L.I.F.E (20)

Sebulan setelah kejadian di Kamboja, tak henti-hentinya Ali berusaha mengambil hati Widya. Ali selalu membawakan mawar merah kesukaan Widya setiap kali berkunjung ke rumah Prilly. Ali juga selalu membelikan barang-barang mahal untuk Widya, oleh-oleh saat dia terbang ke luar negeri atau saat terbang di dalam negeri.

Namun, Widya masih saja kukuh pada pendiriannya. Seperti pagi ini, Ali dan Prilly baru saja pulang dari flight. Ali mampir terlebih dulu di rumah Prilly.

"Assalamualaikum." Prilly mengucap salam saat masuk ke rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Widya menghampiri Prilly yang baru datang.

Prilly mencium pipi Widya, saat melihat Ali berdiri di belakang Prilly, Widya memasang wajah judes dan datar.

"Selamat pagi, Tante," sapa Ali berusaha ramah dan baik kepada Widya.

"Pagi," jawab Widya singkat dan sinis.

Prilly hanya mengulum bibir melihat sikap Widya yang selalu seperti itu kepada Ali. Dia terlihat kebingungan, Ali harus berbuat apa lagi untuk meluluhkan hati Widya? Ali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan menggigit bibir bawah mencari ide agar Widya dapat menerimanya.

"Tante sudah sarapan?" tanya Ali basa-basi.

"Sudah," jawab Widya masih sama seperti tadi.

Ali mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu memberikan kepada Widya.

"Ini, Tan, ada oleh-oleh dari Brunei. Ini saya sendiri loh, Tan, yang memilihnya." Ali menyodorkan barang itu kepada Widya.

Widya ragu-ragu ingin menerimanya. Pasalnya, barang itu memang sedang Widya incar selama ini. Karena menjaga image, dia harus bisa menahan agar tidak menerima barang itu. Prilly yang sebenarnya tahu bagaimana hati mamanya, ingin menggoda.

"Iya sudah, buat Ily aja, ya, Ma? Sayang kalau ditolak. Barang semahal ini, limited edition, adanya cuma di Brunei lagi. Di Indonesia belum keluar." Prilly menerima benda itu dari tangan Ali.

Ali sudah tahu mamanya akan menerima jika nanti dia sudah pulang. Ini bukan sikap Widya yang sebenarnya. Widya hanya ingin menguji sampai mana keseriusan Ali ingin memiliki Prilly.

Prilly selalu bercerita kepada Ali, setiap Ali membawakan sesuatu untuk Widya dan Prilly yang mengambil, setelah Ali pulang, barang yang dia belikan akan diminta mamanya.

"Bener, ya, Mama enggak mau ini?" Prilly masih saja menggoda Widya.

Widya membuang muka, dalam hati ingin sekali menerima barang itu. Sayangnya tertutup gengsi.

"Iya sudah deh, biar buat Ily aja." Prilly membuka benda itu, lalu memakainya di jari manis. Ali hanya tersenyum.

"Ya ampun, Mama, yakin enggak mau ini? Berliannya menyilaukan mata, Ma. Aduh, Kapten Ali bener-bener pria pengertian deh. Tahu aja kalau barang ini bagus." Prilly mengangkat jarinya ke atas, jari manisnya terpasang cincin mas putih dengan satu mata berlian di tengah.

Widya yang melirik benda itu sangat tergoda. Apalagi saat sinar menyorot berliannya, hingga menyilaukan mata setiap orang yang melihat.

Tahan, Widya, kamu harus jaga image. Anak ini kenapa selalu tahu apa yang aku mau sih, gerutu Widya dalam hati.

"Wah, makasih, ya, Kap. Aduh, Mama, enggak nyesel kan, kalau cincin ini Ily yang pakai?" Prilly sengaja menggoda mamanya. Memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya ke depan Widya.

Widya yang sebenarnya sangat menginginkan cincin itu hanya diam, menahan gengsinya yang besar itu.

"Kalau begitu Ali pamit dulu, ya, Tan? Maaf kalau Tante enggak suka sama cincinnya. Setidaknya enggak sia-sia karena Prilly yang memakai," ujar Ali sok-sokan, padahal dia tahu, pasti setelah nanti dia pulang, Widya akan memintanya dari Prilly.

"Aku antar Kapten Ali, ya, Ma? Kasihan, cape-cape mampir ke sini dicuekin sama Lion." Prilly melirik Widya yang sudah memelototkan matanya, dia tak acuh lewat di depan Widya lalu terkekeh, dia segera mengambil kunci mobil.

Widya melirik Ali yang masih berdiri mematung di depan pintu. Prilly datang sambil memutar kunci mobil di jari telunjuknya. Dia sengaja melepas cincin itu lalu dikembalikan ke tempatnya.

"Ma, nitip ini dulu, ya? Kalau Ily pulang nanti, aku minta lagi," ujar Prilly memberikan benda itu kepada Widya.

Widya menerimanya, dalam hati tersenyum penuh kemenangan. Namun, dia masih saja memasang wajah datar dan judes.

"Ayo, Kap, aku antar pulang." Prilly menggandeng lengan Ali, sengaja memamerkan kemesraannya di depan Widya.

"Tante, saya pulang dulu, ya?" Ali menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Widya.

Widya membalas, Ali mencium punggung tangan Widya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ali dan Prilly keluar dari rumah sambil menahan tawa mereka karena sikap Widya yang malu tapi mau.

"Mama kamu masih saja begitu." Ali melepas tawanya saat mereka sudah berada di perjalanan menuju ke rumah Ali.

"Mama itu masih trauma sama yang dulu."

Ali mengangguk paham.

"Langsung mau ke rumah atau mampir cari sarapan dulu? Kamu juga belum ganti baju." Ali melihat Prilly sekilas.

"Nanti ganti baju di rumah kamu aja. Kan, bajuku kemarin ketinggalan di rumahmu."

"Baiklah, Nona Pepayanya Ebie."

Ali segera melajukan mobil itu ke rumahnya. Sesampai di rumah, mereka segera masuk. Prilly menggandeng lengan Ali, sedangkan Ali menarik kopernya. Sungguh pasangan yang serari. Seorang pilot tampan dan pramugari cantik.

"Assalamualaikum." Ali dan Prilly mengucap salam setelah sampai di ruang tengah. Namun, tidak ada sahutan.

"Pada ke mana sih? Kok sepi?" Ali dan Prilly menyapu pandangannya.

Saat mata mereka menangkap Ebie yang sedang cengar-cengir sambil mengelus tembok, membuat dahi Ali dan Prilly mengerut. Mereka saling pandang dengan penuh tanda tanya.

"Ada apa sama Mbak Bie?" tanya Prilly heran.

"Obatnya habis kali dia."

Prilly terkekeh mendengar jawaban Ali yang asal. Mereka mendekati Ebie yang masih saja memeluk tembok.

"Mbak Bie," panggil Prilly lembut.

Ebie yang terkejut lalu mendongakan kepalanya.

"Mbak Bie ngapain meluk-meluk tembok begitu?" tanya Ali heran.

"Ini, Mas Prince, lagi ngintip Om Sweet dan Tomat buka segel," jawab Ebie malu-malu kucing.

Ali dan Prilly kembali saling menatap bingung, lalu memandang Ebie yang masih senyum-senyum tidak jelas.

"Om Sweet? Tomat?" tanya Ali dan Prilly bersamaan karena keheranan.

"Itu loh, Prince, cerita di HP Mbak Bie, dari Puspamekar. Mbak Bie kan, gandrung banget sama cerita itu. Sama itu tuh, yang surat-suratan pakai bahasa Mandarin punya Widya. Sampai-sampai kemarin kamus bahasa Mandarin kamu diambil sama Mbak Bie," jelas Selvi langsung menyela obrolan, dia baru keluar dari kamarnya.

"Ohhh, begitu?" Ali dan Prilly manggut-manggut.

"Terus ngapain Mbak Bie sampai meluk-meluk tembok begitu?" tanya Prilly.

"Ih, Nona Pepaya, Ebie itu sedang mengekspresikan kebahagian hati Ebie karena Om Sweet berhasil buka segel Tomat," jelas Ebie membuat semua orang di situ tertawa keras.

"Mbak Bie, lama-lama saya jodohkan sama Iyan. Mau?" sahut Selvi asal.

"No! Iyan enggak maco, Non Selvi. Maco Mas Prince pisan atuh, Non," ucap Ebie mengerling genit ke arah Ali. Membuat semua semakin tertawa terbahak.

"Ya sudah, Mbak Bie, ini baju kotor saya." Ali memberikan koper kepada Ebie.

"Siap, Mas Prince! Ebie akan cuci bersih." Ebie menerima koper itu.

"Naik yuk!" ajak Ali merengkuh bahu Prilly.

Saat mereka ingin melangkah menaiki tangga, Ebie memanggilnya, "Mas Prince, mau dibuatkan susu Ebie?" tanya Ebie genit.

"Susu Mbak Bie libur dulu. Saya sudah punya susu Nona Pepaya," jawab Ali asal, mendapat cubitan mesra di pinggangnya, dari Prilly.

Ali tertawa lepas lalu merangkul Prilly mengajaknya naik ke kamar. Ebie yang melihat kemesraan itu iri karena dia juga ingin punya kekasih dan diperlakukan manis seperti itu.

Setelah masuk kamar, Ali segera melepas baju kebanggaannya. Melepas semua atribut yang melekat di PDH pilotnya.

"Yang, kamu mandi duluan. Pakaian kotormu biar aku bawa ke bawah sekalian," perintah Ali kepada Prilly.

Prilly mengangguk lalu masuk ke kamar mandi. Sesaat kemudian, Prilly menyembulkang kepalanya dari balik pintu kamar mandi.

"Sayang," panggil Prilly malu-malu.

Ali yang tadinya sedang membaca schedule menoleh.

"Apa?" Ali mendekat, berdiri di depan pintu.

"Aku dapat ...."

Ali mengerutkan dahinya.

"Dapat apa?" tanya Ali yang benar-benar tidak paham dengan maksud Prilly.

"Aku ... aku ... sudah kamu beliin aku pembalut. Please ...," mohon Prilly dengan wajah memelas.

Ali membuka matanya lebar saat memahami maksud Prilly.

"Oh, Big no! Kamu mau menjatuhkan martabatku sebagai pria tampan dan soleh di mata para wanita, kalau aku mengambil roti tawar itu?" sangkal Ali cepat.

"Terus bagaimana? Kamu mintain Mbak Bie aja dulu. Satu biji. Nanti aku beli sendiri."

"Tapi ...." Ali mengurungkan niatnya saat ingin membantah karena Prilly sudah memasang wajah memelas dan sedih, membuat Ali selalu luluh.

"Iya. Aku mintakan Mbak Bie," ujar Ali lesu dengan perasaan terpaksa.

"Makasih, Prince," rayu Prilly lalu menutup pintu kamar mandi.

Ali menghela napas dalam lalu keluar dari kamar mencari Ebie yang berada di tempat mencuci baju. Ali sekalian membawa pakaian kotor milik Prilly dan dirinya.

"Mbak Bie," panggil Ali ragu.

"Iya, Mas Prince. Kalau mau susu nanti dulu, Ebie masih sibuk nyuci baju Mas Prince," ujar Ebie sibuk mengucek baju.

"Bukan itu, Mbak Bie. Saya ... mmm ... saya ... itu ... anu ... mmm." Ali gelagapan mengatakannya.

Ebie yang serius mendengar dan menunggu kata-kata Ali, hanya melongo menatap majikan tampannya itu.

"Apa sih, Mas Prince? Mau minta apa sama Ebie. Bilang saja, kalau Ebie bisa kasih, pasti Ebie kasih. Tapi kalau mintanya yang aneh-aneh jangan dulu. Nunggu Ebie jadi Nyonya Ali, baru Mas Prince boleh memintanya." Ali melototkan matanya sempurna mendengar kata-kata Ebie yang asal itu.

"Hidihhhh, saya mau minta roti tawar. Mbak Bie punya?"

"Ya Allah, Mas Prince. Cuma mau minta roti tawar aja ngomongnya susah. Ada itu di meja makan." Ebie menunjuk meja makan, justru membuat Ali semakin bingung, harus dengan isyarat apalagi agar Ebie paham yang dia maksud.

"Bukan roti tawar itu, Mbak Bie. Yang dipakai cewek sedang haid." Ali menahan malu yang luar biasa pada Ebie. Ebie yang langsung memahami maksud Ali lalu tertawa terbahak.

"Punya Ebie juga habis, Mas Prince. Belum beli." Ebie menahan tawanya membuat Ali malu setengah mati.

"Mbak Bie, tolong pergi keluar. Beli sebanyak-banyaknya buat stok di rumah. Biar kalian kalau lagi datang bulan enggak membuat saya menahan malu seperti ini." Ali memberi uang seratus ribuan dua lembar kepada Ebie.

"Siap, Mas Prince! Sekalian buat Ebie ini, kan, Mas Prince?" Ebie menggoyangkan uang itu di depan Ali.

"Iya. Nanti setelah dapat antar ke kamar saya. Paham?"

"Siap, Mas Prince!"

Ali segera naik ke kamarnya, saat membuka pintu, ternyata Prilly belum juga keluar dari kamar mandi. Ali tahu pasti Prilly sedang berendam. Ali menunggu Prilly, dia tiduran di king size sambil menonton acara di televisi. Karena rasa kantuk yang teramat dan lelah, tidak terasa dia tertidur. Selvi membuka pintu kamar, melihat Ali hanya sendiri.

"Loh, di mana Prilly?" tanya Selvi pada dirinya sendiri menyapu pandangannya di penjuru kamar.

Selvi masuk, tak berapa lama Prilly keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk kimono dan kepalanya dililit handuk putih.

"Oh, baru mandi. Aku pikir tadi sudah pulang," kata Selvi kepada Prilly sambil duduk di sofa.

"Belum," jawab Prilly lalu mencari sesuatu.

Prilly melihat Ali sudah tertidur memeluk guling. Sesuatu yang dicari Prilly tidak ditemukan. Selvi melihat Prilly kebingungan lalu bertanya, "Sedang cari apa kamu, Pril?"

"Aku tadi minta tolong Ali buat minta pembalut sama Mbak Bie. Ali sudah di sini, tapi kenapa pembalut yang aku minta enggak ada, ya?"

Selvi mengulum senyumnya. Dia baru menyadari jika kakaknya sudah takluk pada wanita yang sekarang sudah duduk di depannya. Setahu Selvi, kakaknya selama ini paling susah membuka hati untuk persoalan cinta yang serius. Dia banyak mengencani wanita-wanita dan memacari wanita hanya untuk bersenang-senang, tidak untuk serius. Kali ini sungguh di luar dugaan Selvi. Ternyata kehadiran Prilly mampu mengubah sifat don juan Ali menjadi lelaki sejati dan lebih bertanggung jawab atas nama cinta.

Tuk, tuk, tuk.

Pintu kamar terketuk, lalu muncullah kepala Ebie dari balik pintu. Selvi dan Prilly menoleh, melihat Ebie menyengir kuda.

"Apa, Mbak Bie?" tanya Selvi lembut.

"Mau antar roti tawar pesanan Mas Prince."

"Prince, sedang tidur," kata Selvi melirik Ali.

"Bawain roti tawar buat Nona Pepaya." Ebie masuk membawakan pembalut yang isinya 50 pcs. Mata Prilly dan Selvi terbelalak kaget.

"Mau buat apa segitu, Mbak Bie?" tanya Prilly langsung berdiri dan menyahut pembalut itu dari tangan Ebie.

"Kata Mas Prince suruh beli yang banyak buat stok. Ya sudah, saya beli dua bungkus yang isinya banyak. Buat Nona Pepaya satu, buat saya satu," jelas Ebie polos, membuat Selvi tertawa lepas.

Prilly yang malu lalu masuk ke kamar mandi, membuat Selvi semakin terbahak. Sedangkan Ebie melongo.

Bahagia itu sederhana. Ketika kita sudah menemukan seseorang yang kita cintai. Nyaman belum tentu merasakan cinta. Namun, cinta sudah pasti merasa nyaman.

############

Asyeeeekkkkk yang kangen Ebie udah nongol tuh.
Ampun deh kalau punya pelayan seksi seperti itu, bisa-bisa setiap hari naik darah. Bahahahaha.

Makasih vote dan komenya, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top