani segera menceritakan mengenai kejadian hari ini sambil menangis. Beberapa ucapan ayahnya membuat dia sedih.

Hatinya terluka...

... lagi.

🎵🎵🎵

Suasana restoran yang dikunjungi Angan tampak dipenuhi beberapa orang yang hendak makan siang. Dia memasuki satu ruangan khusus yang diperuntukkan untuk orang-orang yang ingin berbincang tanpa ada gangguan yang disediakan oleh restoran.

Dia duduk dengan tenang di dalam ruangan tersebut sambil menunggu tamu yang diundangnya. Tak sampai lima menit, sosok yang ditunggu-tunggu datang. Angan bangun dari tempatnya dan menyalami sosok tersebut.

"Maaf ya, Papa terlambat," ucap Derry.

"Nggak apa-apa, Pa. Saya baru datang kok."

"Oh, iya. Ada apa ngajak ketemu? Apa ada berita bahagia dari kamu dan Sani?"

"Saya ngajak ketemu bukan untuk makan siang."

"Maksudnya gimana, Nak?"

"Ini mungkin terdengar kurang ajar untuk Papa, tapi saya mohon berhenti bikin Sani tertekan. Kalo Papa butuh uang atau mau minta sesuatu langsung bilang aja sama saya. Nggak perlu minta Sani melakukannya untuk Papa," tegas Angan.

"Maksud kamu?"

Sepanjang jalan sebelum bertemu mertuanya, Angan mencoba mengontrol emosi. Sani tidak cerita apa-apa perihal permintaan ayahnya. Yang cerita padanya adalah Sugar. Dari cerita Sugar, dia tahu bahwa istrinya menangis dan mengatakan bingung berulang kali karena tidak mau menggunakan uangnya. Inilah alasan Angan mengajak mertuanya bertemu. Dia yakin ayahnya Sani akan menganggapnya kurang ajar, tapi dia lebih khawatir kalau Sani sampai tertekan dan sedih. Kalau dia bertanya langsung Sani akan berbohong. Istrinya tidak akan menjelekkan keluarganya meskipun dia sudah tahu. Dia pikir setelah Sani tinggal bersamanya, orangtua Sani yang keterlaluan itu akan berhenti mengganggu. Tak disangka malah lebih menyakiti istrinya.

"Saya nggak mau menjelaskan secara gamblang, tapi Papa bisa cek uang yang udah saya transfer hari ini. Mengenai saham, saya bersedia. Papa bisa kirimkan pada saya mengenai detailnya melalui email atau bertemu lagi besok. Sani nggak cerita apa-apa, saya tau dari dari orang lain."

Derry mengepal tangannya di bawah meja. Kesal karena mendengar penuturan Angan yang menjatuhkan harga dirinya.

"Selama seminggu ini Sani jualan brownies non stop. Tidurnya larut malam karena buat brownies yang banyak, tugasnya keteteran, dan dia jarang makan karena fokus kumpulin uang. Saya tau untung jualan brownies tuh lumayan tapi dia keliatan capek banget. Saya khawatir Sani sakit jadi saya langsung ngajak Papa ketemu untuk membicarakan hal ini," ungkap Angan. Mengingat istrinya mati-matian mengumpulkan uang padahal bisa bicara padanya secara langsung, hatinya sakit. Tidak perlu bertanya alasan Sani melakukan hal itu pun, dia sudah tahu kalau istrinya tidak enak dengannya.

"Papa boleh minta uang sama saya. Berapapun saya nggak masalah. Asal jangan minta sama Sani. Dia nggak enak pakai uang saya. Semoga Papa nggak merasa gimana-gimana saya bicara blak-blakan seperti ini. Saya mohon maaf kalo ada kata-kata yang menyinggung atau menyakiti Papa. Saya permisi," lanjut Angan seraya bangun dari tempatnya.

Tidak mau melihat Derry lama-lama, Angan meninggalkannya sendirian. Terserah dibilang durhaka atau tidak sopan. Angan sudah berusaha menjaga kesabarannya saat pertemuan tadi. Dia ingat kata-kata Sugar ketika Derry mengucapkan kalimat yang menyakiti perasaan Sani. Setiap kali mengingat kalimat itu Angan geram sendiri.

Angan bergegas menuju kampus untuk menjemput Sani. Dia ingin membicarakan hal ini karena dirasa Sani sudah terlalu lama memendam.

Setelah menempuh waktu hampir satu jam akhirnya Angan tiba di kampus sang istri. Dia sudah memberitahu keberadaannya dan menunggu kedatangan istrinya. Melalui kaca spion bagian belakang dia melihat Sani melambaikan tangan pada Sweety dan Mila. Istrinya tersenyum seolah-olah tidak ada beban yang dipikulnya.

"Hai, Om," sapa Sani setelah memasuki mobil Angan.

"Hai, Sani. Gimana kuliahnya hari ini?" tanya Angan.

"Lumayan bikin kepala mau pecah. Nanti malam saya mau minta ajarin lagi."

"Oke. Terus gimana jualan browniesnya? Laku semua?"

"Pak Anatomi beli lima puluh kotak. Nggak tau buat siapa aja dia borong sebanyak itu. Pak Tebing beli dua puluh kotak, Pak Cloud beli sepuluh kotak, Kak Unique beli lima kotak, terus..." Sani berceloteh riang menceritakan panen uang yang didapat dari menjual brownies. Pelan-pelan dia sudah mengumpulkan uang supaya dapat memenuhi permintaan ayahnya meskipun masih sangat jauh dari nominal yang diminta.

Angan diam mengamati Sani bercerita. Di balik senyum itu ada hal yang disembunyikan. Ada beban yang dipikul sendirian karena takut menjelekkan keluarganya sendiri.

Dengan cepat Angan menarik Sani dalam pelukan, menghentikan cerita yang belum selesai karenanya. "Saya harap kamu bisa lebih terbuka sama saya. Apa pun itu masalah yang mengganggu pikiran kamu, saya ingin kamu mau berbagi. Tolong jangan dipendam sendirian. Saya sedih liat kamu berusaha baik-baik aja."

"Maksudnya, Omce?" Sani bertanya bingung. Otaknya masih loading untuk memahami semua ucapan sang suami.

"Saya tau ayah kamu minta uang supaya kamu bantu kedua kakak kamu. Kenapa nggak bilang sama saya? Kenapa saya harus tau dari orang lain? Saya udah pernah bilang kamu harus lebih terbuka," ucap Angan, masih dengan memeluk Sani. Dia tidak mau melihat istrinya memaksakan senyum. Hatinya sudah cukup sakit melihat kepura-puraan itu.

Sani diam tak menjawab. Dia baru paham. Angan pasti diberitahu Sugar. Yang tahu masalah ini hanyalah kakak sepupunya itu.

"Seandainya kamu masih berat untuk cerita, ya udah. Tapi kamu bisa minta uangnya. Kamu nggak perlu memaksakan diri nyari uang untuk memenuhi permintaan ayah kamu. Kalo kamu udah kerja terus dapat uang dan kasih orangtua kamu, itu terserah kamu. Tapi kamu masih kuliah. Banyak hal yang perlu kamu lakukan selain jualan sana-sini. Kamu juga harus mentingin kesehatan kamu. Saya nggak mau kamu sakit, Sani."

Sani merasa bersalah setelah mendengar kalimat suaminya. Angan sebaik ini. Angan tidak marah, tapi memberitahunya secara baik-baik.

"Maaf...," ucap Sani lirih.

Angan menarik diri, menatap Sani yang menunjukkan mata berkaca-kaca. Dia mengusap pipi istrinya dengan lembut. "Saya ingin kamu bahagia. Bukan sedih atau keliatan tertekan kayak gini. Saya merasa gagal kalo kamu sedih."

"Apa Om nggak marah kalo uangnya saya pakai sebanyak itu?"

"Buat apa marah. Uang bisa dicari, Sani. Jangan merasa nggak enak. Waktu itu saya udah bilang kamu bisa minta apa pun."

"Kalo nominalnya kecil saya bisa minta tanpa merasa nggak enak. Saya juga malu kalo minta. Kesannya saya malah ngabisin uang Om. Padahal keluarga saya mampu."

"Saya nggak peduli kamu abisin uang saya kek, apa kek. Nggak masalah. Kamu kan istri saya. Jangan bilang nggak enak terus." Angan mengusap pipi Sani sekali lagi sambil menunjukkan tatapan hangat seperti biasa.

Sani tidak tahu harus bilang apa. Angan selalu berusaha memahaminya dalam keadaan apa pun. Perlahan Sani menurunkan tangan Angan dari pipinya dan menggantinya dengan pelukan.

"Jangan mendam sendirian ya. Saya selalu siap sedia dengerin kamu," ucap Angan.

"Makasih, Om. Saya bingung harus bilang apa. Om baik banget."

"Kamu jauh lebih baik. Hati kamu seluas samudera." Angan melepas pelukan, lantas mencubit pipi istrinya. "Jangan tidur larut lagi. Saya marah kalo kamu nggak nurut."

"Emang Om bisa marah?"

"Nantangin nih. Tanya Anatomi deh. Saya bisa galak."

"Masa sih? Semanis ini bisa galak?" Sani memeluk lengan suaminya dan menyandarkan kepala di pundak sang suami.

"Kalo diginiin mah galaknya bisa bubar jalan. Kamu nih paling tau ya ngerayu suaminya," kata Angan seraya mengusap kepala Sani.

Sani terkekeh. "Salah sendiri bucin ke bunbun."

"Apa tuh bunbun? Bunda?"

Sani tertawa terbahak-bahak. "Haha... bukan, Om. Aduh, ngakak. Bunbun maksudnya ubun-ubun. Disingkat. Itu bahasa saya."

"Gimana saya bisa tau bunbun itu ubun-ubun kalo kamu nggak ngasih tau, Sayangku. Katanya mau ngajarin bahasa planet Sanitary. Mana nih materinya?"

"Cium dulu baru saya ajarin." Sani memanyunkan bibirnya saat wajahnya berpapasan dengan wajah Angan.

"Astagaaaaaaa.... Sani! Tolong dong. Bikin saya mau meninggal aja dengernya." Angan menjauhkan istrinya, melepas tangan Sani dari lengannya. "Bahaya, bahaya. Saya bisa khilaf nih. Udah ah, balik aja."

Sani tertawa pelan melihat suaminya salah tingkah. Tanpa permisi, Sani mengecup pipi kiri suaminya. "Hadiah untuk hari ini. I'm so proud of you, Sayangku. Kamu udah bekerja dengan giat dan makasih udah comfort istrinya," ucapnya lembut.

Angan terkaget-kaget. Sani punya kebiasaan bikin jantungnya berpacu ekstra cepat. Wajah dan telinganya pasti merah mirip kepiting rebus.

"Aduh, Sani... kamu belajar apa sih di kampus? Kok makin hari makin jago ngerayunya? Aduh, aduh... saya kalah telak." Angan menutup matanya karena malu-malu. Tidak sanggup melihat wajah Sani.

"Belajar mencintai Om Angan sampai akhir hayat," goda Sani sambil menunjukkan wajah jahilnya.

Angan menarik tangan dan bertepatan dengan itu melihat wajah jahil istrinya. "Aduh, aduh... udahlah. Saya sampai lupa umur gara-gara kamu. Saya mendadak kayak ABG yang baru pacaran."

Sani masih tertawa. Kemudian, dia memegangi wajah suaminya dan mengecup pipi kiri berulang kali sampai bunyi 'muah' terdengar mengisi mobil.

"Aku cinta sama Anganku," ucap Sani dengan suara yang dibuat seimut mungkin.

Ini pertama kalinya Angan mendengar Sani bicara menggunakan aku. Biasanya formal seperti bicara sama bos. Sudah begitu memanggil dia tanpa embel-embel Om. Dengan cepat Angan mengeluarkan ponselnya.

"Istriku, coba ulang. Saya mau rekam," pinta Angan.

"Nggak mau."

"Harus mau. Yayaya?" rengek Angan.

"Nggak, Om. Nggak ada siaran ulang."

"Harus ada."

Perdebatan soal ulang dan tidak mau ulang terus berlanjut. Akhirnya perdebatan itu berakhir dengan sendirinya meskipun berulang kali Angan masih merengek seperti anak kecil.

🎵🎵🎵

Jangan lupa vote dan komentar kalian😘😘😘🤗❤️

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Om Angan kalo dicium Sani tuh senyam-senyum kayak gini😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top