Chapter 11
Yuhuuu! Update lagi😍😍😍
Yokk vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya🤗🤗🤗😘❤️
Makasih untuk seribu komen kalian T___T terhura dong huhu lope lope kalian<3
Bisa seribu gak ya ini komen?🤔🤭
•
•
Sani berlari terbirit-birit karena sudah terlambat lima belas menit. Ini karena Sweety mengajaknya makan di luar jadinya macet-macetan di jalan sampai melewatkan mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Dia mengulang mata kuliah PHI. Sementara Mila dan Sweety sudah lulus mata kuliah tersebut.
Dosen barunya adalah Unique. Sebelumnya Sani tidak kedapatan Unique makanya sampai mengulang karena dosennya killer. Yang bikin Sani heran hampir semua dosen di fakultasnya killer dan pelit nilai. Anatomi termasuk salah satunya yang merepotkan soal nilai, lalu disusul Cloud yang diam-diam pelit nilai juga. Unique sama pelitnya. Sani pikir dengan mengenal baik ketiga dosen itu nilainya akan lancar jaya. Kenyataannya tidak.
"Bu Unique galak lagi kalo di kelas." Sani bermonolog sendiri. Panik bercampur takut. "Kalo gue bolos sekarang bisa diitung nggak masuk kelas."
Sani tahu Unique sangat strict saat dikelas. Terlambat lima belas menit akan dihitung tidak masuk. Unique benci mahasiswa yang terlambat apalagi telatnya lumayan banyak. Kesempatannya tidak masuk hanya dua kali. Kalau Sani dihitung tidak masuk sekarang, hanya tersisa satu kesempatan lagi.
"Ya, Tuhan... apa nggak mau ada meteor jatoh biar kelas bubar?" Sani berkomat-kamit sendiri, mengharapkan hal yang sangat mustahil. Kalaupun terjadi sudah pasti dia ikut tertiban meteor.
"Nggak mau masuk?"
Sani menoleh ke samping, melihat laki-laki berambut cepak menggerakkan bola matanya menuju pintu. Sani menggeleng.
Laki-laki itu mengetuk pintu kelas dan membuka pintu seenaknya. Sani buru-buru membungkukkan badan supaya tidak ketahuan dia terlambat. Dia menggeser tubuhnya ke samping supaya terhalang pintu.
"Maaf, Bu. Saya terlambat," ucap laki-laki itu.
Sani menyadari satu tangan laki-laki itu berada di belakang punggungnya dan bergerak memberi kode supaya dirinya masuk. Dengan cepat Sani masuk ke dalam kelas dengan tubuh membungkuk dan mengendap pelan-pelan. Laki-laki itu menutupi Sani supaya dapat duduk di bangku paling belakang.
"Siapa nama kamu?" tanya Unique.
"Prawara Sadajiwa, Bu."
"Oke, saya catat kamu datang terlambat hari ini. Kesempatan kamu tinggal sekali lagi. Kalau lebih dari dua kali nggak bisa ikut UTS ya. Ingat itu." Unique melihat kehadiran Sani yang bertepatan dengan kehadiran laki-laki itu. Hanya saja dia tidak akan menandai Sani karena tidak sempat menangkap basah saat baru masuk.
"Baik. Terima kasih, Bu."
Sani menghela napas lega. Syukurlah namanya tidak dicatat. Kalau iya, habislah. Bisa-bisa kelulusannya tertunda lagi. Karena dia beruntung masih sisa satu semester karena dua mata kuliah yang nilainya sangat buruk dibuka semua di semester depan. Semester ini Sani hanya mengulang dua mata kuliah yang nilainya pas-pas-an.
Ketika Sani akan berterima kasih, laki-laki itu duduk di sampingnya. Dia terkejut saat laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Prawara."
Sani menyambut uluran tangannya. "Sani."
Ini pertama kalinya Sani melihat Prawara. Mungkinkah anak baru? Atau, anak eksekutif yang pindah ke kelas reguler? Kampusnya memiliki kelas eksekutif bagi yang memiliki waktu di malam hari. Bisa menukar jadwal atau pindah ke kelas reguler.
Tidak mau memikirkan itu, Sani melanjutkan, "Makasih soal tadi, Prawara."
"Pra atau Wara aja," koreksi Prawara.
"Oke, Prapra."
"Sani," panggil Unique, menyadari Sani asyik berkenalan dengan Prawara di belakang sana.
"I-iya, Bu?" Sani menarik tangannya dan duduk tegap ketika Unique menunjukkan tanduk galaknya.
"Hukum di Indonesia menganut sistem hukum apa?" tanya Unique. Hal ini menjadikan Sani tontonan paling utama ketika pertanyaan itu dilontarkan. Sebagian dari mahasiswa di sana memilih tidak memerhatikan Sani karena takut jadi target selanjutnya yang ditanya.
"Aduh, apaan..." Sani bergumam pelan. Dia lupa. Padahal dia sudah mempelajari dulu, tapi tidak ada yang nyangkut sama sekali.
Prawara menutupi setengah wajahnya dengan telapak tangan dan berucap pelan, "Civil law."
Sani tidak dengar suara Prawara yang kecil itu. Alhasil dia cengengesan. Namun, dia mendengar Prawara memperjelas suara mengulang jawaban. Kali ini Sani mendengar sehingga dia menjawab meskipun agak terlambat. "Civil law, Bu."
"Ya, betul. Jadi hukum negara kita menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law. Maka..." Unique melanjutkan penjelasan yang sempat tertunda karena ada yang terlambat. Dia menjelaskan dengan menunjuk poin-poin penting pada power point yang dibuat olehnya.
Sani mengusap dadanya lega. Akhirnya dapat terbebas dari hal-hal yang tidak diinginkan meskipun sempat menjadi tontonan seisi kelas. Sejujurnya dia agak malu karena semua yang ada di dalam berisi junior. Teman seangkatannya yang mengulang mata kuliah yang sama tidak ada yang masuk.
"Makasih ya, Prawara." Sani berucap untuk kedua kalinya.
Prawara mengangguk sambil tersenyum.
"Kak Sani, ada pulpen dua nggak ya?" Seorang perempuan yang duduk di depan Sani bertanya ketika melihat Sani.
"Aku malah mau minjam pulpen sama kamu. Kelupaan bawa pulpen sama buku catatan," jawab Sani.
"Oh, ya udah. Nggak apa-apa, Kak. Aku pinjam sama yang lain deh."
Setelah perempuan itu menghadap ke depan, Prawara bertanya, "Kak Sani? Senior ya? Aduh, saya nggak sopan manggil Sani doang."
"Nggak apa-apa kok. Jangan pakai Kakak. Biar keliatan muda."
"Biar lebih sopan. Maaf ya, saya nggak tau soalnya baru pindah kampus."
"Oh, pantes. Anak pindahan, toh."
"Iya, Kak Sani." Prawara tersenyum. Satu tangannya mengambil pulpen dari dalam tas dan menyodorkan pada Sani. "Kak Sani bisa pakai pulpen saya."
"Nggak apa-apa nih?"
Prawara mengangguk. "Oh, tunggu." Dia mengambil buku catatan miliknya dan meminjamkan kepada Sani. "Boleh pakai juga catatannya. Nanti saya tinggal fotocopy."
"Itu..." Sani nyengir. "Lebih baik kamu aja. Tulisan saya lebih buruk dari tulisan anak kecil yang baru belajar nulis. Kasihan mata kamu nanti."
Prawara nyaris tertawa mendengarnya, tapi dia menahannya dengan baik. "Oke, biar saya yang tulis. Kak Sani tinggal fotocopy nanti."
Sani mengangguk. "Makasih lagi, Prapra."
Prawara menarik senyum manis yang dimilikinya saat membalas ucapan Sani. "Iya, sama-sama lagi, Kak Sani."
🎵🎵🎵
Angan baru saja pulang setelah sibuk mengurus pekerjaan. Padahal baru beberapa hari menikah. Dia berharap bisa berduaan dengan Sani atau menjemput istrinya. Jangankan bisa jemput, dia malah pulang malam karena direpotkan kliennya. Dia sudah rindu dan ingin memeluk istrinya.
Ketika Angan masuk ke dalam kamar, dia melihat Sani menidurkan kepala di atas meja belajar. Istrinya tidur dengan mulut menganga. Seperti yang dikatakan pembantu rumah, katanya Sani sedang belajar. Niatnya Angan ingin melihat Sani makan sushi yang sempat diminta untuk dibawakan, tapi tampaknya dia akan menundanya sampai besok. Sani terlihat sangat lelah.
Angan mendekati istrinya, menaikkan satu tangan Sani ke pundaknya dan menggendongnya ke tempat tidur. Setelah Sani sudah direbahkan, dia mengambil tisu dan menyeka air liur yang mengalir membasahi pipi. Dia memandangi Sani sebentar, mengusap kepalanya pelan-pelan sambil menarik senyum.
"Heran, tidur aja lucu banget. Kapan nggak lucu sih?" Angan bermonolog sendiri, memuji-muji istrinya sambil cengar-cengir seperti orang kesurupan. "Ah, gila juga. Makin diliatin makin gemesin. Pegel juga nih hati jungkir balik mulu tiap liat Sani."
Sebelum hatinya semakin cenat-cenut, Angan menyelimuti istrinya. Kemudian dia mendekati meja belajar untuk merapikan buku-buku mata kuliah Sani. Di sana dia melihat satu kertas fotocopy yang menampilkan tulisan rapi.
"Tulisan siapa nih? Rapi amat. Sweety atau Mila ya?" Tidak mau memikirkan hal tidak penting itu, Angan memasukkan kertas fotocopy ke dalam buku catatan istrinya.
Detik berikutnya Angan masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil piyama bergambar kartun spongebob seperti yang dipakai Sani. Hadiah piyama ini diberikan kakak perempuannya. Katanya biar cute. Padahal menurut Angan tidak perlu piyama cute, istrinya sudah paling cute sejagat raya.
Di dalam kamar mandi Angan teringat sesuatu. Dia memikirkan Sani, apa sudah cuci muka atau belum. Beberapa perempuan yang dia kenal selalu melakukan ritual penting; skincare-an. Melihat bagaimana Sani tertidur berarti belum sempat melakukan ritual itu. Angan ingin membantu, tapi dia tidak tahu apa saja yang biasa dipakai istrinya. Yang dia tahu cuma menemani belanja, dan bayar.
Angan segera menghubungi sepupunya karena kakaknya sedang ada jadwal penerbangan ke luar negeri. Dia menghubungi sepupu yang paling asyik untuk ditanya soal apa pun, Irama Junied.
"Halo, Tinggilangit. Ada angin kencang apa nih telepon gue?" sapa Irama di seberang sana.
"Lo sibuk nggak, Ra? Gue mau nanya soal skincare nih."
"Skincare? Mau ngapain? Lo mau skincare-an? OH, MY GAAAWDDD! BISA JADI HEADLINE DI GRUP JULID JUNIED NIH," ledek Irama sambil tertawa terbahak-bahak.
"Parah ya giliran julid aja nomor satu. Bukan gue lah. Istri gue."
"OOOOOHHHH... KIRAIN. BARU AJA MAU GUE SHARE DI GRUP."
"Kurang mangga lo."
"Kurang asem dong, Ting. Eh, bukan perjaka tingting lagi." Irama tertawa kembali. Kali ini lebih keras sampai Angan harus menjauhkan telepon dari telinganya.
"Bahagia ya ledekin orang. Udah ah, gue nggak mau basa-basi. Lo liat nih skincare punya istri gue. Dia ketiduran terus gue nggak tega bangunin. Gue mau coba bersihin mukanya dan gituin skincare. Tapi gue nggak tau apa aja yang harus gue pakai duluan."
"Gila, gila, sepupu gue bucinnya udah mendarah daging banget. Padahal bangunin sebentar nggak apa-apa. Tapi ya udah lah ya, lo ubah dulu jadi video call. Biar gue bisa liat semua skincare istri lo."
Angan mengubah mode teleponnya menjadi video call. Dia memakai earphone bluetooth supaya suara Irama tidak terdengar dan membangunkan Sani. Tanpa berlama-lama dia menunjukkan semua skincare dan botol pembersih muka milik istrinya. Mendengarkan semua yang dikatakan Irama dan mengingat petunjuk-petunjuk yang Irama beritahu dalam ingatan.
"Lo paham, kan? Nggak perlu gue ulang ya soalnya gue tau lo pintarnya udah dari dalam kandungan," kata Irama.
"Nggak usah. Gue udah inget. Thank you ya, Ra."
"Sama-sama, Buti!"
"Ya udah, gue matiin teleponnya. Jangan julid di grup. Awas lo."
"Sayangnya ndak bisa, Tinggilangit. Lo bahan julid gue malam ini. Besok targetnya beda lagi. Siap-siap hape lo ramai sama notif dan tag dari anak-anak Junied yang lain. Byeeeeee, Buti!" Irama masih menertawakan dan mematikan sambungan dengan cepat.
Angan akan membalas Irama nanti. Lebih baik dia mengurus istrinya dulu. Sebelum mengurus skincare, dia mencuci tangannya terlebih dahulu. Setelahnya barulah dia mengambil semua skincare yang dibutuhkan termasuk tisu pembersih wajah. Setelah sudah meletakkan semua di atas nakas, dia menata skincare yang lebih dulu akan dipakai sesuai petunjuk yang Irama beritahu. Untung saja hampir semua skincare yang dimiliki Sani sama dengan yang dimiliki Irama jadinya dapat memberitahu secepat kilat.
Pertama-tama Angan memulai dengan tisu pembersih wajah. Kata Irama tidak perlu menggunakan air atau sabun wajah lagi, cukup memakai tisu basah khusus ini saja. Dia mengusap wajah Sani pelan-pelan dengan tisu basahnya, lalu mulai mengambil botol toner. Angan ingat kata-kata Irama. Beri jeda sampai jejak basah tisu mengering. Barulah setelah itu Angan menuang toner secukupnya di atas kapas, mengusapnya pelan ke seluruh wajah Sani. Kata Irama beri jeda sebentar supaya tonernya meresap. Kalau wajah Sani tidak terlalu basah lagi akibat toner, dia bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya.
"Hebat juga nih para perempuan bisa sabar ritual begini dulu sebelum tidur," gumam Angan.
Angan kembali melanjutkan tahap selanjutnya yakni, serum. Dia benar-benar salut kepada semua perempuan yang sanggup skincare rutin setiap malamnya tanpa melewatkan sedikitpun. Ternyata berusaha menjadi cantik dengan hal-hal kecil butuh pengorbanan dan waktu juga. Angan menuangkan sedikit tetesan serum di beberapa titik yang diberitahu oleh Irama. Selesai dengan serum dan menunggu sampai menyerap lagi, dia melanjutkan pada krim malam. Tahapan terakhir yang akhirnya membuat Angan bangga dengan dirinya.
"Akhirnya kelar juga." Angan mengembuskan napas lega. "Ah, mau dipakai skincare atau nggak muka istri gue selalu cantik. Lucu dan imut gini. Aduh, untung gue yang punya." Dia terus bermonolog sendiri dengan nada pelan memuji-muji sang istri tanpa henti.
Lalu, dia teringat ritual terakhir yang nyaris dilewatkan. Lipbalm. Dia memoleskan lipbalm di bibir istrinya. Sambil senyam-senyum dia memandangi wajah Sani. Bola matanya bergerak alami menuju bibir yang terlihat menggoda setelah dipoles lipbalm. Karena tidak kuat digoda-goda bibir mungilnya, Angan mengecup kilat bibir Sani.
Sentuhan akhir dari semua hal yang dia lakukan adalah kecupan yang mendarat di kening Sani. Dia mengusap kepala Sani dengan menampilkan senyum bahagia. "Good night, Istriku."
🎵🎵🎵
Note: Civil Law adalah sistem hukum yang diilhami dari hukum Romawi dengan ciri ditulis dalam suatu kumpulan, dikodifikasi, dan tidak dibuat oleh hakim. Sistem ini berpegang pada kodifikasi undang-undang yang menjadi sumber hukum utamanya.
Selain Civil Law, ada juga Common Law. Di chapter selanjutnya nanti aku jelaskan ya apa itu common law ^^ nanti kita lihat Angan ngajarin Sani hehe
Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤️
Follow IG: anothermissjo
Say hello to Prawara :3 dari samping dulu ya wakakak XD
Dari samping aja cakep :") bae-bae oleng wkwkwwkwk XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top