L.I.F.E (11)

Aku bangkit dari rebahan lalu memutar tubuhku untuk menghadap padanya. Dia menunduk, aku rasa dia menahan tangisnya. Aku mengangkat dagunya agar dia menatapku, dia tetap menunduk.

"Kenapa? Apa kamu mau kita berkomitmen yang lebih serius? Aku akan datang ke rumahmu untuk melamar."

Dia menggeleng cepat lalu menatapku dengan air mata yang sudah membasahi pipinya. Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba berubah seperi ini? Sejak aku dekat dengannya, dia tidak pernah menuntut lebih untuk hubungan kami. Aku justru yang selalu mendesaknya agar hubungan ini diperjelas, tidak seperti sekarang yang masih menggantung.

"Aku akan bertunangan dengan kekasihku," katanya membuatku seketika merasa sedih, lemas, ingin marah, pokoknya campur aduk.

"Jangan bercanda, Sayang, aku kekasihmu. Jika kamu ingin kita segera bertunangan, baiklah, aku akan segera melamarmu," sangkalku yang tidak bisa menerima jika itu memang kejujuran darinya.

"Tidak, Ali, selama ini aku sudah memiliki kekasih dan sebentar lagi aku akan tunangan sama dia," timpal Prilly yang sepertinya serius.

"Lelucon apa yang sedang kamu karang sih, Sayang, jangan bercanda," elakku dengan rasa yang sangat sakit di dalam hati.

"Aku tidak sedang bercanda, Ali." Dia mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. "Ini undangan untuk kamu. Aku harap kamu bisa menghadiri pertunangaku."

Dia memberiku undangan pertunangannya dengan pria lain. Tubuhku terasa lunglai, ingin rasanya aku teriak dan menyeretnya ke KUA malam ini juga, agar dia tidak dimiliki orang lain. Apa ini karma yang Tuhan beri untukku? Apa ini yang namanya sakit hati? Sangat sakit sekali rasanya.

"Maafkan aku, Ali," ucapnya meraba wajahku dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.

Aku menyingkirkan tanganya dari wajahku, berusaha tegar dan kuat di hadapanya. Aku tidak ingin terlihat lemah karenanya. Aku tersenyum paksa dan mengelus rambutnya pelan.

"Pergilah dari hidupku. Terima kasih sudah mengajariku cinta dan luka. Jaga dirimu baik-baik, semoga pilihanmu tepat dan bisa memberikan kebahagian yang kamu inginkan."

Prilly terkejut dengan ucapanku tadi. Dia pikir aku akan memohon agar dia tetap tinggal. Tidak, Prilly! Aku memang mencintaimu, tapi aku tidak akan rapuh karena cinta. Aku bukan lelaki seperti itu. Memang ini sangat sakit. Kamu sudah melukai dan mengecewakanku. Rasanya ingin sekali aku marah padanya, tapi entah mengapa aku tidak bisa marah apalagi melihatnya menangis seperti itu. Aku berdiri berniat pergi meninggalkannya, saat aku membalikan badan, aku merasakan Prilly memelukku erat dari belakang.

"Aku juga mencintaimu, Ali," ucapnya terisak di punggungku.

Aku tersenyum getir mendengar pengakuanya. Aku mengelus tanganya yang melingkar di perutku. Aku lepas perlahan dan memutar tubuhku menghadapnya. Dia menangis sesenggukan, sepertinya dia juga terluka sama sepertiku. Aku menghapus air matanya, lalu memegang kedua bahunya yang terguncang karena menangis.

Entah dari mana datangnya air, tapi aku merasakan air jatuh dari langit. Aku mengarahkan wajahnya agar menatapku. Air yang datang tiba-tiba itu semakin banyak membasahi tubuhku dan Prilly.

"Pulanglah, ini sudah malam dan hujan semakin deras. Kita balikan badan bersama. Jangan ada yang menoleh setelah melangkah pergi. Jangan kembali. Paham?"

"Kenapa?" Prilly menatapku bingung.

"Karena aku tidak ingin mengulang luka seperti saat ini. Kamu sudah mengambil keputusan untuk memilih dia dan meninggalkan aku. Jadi, pergilah dengannya dan jangan menoleh padaku lagi. Jika sampai kamu menoleh dan kembali, jangan harap aku akan melepaskanmu," ucapku serius padanya kali ini.

Melepaskan sesuatu yang hampir kita miliki itu sangat menyakitkan. Apalagi mencintai seseorang yang kini sudah jelas membalas cinta kita. Tapi dia lebih memilih cinta yang lain. Rasanya ingin sekali aku menenggelamkan diri ke dasar laut sekarang ini. Cinta sejati itu rela melepaskan jauh-jauh, jika memang takdir Tuhan menjodohkan, sejauh apa pun dia pergi, langkahnya akan kembali lagi pada kita. Aku percaya skenario menakjubkan akan terjadi, Tuhan sudah memiliki rencana yang indah untukku. Tapi, ingatlah, sekali aku dapat, tidak akan pernah aku lepas. Tapi sekali aku lepas, tidak akan pernah aku cari lagi.

Aku membalikkan tubuhnya, dia hanya pasrah sambil menangis. Sebenarnya aku tidak tega melakukan ini, tapi demi kebahagiannya, aku rela sakit karenanya.

"Majulah ke depan, jangan menoleh ke belakang. Kita melangkah bersama setelah aku membalikkan badan," bisikku pelan tepat di samping telinganya.

aku sempat mencium kepalanya dari belakang, membuat tubuhnya semakin terguncang.

"I love you bidadari burung besiku."

Aku membalikan tubuhku, kami sama-sama melangkah membawa luka di hati. Air hujan yang deras mengiringi langkah kami. Aku tidak kuasa menahan sesak di dadaku hingga keluarlah air mata yang sedari tadi aku tahan. Air hujan menyamarkan air mataku. Saat aku merasa langkahku semakin berat, aku bersandar di balik pohon untuk menopang tubuhku. Aku ingin sepuasnya menangis, mengeluarkan seluruh beban di dadaku. Saat aku sedang menangis di balik pohon, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku mengintip, ternyata Prilly kembali mencariku. Aku tetap diam memerhatikanya. Dia berputar-putar sambil menangis mencariku, berteriak menyebut namaku. Namun, aku tetap diam, aku yakin, suatu saat nanti dia akan kembali padaku. Aku pergi meninggalkanya yang masih sibuk mencariku.

Sejak awal aku merasa ada yang mengganjal padanya. Namun, bodohnya aku yang tidak peka karena dibutakan oleh pesonanya dan cintaku padanya. Ternyata selama ini dia mencintaiku hanya setengah hati. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk tetap bersamanya. Aku harus bisa relakan dia dengan kekasihnya. Seharusnya aku tidak memaksanya agar bersamaku, bila akan berakhir seperti ini.

Tuhan, mengapa ini rasanya sakit sekali? Apa ini karma yang Engkau beri untukku yang sudah menyia-nyiakan banyak wanita? Aku tidak pernah merasakan cinta yang sekuat dan sebesar ini. Hanya Prilly yang bisa membuka hatiku dan masuk ke dalam dasar hatiku, kini cinta itu sudah mengakar hingga ke jantungku. Berikan aku dan Prilly jalan untuk bersatu Tuhan.

***

Author POV

Pakaian Ali basah kuyup, Ali tidak memedulikan itu, dia tetap masuk ke rumah hingga air berceceran di lantai. Dia tetap melangkah pergi ke kamarnya. Karena lantai yang licin, Ebie yang tidak mengetahui jika ada genangan air, menginjak hingga pantatnya terpental di lantai.

Bug!

"Awww!" pekik Ebie terduduk di lantai.

Selvi yang berada di ruang tengah terkejut lalu menghampiri suara pekikan Ebie.

"Mbak Bie ngapain gelongsoran di situ?" tanya Selvi membantu Ebie berdiri.

"Habis baca story Puspamekar, Om sweet dan Tomat, jadi gelongsoran di lantai. Puaaaasssss!" Ebie menjawab sebal membuat Selvi menahan tawa. "Siapa sih yang buang air di sembarang tepat? Pantat seksi dan bahenol Ebie kan jadi sakit, Non Selvi?" adu Ebie manja kepada Selvi.

"Kucing nakal kali, Mbak Bie, kencing di situ," jawab Selvi santai berjalan kembali ke ruang tengah.

"Yeeeee! Masa ada kucing di rumah ini!" Ebie menggerutu sambil berjalan mencari pel.

Ebie mengeringkan lantai yang dilewati Ali tadi sambil menggerutu tidak jelas. Selvi yang samar-samar mendengar gerutuan Ebie hanya tersenyum dan menggeleng. Selesai mengepel, Ebie membuatkan susu khusus ibu hamil untuk Selvi dan mengantarnya ke ruang tengah.

"Mbak Bie, tolong buatkan susu juga buat Prince dan antar ke kamarnya. Kenapa dari tadi dia tidak keluar kamar, ya?" Selvi tidak tahu jika Ali tadi keluar rumah untuk menemui Prilly.

"Enggak tahu, Non, mungkin tidur kali. Biasanya juga Mas Prince kalau libur habisin waktu buat tidur, Non."

"Mungkin! Udah sana buatin dulu. Awas jangan menggoda Prince!" pesan Selvi memasang wajah serius.

"Kalau itu enggak bisa janji, Non. Kalau lihat Mas Prince bawaannya mau menggodanya," sahut Ebie berlalu dari hadapan Selvi.

Selvi tahu betul bagaimana sifat Ebie yang centil, lucu, tapi rajin. Selvi tidak pernah keberatan jika Ebie menggoda Ali, karena Selvi tahu itu hanya bercanda dan semata-mata menghibur Ali. Walau terkadang bercandanya Ebie keterlaluan.

Selesai Ebie membuatkan susu panas untuk Ali, dia mengantarnya ke kamar. Ebie mengetuk berulang kali, tetapi tidak ada jawaban. Sudah menjadi kebiasaan Ebie jika dia lancang masuk ke kamar Ali walau tanpa seizin pemiliknya. Ali sengaja hanya menyalakan lampu tidur hingga suasana di kamar remang-remang. Ebie melihat Ali tidur tengkurap hanya mengenakan boxer dan rambut masih basah. Ebie memerhatikan wajah Ali yang terlihat sendu dan sedih.

"Mbak Bie, jangan membungkuk seperti itu, karena buah melon Mbak Bie tidak akan menggoda imanku," ujar Ali walau matanya masih terpejam.

Ebie yang tadinya membungkuk hingga kaus bagian depanya memperlihatkan belahan dadanya yang montok, segera menegakkan tubuhnya. Ali membuka mata lalu menyambar kaus oblong putih dan memakainya.

"Ada apa, Mbak Bie? Mau merampok saya lagi?" tanya Ali berdiri dan mengambil ponselnya yang ada di nakas.

"Antar cucu buat Mas Prince," jawab Ebie selalu memerhatikan wajah Ali yang tidak seperti biasanya.

"Iya. Makasih."

Ali berjalan lalu duduk di sofa sambil memerhatikan ponselnya. Ebie yang kepo ingin tahu sesuatu, lalu mendekati Ali, berdiri di belakangnya. Ebie memerhatikan foto-foto yang digeser-geser Ali di layar datarnya. Memperlihatkan foto kemesraan Ali dan Prilly. Pose saat mereka berciuman bibir di kabin, foto mereka liburan di berbagai negara yang mereka lalui saat flight dan RON, terakhir melihatkan foto saat Prilly duduk di pangkuan Ali memakai baju tidur mini dengan belahan dada rendah. Di gambar tersebut Prilly tersenyum manis dan Ali mencium pipinya mesra. Ebie yang memerhatikan itu menahan tawa, membuat Ali baru menyadari jika sedari tadi ada orang di belakangnya. Ali menoleh ke belakang.

"Mbak Bie ngapain?" tanya Ali sebal.

"Ngintipin foto pacar Mas Prince," jawab Ebie santai lalu ikut duduk di samping Ali. "Itu pacar Mas Prince yang tadi pagi diceritain?" tanya Ebie dengan rasa penasaran yang sudah melewati tingkat dewa.

Ali tersenyum getir, mengusap layarnya, melihat paras cantik bidadari burung besinya di layar flat itu.

"Dia cantik, ya, Mbak Bie?"

"Iya, seksi juga. Saya masih kalah seksi dari dia. Makanya Mas Prince tidak pernah tergoda sama buah melon saya. Ternyata udah punya buah pepaya sendiri," canda Ebie berniat untuk menghibur Ali. Ali tersenyum mengingat semua kenangan indah saat bersama Prilly.

"Buah pepaya ini masih terjaga, Mbak Bie. Baru saya yang menyentuhnya, itu saja saat dia tertidur," ujar Ali yang mengingat mencuri ciuman dan mencumbu Prilly saat mereka tidur bersama.

"Jadi Mas Prince sering tidur bersama dia? Wah, Mas Prince udah enggak perjaka dong?" tanya Ebie yang semakin ingin tahu.

"Memang aku sudah tidak perjaka, tapi dia masih perawan, Mbak Bie."

"Kok bisa begitu?"

"Karena selama ini saat dia menemani saya tidur, dia tidak mau saya ajak bercinta. Berbeda dengan pacar-pacar dan teman-teman kencan saya dulu yang suka rela buka buah melonnya di depan saya."

"Memangnya Mas Prince tidak tergoda melihat kulitnya yang putih, mulus, dan buah pepayanya yang menggantung lebih montok dan kencang daripada punya saya."

"Kucing mana yang enggak tergoda jika ada ikan di depannya? Pasti tergodalah, Mbak Bie, tapi saya berusaha menahannya. Untuk menghargai dia dan menjaga kesuciannya."

"Kenapa enggak dikawinin aja langsung, Mas Prince."

"Nikah dulu baru kawin, Mbak Bie."

"Iya, maksud saya dinikahi dulu."

"Tidak semudah itu, Mbak Bie, karena dia sudah memilih kekasihnya dan sebentar lagi bertunangan," jawab Ali sedih mengingat luka di hatinya.

"Oh, yang sabar, ya, Mas Prince. Saya ikut prihatin. Ternyata terjawab sudah pertanyaan saya." Ebie mengelus bahu Ali lembut dan memasang wajah sok peduli yang dibuat sedih.

"Memang apa pertanyaan Mbak Bie?" tanya Ali menatap wajah Ebie dengan kerutan di dahinya.

"Raut kesedihan dari wajah Mas Prince. Ternyata Mas Prince sedang patah hati to?"

"Sudah sana, Mbak Bie keluar. Saya mau tidur."

"Enggak mau Ebie temenin tidur, Mas?" goda Ebie centil sambil menowel pinggang Ali.

"Mbak Bie, jangan memaksa iman saya untuk tergoda sama Mbak Bie. Saya sedang tidak nafsu." Ali lalu berdiri mengambil susu yang dibawakan Ebie tadi dan meminumnya habis. "Ini bawa sekalian," perintah Ali memberikan gelas kosong kepada Ebie.

Ebie menerimanya langsung berlalu keluar dari kamar Ali. Ali menghempaskan tubuhnya di ranjang menerawang dan membayangkan kenangan indah saat bersama Prilly. Bayang-bayang Prilly selalu menari-nari dalam kepala Ali. Ingin rasanya Ali menghapus kenangan itu, tapi dia tidak bisa. Semakin Ali berusaha melupakan, justru kenangan itu semakin kuat di dalam otaknya.

Cinta tahu ke mana dia akan pulang. Cinta juga tahu kepada siapa dia merasa nyaman. Semua tinggal menunggu waktu.

##########

Ebie bisa aja menghibur Mas Prince. Makasih, ya, Ebie udah mau dengerin curhatan Mas Prince? Walau kamu pelayan kurang ajar, tapi sebenarnya Mas Prince juga suka kok sama kamu. Hahahahahahahaha

Makasih vote dan komenya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top