L.I.F.E (13)
Di ruang managemen seluruh kru yang akan bertugas di pesawat Boeing 737-400 dengan jadwal keberangkatan pesawat GA 502, pukul 10.25 WIB dari bandara Soekarno Hatta, Jakarta ke bandara Supadio, Pontianak, sedang menjalani banyak persiapan. Dari sekian banyak orang, pilotlah yang paling sibuk. Ali terlihat berbicara serius dengan seseorang, sepertinya itu petugas ATC (Air Traffic Control) atau pemandu lalulintas penerbangan.
"Dio, siapa Purser penerbangan kali ini?" tanya Ali kepada Dio petugas pengaturan schedule.
"Prilly, Kap."
"Di mana dia sekarang?"
Belum juga Dio menjawab pertanyaan Ali, seorang wanita masuk ke ruang itu, terlihat memakai seragam lengan tiga perempat biru, bawahan kebaya motif batik, terlihat cantik dan anggun. Ali yang melihat wanita itu merasa ada getaran di dalam hatinya, rasa rindu, sakit, kecewa, senang bercampur menjadi satu.
Ali mengalihkan pandangannya ke arah lain agar tidak semakin menggoreskan luka yang semakin pedih, rasanya cemburu saat melihat wanita yang dicintai sudah memakai cincin mas putih di jarinya dan itu pun dari pria lain bukan dari dirinya. Ali merasa dadanya semakin bergemuruh panas dan sesak. Dia selalu menarik napas dalam dan mengembuskan kasar untuk mengurangi sesak di dadanya.
Prilly yang menyadari bahwa flight kali ini dipertemukan lagi dengan pangeran burung besinya merasa bahagia, takut, dan sedih bercampur menjadi satu. Bahagia karena bisa lagi bertemu Ali setelah sekian minggu tidak melihat pangeran burung besinya itu. Merasa takut jika Ali marah padanya karena dia sudah menutupi sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Sedih karena Ali terlihat tak acuh dan tidak menganggapnya ada.
Ali sangat terlihat sibuk menyiapkan penerbangan. Dia sementara melupakan masalah yang terjadi demi pekerjaannya yang sangat berisiko tinggi itu. Ali seorang pilot yang profesional, maka dari itu dia harus bisa mengesampingkan urusan pribadinya dulu saat sudah bekerja.
Tahapan yang dilakukan Ali pun sangat banyak. Dari mulai belajar beban penerbangan seperti mempertimbangkan jumlah penumpang, muatan pada bagasi dan beban yang akan dibawa, melanjutkan dari data sebelumnya, menghitung, dan menetapkan jumlah bahan bakar yang dibutuhkan. Sedangkan Dahegar, copilot yang mendampingi Ali kali ini menentukan rute penerbangan, koneksi frekuensi dan masih banyak lagi. Dilanjutkan, weather condition departure and destination, Ali harus mengikuti breafing mengenai baik buruknya kondisi cuaca pada saat keberangkatan dan tujuan.
Dalam hal ini Ali dapat berkonsultasi dengan bagian meteorologi tentang keadaan cuaca dan peramalan cuaca yang kemungkinan perkembangan lebih lanjut. Jika memang cuaca memungkinkan untuk melanjutkan penerbangan, Ali melanjutkan walk around, yaitu berkeliling pesawat untuk memastikan tidak ada yang cacat atau rusak sedikit pun.
Jika sampai ada kesalahan kecil saja maka 100% penerbangan akan ditunda. Ali dan kru yang lain sangat hati-hati dan teliti saat mengecek setiap komponen dan bagian dalam pesawat. Selanjutnya setelah itu Ali juga melakukan electrical power up checklist, pre elemenary preflight, CDU preflight, yaitu memasukan flight plan ke komputer.
Preflight yaitu memastikan semua tombol pada tempat semestinya. Taxy and take off breafing, before start checklist, yaitu menyiapkan untuk start mesin dan before taxy checklist, yaitu persiapan untuk taxy. Setelah semua siap, terakhir, before take off checklist, yaitu persiapan untuk take off.
Hal penting yang tidak boleh dilewatkan adalah memeriksa mata, kesehatan, dan stamina. Jika setelah dinyatakan dalam kondisi baik dan fit penerbang dapat melanjutkan aktivitasnya. Setiap pilot juga harus melakukan medical check up setiap enam bulan sekali.
Dalam proses panjang itu Ali dan Prilly melakukan pekerjaan mereka dan berkomunikasi sewajarnya rekan kerja, menahan sakit yang ada di dalam hati mereka.
Sebelum take off, pilot juga diberikan beberapa dokumen, seperti flight plan, load sheet, buku-buku prosedur (non normal cek list), license, dan lain-lain. Biasanya kantor informasi aeronavigation menyediakan tas pilot dengan dokumen, kompilasi, dan hal-hal penting lainnya. Kantor telah mendapat jadwal penerbangan perusahaan selama 24 jam sepenuhnya, mereka melengkapi tas dengan kompilasi, peta dan data perhitungan untuk setiap penerbangan dan mengawasi ketat koreksi serta perubahan untuk dimasukkan. Setiap tas diberikan stiker dengan tanggal penerbangan, waktu, nama pilot, dan kota tujuan.
Setelah semua persiapan selesai, kini waktunya bekerja di pesawat. Ali dan Dahegar duduk di kursi kokpit mulai memeriksa sistem dan pemrograman komputer pesawat. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Dahegar saat melihat sahabatnya itu tidak sumringah seperti biasa.
"Lo kenapa sih, Kap?" tanya Dahegar menghentikan pekerjaanya sejenak.
"Kenapa gimana?" tanya Ali balik membuat Dahegar menghela napasnya panjang.
"Gue kenal lo enggak sehari dua hari. Muka lo burem enggak seperti kertas HVS yang putih mulus."
"Gue lagi enggak enak hati aja, Kap."
"Masih berlarut tuh galau? Biasanya juga lempar yang lama cari yang baru. Kenapa yang ini?"
"Yang ini beda, dia sudah bisa menemukan kunci dan berhasil membuka gembok dalam hati gue yang selama ini tertutup rapat. Sadisnya lagi, setelah dia membukanya ditinggal pergi begitu saja," cerita Ali kepada Dahegar membuat Dahegar terkekeh.
"Ternyata lo bisa rasain jatuh cinta dan datangnya langsung sepaket dengan patah hati," cibir Dahegar tertawa puas karena berhasil meledek Ali. "Eh, tapi awas, ya, kalau mau bunuh diri jangan ajak kita," seru Dahegar setelah tertawa.
"Gue akan ajak kalian semua terjun ke dasar jurang. Biar sekalian tuh si Prilly juga mati sama gue dan enggak jadi dikawini pilot kepala singa. Puassssss lo!" kata Ali sebal pada Dahegar justru membuat Dahegar semakin tertawa lepas.
"Njiiirrrrrtttt, sohib gue galau akut ternyata." Dahegar masih saja tertawa.
"Udah ah! Lanjutin tuh ngeceknya," sahut Ali lalau Dahegar melanjutkan aktivitasnya.
Dalam situasi ini biasanya lalulintas bandara sangat padat, butuh sekitar satu jam untuk mengisi bahan bakar pesawat, membersihkan kompartemen, mengambil penumpang dan lepas landas. Ali menunggu instruksi dari menara pengawas untuk take off. Sebelum pintu pesawat ditutup semua, crew cabin mengecek keadaan penumpang, hingga terdengar suara Ali dari speaker.
"Flight attendant, door closed, arm slide and report."
Setelah dirasa semua aman untuk melanjutkan penerbangan, suara Prilly membalas.
"Door closed, spider armed and crosscheck."
Saat mendengar suara Prilly di dalam kokpit, Ali sejenak terdiam mengingat kenangan indah saat bersamanya. Dahegar yang melihat itu menghela napas panjang lalu menyadarkan Ali, menepuk bahunya. Ali tersadar lalu menoleh kepada Dahegar. Ali tersenyum seolah berkata kepada Dahegar bahwa dia baik-baik saja.
"Cabin ready for take off," lanjut Prilly saat semua sudah siap.
Ali menghela napas dalam-dalam, dia melupakan sementara permasalahan dalam hidupnya dan fokus kepada penerbangan kali ini. Setelah ATC atau petugas pemandu lalulintas penerbangan memberi clearance untuk pesawat memasuki runway, tempat pesawat mengambil ancang-ancang dalam take off atau juga sebagai tempat lending. Ali menginstruksikan kepada cabin crew untuk menempatkan diri mereka.
"Cabin crew take off position please."
Para penumpang dan seluruh kru duduk di tempatnya masing-masing memasang safe belt lalu terbanglah burung besi di atas awan.
***
Setelah sampai di Pontianak, ketika ingin melanjutkan penerbangan pada tujuan lain, seluruh maskapai di-pending karena cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan yang sangat deras dan angin kencang membuat semua maskapai mengalami delay. Tidak ingin mengambil risiko tinggi, pihak managemen memutuskan untuk RON, malam ini seluruh kru bermalam di Pontianak.
Semua kru menginap di hotel yang sudah disediakan perusahaan. Kebetulan kamar Ali dan Prilly bersebelahan. Mereka tidak menyadari jika saat ini posisi mereka sangat dekat. Ali yang baru saja selesai mandi hanya memakai handuk terlilitkan di pinggangnya. Saat tangan kanannya ingin menggapai kaus oblong, tiba-tiba aliran listrik padam. Hujan yang sangat lebat dan petir menggelegar membuat Prilly berteriak hingga terdengar di kamar Ali.
"Prilly!" desis Ali lalu mencari ponselnya, menyalakan lampu led.
Tidak memerdulikan keadaannya yang hanya mengenakan handuk dan kaus, Ali ke luar kamar menghampiri kamar Prilly.
"Prilly! Prilly! Buka pintunya!" seru Ali menggedor keras pintu itu.
"Ali! Apa itu kamu?" teriak Prilly yang terdengar parau karena sudah menangis.
"Iya, Sayang! Ini aku. Buka pintunya," jawab Ali khawatir sambil menggedor pintu keras.
Setelah menunggu akhirnya pintu pun terbuka. Prilly yang sudah ketakutan langsung memeluk Ali dan menangis dalam dekapannya.
"Aku takut," isak Prilly memeluk Ali erat.
"Jangan takut, aku ada di sini. Aku akan menemanimu," kata Ali lembut menenangkan Prilly.
Ali mengajak Prilly masuk, menutup pintu, dan menguncinya. Tanpa melepas pelukannya, Ali membawa Prilly ke tempat tidur. Ali menaruh ponselnya di nakas. Prilly tidak juga melepas pelukanya dan masih sesenggukan.
"Sssttt, sudah, ya, jangan menangis," bisik Ali merebahkan Prilly dan dirinya di ranjang.
Prilly masih belum menyadari keadaan Ali yang hanya memakai handuk. Tidak sengaja tangan Prilly menyentuh sesuatu yang membuat bagian itu terbangun.
"Prilly, kamu membangunkan adik kecilku," bisik Ali pelan di telinga Prilly.
Prilly yang mendengar itu lalu mendongak, melihat wajah Ali sudah menahan sakit di bagian sensitifnya yang sudah menegang. Ali menghapus sisa air mata yang masih berada di pipi Prilly, sesekali Prilly masih terdengar sesegukan. Mata Ali tertuju pada bibir tipis Prilly, perlahan dia memajukan bibirnya untuk mencium. Tidak ada penolakan dari Prilly, akhirnya Ali melanjutkan melumatnya. Prilly memejamkan matanya, merasakan kenyamanan dan ketenangan yang diberikan Ali.
Ali menghisap bibir bawah dan atas Prilly bergantian. Dia menggigit kecil bibir Prilly hingga mulut Prilly terbuka dan lidah Ali menjulur ke dalam, mereka bersilat lidah di rongga mulut Prilly.
Tangan Ali mulai meraba pantat kenyal Prilly dan meremasnya, membuat aliran listrik di dalam tubuh Prilly menyengat menjadi percikan api yang semakin membakar gelora cinta mereka untuk melakukan lebih. Ali melepas ciuman bibirnya lalu menurunkan ciuman itu pada leher Prilly, meninggalkan tanda merah di leher putih itu.
"Ali, stop, jangan lakukan lagi," rancau Prilly tertahan, tetapi dia juga menikmati setiap sentuhan bibir Ali.
Ali tidak memedulikan larangan Prilly. Dia sudah dikuasai nafsu yang sudah beberapa bulan belakangan ini tertahan. Saat Ali menghisap lehernya, sepontan jemari Prilly menyelusup di sela-sela rambut Ali dan menekan kepala Ali untuk memperdalam. Ali tersenyum penuh kemenangan dalam hatinya.
Tangan Ali meraba jemari Prilly dan melepas cincin tunangannya. Ali membuang cincin itu di sembarang tempat. Prilly terbuai dengan cumbuan Ali, sehingga tidak menyadari hal itu.
"Please, Ali, hentikan." Prilly melarang lagi, sayangnya tidak dipedulikan Ali.
Tanpa disadari Prilly, dengan kepiawaiannya, Ali sukses meloloskan semua pakaian mereka. Lampu di ponsel Ali semakin meredup, baterai yang tadinya tinggal 15% membuat penerangan tidak maksimal dan semakin lama mati. Hanyut karena suasana dan keadaan yang mendukung, malam itu darah perawan pecah.
Tubuh berkeringat karena suasana yang mereka ciptakan membasahi seprai. Udara dingin karena hujan dan angin dari luar, sedikit meredakan kegerahan itu. Ali menggulingkan tubuhnya di samping Prilly. Napas mereka tersengal, ada perasaan puas dan lega di hati Ali karena dia yang memenangkah hal yang sudah Prilly jaga selama ini. Ali memeluk Prilly dan mencium keningnya.
"Makasih, Sayang. I love you, bidadari burung besi Kapten Ali," ucap Ali membuat Prilly tersadar apa yang sudah dia lakukan saat ini benar-benar salah besar.
Prilly menangis dalam pelukan Ali, dia merasa menyesal dan bersalah sudah mengkhianati Wisnu dan orang tuanya. Ali menarik bed cover untuk menutupi tubuh naked mereka. Tangisan Prilly semakin terdengar di telinga Ali, dia meraba pipinya. Karena tanpa penerangan, Ali tidak bisa melihat wajah Prilly dengan jelas.
"Kamu kenapa menangis?"
Prilly memeluk Ali menumpahkan air matanya di dada bidang itu.
"Kenapa kamu lakukan ini, Li? Kenapa aku yang kamu permainkan? Apa yang harus aku katakan pada Wisnu jika aku sudah tidak perawan lagi?" kata Prilly terisak sambil memukul dada Ali.
Ali terdiam. Dia memeluk Prilly, mengelus rambutnya agar bisa lebih tenang.
Saat tangisan Prilly sudah mereda, baru Ali menjawab, "Karena aku mencintaimu dan aku tidak ingin orang lain memilikimu. Kamu hanya ditakdirkan Tuhan untukku bukan untuk pria lain. Mengerti? Aku sudah mendapatkan apa yang aku mau dan aku tidak akan pernah melepaskannya lagi. Aku akan menikahimu," kata Ali tanpa merasa bersalah, tetapi Prilly langsung menggeleng.
"Tidak, Li! Aku enggak bisa meninggalkan Wisnu."
"Kamu akan meninggalkannya."
"Tapi ...." Belum selesai Prilly melanjutkan ucapannya, Ali sudah membekap mulut Prilly dengan lumatan.
Persetan dengan orang lain yang akan menghalangi untuk mendapatkan bidadari burung besinya. Yang dia pikirkan saat ini hanya ingin menggenggam apa yang sudah menjadi haknya. Memang Ali sangat egois jika seperti itu, tapi Ali sudah membulatkan tekadnya.
***
Seminggu setelah kejadian di Pontianak, hubungan Prilly dan Ali semakin baik. Komunikasi lancar walau Prilly harus bersembunyi dari Wisnu dan yang paling utama pengawasan Widya yang semakin ketat. Saat ini kebetulan Wisnu dan Prilly tidak memiliki jadwal flight.
Wisnu menemani Prilly belanja di supermarket. Namun kebiasaan Wisnu, dia tidak pernah mau ikut masuk. Dia lebih memilih menunggu di mobil.
Saat Prilly sedang mengantre di kasir, kegaduhan di depannya membuat antrean di belakang semakin panjang.
"Aduh, Mbak Bie, kenapa bisa lupa bawa dompet sih? Ini bagaimana bayarnya?" ujar Selvi sudah ditunggu kasir dari name tag bernama Risma.
"Bagaimana, Mbak?" tanya Risma yang sudah selesai menghitung belanjaan Selvi.
"Sebentar, Mbak, ini dompet saya ketinggalaan." Selvi sibuk mengorek-ngorek isi tasnya. "Mbak Bie bawa uang berapa?" tanya Selvi melihat Ebie yang sudah ketakutan.
Ebie mengeluarkan uang 50.000 dari sakunya lalu memberikan kepada Selvi.
"Ini masih kurang, Mbak Bie." Selvi menerima uang dari Ebie.
"Saya punyanya segitu, Non. Mau kantong Ebie dipelintir sampai bagaimana pun adanya cuma segitu," kata Ebie sambil memelintir ujung bajunya karena takut.
"Haduh, terus bagaimana? Ini sudah dihitung, Mbak Bie?" Selvi sudah mulai stres dan kepalanya pusing.
"Ebie enggak mau dipenjara, Non Selvi," ujar Ebie sudah ingin menangis, membuat Selvi melongo menatapnya.
"Kenapa sampai penjara segala sih, Mbak Bie?"
"Kayak di sinetron yang pernah Ebie tonton kalau enggak bisa bayar belanjaan nanti bisa dipenjara," cerita Ebie membuat Selvi semakin pusing dan geram ingin rasanya merauk wajah Ebie yang oon itu.
"Mbak Bie kebanyakan nonton sinetron jadi parno sendiri. Jangan katrok deh, Mbak Bie," ujar Selvi kesal.
"Saya pakai rok, Non, bukan katok."
Selvi semakin geram saat Ebie menjawab yang bukan dia maksud.
"Katrok, Mbak Bie, bukan katok!" Selvi meninggikan suaranya, sampai geregetan kepada Ebie.
"Katrok itu model celana bagaimana sih, Non?" tanya Ebie bloon yang semakin membuat Selvi harus mengelus dadanya.
"Katrok sama seperti ondes, orang desa!"
"Memang Ebie dari desa, Non."
"Ah, susah ngomong sama Mbak Bie. Terserah! Terus sekarang bagaimana ini, Mbak Bie?" tanya Selvi menahan emosinya.
Teriakan dan caci maki dari orang yang di belakang sudah ribut. Prilly berada tepat di belakang Selvi merasa kasihan.
Bukankah wanita ini yang waktu itu aku lihat di rumah Ali? Siapa sebenarnya dia?
Prilly mengingat betul wajah Selvi. Dia tak mungkin salah orang, biarpun malam itu Selvi pakai piyama, tetapi wajahnya tak mungkin kembar, kan? Karena tak mau semakin lama antre, Prilly akhirnya memutuskan membantu Selvi. Urusan siapa dia dan punya hubungan apa sama Ali, sementara Prilly abaikan.
"Berapa, Mbak, habisnya belanjaan Nona ini?" tanya Prilly maju sambil mendorong keranjang belanjaannya.
Ebie yang melihat Prilly berpikir keras, mengingat wajah cantiknya. Sepertinya dia tidak asing dengan wajah itu, tetapi Ebie lupa di mana dia melihatnya.
"Habisnya 572 ribu, Mbak," kata Risma kasir tersebut.
Prilly mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar belanjaan itu. Selvi yang melihat kebaikan Prilly dan memerhatikan penampilannya dari atas hingga bawah langsung klop, dia sudah menemukan yang dicari selama ini.
"Wah, Nona Cantik, baik banget deh, makasih udah mau menolong kami. Akhirnya Ebie enggak jadi dipenjara," ucap Ebie centil sambil memegangi tangan Prilly.
Prilly hanya tersenyum menunggu belanjaannya sedang dihitung. Selvi masih diam memerhatikan Prilly. Hingga kasir itu selesai menghitung dan Prilly membayar belanjaannya, Selvi masih saja memerhatikan Prilly.
"Saya duluan, ya?" pamit Prilly ramah dengan senyuman termanisnya.
Selvi yang baru sadar dari lamunannya lalu memanggil Prilly, "Nona!"
"Iya!" Prilly membalikan badan lalu Selvi menghampirinya.
"Terima kasih. Bagaimana aku membayar utang kepadamu?" tanya Selvi.
Saat Prilly ingin menjawab, ponselnya berdering, Prilly tahu bahwa itu pasti Wisnu yang sudah tidak sabar menunggunya.
"Iya-iya, ini sudah selesai," kata Prilly terdengar buru-buru lalu memutuskan sambungannya.
Prilly sangat buru-buru karena Wisnu sudah mengomel. Selvi masih setia menunggu jawaban Prilly.
"Maaf, Anda bisa menghubungi saya. Ini nomor telepon saya." Prilly memberikan kartu nama kepada Selvi lalu berlari kecil keluar dari supermarket itu.
Selvi masih memerhatikan Prilly dari kaca besar transparan yang ada di supermarket itu, dia masuk ke BMW hitam mengkilap.
"Non Selvi, ayo pulang!" ajak Ebie, kedua tangan sudah menjinjing plastik berisi belanjaan Selvi.
Selvi mengangguk lalu keluar dari supermarket menuju ke mobilnya, meninggalkan area supermarket tadi.
"Kenapa lama sekali? Belanja apa saja sampai berjam-jam," omelan Wisnu saat mobil sudah melaju arah pulang ke rumah Prilly.
"Maaf, banyak yang harus aku beli dan tadi juga antre panjang," jelas Prilly lalu membukakan kaleng minuman dingin untuk Wisnu.
Saat tangan kanan Prilly mengulurkan minuman kepada Wisnu, mata Wisnu menangkap sesuatu yang mengganjal.
"Di mana cincin pertunangan kita?" tanya Wisnu membuat Prilly langsung melihat jari manisnya.
Prilly mengingat-ingat lagi di mana dia menaruh cincin itu. Namun, Prilly lupa dan sama sekali tidak ingat kapan terakhir cincin itu melingkar di jari manisnya.
"Mmm ... mungkin ketinggalan di kamar mandi atau di meja rias. Saat aku mandi semua perhiasan aku lepas," dusta Prilly.
"Oh, begitu? Ya sudah, nanti jangan lupa dipakai lagi, ya? Cincin itu mahal, spesial aku pesan buat kamu." Wisnu mengelus rambut Prilly, tetapi hati Prilly hambar tidak ada rasa apa pun lagi. Prilly hanya tersenyum.
Ponsel Prilly berdering di tas. Jantungnya berdetak kencang saat melihat bahwa pangeran burung besinya yang menelpon. Prilly melirik Wisnu yang fokus memerhatikan jalan. Prilly tidak berani menjawab, dia membiarkannya selalu bunyi. Wisnu yang merasa terganggu lalu mengambil ponsel Prilly yang sedari tadi hanya digenggam. Wisnu menggeser tombol hijau dan menjawabnya.
"Halo, ada perlu apa dengan calon istri saya?"
#########
Maafkan aku Momsky @widy4HS karena terbawa suasana dan hanyut sama situasi yang mendukung. Hihihihihi
Terima kasih untuk vote dan komenya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top