L.I.F.E (17)
Prilly berjalan beriringan bersama Widya menyusuri lorong hotel. Sesampainya di Kamboja, selesai Prilly briefing, mereka langsung menuju hotel tempat seluruh kru menginap. Widya menyewa kamar sendiri, terpisah dengan Prilly.
"Mama masuk dulu, ya?" pamit Widya ketika mereka sampai depan kamar yang disewa Widya menginap untuk beberapa hari ke depan.
"Iya, Ma."
Widya masuk ke kamarnya, sedangkan Prilly berjalan ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Prilly memutar kenop pintu, dahinya mengerut saat pintu tidak terkunci. Prilly masuk.
"Kenapa lama sekali sih?"
Prilly terkejut saat melihat Ali keluar dari kamar mandi hanya terlilit handuk putih di pinggangnya, rambut basah dan titik-titik air masih terlihat jelas ditubuhnya, membuat Ali terlihat seksi. Prilly bengong melihat penampilan Ali seperti itu. Ali menghampiri Prilly yang masih berdiri, mematung di depan pintu.
"Mampir ke mana dulu tadi?" tanya Ali lembut sambil melepas jepit rambut Prilly, hingga rambut panjangnya tergerai indah.
"Nemenin Mama ke minimarket," jawab Prilly langsung melendot di dada Ali, memainkan kalungnya. "Kamu ngapain di kamarku? Kalau ada yang lihat bagaimana?" timpal Prilly, sambil jemarinya bermain di dada Ali.
Ali menangkap telunjuk Prilly saat sentuhannya sampai di nipple. Ali menarik pinggang Prilly hingga tubuh mereka menempel tanpa celah sedikit pun. Prilly tersenyum malu saat merasa pahanya tersentuh benda yang sudah mengeras.
"I miss you." Ali mencium bibir Prilly dan memagutnya.
Prilly yang hanyut dalam ciuman Ali lalu memejamkan mata, membalas ciuman itu. Ali mengangkat tubuh ramping Prilly, tanpa melepas ciuman mereka. Perlahan dia menidurkan Prilly di ranjang dan menanggalkan semua pakaiannya. Ali segera menindih, dua tangan sebagai penopang tubuhnya agar tidak terlalu membebani Prilly.
Ali menurunkan ciumannya di leher Prilly, reflek tangan Prilly justru menekan kepala Ali sehingga ciumannya semakin mendalam. Ciuman itu menyusuri setiap inci leher Prilly, wajah Prilly mendongak memberi akses agar Ali dapat bebas mencumbunya. Ali menurunkan cumbuannya di dada Prilly.
"Ali ...." Prilly mendesah seiring Ali menyatukan tubuh mereka.
"Apa, Sayang?" tanya Ali mendongak menatap Prilly yang sudah memejamkan mata, menikmati setiap ritme lembut yang Ali hasilkan.
"Stop!"
Ali menatap Prilly dengan perasaan tanggung karena saat menikmati surga dunia, dia terpaksa harus menghentikanya.
"Kamu enggak pakai pengaman?"
"Enggak!" jawab Ali langsung memeluk Prilly erat.
Ali tahu pasti Prilly menyuruhnya memakai pengaman. Itu selalu menjadi perdebatan kecil saat mereka akan melakukan.
"Ali, please pakai dulu." Prilly berusaha mendorong tubuh Ali dari atasnya, sia-sia saja karena Ali justru semakin mengeratkan pelukannya dan memperdalam penyatuannya.
"Ali, please, cintanya Prilly. Pakai dulu, ya, kondomnya?"
"Enggak mau Prilly, cintanya Ali. Rasanya kurang mantap. Enakan begini. Kulit langsung ketemu kulit. Rasanya lebih greget."
"Tapi aku enggak mau hamil dulu, Ali."
"Kalau kamu hamil, aku yang bertanggung jawab. Kan aku yang kerja keras, sampai keringetan dan pinggang pegal."
"Please, Ali, cintanya Prilly."
"Aku enggak bawa kondom dan sengaja enggak beli kondom, Prilly cintanya Ali. Aku niatnya mau bikin anak kalau sama kamu. Jangan sia-siakan benih anak soleh dan orang cakep sepertiku ini, Sayang," timpal Ali bangga justru membuat Prilly ingin tertawa, tetapi tertahan karena kenikmatan dosa terindah itu.
Ali mengulum bibir Prilly agar perdebatan mereka tidak semakin merusak suasana saat itu. Peluh yang keluar dari tubuh mereka bercampur menjadi satu.
Tangan Prilly meremas seprai saat kenikmatan itu sudah benar-benar sampai di ubun-ubun dan siap dimuntahakan.
Tuk, tuk, tuk
"Ily!" Widya mengetok pintu.
Ali dan Prilly yang masih berada di dunia kenikmatan tidak mendengarnya.
Tuk, tuk, tuk.
"Ily!" Suara Widya semakin keras sehingga Prilly baru menyadari jika ada suara memanggilnya.
Prilly membuka mata, mendengarkan lagi suara yang memanggilnya.
Tuk, tuk, tuk.
"Ily, ini Mama."
Prilly membuka matanya lebar dan menahan Ali yang sedang mencumbu dadanya.
Tuk, tuk, tuk.
"Ily, ayo antar Mama makan malam!" teriak Widya semakin keras dari luar.
Ali menegakan tubuhnya tanpa menyambut miliknya yang masih tertanam di surgawi yang belum halal baginya itu. Ali mengusap wajahnya kasar dan mengacak rambut frustrasi.
"Tante Lion, kenapa kamu datang di saat yang tidak tepat?" gerutu Ali sebal, menahan emosinya.
"Ali, cabut dulu, aku mau buka pintu," pinta Prilly, rasanya dongkol karena kenikmatan belum mencapai klimaks.
"Sedikit lagi, Sayang, ini hampir keluar," bujuk Ali melanjutkannya.
"Ali, Mama ... su-sudah menunggu," kata Prilly tertahan sambil menikmati.
Tuk, tuk, tuk.
"Ily!" teriak Widya terdengar lebih meninggi.
"Oh, my God, Tante Lion! Enggak tahu apa, calon mantunya sedang usaha bikinin dia calon cucu. Kalau begini kan benih cucu dia jadi tertahan!" Ali menggerutu sebal dan mencabut miliknya.
Ali masuk ke kamar mandi dengan perasaan dongkol dan kepalanya pusing karena menahan pelepasan yang sudah di ubun-ubun itu.
Tuk, tuk, tuk.
"Ily, kamu ngapain sih lama banget!" teriak Widya tidak sabar berdiri di balik pintu.
Sambil mengerucutkan bibir Prilly meraih handuk kimono dan memakainya. Dia mengelap keringat dengan handuk yang Ali pakai tadi. Prilly berjalan membukakan pintu.
"Apa sih, Ma? Teriak-teriak gitu, bikin malu," tanya Prilly sebal, mengeluarkan setengah badannya. Dia juga menahan emosi karena gagal menyalurkan gairah yang sudah hampir pecah.
"Kamu ngapain lama sekali buka pintu?" tanya Widya sebal lama menunggu di depan pintu.
"Lagi relaksasi. Biar capenya hilang," jawab Prilly sekenanya.
"Ya sudah, buruan ganti baju, Mama tunggu di kamar, nanti kita makan malam bareng." Widya pergi meninggalkan Prilly yang bernapas lega menyandarkan kepala di daun pintu.
Prilly terkejut saat tangannya ditarik. Ternyata sedari tadi Ali menguping pembicaraan mereka di belakang pintu. Karena tidak ingin menunda lagi, Ali segera menutup pintu dan menguncinya. Dia menyerbu bibir Prilly sambil berjalan masuk ke kamar mandi, tanpa melepas ciuman. Ali mengarahkan tubuh mereka di bawah shower. Tangan Ali menggapai keran dan memutarnya hingga rintikan air mengiringi cumbuan panas itu.
Ali membalikan tubuh Prilly agar menghadap ke tembok, lalu menciumi punggungnya mesra. Dia tidak ingin mengulur waktunya lagi karena ingin segera melepaskan sesuatu yang sudah tertahan sejak tadi. Di bawah shower mereka bercinta, memadu kasih yang terlarang.
"Oh, my God, Ali, kamu benar-benar mau membuatkan Mama cucu kalau caranya seperti ini," kata Prilly lemas menyandarkan tubuhnya di tembok.
"Makasih, Sayang, aku melakukan ini bukan semata-mata ingin menyalurkan nafsu saja, tapi aku tulus ingin menanam benih di dalam rahimmu," kata Ali terdengar serius.
"Aku sangat bahagia jika benih ini tumbuh dan berkembang di dalam rahimku. Tapi, tunggulah sampai urusanku dan Wisnu selesai."
Ali memeluk Prilly erat, ada rasa tidak suka di dalam hati Ali saat mereka sedang berdua, Prilly menyebut nama lelaki lain.
"Aku akan melakukan apa pun agar kita bisa bersatu. Jika orang tuamu menentang, aku akan menghadapinya," kata Ali penuh percaya diri, membuat hati Prilly menghangat.
"Lakukan itu, Sayang." Prilly membalas pelukannya.
Sebesar apa pun tembok yang menjulang tinggi sebagai penghalang, jika takdir Tuhan menggariskan Ali dan Prilly berjodoh, sejauh apa pun langkah mereka pasti akan bertemu di titik yang sama.
***
Beraninya sang mentari menembuskan cahanya hingga memberi kehangatan untuk sepasang manusia yang masih terlelap di bawah bed cover tebal menutupi tubuh naked mereka. Cahaya menusuk ke mata Ali yang masih terpejam. Perlahan Ali mengejap memperjelas pandangan. Setelah jelas, dia melihat bidadari burung besinya masih terlelap tidur dalam pelukannya. Ali tersenyum sangat manis.
"Selamat pagi bidadari burung besinya Kapten Ali," bisik Ali di telinga Prilly.
Bukannya membuka mata, Prilly justru merengkuh pinggangnya. Ali tersenyum melihat kenyamanan Prilly tidur dalam pelukannya.
"I love you, Prilly cintanya Ali," bisik Ali lembut di telinga Prilly.
"I love you too, Ali cintanya Prilly," jawab Prilly tanpa membuka mata.
"Bukalah mata indahmu, Sayang, lihat mentari menyambut kita," bisik Ali lagi sambil mengelus pipinya.
Suara Ali yang begitu lembut, menghangatkan hatinya, tak mampu Prilly tolak dan abaikan. Dia seperti melayang setiap Ali membisikan kata cinta kepadanya.
Meski kadang ada saatnya Prilly merasa takut jauh dari Ali, tetapi Ali selalu bisa meyakinkan Prilly agar tidak pernah mengkhawatirkan hal itu. Karena dia tahu Ali selalu ada untuknya. Prilly menempelkan telinga di dada Ali, mendengarkan setiap detak jantungnya.
"Suara detak jantungmu, menenangkanku. Kadang aku merasa ragu, tapi saat aku mendengar detak jantungmu, rasa raguku tiba-tiba menjauh." Prilly masih memejamkan mata, mendengar nada indah yang tercipta dari detak jantung Ali.
"Ibarat saat ini kita sedang menuju ke suatu tempat yang tak pernah kukunjungi. Kadang aku takut, tapi aku siap belajar mengenai kekuatan cinta. Rasa raguku pergi saat aku mendengar detak jantungmu." Ali ikut memejamkan mata dan membalas pelukan Prilly.
Mereka merasakan kekuatan cinta yang luar biasa. Oh, Tuhan, jika memang itu takdir-Mu, kami percaya, Engkau sudah mengatur rencana yang menakjubkan untuk mereka bersatu.
Ali meregangkan pelukannya, lalu menyibak bed cover. Prilly yang merasakan pergerakan Ali lalu membuka mata, melihat Ali sudah melilitkan handuk di pinggangnya.
"Ayo, bangun, Sayang, aku mau ngajak camerku jalan-jalan," ujar Ali menjulurkan tangannya kepada Prilly.
"Selamat berjuang, Sayang, meluluhkan hati singa betina," tukas Prilly menahan tawa, mengingat bagaimana Widya yang judes dan tak acuh setiap bertemu Ali.
Mereka masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai itu, Ali segera kembali ke kamarnya, sebelum Widya memergoki mereka tidur satu kamar. Saat Prilly sedang bercermin di depan lemari, ketukan pintu mengusiknya. Prilly membukakan pintu, ternyata Widya sudah rapi dan siap bepergian.
"Masuk, Ma." Prilly membuka pintu lebar lalu Widya masuk dan duduk di sofa.
Tidak ada kecurigaan sedikit pun di hati Widya karena Prilly sudah merapikan kamarnya setelah Ali keluar.
"Papa sudah sampai di sini kan, Ma?" tanya Prilly sambil memasukan ponsel ke tas selempangannya.
"Sudah, Papa menunggu di lobi."
"Ya sudah, ayo susul Papa," ajak Prilly menarik tangan Widya keluar dari kamar.
Sesampainya di lobi, pandangan Widya memicing, melihat keakraban suaminya yang sedang asyik mengobrol dengan seseorang. Prilly tersenyum sangat manis melihat keakraban mereka. Widya dan Prilly menghampiri Wibowo, papa Prilly.
"Selamat pagi, Kap," sapa Prilly saat melihat pria tampan itu sedang asyik bergurau dengan papanya.
"Selamat pagi, Prilly," balas pria itu dengan senyum sangat manis.
"Ali ini pilot kamu kan, Ly?" tanya Wibowo sambil menepuk lengan Ali.
Iya, Pa, Ali memang pilot yang sudah berhasil mencuri cinta sekaligus hidup anakmu ini, batin Prilly tersenyum melihat Ali. "Iya, Pa, Kapten Ali memang pilot Ily."
Widya yang melihat percakapan mereka bosan. Wibowo memahami perubahan raut wajah istriya yang terlihat tidak menyukai Ali, tetapi dia hanya menghela napas panjang.
"Kapten Ali sudah sarapan? Kalau belum, kita cari tempat untuk sarapan bersama dan seperti yang sudah kita rencanakan tadi," ajak Wibowo merangkul bahu Ali.
"Rencana apa, Pa?" sahut Widya cepat.
"Jalan-jalan bersama Kapten Ali. Keliling sekitar sini aja," jawab Wibowo sambil berjalan mendahului Widya dan Prilly.
Prilly tersenyum melirik Widya yang berdecak sebal lalu mengikuti Wibowo dan Ali yang sudah lebih dulu berjalan.
Ini adalah salah satu cara Ali mengambil hati Wibowo dan Widya. Prilly sengaja mendekatkan Ali kepada orang tuanya, terutama Widya, agar mengenal lebih jauh sebelum membencinya.
Sesampainya di salah satu restoran, tidak jauh dari hotel tempat menginap, mereka masuk. Wibowo menyapu pandangannya, mencari tempat yang masih kosong. Namun, matanya tertahan saat melihat sesuatu yang mengganggu pandangan. Widya dan Prilly yang berdiri di belakang Wibowo mengikuti arah pandangnya.
Hati mereka bergemuruh panas saat menyaksikan kemesraan sepasang manusia yang sedang menikmati sarapan pagi itu. Mata Prilly memanas, rasanya ingin sekali menghampiri orang tersebut.
"Apa itu pilihanmu, Ily?" tanya Wibowo mengepalkan tangannya.
Ali yang berdiri di samping Wibowo hanya diam dan ikut menyaksikan kemesraan mereka.
######
Hai, semoga enggak garing dan masih dapat fell-nya, ya?
Makasih vote dan komenya.
Momsky bisa-bisanya kecolongan terus. Wah, ck! Bisa-bisa benihnya tumbuh tuh! Wkwkwkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top