Chapter 12
Hai! Aku update lagi😍😍😍😁
Yok, vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya😘😘😘
Chapter ini panjang banget jadi komen sebanyak-banyaknya juga ya🤗🤗🤗❤️
Bisa nggak nih komennya seribu?🤔
*lagu yang kalian dengerin hari ini, lagunya siapa?
•
•
"Om, mau nanya."
Angan menoleh ketika Sani menepuk bahunya tak hanya sekali. Pandangan yang tadinya sebatas tertuju pada laptop mengurus pekerjaan kantor, kini berpaling menatap Sani. "Mau nanya apa, Sayang?"
"Saya nggak lulus PHI waktu itu terus ngulang. Jadi saya mau tanya beberapa hal yang masih saya nggak pahamin. Mau ngajarin nggak?"
"Ya, mau dong. Apa yang belum kamu paham?"
"Banyak." Sani meletakkan buku catatannya di atas meja kerja Angan. Menganggu suaminya bukanlah hal yang sebenarnya dia sukai. Dia tahu Angan sedang sibuk-sibuknya dan repot. Namun, dia ingin bertanya.
"Kamu bisa tanya langsung. Jangan nanya saya mau ngajarin atau nggak."
"Hm... jadi..." Sani lelah berdiri dan memutuskan duduk di atas pangkuan suaminya. "Bedanya common law sama civil law apa?"
Angan kaget waktu Sani duduk di atas pangkuannya. Sudah tahu dia suka kagetan tiap Sani berbuat yang terlalu tiba-tiba. Senang sih, tapi bagaimana dia mengontrol detak jantungnya yang tak karuan?
"Bedanya?" Angan berusaha tenang, mengontrol diri sebisa mungkin supaya tidak tenggelam dalam rasa senang yang dinikmatinya. Dia memeluk pinggang Sani, menahannya supaya tidak jatuh.
"Eropa Kontinental atau Civil Law itu sistem berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan dan yurisprudensi. Biasanya negara yang menganut sistem ini punya konstitusi secara tertulis. Legislasi sebagai sumber hukum utama dan sistem pengadilannya biasanya nggak terikat sama pendahulu. Sebaliknya Anglo Saxon atau Common Law itu sistem hukum yang berdasarkan putusan pengadilan terdahulu dan kebiasaan yang ada berbeda dari undang-undang yang dibuat oleh parlemen. Biasanya hukumnya nggak dikodifikasi. Kalo kamu pernah nonton serial televisi Law and Order, Amerika menganut sistem common law. Mereka pakai juri. Sementara negara kita menganut sistem civil law. Kita nggak punya juri."
"Masih nggak paham, Om. Aduh, pusing." Sani menggeleng tidak kuat. Biarpun Angan sudah bicara pelan-pelan, dia tetap tidak paham.
"Gimana kalo kita nonton? Supaya kamu tau bedanya common law dan civil law. Bisa jadi kamu lebih paham. Gimana?"
Sani menggeleng. "Nanti dulu. Saya mau nanya. Dikodifikasi tuh maksudnya apa?"
"Kodifikasi maksudnya pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dalam materi yang sama. Kenapa dikodifikasi? Biar ada kepastian hukum."
Sani menghela napas. Kenapa otaknya begini banget. Menerima tidak, malah tidak paham sama sekali.
"Tau gitu saya ambil tata boga aja. Hukum tuh rumit ya, Om. Apalagi kalo liat pasal. Kalo udah liat pasal sekian, ada lagi rujukan pasal lain. Bercabang gitu." Sani akhirnya mengeluhkan apa yang selama ini tidak dia bicarakan pada orangtuanya.
Angan mengusap kepala istrinya sambil menatap penuh cinta. "Kenapa nggak ambil tata boga setelah lulus? Kamu bisa fokus ke sana karena saya liat kamu punya potensi di bidang itu."
"Mau sih, tapi duit dari mana kalo ambil tata boga?"
"Parah nih suaminya nggak dianggap. Saya biayain, Sani. Kamu bebas minta apa pun sama saya. Mobil, rumah, jet pribadi, apa pun yang kamu butuhkan tinggal bilang."
"Mana enak. Itu uangnya Om."
"Sani, Istriku Sayang. Dengar ya. Uang saya adalah uang kamu juga. Tapi uang kamu ya uang kamu. Jadi kalo kamu buat brownies terus dapat uang, itu sepenuhnya punya kamu. Kalo uang saya, apa pun yang saya dapat, itu uang kamu. Kamu bisa pakai." Angan berucap sembari mencubit gemas pipi istrinya yang chubby itu.
"Tetep aja nggak enak." Sani terbiasa tidak pernah minta apa-apa sama orangtuanya. Jadinya dia terbiasa menggunakan uang hasil jualan.
"Kalo gitu tiap seminggu sekali kamu minta apa pun yang kamu inginkan. Saya belikan. Ini supaya kamu terbiasa minta sama saya. Karena saya nggak mau kamu pakai uang kamu sendiri untuk jajan atau beli yang mahal-mahal. Uang yang kamu punya simpan aja. Asal kalo beli apa-apa, mintanya sama saya. Mau ya?"
Sani memikirkan tawaran Angan. Seumur-umur baru kali ini ditawari sesuatu yang menggiurkan. Setelah cukup lama mempertimbangkan akhirnya Sani mengangguk. Dia hanya akan meminta yang mudah saja supaya tidak ketergantungan sama suaminya.
"Good. Apa udah ada yang mau kamu minta untuk minggu ini?"
Sani mengangguk. "Mau minta pulpen, Om. Soalnya pulpen saya ilang mulu. Dipinjem Sweety atau siapa tau."
"Pulpen? Cuma itu aja?"
"Iya, Om."
"Nanti saya belikan. Makasih ya udah minta sesuatu sama saya. Entah kenapa senang aja gitu kalo dengar kamu minta sesuatu atau minta tolong," ucap Angan jujur. Dia ingin Sani mengandalkannya. Mendengar Sani minta hal kecil saja dia sudah senang.
"Bucinnya udah kronis ya, Bun. Bikin gemes aja. Merasa jadi perempuan paling dicintai di dunia," kata Sani sambil terkekeh.
Angan merengkuh pinggang Sani dengan kedua tangannya sambil tetap menatapnya penuh damba. "Iya, dong. Kamu perempuan yang paling saya cintai. Kalo cinta saya buat Mama sih udah sebesar dunia, itu konteksnya beda dengan perempuan yang bersama saya selamanya. Saya cinta kamu seluas lautan yang nggak berujung, Sani."
"Saya juga cinta sama Om. Ya ampun... sugar daddy kesayangan saya." Sani memeluk suaminya dengan erat. Yang dia tahu sekarang Angan bisa menjadi apa pun yang dia inginkan. Kakak, guru, pacar, suami, ayah, ibu, dan segala macam yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya.
"Manggilnya masih Om aja nih. Kapan dipanggil pakai 'Bebeb' setiap saat ya?" goda Angan.
"Mulai besok manggilnya bukan Om lagi."
"Apa dong?"
"Anganku Sayang."
"Aduh, Sani... mimpi apa ya saya sampai punya istri bikin gemes mulu. Kamu nih susah ditebak. Bisa manis tiba-tiba. Baru sekali ini saya kayak ABG yang kasmaran. Biasanya juga saya nggak begini. Kamu emang spesial ya. Sangat menggetarkan jiwa dan raga." Angan memeluk Sani lebih erat.
"Itu kelebihan lain dari Sanitary, Om."
"Iya, bikin saya bucin dan jatuh sejatuh-jatuhnya."
Sani terkekeh. Sejurus kemudian dia bertanya, "Om, mau nanya nih. Resep muka awet muda kayak anak kuliahan apa?"
"Resepnya?" Angan melonggarkan pelukan sedikit, menatap iris hitam sang istri yang menunjukkan tatapan seperti bocah kecil. "Nggak tau. Mungkin gen. Mama saya mukanya awet muda tuh. Malah Mama disangka nikah sama om-om karena wajahnya keliatan muda."
"Bener juga sih. Eh, bahas muka. Waktu kemarin Om pakein saya skincare ya?"
Angan mengangguk. Melonggarkan pelukan kembali, menyampirkan rambut Sani yang menghalangi pandangan ke sela daun telinganya.
"Tutup mata, Om," suruh Sani.
"Mau ngapain?"
"Tutup mata dulu. Ayo, tutup."
Angan memejamkan mata. Detik itu pula Angan merasakan bibir Sani mendarat di keningnya, kedua pipi, hidung, lalu berakhir menyapa bibirnya. Angan sampai membuka mata merasakan Sani masih mengecup bibirnya. Namun, kecupan itu tidak sampai membentuk keinginan yang lebih jauh. Ditatapnya Sani yang melempar senyum dan mencubit pipinya. Wajah Angan sudah semerah tomat. Jangan tanyakan bagaimana hatinya. Yang jelas dia ingin guling-guling.
"Makasih udah bantu pakai skincare. Suamiku yang terbaik. Yup yuuuu!"
Kening Angan berkerut samar. "Yup yu apa tuh?"
Sani nyengir. "Hehe... itu maksudnya love you. Bahasa dari planet Sanitary alias bahasa yang saya ciptakan, Om."
"Luar biasa. Istri saya punya kamus bahasa sendiri. Ajarin saya dong. Siapa tau bisa balas-balasan sama kamu. Lucu kan kalo kita punya bahasa cinta sendiri."
"Boleh, Om. Saya ajarin spesial di kamar."
"Bentar, pikiran saya traveling nih kalo bawa-bawa kamar."
Sani tertawa pelan. Lalu, suara tawanya hilang seiring senyum yang menguasai. Kedua tangannya melingkar di leher suaminya. "Ayo, tidur, Om. Saya ngantuk. Sekalian dongengin saya soal kasus yang Om urus hari ini."
"Bentar, saya matiin laptop dulu." Angan mematikan laptopnya setelah menyimpan file yang sedang dia kerjakan. Setelah menyudahi kesibukannya, dia mulai menggendong tubuh sang istri tanpa berniat menurunkannya. "Saya dongengin sampai kamu tidur nyenyak. Nanti saya ceritakan klien yang ajaib. Tapi tetep aja lebih ajaib kamu sih."
Sani tersenyum bangga. "Oh, jelas. Kalo itu saya juaranya, Om."
🎵🎵🎵
Ada suara menguap yang cukup keras mendengung di telinga. Siapa lagi kalau bukan Sani pelakunya? Sani terkantuk-kantuk mengamati buku yang berjejeran rapi di perpustakaan. Dia ingin mencari bahan untuk tugas mata kuliahnya. Yang membuat dia bosan adalah tidak ada Sweety dan Mila. Kedua sahabatnya tidak ada mata kuliah hari ini. Sani hanya masuk satu mata kuliah karena jadwalnya dengan Mila dan Sweety berbeda.
Semalam dia tidur jam tiga pagi. Ada hal yang membuatnya tidur sepagi itu. Kantuknya semakin tinggi. Sani ingin memejamkan mata, tapi dia butuh buku untuk mengerjakan tugas yang wajib dikumpulkan hari ini.
Kala mata sedang mencari buku yang diperlukan, suara kentut Sani mengudara sekencang bom yang meledak. Alih-alih ingin mencari buku dengan tenang, dia malah mempermalukan dirinya sendiri. Walau kentutnya tidak mengeluarkan bau yang aneh-aneh, tapi beberapa orang ilfeel dan beranjak dari sana meninggalkan tatapan kesal padanya.
"Saya nggak nyangka suara kentut Kak Sani sebesar itu." Suara yang mendengung di telinga Sani memaksanya mencari siapa sosok yang bicara seperti itu. Rupanya Prawara.
Sani nyengir. "Hehe... kamu dengar ya? Maaf. Semoga nggak keganggu."
"Nggak kok. Saya baru liat perempuan nggak ada jaim sama sekali. Biasanya nahan kentut atau pergi ke mana dulu buat buang angin," ucap Prawara sambil tertawa kecil.
"Berarti kalo saya kentut lagi boleh dong ya?" tanya Sani tanpa malu-malu.
"Boleh, Kak. Saya menunggu bom kentut dari Kak Sani." Prawara masih menikmati tawanya, merasa lucu karena bertemu dengan perempuan tanpa jaim seperti Sani. Rasanya langka.
"Nggak deng. Saya bercanda." Sani mengibas-ngibas tangannya, takut ada bau yang tidak sedap. Kalau baunya busuk, dia takut Prawara pingsan. "Omong-omong, kamu lagi nyari buku apa?" tanyanya demi mengalihkan pembahasan soal kentut.
"Nyariin Kak Sani," jawab Prawara bercanda.
"Hah? Mau ngapain nyariin saya? Berasa buronan aja."
Prawara terkekeh. "Saya bercanda, Kak Sani. Lucu banget." Dia memelankan kalimat terakhirnya sehingga nyaris terdengar seperti gumaman kecil.
"Oh, gitu."
"Kak Sani cari buku apa? Siapa tau bisa saya bantu," tawar Prawara.
"Nggak usah, saya bisa cari sendiri. Ini ketemu kok." Sani berjinjit dan meraih ujung buku yang tergeletak di barisan rak teratas.
Tinggi tubuh Sani sekitar 160 cm. Dia pikir dengan cara berjinjit bisa meraih buku yang lebih tinggi. Alih-alih mengambil buku, dia malah tertimpa buku yang diraihnya.
"Aduh!" Sani memekik sekaligus mengusap kepalanya. Buku yang menimpanya jatuh ke lantai.
"Kak Sani baik-baik aja? Harusnya minta tolong saya aja. Kepalanya nggak luka, kan?" tanya Prawara khawatir.
"Nggak apa-apa kok. Tenang." Sani kembali memamerkan senyum meski sebenarnya masih sakit tertimpa buku yang lumayan tebal.
"Beneran? Kak Sani butuh buku yang ada di atas? Kalo iya, saya ambilin."
"Nggak kok."
Prawara mengambil buku yang tergeletak di lantai dan menyerahkan pada Sani. "Saya serius. Kalo Kak Sani butuh buku di barisan atas, minta saya aja. Nanti saya ambilkan."
Sani mengangguk. Melihat tubuh tinggi Prawara rasanya seperti melihat Angan. Prawara memiliki tinggi sekitar 187 cm. Suaminya 190 cm. Kalau bicara dengan dua orang itu, Sani harus mendongak. Jangankan dengan keduanya, dia saja harus mendongak tiap kali bicara dengan Mila. Terkadang kalau malas, Sani tidak mau menatap Mila. Karena terlalu tinggi jadi pegal juga mendongak terlalu lama.
"Kak Sani!" Panggilan yang cukup heboh itu memaksa Sani melihat ke arah si pemilik suara yang semakin dekat.
"Kirain siapa teriak-teriak macem tarzan. Ternyata lo, Ombak," balas Sani.
Adik dari Unique itu nyengir. Ombak tercatat sebagai mahasiswa baru di kampus. Terkadang Ombak suka mampir ke perpustakaan.
"Eh, ada Prawa juga." Ombak merangkul pundak Prawara. "Kalian lagi tepe-tepe nih?"
"Tempe? Maksudnya apaan?" Sani bingung.
"Tepe-tepe, Kak. Bukan tempe. Maksudnya tebar pesona. Ya elah... nggak tau bahasa anak muda apa," ledek Ombak.
"Seralo aja deh."
"Apaan tuh, Kak?"
"Serah lo. Katanya anak muda, tapi nggak tau bahasa kayak gitu." Sani gantian meledek Ombak.
"Mohon maap nih, Kak. Bahasa seralo mana ada. Gue pikir lo tiba-tiba bahas temen namanya seralo." Ombak mengusap pelipisnya, terheran-heran sama Sani yang punya bahasa sendiri.
Sani nyengir. "Bahasa planet Sanitary. Hanya orang tertentu yang paham."
Prawara yang mulai merasa asing dengan percakapan ini langsung menyela, "Bentar. Kalian udah saling kenal?"
"Kenal. Ombak tuh pernah pacaran sama sahabat aku. Kamu kok kenal sama Ombak? Bukannya anak pindahan?" Sani bertanya setelah menjawab balik.
"Prawara ini drummer band gue, Kak. Gue yang nyuruh dia pindah ke sini. Soalnya dia nggak nyaman di kampus lamanya." Ombak memberitahu.
"Oh, gitu." Sani manggut-manggut mengerti.
"Mantan yang mana nih, Ombak?" tanya Prawara.
"Emangnya mantan Ombak ada berapa lusin?" tanya Sani pada Prawara.
"Enak aja lo, Pra. Mantan tercinta gue jelas cuma Kak Mila." Ombak berucap bangga.
"Tercinta tapi putus. Basi kayak susu," celetuk Sani.
Kali ini Ombak berpindah posisi, merangkul pundak Sani dan senyam-senyum karena ada maunya. "Kak Sani..."
Sani mengamati Ombak tanpa curiga. "Kenapa mesam-mesem? Kesurupan nih? Duh, bahaya juga."
"Bukan. Gue mau nanya. Kak Mila belum nikah, kan?"
"Mau nikah habis lulus."
"Kira-kira kalo gue pepet bisa balik lagi nggak ya?"
"Pepes?" Sani mengernyit bingung. "Lo mau kasih pepes buat Mila?"
Ombak menepuk keningnya. Di saat seperti ini Sani pakai acara salah dengar. Padahal lagi mau serius. "Duh, ampun. Bukan. Pepet, Kak. P-e-p-e-t. Gue mau pedekate lagi sama Kak Mila. Mumpung belum nikah."
"Oh, pepet. Gue dengernya pepes." Sani menunjukkan cengiran kuda selebar-lebarnya. "Terserah lo aja."
"Oke deh." Ombak bertekad. Mulai detik ini dia akan melancarkan serangan pedekate pada Mila.
Sani sendiri bingung. Mila sebenarnya lebih suka berondong. Tak pernah sekalipun Mila pacaran dengan senior atau yang lebih tua. Mila lebih tertarik dengan yang muda-muda menggemaskan. Mendengar Ombak mau mengajak Mila balikan, dia sudah pusing duluan. Akan seperti apa nanti hubungan Mila dan Tebing.
"Eh, Pra. Berarti perempuan rambut pendek yang menurut lo lucu itu Kak Sani ya? Yang kemarin lo mau cari tau nomor hapenya?" tanya Ombak.
Prawara buru-buru menarik Ombak sampai menjauh dari Sani. Matanya melotot seolah meminta teman satu band-nya itu berhenti bicara.
"Oh, bener. Gue pikir perempuan mana yang bikin lo sesenang itu." Ombak tertawa pelan. Kemudian, "Kak Sani, itu Prawara mau minta nomor hape lo."
"Eh, nggak. Ngaco lo. Udah ah, cabut aja." Prawara menarik ujung kemeja yang dipakai Ombak, menyeretnya pergi setelah pamit pada Sani.
Sani yang ditinggalkan sendirian tidak begitu mengambil pusing. Karena dia tidak terlalu mendengar apa yang Ombak katakan.
Dia kembali fokus mencari buku yang dibutuhkan. Ketika sedang melihat-lihat, ponselnya bergetar. Karena penasaran, dia membuka pesan masuk yang terlihat.
Dalam hati Sani bertanya-tanya. Tumben. Ada apa sampai mau jemput segala?
🎵🎵🎵
Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘🤗❤️
Follow IG dan Twitter: anothermissjo
Ini nih yang namanya Prawara🙊🙈🙈 bae2 demen🤣🤣
Btw, ini Ombak😍😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top