L I L A C
L I L A C
An original fiction by Heaira Tetsuya
Yousuka Family © Healerellik
Aruka Family © Aruku_
.
.
.
.
“Nee, Ai-chan … temani aku ya?” ujar Shiiya di depan Ainawa, adik sepupunya. Ainawa memberikan tatapan heran, tersirat meminta keterangan lebih lanjut.
“Temani aku menonton pertandingan sepak bola di Aula Utama nanti sore. Kebetulan aku adalah manajer dari tim kelasku yang bertanding nanti. Mau ya? Aya-chan sudah menolakku,” lanjut Shiiya. Suaranya terdengar penuh harap, yakin bahwa Ainawa mau membantunya.
“Baiklah. Tetapi kau harus menjemputku ke asrama, Neechan.” Ainawa tersenyum kecil melihat Shiiya yang kegirangan oleh persetujuannya. Gadis kelas 1 SMA itu berjanji akan menjemput Ainawa tepat waktu.
***
Priitt!
Suara peluit terdengar melengking, menandakan pertandingan itu berakhir. Ainawa yang menemani Shiiya di bangku penonton turut gembira karena tim kelas kakaknya itu menang dan masuk final. Dia segera membantu Shiiya untuk membawa kantung belanja berisikan minuman menuju bench para pemain.
“Neechan, kenapa kita tidak duduk dari awal di bench saja? Jadi kita tidak perlu bersusah payah seperti ini.” Ainawa berupaya menjaga keseimbangannya ketika berjalan. Sementara Shiiya yang membawa kotak berisikan handuk kecil hanya tertawa kecil.
“Hehe … soalnya kita telat datang. Kita datang ketika pemain sudah membuat formasi di lapangan, kan? Bagi pelatih, itu sudah kesalahan besar.”
“Bukannya kita telat karena harus membeli semua ini dulu?”
“Maafkan aku yang lupa menyiapkannya dari sebelumnya. Tugasku banyak dan itu membuatku lupa. Untung saja uang untuk membeli semua ini sudah kuminta dari jauh hari.”
Keduanya pun sampai di bench pemain. Sepertinya para pemain masih mendengarkan masukan dari pelatih, sehingga tidak ada yang menyadari kedatangan mereka berdua. Setelah meletakkan bawaan, Ainawa dan Shiiya pun menunggu. Hingga suara ponsel membuat mereka kaget. Shiiya yang tahu itu berasal dari ponselnya segera mengangkat. Sepertinya ada sesuatu yang serius dilihat dari reaksi gadis berambut cokelat itu.
“Ai-chan, bisa kuminta tolong sekali lagi? Kau jaga semua ini ya. Nanti kalau mereka sudah selesai diskusi, kau tinggal mencari kaptennya. Aku harus pergi dulu,” Shiiya terlihat panik sebelum memaksa tubuh Ainawa menghadap para pemain, “by the way, kaptennya yang tinggi dan berambut pirang itu,” katanya sambil menunjuk sosok yang dia maksud.
Ainawa yang kaget mengiyakan, sebelum sadar maksud Shiiya. “E-eh? Kau mau kemana?!” tanyanya begitu sadar Shiiya sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari.
“Aku harus kembali ke asrama. Ayahku datang.”
“Ah, baiklah. Titip salam buat paman ya!” Ainawa mengembuskan napas pelan melihat Shiiya yang segera berlari setelah menjawab pertanyaannya. Sekarang, dia harus menunggu orang yang sama sekali asing baginya.
Hanya selang beberapa menit dari kepergian Shiiya, kerumunan pemain itu mulai berpencar. Ainawa pun dengan sigap memasang mata untuk mengantisipasi kedatangan lelaki bersurai pirang yang disebut sebagai kapten oleh Shiiya.
“P-permisi! Apa kau kapten dari kelas 1-A?” ujarnya begitu sosok itu akan melewatinya. Sejenak dia kaget karena iris ruby sang kapten terlihat tajam, seolah mencurigainya yang bertanya secara tiba-tiba.
“Ya. Aku adalah kapten dari kelas 1-A. Apa kau memiliki keperluan denganku?” tanyanya yang lagi membuat Ainawa sedikit kaget karena ternyata suaranya demikian ramah.
“Begitulah. Saya menggantikan Seizouru Shiiya-senpai untuk mengantarkan ini,” Ainawa menujukkan ke tumpukan handuk dan air botolan di belakangnya, “Shiiya-senpai izin karena ayahnya mendadak datang ke asrama,” lanjutnya.
“Baiklah. Berhubung kinerja Shiiya sangat baik sebagai manajer, aku tidak akan melaporkan absennya hari ini kepada pelatih.” Lelaki itu tersenyum kecil, lalu memerintahkan temannya untuk membagi minuman dan handuk kepada yang lain.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Senpai.”
“Silakan dan terima kasih atas bantuanmu ini.”
Ainawa pun berbalik. Kini dadanya terasa ringan karena tugasnya sudah selesai. Dia pun berjalan pelan meninggalkan bench seraya mencoba mengirimkan pesan kepada Shiiya. Dia tentu harus melaporkan hal ini.
“Kaichou, sepertinya Seizouru-san salah menghitung airnya!”
Ainawa seketika berbalik begitu mendengarkan marga sepupunya itu disebut. Dari kejauhan, dia melihat kerumunan pemain itu yang sepertinya bingung karena keadaan mereka.
“Kita kekurangan air.”
“Kurang berapa?”
“Ah, hanya sebotol, sih.”
“Apakah semuanya sudah dapat?”
“Sudah. Tinggal Kaichou saja yang belum.”
“It’s okay. Aku akan membeli ketika kita kembali ke asrama saja.”
Seluruh percakapan itu terdengar jelas oleh Ainawa. Tanpa pikir panjang, dia pun segera kembali ke kerumunan itu. “Senpai!” panggilnya seraya menepuk punggung kapten. Tentu saja hal itu membuat semuanya langsung menengok ke arahnya.
“Ada apa?” tanyanya melihat Ainawa yang segera membongkar tas yang dia bawa. Dia mengernyit melihat gadis itu menyodorkan sebotol air minum kepadanya.
“Maafkan kecerobohanku. Ternyata satu botol tertinggal di dalam sini,” ucapnya pelan. Suasana hening sejenak, sebelum akhirnya dipecah oleh sang kapten yang menerimanya.
“Kumaafkan.”
Ainawa segera membungkuk kecil seraya mengucapkan terima kasih, lalu berlari meninggalkan mereka. Dia tidak tahu bahwa dirinya dibicarakan setelah itu.
“Padahal seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih, bukan? Dasar gadis aneh.” Kapten itu segera membuka tutup botol dan menenggak isinya. Terlihat kelegaan di wajahnya karena berhasil meminimalisir kelelahan yang dia rasa.
“Kugori, sepertinya dia memberikanmu minuman pribadinya. Merk punyamu berbeda dengan kami,” celetuk seorang pemain yang duduk di bench. Kapten yang dipanggil Kugori itu hanya memperhatikan botol miliknya sebentar, membandingkannya dengan yang lain, lantas melanjutkan tenggakannya.
“Hmm … bisa jadi,” gumamnya pelan. Namun, dia tak menampik bahwa pikirannya mulai membayangkan ulang bagaimana gadis bertubuh kecil itu di depannya.
***
“Kaichou! Selamat atas kemenangan timmu kemarin! Maafkan aku yang tidak sempat datang karena ada urusan mendadak.” Shiiya menangkupkan kedua tangan sejajar dengan kepala, sementara tubuhnya sedikit membungkuk di hadapan Kugori yang tengah menulis di mejanya.
“Kau harusnya berterima kasih kepada gadis yang kemarin kau mintai pertolongannya. Dia yang menjelaskan semuanya. Bahkan memberikanku minuman pribadinya karena minuman yang kalian bawa kurang,” ujar Kugori. Diletakkannya peralatan menulis di atas meja, lalu memandangi Shiiya yang tertawa kikuk karena menyadari kesalahannya.
“Ai-chan memang begitu, Kaichou. Dia tidak akan segan memberikan sesuatu miliknya kepada orang asing sekalipun.”
“Begitukah? Kalau begitu sampaikan terima kasihku kepadanya,” Kugori akan menulis kembali ketika Shiiya memegang tangannya, “ada apa lagi, Shiiya?”
“Kurasa kau bisa mengatakan itu sendiri kepadanya. Kebetulan aku memang mau mengajakmu makan siang bersama di kantin umum.”
“Kantin umum? Padahal makanan di kantin SMA lebih enak daripada di sana.”
“Karena kita akan makan bersama Aya-chan dan Ai-chan. Oh ya, Ai-chan masih kelas dua SMP. Jadi akan lebih mudah bagi kita untuk berkumpul di kantin umum.”
Kugori menghela napas. Sahabatnya yang satu ini memang senang mengganggunya dan tidak akan selesai kecuali permintaannya dikabulkan. Maka oleh karena itu, Kugori pun segera mengikuti Shiiya menuju gedung sebelah. Tempat kantin umum itu berada.
Rupanya, mereka memang sudah ditunggu. Shiiya segera melambai begitu ada dua sosok yang dia kenali tak jauh dari tempatnya dan Kugori. Mereka pun segera menghampiri keduanya.
“Shii-san, kau terlalu lama. Apa kau menjemput Kugori-san di saat dia tengah mengerjakan sesuatu? Sudah kubilang jangan mengganggunya,” kata sosok berkacamata dengan rambut sepunggung yang diikat tinggi. Ia menatap datar pada Shiiya dan Kugori yang segera mengambil tempat duduk. “Seharusnya kau juga tidak perlu datang apabila kau punya pekerjaan,” sambungnya lagi. Kali ini wajahnya menghadap Kugori.
“Ayolah, Aya. Itu terdengar seperti kau mengusirku,” ujar Kugori menanggapinya. Dia terkekeh melihat Aya yang melengos karena ucapannya.
“Oh ya, Kaichou … kenalkan. Dia yang kemarin membantumu. Namanya Yousuka Ainawa dan dia adalah adik sepupu kami,” Shiiya mengarahkan tangannya kepada Ainawa yang menunduk sedikit, “dan Ai-chan, dia adalah Aruka Kugori, kapten sepak bola sekaligus ketua kelas 1-A.” Kini tangannya terarah ke Kugori.
“Salam kenal, Yousuka. Terima kasih atas airmu kemarin.” Kugori mengulurkan tangan dan dibalas beberapa saat kemudian. “Salam kenal juga, Senpai. Uhm, ya. Sama-sama,” balas Ainawa sedikit gugup.
“Ayo kita makan. Kebetulan Aya-chan sudah memesankan kita semua ramen. Ya kan, Aya-chan?”
Aya mengangguk. Tak berapa lama, makanan pesanan mereka sudah datang. Awalnya semua biasa saja, sampai akhirnya Kugori menyadari raut wajah Ainawa yang aneh ketika melihat dirinya menuangkan bubuk cabai dengan porsi banyak ke dalam mangkuknya.
“Kenapa wajahmu seperti itu?” tanyanya. Ainawa pun menggeleng dan kembali menyantap ramen-nya yang jauh lebih bening daripada milik mereka bertiga.
“Ai-san tidak bisa makan sesuatu yang pedas. Jadi mungkin dia merasa seram melihat dirimu memakai bubuk cabai sebanyak itu.” Aya menimpali pertanyaan Kugori.
“Hahaha … itu benar. Jika Kaichou sangat doyan pedas, maka Ai-chan sama sekali tidak bisa. Atau dia akan pingsan kalau memaksakan diri,” imbuh Shiiya. Terlihat Ainawa yang sedikit memerah karena rahasianya dibocorkan seperti itu. Kugori hanya tersenyum kecil mendengarkannya. Setelah itu, mereka pun kembali melanjutkan santapan mereka.
(*)(*)(*)
2 tahun kemudian …
Ainawa mendengus kesal ketika dia harus kembali memakai penghapus. Entah sudah berapa kali dirinya menggunakan benda itu sejak awal dirinya bekerja. Kertas yang seharusnya terisi oleh gambaran, kini terlihat kusut akibat perbuatannya itu. Dia merutuki kemampuannya dalam menggambar. Andai dia bisa meminta bantuan Shiiya yang memang lebih jago dalam urusan ini, tentu tugasnya itu sudah jadi sedari tadi. Sayangnya, kakak sepupunya itu kini sibuk dengan berbagai tugas untuk kelas tingkat akhir.
“Baiklah. Mari kita coba sekali lagi.”
Ainawa mengambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Dia memposisikan gambar yang akan dia tiru. Sebuah bunga kecil berwarna ungu yang membuat rumpun segitiga seperti buah Pinus. Sekilas mirip dengan bunga Lavender, tetapi jauh lebih besar. Walau demikian, Ainawa merasa sulit untuk menggambarnya.
“Bunga Lilac yang indah.”
“Tapi menyebalkan karena kelopaknya banyak dan susah digambar.”
Ainawa mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya sadar bahwa ada orang lain di dekatnya. Orang itu adalah Kugori, yang entah dari kapan berdiri di belakangnya.
“Kau? Sejak kapan kau ada di situ?!” bentak Ainawa kaget. Selanjutnya ia merapatkan bibir begitu Kugori memberi isyarat untuk diam. Ah, dia lupa ini adalah perpustakaan.
“Sejak kau terlihat kesal karena harus terus menghapus gambaranmu.” Lelaki dengan rambut pirang itu mengambil tempat di depan Ainawa. Alhasil Ainawa terlihat semakin kesal.
“Hei, tenanglah. Tak mungkin kan kau marah hanya karena kuperhatikan diam-diam?”
“Kalau iya memangnya kenapa?”
Kugori sontak menahan tawa. Dari awal mengenal gadis itu, dia memang senang mengerjainya. Bahkan walau ada kedua sepupunya sekalipun. Kugori mengira bahwa Ainawa adalah gadis yang pemalu dan pendiam, tetapi ternyata tidak.
“Kau banyak berubah dari awal kita bertemu dua tahun lalu. Jujur saja, kukira kau mirip Aya yang pendiam. Namun ternyata, kau lebih galak daripada Shiiya.” Kugori membuka buku tulisnya, lalu mulai mencoret-coret di sana.
“Kata orang yang awalnya kukira pemimpin baik hati, tapi kenyataannya setan tanpa tanduk,” jawab Ainawa menimpalinya. Lagi-lagi tawa Kugori tertahan.
“Kau serius pandangan pertamamu kepadaku seperti itu?” Ainawa yang sudah fokus kepada tugasnya hanya mengangguk sekilas. Kali ini dia benar-benar serius menggambar bunga bernama Lilac itu. Namun, itu hanya bertahan sementara sebelum dia kembali memakai penghapus dengan kasar.
“Hei, kalau kau kesusahan seperti itu, mengapa tidak menggambar bunga lain saja yang lebih mudah? Matahari, misalnya?”
“Andai bisa begitu. Sayangnya aku memang diharuskan menggambar ini, Kaichou yang terhormat.”
“Kuanggap itu sebagai pujian, Yousuka.”
“Terserah kau.”
Ainawa menghentikan gambarannya karena tiba-tiba tangannya sudah digenggam. Dia menoleh ke belakang, mendapati Kugori yang tersenyum tipis kepadanya. Entah sejak kapan lelaki itu berpindah tempat.
“Biar kubantu,” ujarnya. Ainawa sontak menggeleng. “Ti-tidak perlu. A-aku bisa sendiri, Senpai.” Dirinya meringis dalam hati karena tidak bisa melepaskan tangannya yang digenggam Kugori, tepatnya tangan dan pensilnya. Tidak ada jawaban dari Kugori, hanya saja genggamannya kian menguat. Seolah isyarat kepada Ainawa agar tidak membantahnya kali ini. Dengan wajah yang cemberut, Ainawa pun membiarkan posisi mereka seperti itu. Termasuk membiarkan tangan Kugori menuntunnya dalam menggambar. Perlahan, garis yang membentuk sketsa bunga Lilac tergambar dengan sempurna.
“Nee, Ainawa …”
Pergerakan mereka berhenti sebentar. Ainawa seketika bingung, karena ini adalah kali pertama Kugori tidak memanggilnya menggunakan nama marga. Dia mencoba melirik, tetapi ketahuan oleh tatapan tajam lelaki itu. Alhasil dia kembali menatap ke arah kertas di depan mereka.
“Y-ya? Ada apa … Senpai?”
“Kau tahu tentang hanakotoba atau bahasa bunga?”
“Uhm … hanya beberapa?”
“Apa kau tahu hanakotoba dari bunga Lilac?”
Ainawa menggeleng. Walau dia tidak melihat Kugori, tetapi dia bisa merasakan lelaki itu tersenyum di belakang sana. Mendadak detak jantungnya meningkat ketika merasakan pergerakan di balik punggungnya, dengan ujung bahunya yang memberat sebelah karena Kugori yang menaruh dagunya di situ.
“Lilac artinya cinta pertama …”
Ainawa mendadak kaku karena Kugori membuatnya melepaskan pensil. Kini jemari lelaki itu menyelip di antara miliknya, lalu kembali menggenggam dengan halus. Hadir perasaan aneh yang tidak pernah Ainawa rasakan, seolah banyak kupu-kupu yang menggelitik bagian perut hingga dadanya. Perasaan itu semakin menjadi kala Kugori berbisik dengan seduktif.
“ … bagaimana tanggapanmu jika aku mengatakan bahwa kau adalah Lilac-ku?”
Seiring dengan itu, genggaman dan kungkungan dari Kugori berhenti. Lelaki itu mengambil satu langkah ke belakang. Memberikan jarak untuk Ainawa yang menoleh ke arahnya dengan wajah terkejut. Dia hanya tersenyum simpul.
“Kau tak perlu menjawabnya sekarang. Aku hanya ingin kau mengetahuinya saja,” ucapnya tenang. Tatapannya menghangat mengetahui wajah Ainawa kian memerah karenanya. Lalu, raut wajah gadis itu mengeras, sebelum berbalik lagi.
“Candaanmu itu sama sekali tidak lucu, Senpai.” Nada suara Ainawa terdengar kesal. Mungkin dia merasa dipermainkan mengingat Kugori memang selalu menjailinya dari awal mereka kenal.
“Memang tidak lucu, karena itu serius.” Kugori kembali ke tempatnya di depan Ainawa. Dia pun membereskan peralatan menulisnya, lalu menatap Ainawa yang semakin salah tingkah.
“Kau … serius?”
“Ya. Aku serius. Apa yang kuucapkan tadi benar adanya. Kau cinta pertamaku.” Jemari mereka bertemu kembali. Kali ini Kugori mengangkat tangan Ainawa lalu mencium bagian punggungnya dengan lembut.
“Aku mencintaimu,” lanjutnya.
Ainawa membeku. Tepatnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tak pernah ada dalam pikirannya kalau senior yang selalu menjailinya itu memendam rasa. Justru dia mengira bahwa Kugori menyukai salah satu kakak sepupunya. Padahal, lelaki itu selalu baik kepada mereka. Hanya kepadanya dia bersikap jail.
Tunggu …
Kugori hanya bersikap jail kepadanya?
Poff!
Asap imajiner seolah membumbung dari kepalanya yang mendadak hangat. Membuatnya langsung menutup wajah dengan kedua telapak tangan ketika menyadari semua itu. Hangat. Wajahnya benar-benar hangat. Entah bagaimana rupanya.
Puk
Reflek dirinya membuka tangkupan tangan dan mendapati Kugori yang tersenyum lebar. Tangan lelaki itu menepuk kepalanya beberapa kali. Sebelum akhirnya menjauh.
“Maaf karena membuatmu bingung. Hanya saja, aku juga tidak mungkin terus menahannya kan? Tenang saja. Kau bisa memberikan jawaban kapanpun kau siap. Kalau begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa kembali!”
Dengan itu, Kugori menghilang di balik rak-rak buku yang menjulang tinggi. Meninggalkan Ainawa yang terus menatap sketsa bunga Lilac di depannya.
***
“Selamat, Yousuka-san! Kau mendapatkan nilai tertinggi untuk sesi gambar kali ini.” Guru paruh baya itu menyodorkan map kaku kepada Ainawa. Gadis itu pun membukanya. Terlihat, huruf “A+” di pojokan gambar. Dia tersenyum lebar.
“Terima kasih banyak, Sensei!” Ainawa membungkuk dengan segera. Guru itu pun berdiri lalu menepuk pundaknya berkali-kali.
“Sama-sama. Aku benar-benar menyukai gambaranmu,” wanita itu membuka map di tangan Ainawa lalu menunjuk ke tengah gambar, “terutama bunga di tengah ini. Sangat indah. Aku bisa merasakan ada perasaan yang tulus ketika kau menggambarnya.”
Ainawa yakin kini wajahnya memerah. Sebab gambar yang ditunjuk itu adalah bagian yang dia kerjakan berdua dengan Kugori. Apalagi ditambah dengan pernyataan gurunya. Pipinya terasa semakin panas. Takut ketahuan, dia pun segera pamit.
Selama di perjalanan, Ainawa merenung. Sudah seminggu semenjak kejadian di perpustakaan itu terjadi dan selama itu dia selalu bingung. Bingung akan bagaimana perasaannya kepada Kugori. Apalagi lelaki itu terang-terangan menunjukkan perubahan sikap. Dia tak segan melakukan perbuatan yang menunjukkan perhatiannya kepada Ainawa. Tatapannya pun sudah berbeda jika melihat dirinya. Bahkan, kini dia tak lagi memanggil memakai nama marga. Kata “Ainawa” selalu keluar dengan lembut dari bibirnya.
Bagaimana dengan dirinya? Ah, Ainawa benar-benar ingin mengetahui itu.
Terus melamun membuat Ainawa buta akan sekitar. Alhasil dia pun menabrak seseorang ketika akan berbelok. Buru-buru dia pun membungkukkan badan seraya meminta maaf.
“Ainawa?”
Namanya yang diucapkan dengan nada khas itu membuatnya mendongak. Mendapati Kugori yang menatapnya dengan khawatir. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya lagi. Gelengan Ainawa ditanggapi oleh helaan napas lega dari lelaki pirang itu.
“Oh ya, kau dari mana?”
“Aku baru dari ruang guru. Sensei memanggilku karena dia bilang aku mendapatkan nilai tertinggi di pelajarannya.”
“Bukankah itu bagus?”
Ainawa mengangguk, lantas membuka map yang dia bawa. Telunjuknya mengarah ke bunga yang ada di tengah. “Beliau bilang, ini yang paling bagus dan dia menyukainya. Dia juga mengatakan, bahwa ada perasaan yang tulus di bunga ini.”
Ainawa diam-diam mengggigit bibir dalam ketika melihat reaksi Kugori yang diam. Di satu sisi, dia merasa lelaki itu memintanya melanjutkan ucapannya. “Uhm … aku hanya ingin mengatakan … terima kasih karena telah membantuku.”
“Itu adalah kerja kerasmu, Ainawa.” Telapak Kugori menepuk pelan kepala gadis itu. “Kau pantas mendapatkannya,” ujarnya senang.
Selanjutnya, giliran Kugori yang tersentak karena Ainawa mendorong map itu menuju dadanya. Reflek dia pun menahannya.
“Itu untukmu, Senpai!” Ainawa mencoba untuk menguatkan diri menatap iris ruby milik Kugori. Sayangnya, tatapan itu masih saja tajam walau dalam keadaan terkejut. Ainawa pun melengos.
“Eh? Untukku?” tanya Kugori memastikan. Ainawa mengangguk. Dia pun segera mengambil langkah untuk melewati lelaki tinggi tersebut. Tepat ketika mereka bersisian, Ainawa pun membisikkan sesuatu. Sebelum akhirnya segera berlari meninggalkan Kugori yang hanya tersenyum melihat punggungnya.
Kugori yang masih terdiam di tempatnya pun perlahan kembali ke semula. Tangannya membuka map berwarna biru itu. Gambaran setangkai bunga Lilac dalam jarak dekat terlihat memenuhi isinya. Di pojok atas, ada huruf “A+” yang ditulis agak besar. Iris ruby itu beralih ke sisi tengah bawah. Kanji bertuliskan “Yousuka Ainawa. 1-A.” membuatnya tersenyum kecil. Apalagi setelah ingatannya mereka ulang apa yang dibisikkan oleh Ainawa beberapa waktu lalu.
“Sekaligus sebagai jawabanku untuk pertanyaanmu seminggu lalu.”
“Ah, sial. Aku benar-benar menyukainya.”
.
.
.
.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top