EXTRA

"Aaaaaaaaaaaaaa!" Prilly terbangun dari tidurnya langsung duduk dengan peluh yang mengucuri wajahnya.

Ali yang tidur di sampingnya terlonjak kaget, langsung ikut bangun. Prilly memegangi dadanya, naasnya memburu dan dia sangat susah menelan ludahnya. Tenggoroannya terasa kering.

"Hei, kamu kenapa, Sayang?" tanya Ali khawatir memutar tubuh Prilly untuk menghadapnya.

"Aku haus, Sayang." Suara Prilly lirih dan tertahan.

Ali segera mengambilkan air minum untuk istrinya. Segera dia mengarahkan gelas pada Prilly. Ali memperhatikan Prilly meminum air itu hingga habis sekali tenggakan.

"Kamu kenapa sih, Sayang?" tanya Ali lembut sambil membelai rambutnya.

"Aku mimpi buruk, Sayang. Pesawat yang kita naiki trouble dan bagian belakang meledak, kita semua terjatuh ke laut," jawab Prilly memeluk erat Ali.

"Mimpi itu bunga tidur, jadi jangan kaitkan dengan firasat apa pun. Berdoa saja, semua akan baik-baik saja, ya?" Ali mengelus rambut Prilly lembut.

"Sayang," panggil Prilly pelan dalam pelukan Ali.

"Hmmm."

"Aku lagi pengin makan sesuatu. Aku lapar," rengek manja Prilly.

Ali melihat jam dinding, menunjukan pukul 02.35 WIB. Jika sudah seperti ini Ali tak dapat menolaknya. Apalagi ini pasti menyangkut anak yang masih ada dalam kandungan Prilly. Sudah dua tahun usia pernikahan mereka. Tuhan baru memberikan anugerah-Nya itu. Usia kandungan Prilly kini menginjak bulan delapan. Itu artinya tinggal menunggu sebulan lagi dia akan melahirkan.

Kamu mau makan apa, Sayang?" tanya Ali membelai wajah cantik Prilly.

"Aku mau nasi goreng spesial, tapi kamu yang bikin," pinta Prilly manja bergelayut di lengan Ali.

Ali menghela napas dalam, ini adalah risiko karena berhasil menghamili istrinya. Dia harus menjadi suami siaga dan menuruti ngidam Prilly. Jika Prilly tak dituruti, bisa-bisa marah dan tidak mau berbicara dengan Ali. Karena itu Ali selalu berusaha menurutinya.

"Baiklah, kamu tunggu di sini. Aku akan buatkan." Ali mencium pelipis Prilly, saat dia ingin turun dari ranjang, tangan Prilly mencegahnya.

"Ikut," rengek Prilly manja dengan tatapan puppy eyes.

Ali yang melihat wajah lucu istrinya merasa gemas dan mencubit kedua pipi dia sayang.

"Aw, sakit." Prilly mengelus pipinya bekas cubitan sayang Ali. Padahal Ali mencubit pelan, tetapi karena Prilly sedang ingin dimanja jadi sedikit-sedikit dia merengek.

Ali turun dari ranjang membantu Prilly berdiri. Akhirnya mereka pun pergi ke dapur. Rumah ini sekarang sepi. Ebie sudah menikah dengan Angga dan kini mereka tinggal di rumahnya sendiri. Sedangkan Selvi, juga sudah ikut bersama Dahegar. Setelah anak Selvi berusia satu tahun, akhirnya Dahegar meresmikan hubungannya bersama Selvi dalam ikatan sakral.

"Kak Pao, belum bangun, Sayang?" tanya Prilly duduk di kursi tak jauh dari Ali yang sedang meracik bumbu.

"Ini masih larut malam, Sayang. Kamu yang aneh-aneh minta makan jam segini. Iya jelaslah Kak Pao belum bangun," ujar Ali sambil mencari pelengkap bumbunya.

Hesti atau lebih suka dipanggil Kak Pao adalah pelayan Ali dan Prilly yang baru. Sebelum Ebie menikah, dia sempat mencarikan pelayan untuk menggantikannya bekerja di rumah Ali.

Hesty jauh berbeda dengan Ebie. Jika Ebie memiliki sifat centil dan percaya diri tingkat dewa, kalau Kak Pao lebih kalem, tetapi lucu karena keluguannya. Pernah suatu hari Prilly stres dibuatnya.

"Kak Pao, lama sekali mencuci baju," tegur Prilly saat mencari Hesty di tempat mencuci baju.

Hesty yang sedang kebingungan di depan mesin cuci terkejut saat Prilly tiba-tiba muncul memegang bahunya.

"Ini, Non ... mmm ... anu, Non ... ini ...," ucap Hesty gelagapan.

"Anu ini apa sih, Kak Pao?" tanya Prilly tak sabar mendengar jawaban Hesty.

"Pakai ini bagaimana, Non?" tanya Hesty polos membuat mata Prilly melotot tak percaya.

Di zaman serba moderen seperti ini Hesty masih saja tidak bisa menggunakan mesin cuci? Prilly mengelus dada.

"Begini, Kak Pao, perhatikan baik-baik. Pakaiannya dipilihin dulu. Mana yang bewarna dan yang putih, disendirikan." Prilly memilah pakaian kotor tersebut.

"Terus gimana lagi, Non?"

"Nyalakan keran, isi airnya dan masukan pakaian yang mau dicuci. Masukan sabun cairnya sesuai takaran." Prilly menjelaskan sambil mengerjakan sendiri. Sedangkan Hesty hanya memperhatikan.

"Khusus seragam Mas Prince, kamu cuci pakai tangan. Jangan disikat terlalu kasar."

"Contohnya gimana, Non?"

Prilly akhirnya memberi contoh kepada Hesty cara mencuci, hingga semua pekerjaan mencuci selesai. Itu sama halnya Prilly sendiri yang mengerjakan pekerjaan Hesty. Sedangkan Hesty hanya memperhatikan.

Dari kejadian itu akhirnya Ali mengundang Ebie untuk men-training Hesty sampai dia benar-benar bisa. Sekarang Hesty sudah bisa melakukan pekerjaan Ebie seperti dulu.

"Silakan, Tuan Putri. Nasi goreng spesial ala Chef Ali," ucap Ali bangga, meletakan sepiring nasi goreng buatannya di depan Prilly.

"Terima kasih, pangeran burung besiku," ucap Prilly lalu mencium pipi Ali.

"Dimakan dong."

"Suapin." Prilly menaik-turunkan alisnya ke arah Ali.

Ali tersenyum melihat istrinya yang selalu manja kepadanya. Sejak mengetahui Prilly hamil, Ali tak mengizinkannya bekerja. Prilly sekarang membuka restauran untuk kesibukannya jika ditinggal Ali bertugas. Mungkin jika nanti anaknya sudah lahir, Prilly tak begitu kesepian jika harus ditinggal Ali dinas hingga berhari-hari.

"Kak Pao, kenapa bangun? Kami berisik, ya?" Prilly menyapa Hesty yang baru saja keluar dari kamarnya sambil mengucek mata.

"Eh, Non Prilly, Mas Prince, saya mau ambil minum. Haus," jawab Hesty lalu menyengir kuda, menampakan giginya yang tersusun rapi. "Mas Prince yang masak ini, Non?" tanya Hesty saat melihat sisa nasi goreng di wajan.

"Iya, Kak Pao, dimakan saja." Prilly berkata setelah menerima suapan dari Ali.

"Habisin sekalian, Kak Pao," titah Ali saat melihat Hesty mencentongkan nasi goreng itu ke piring.

Ali dan Prilly tersenyum saat melihat Hesty makan dengan lahap dan melupakan tujuan awalnya pergi ke dapur. Mereka memiliki alasan tersendiri mengapa memanggil Hesty dengan sebutan 'kak pao'. Karena pipi chubby Hesty yang mirip dengan bakpao itu membuat Ali dan Prilly memanggilnya seperti itu.

"Habis ini bobo, ya? Besok kita ke dokter. Aku antar kamu kontrol. Sekalian pengen lihat jagoanku di dalam sana." Ali mengusap perut Prilly yang sudah membuncit, membuat Prilly memejamkan mata merasakan belaian Ali pada perutnya.

"Kenapa merem melek begitu?" tegur Ali menggoda, saat melihat Prilly menikmati sentuhannya.

"Kangen kamu, berhari-hari kamu menerbangkan ratusan orang di atas awan. Kapan kamu mendaratkan istri di ranjang?" Prilly mengucap sambil malu-malu kucing dan menggigit bibir bawahnya.

Pipinya sudah merona merah, Ali yang memahami sinyal itu lalu membopong Prilly.

"Kak Pao, tolong beresin piring dan gelasnya itu, ya?" perintah Ali saat ingin melangkah ke tangga.

"Siap, Mas Prince!" jawab Hesty dengan nasi goreng penuh di mulutnya.

Ali membawa Prilly masuk ke kamar mereka, lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Mata Ali menyeringai menatap Prilly.

"Sebelum aku berpuasa 41 hari, kamu harus puasin adik kecilku dulu, Sayang." Ali lalu mengecup kening Prilly.

Ali mencumbu Prilly mulai dari leher. Dia meninggalkan banyak kissmark di sana.

Tiada jarak, hanya saja tak ada kata-kata yang merayap di antara sela lenguh napas yang bercumbu membaur.

***

Kicauan burung pipit dan burung prenjak dibirunya langit bersautan menjadi alunan lagu merdu di pagi yang cerah ini. Prilly masih terlelap di bawah dekapan lelaki yang semalaman memeluknya, memberi kehangatan dan kenyamanan. Tubuh naked mereka terbalut bed cover putih.

Sangat lancang sinar matahari membias ke mata indah itu. Perlahan netra Prilly membuka, menyesuaikan sinar mentahari yang menyelusup ke kamar. Saat pandangannya sudah sempurna, senyum tersungging di bibir ranumnya. Mengingat pergumulannya semalam dengan sang suami membuat perasaannya menghangat.

Prilly perlahan memutar tubuhnya, menghadap lelaki yang menemani hidupnya selama tujuh tahun lebih. Prilly memperhatikan wajah tampan yang masih damai dalam tidur. Dia meniup bulu mata lentik Ali, membuat si pemilik mengejap. Prilly terkekeh melihat Ali mengedip-ngedipkan matanya, lucu.

"Selamat pagi papanya Digo?" sapa Prilly setelah Ali membuka mata sempurna.

Prilly mencium kening turun ke kedua mata Ali, turun lagi ke hidung mancungnya, dan berakhir di kedua pipi.

"Yang, sini belum." Ali menunjuk bibirnya. Prilly dengan cepat mencium bibir Ali.

"Cepat bangun, Pa. Papa harus antar Digo berangkat ke sekolah." Prilly mengambil baju tidurnya yang semalam Ali lepas asal.

Ali meraih boxer yang tergeletak di lantai lalu memakainya. Prilly masuk ke kamar mandi membersihkan diri, sedangkan Ali membangunkan jagoannya di kamar sebelah.

"Hai, Kapten Digo. Ayo bangun! Pagi ini kita ada penerbangan ke hati Mama." Ali mengguncang pelan tubuh lelaki berusia sekitar lima tahun itu. Dia sudah terbiasa membangunkan Digo begitu.

Karena Digo memiliki cita-cita sama seperti papanya. Menjadi pilot. Jagoan Ali itu mulai menggeliat meregangkan ototnya yang kaku karena tidur semalaman. Ali melihatnya tersenyum tulus. Ada rasa yang belum bisa dipercaya, jika kini dirinya sudah menjadi seorang ayah. Kehadiran Digo di tengah rumah tangganya, melengkapi keluarga kecil mereka.

"Ayo, Kapten Digo, kita harus segera bersiap!" Ali membantu Digo bangun.

"Siap, Kapten!" jawab Digo masih mengumpulkan nyawanya.

Ali terkekeh mendengar jawaban anaknya itu. Dia segera membawa Digo masuk ke kamar mandi lalu mereka mandi bersama. Jika Ali sedang tidak bertugas, dia melakukan kewajibannya sebagai ayah yang baik untuk Digo. Pagi mengantarnya sekolah, siang menjemput, dan di rumah menemani bermain. Ali dan Prilly selalu kompak menjaga dan mendidik Digo.

"Mama!" teriak Digo berlari menghampiri Prilly dan memeluk kakinya yang sedang menyiapkan sarapan di ruang makan.

"Selamat pagi jagoan Mama." Prilly mencium gemas kedua pipi Digo.

"Pagi, Ma," sapa Ali mencium pipi Prilly.

"Pagi juga, Pa. Ayo kalian duduk," titah Prilly kepada dua lelaki berbeda generasi itu.

Ali membantu Digo duduk di kursi sebelahnya. Prilly mengambilkan sarapan untuk mereka. Digo sekolah di taman kanak-kanak Harapan Mentari.

"Ayo Papa, buruan. Digo nanti telat masuk sekolahnya." Digo menarik-narik tangan Ali setelah merek selesai sarapan.

"Iya, iya, sabar jagoan."

Prilly melihat kekompakan anak dan suaminya tersenyum bahagia. Dia mengantar Digo dan Ali sampai di pelataran rumah.

"Hati-hati di jalan," pesan Prilly kepada Ali. "Belajar yang baik, ya, Nak?" lanjut Prilly sambil membantu Digo masuk ke mobil.

Prilly mencium pipi Digo gemas, membuat anak lelakinya itu terkekeh. Setelah puas menciumi Digo, Prilly menutup pintu mobil.

"Dadah, Mama!" seru Digo riang melambaikan tangan dari kaca mobil.

Prilly membalas lambaian tangan Digo dengan senyuman terbaiknya. Hesty yang sedari tadi sedang menyiram bunga di depan rumah, melihat keharmonisan rumah tangga majikannya itu tersenyum, merasakan kebahagiaan mereka.

"Kak Pao, nanti siang kita mau masak apa?" tanya Prilly menghampiri Hesty.

"Kalau masak chicken karage sama cah brokoli gimana, Non?"

"Oke, nanti kalau tukang sahurnya lewat, Kak Pao belanja bahannya, ya? Saya masuk ke dalam dulu. Ini uang belanjaannya." Prilly memberikan uang seratus ribuan kepada Hesty.

"Siap, Non!" Hesty menerima uang dari Prilly, setelah Prilly masuk ke rumah, Hesty melanjutkan menyiram tanaman di pinggir-pinggir rumah.

***

Prilly menggandeng tangan Digo menyusuri gedung bandara Soekarno Hatta. Senyum membalas sapaan kepada orang-orang yang mengenalnya selalu dia tebar. Siapa yang tak mengenal istri dan anak seorang pilot ternama dan memiliki nilai plus di mata seluruh perusahaan maskapai.

Berbagai tawaran dari perusahaan lain selalu Ali tolak. Bukannya Ali sombong atau tidak menghargai tawaran itu. Namun, dia hanya ingin setia mengabdikan diri kepada perusahaan yang selama ini membesarkan namanya, hingga mempertemukannya dengan Prilly.

"Papa!" pekik Digo berlari menyambut Ali yang baru saja keluar dari ruang managemen.

Ali tersenyum lebar, seluruh lelah dan letihnya hilang seketika saat melihat anak dan istrinya.

"Halo, Kapten Digo." Ali menangkap Digo lalu mengangkatnya ke udara, seperti menerbangkan dia.

Prilly tersenyum melihat Digo tertawa bahagia diperlakukan Ali seperti itu. Ali menurunkan Digo lalu memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah.

"Ada acara apa nih, kok pakai seragam pilot?" tanya Ali masih memperhatikan penampilan anak lelakinya yang terlihat tampan.

"Di sekolahnya tadi ada acara cita-citaku. Jadi murid-murid semua memakai pakaian sesuai dengan cita-cita mereka, Pa," jelas Prilly.

Ali tersenyum bangga melihat anaknya yang sangat tampan dan pantas memakai seragam itu.

***

"Baiklah, Kapten Digo. Mari kita terbangkan pesawat Boeing 737 Rajawali dengan nomor penerbangan GA 340."

Rekan kerja Digo kali ini adalah Yudha, sahabat seperjuangannya saat pendidikan dulu.

Digo yang sudah menjadi pilot di maskapai kebanggaan kedua orang tuanya itu, tersenyum mengangguk yakin ke arah Yudha. Digo menarik Yoke. Terbanglah burung besi itu ke angkasa.


"Mama, kapan Kak Digo pulang?" tanya Mona, anak kedua Ali dan Prilly.

"Mungkin sore nanti kakakmu mendarat di bandara. Memangnya kenapa, Mona?" tanya Prilly sambil mengaduk kopi untuk Ali.

"Mona mau tanya soal informasi kadet di perusahaan kakak, Ma. Mona mau praktik di perusahaan kakak," jawab Mona mengambil roti tawar di depan Ali.

Ali yang sedari tadi membaca koran, setelah mendengar perkataan putrinya itu lalu menutup korannya.

"Memangnya kamu butuhnya kapan? Nanti Papa bicarakan dengan teman Papa," ujar Ali lembut kepada Mona.

"Selesai Mona ujian, ya, Pa? Biar Mona cepat selesai kuliah pramugarinya, biar cepat seperti Kak Sisi." Mona terkekeh saat menyebut kekasih kakaknya itu.

"Kenapa tertawa?" tanya Prilly menghampiri mereka membawakan kopi untuk Ali.

"Heran aja sama Kak Digo, kok bisa sih dia punya pacar sama-sama dari penerbang?"

Ali dan Prilly saling memandang lalu mereka justru tertawa. Mona yang melihat itu heran.

"Kok malah tertawa sih?" tanya Mona menghentikan tawa Ali dan Prilly.

"Kamu enggak sadar Mama sama Papa dulu juga dari penerbangan?" Prilly menahan tawanya.

"Aduh! Kenapa Mona lupa, ya, kalau dulu Papa pilot dan Mama pramugari." Mona menepuk dahinya.

Ali dan Prilly semakin tertawa melihat putrinya yang cantik, bersurai lurus, panjang nan hitam legam.

***

Ruang makan di rumah Ali malam ini terlihat sangat ramai karena semua sedang berkumpul. Ada keluarga kecil Dahegar, Dimas, dan Angga. Hesty terlihat kerepotan menyajikan makan malam. Karena hari ini syukuran kecil-kecilan atas lulusan Mona.

"Mau daftar kerja di mana kamu, Mon?" tanya Dahegar.

"Masih bingung, Om. Penginnya sih di Rajawali. Tapi kalau enggak memungkinkan, kepala singa juga enggak apa-apa," jawab Mona.

"Jangan pesimis begitu, Dek. Nilai kamu bagus dan catatan kamu dulu selama praktik di perusahaan Kakak juga bagus." Digo memberi semangat kepada adik satu-satunya itu.

"Iya, betul kata Kak Digo. Kamu harus optimis. Tante yakin pasti kamu bisa masuk Rajawali," timpal Selvi.

"Kamu tenang saja, tantemu ini juga pilot kepala singa. Bisalah diandalkan," ujar Ira bangga.

"Masih ada Om Dimas juga Om Angga siap bantu kamu," timpal Angga.

"Iya, terima kasih sudah mau membantu. Nanti Mona pikir-pikir lagi deh."

"Mari kita makan malam!" seru Ebie keluar dari dapur membawakan ikan bakar.

Semua berkumpul menjadi satu. Berbaur bersama tanpa membeda-bedakan. Ali dan Prilly melihat hal itu sangat bahagia karena di setiap momen para sahabat dan orang terdekatnya selalu berkumpul.

"Assalamualaikum," ucap salam suara perempuan dan lelaki bersamaan baru saja datang.

"Waalaikumsalam," jawab mereka semua sambil menoleh ke sumber suara.

"Apa Mama sama Papa telat?" tanya Wibowo berjalan membawa tongkat.

"Mama, Papa, kenapa enggak bilang mau ke sini? Kalau tahu kan, aku bisa jemput," ujar Ali lalu bersamaan dengan Prilly menghampiri Widya dan Wibowo.

"Enggak usah. Sudah ada sopir yang siap mengantar kami ke mana pun," jawab Widya duduk di sofa ruang tengah.

"Oma sama Opa mau makan sama apa? Biar aku ambilkan," tawar Mona.

"Tidak usah, tadi Oma sama Opa sudah makan di rumah."

Akhirnya mereka pun kembali melanjutkan makan malam dengan canda gurau. Tawa bahagia menguasai ruang tersebut.

Cinta itu bisa berawal di mana saja, bahkan dia bisa tumbuh di atas burung besi yang terbang ribuan kaki di atas permukaan laut. Getaran cinta di atas burung besi dan akan terus bergetar di jantung hati, hingga di penerbangan yang abadi.

Love In Flight Eternal
L.I.F.E

#####

Akhirnya utangku lunas! Semoga enggak ada yang penasaran lagi, ya?

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top