We Drifted to survive
Gutam baru terduduk di kursi ruangannya setelah hampir tiga jam rapat komisaris di rumah sakit. Gutam mengeluarkan ponselnya dan melihat deretan pesan Raga yang belum sempat ia baca. Gutam bersandar dan menarik napas, ia memutar kursi menatap dinding kaca.
Bayangan pesawat yang lewat mengingatkannya pada sesuatu kalau Raga takut naik pesawat. Kecelakaan pesawat yang terjadi saat usia Raga masih enam belas tahun menyebabkan ayahnya meninggal dunia, telunjuk kaki ibunya putus, dan Raga sendiri sempat mengalami geger otak ringan.
Mungkin itu terakhir kalinya Raga keluar kota dengan pesawat, dia tidak akan pernah keluar kota lagi jika tidak bisa ditempuh dengan mobil, kapal, atau kereta api. Mengingat hal itu Gutam langsung menghubungi Raga.
"Byyy, aku berhasil!" teriak Raga dari seberang sana saat telepon mereka tersambung.
"Kamu nggak kenapa-kenapa kan?" Gutam panik saat mendengar Raga justru menangis.
"Enggaaa."
"Kenapa nangis kalau engga?"
"Aku nangis karena bangga dengan diri aku sendiri, sudah mampu naik pesawat." Gutam dibuatnya senyum-senyum sendiri.
"Keinginanmu mengejar impian ternyata bikin kamu jadi berani naik pesawat ya, Ra."
"Aku minum obat tidur sebelum flight. Jadinya engga kerasa tahu-tahu sudah sampai saja." celetuk Raga. Gutam termangu.
"Astaga, sayang...."
Raga malah tertawa di seberang sana. "Itu cara ampuh, By."
Gutam geleng-geleng kepala dibuatnya, sekaligus rindu dengan sosok Raga yang sering membuatnya tertawa karena tingkah lucunya.
"Terus sekarang dimana?"
"Baru banget sampai. Sekarang lagi ambil koper...."
"Siapa yang jemput?"
"Mba Ami..."
Gutam hanya menarik napas setelahnya, dia bingung kata apa lagi yang harus diucapkannya. "Yasudah, hati-hati ya," kata Gutam akhirnya.
"Oke sayang, daa..."
Selesai mengambil koper yang membuatnya bosan karena harus menunggu bagasi terlalu lama, Raga langsung menemui Ami, sepupunya, yang sudah menunggu di depan pintu kedatangan.
"Ya Allah, sudah berapa lama ya kita nggak ketemu semenjak aku nikah dan pindah ke Jakarta..." Ami langsung memeluk Raga dengan erat sambil melepas rindu.
"Tiga tahun ada kali ya." balas Raga. Lalu menarik kopernya dan mereka berjalan beriringan menuju parkiran. "Mana si Suprik?" Raga mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan tidak melihat siapapun kecuali hanya Ami di sebelahnya.
"Suprik..Suprik, enak aja lo!" Ami kesal. Sejak dulu Raga suka memanggil suaminya dengan sebutan Suprik, padahal nama aslinya Sufi.
"Hahaha, kerennan Suprik kali. Biar keliatan jawanya." Raga tertawa. Ami mengeluarkan kunci mobil dari tasnya dan menekan tombol romote. Suara bip-bip terdengar di mobil CR-V warna putih. Ami langsung membantu Raga memasukan koper ke bagasi mobilnya, setelahnya mereka masuk ke dalam mobil bersama.
"Ngomong-ngomong, lo beneran nggak jadi nikah, Ra?" pertanyaan pertama Ami setelah mobil mereka melesak meninggalkan bandara. Karena setelah keputusan Raga dan Gutam menunda pernikahan, kabar itu langsung tersebar ke seluruh keluarga mereka—yang tentu saja menyayangkan keputusan tersebut.
"Bukan nggak jadi, tapi belum," balas Raga sekenanya. Dia mulai males mendengar pertanyaan 'kenapa' dari keluarga dan teman-temannya. Selama ini dia sengaja menghindar dari semua orang yang akan melontarkan pertanyaan menyebalkan itu. Tentang kenapa-nya, tidak ada juga yang akan mengerti. Mereka pasti merespons; "sayang banget sih, Ra, blablablabla..."
"Gila ya, lo, untung aja gue dan laki gue belum booking tiket pesawat. Kalau udah, tuh uang susah banget direfund-nya. Males gue ngurus-ngurus begituan, ribet."
Raga tertawa. "Elo sih, semangat banget...."
"Ya jelas dong, Ra. Siapa sih yang nggak semangat denger elo mau nikah? Kita semua tahu kalau elo itu nggak bisa move on dari Dhipa."
Raga langsung menutup mulut Ami rapat-rapat. "Stop sebut nama Dhipa di depan gue ya, Mi. Gue udah nggak mau dengar nama dia lagi."
Ami tampak kaget. "Ha? Serius? Gue tahu banget dengan elo. Terakhir kali kita ketemu, lo itu masih kayak orang depresi ditinggal Dhipa."
"Jangan pernah mikir kalau gue nggak jadi nikah karena Dhipa ya, lo salah besar." Raga bersandar dan menghela napas. "Sampai detik ini, Gutam nggak pernah tahu gue punya mantan bernama Dhipa."
"What?" Ami rem mendadak saat lampu lalu lintas berubah warna merah. Matanya langsung melotot menatap Raga. "Kenapa?"
"Karena Gutam nggak perlu tahu tentang si cowok brengsek itu."
"Ra, lo dan Gutam udah pacaran selama tiga tahun. Masa iya sih, Gutam nggak tahu. Keluarga lo emang nggak ada yang ngasih tahu?"
"Gue dan keluarga sepakat untuk tutup mulut tentang Dhipa."
Ami menghela napasnya, dan kembali menyetir saat lampu lalu lintas berubah warna hijau. "Gila ya, Ra, kok bisa gitu sih."
Ami masih sulit mencerna cerita Raga, Karena Ami tahu sekali tentang kisa cinta Raga dan Dhipa, kebetulan mereka ada di kampus yang sama. Raga dan Dhipa terkenal sebagai couple yang sulit dipisahkan, semua keluarga juga tahu kalau Raga sangat mencintai Dhipa. Hingga suatu hari, semesta tak berpihak lagi pada Raga dan membuat dunia yang awalnya indah berubah jadi hancur lebur saat Dhipa mengirimkan pesan singkat tanpa pertemuan.
Dhipa : Maaf, Ra, kita nggak bisa bareng-bareng lagi karena aku harus ke Melbourne.
Hanya itu saja. Ketika Raga ingin membalas pesan Dhipa atau menghubunginya langsung, laki-laki brengsek itu tidak bisa dihubungi lagi. Raga mencoba menemuinya langsung ke rumah, tapi rumahnya tidak ada orang. Raga mencoba mencarinya di kampus, tapi batang hidungnya tidak terlihat kembali sampai tiga bulan lamanya. Akhirnya Raga menyerah, hanya air mata yang ia keluarkan setiap hari demi Dhipa.
"Ra, lo nangis?" Raga tersentak kaget dan berusaha sadar kembali dari lamunannya tentang masalalu yang menyebalkan. Ia menghapus air mata dengan segera. Untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berusaha mati-matian melupakan Dhipa dan berusaha untuk tidak menangis, kini Raga kembali menangis.
"Gue rindu Gutam," jawab Raga bohong. Kehadiran Gutam selama tiga tahun tidak merubah segalanya, tidak bisa membuat Raga untuk tidak membenci Dhipa ketika nama itu kembali disebut.
Mobil berhenti di depan halaman rumah Ami ketika mereka sudah sampai. Ami mematikan mesin dan membuka seatbelt. "Yuk, turun...."
Raga menahan lengan Ami ketika dia hampir membuka pintu. "Mi..."
"Ya?" Ami menoleh padanya.
"Boleh gue jujur?"
"Kenapa, Ra? Lo kenapa?"
"Gue masih belum siap untuk menikah dengan Gutam."
Ami kembali terbelalak mendengar kalimat Raga. "Jadi benar, lo sengaja ambil tawaran pekerjaan ini demi menghindar menikah dengan Gutam?"
Raga mengangguk.
"Terus kenapa lo terima lamaran dia waktu itu, Ra?"
"Karena gue bingung, Mi. Gutam tiba-tiba ajak gue nikah, gue bingung harus gimana, dan waktu itu gue juga lagi pusing sama kerjaan, jadi gue pikir; apa lebih baik gue nikah aja ya? Dan setelah gue menjalani masa-masa menjelang pernikahan, gue malah nggak ngerasain apa-apa selain keraguan."
Ami memelas dan menatap wajah Raga dengan iba. Raga seperti orang yang hilang akal dan tidak tahu tujuan hidupnya harus bagaimana.
"Please jangan judge gue...." Raga menunduk dan menangis lagi. Ami tersenyum, dia tidak akan mengatakan apapun lagi selain memeluk sepupunya itu dengan erat.
"Lo mau gue kasih tahu sebuah rahasia?" Kini Ami yang balik memberi tebakan.
"Kenapa?" Raga melepaskan pelukannya dari Ami.
"Dhipa ada di sini, di Jakarta."
"Apa?" Mata Raga melotot tak percaya. "Darimana lo tahu?"
"Gue pernah nggak sengaja bertemu dengan dia, dan gue samperin."
"Terus?"
"Dia tanya tentang keadaan lo."
"Terus?"
"Gue bilang aja kalau elo mau nikah."
Raga langsung menghela napas. Entah itu perasaan lega atau kecewa.
"Kapan lo ketemu dengan dia?"
"Yaaah, sekitar lima bulan lalu lah. Setelah elo tunangan."
"Oooh..." Raga tak mampu berkata-kata lagi, meskipun sebenarnya dia ingin banyak bertanya dengan Ami seperti;
"Lo tanya nggak kenapa si brengsek itu menghilang waktu itu?"
"Lo tanya nggak kenapa dia pergi ninggalin gue?"
"Lo tanya nggak kira-kira dia masih cinta gue atau enggak?"
Tapi sepertinya nggak perlu, karena selama bertahun-tahun Raga sudah berupaya keras untuk membuang Dhipa jauh-jauh dari hidupnya.
"Jakarta itu luas kan, Mi? Gue nggak mungkin ketemu dia lagi kan?" Kata Raga pada Ami panik.
"Yah... tergantung yang si atas, Ra." Ami mengacungkan telunjuknya seolah mengarah pada sang pencipta.
.
.
.
TBC
#TEAMGUTAM
#TEAMDHIPA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top