Tiga tahun lalu.

Tiga tahun lalu.

Tepat di sebuah rumah sakit di Yogyakarta, ia dan Raga bertemu. Bahkan Gutam masih ingat dengan gelak tawa dan mata Raga yang berbinar kala itu saat bercerita dengan Costumer Service tentang pelayanan rumah sakit yang memuaskan.

"Sebulan yang lalu, saya bawa Bunda ke rumah sakit lain, dan di sana pelayanannya engga banget, Mba. Perawatnya nggak ada senyum dan ramahnya. Jadi itu alasan saya minta pindah ke rumah sakit lain. Dan Tante saya itu merekomendasikan rumah sakit ini. Alhamdulillah saya puas banget, Mba."

Dan Gutam muncul dengan gaya berpakaian yang sangat sederhana menghampiri Raga. "Jika Mba puas dengan pelayanan di rumah sakit ini, boleh dibantu untuk menulis pesan dan kesannya, Mba...."

Raga menoleh kaget karena lelaki yang tidak dikenalnya mendadak berdiri di sebelahnya. "Mas pasien rutin juga di rumah sakit ini?"

Gutam mengangguk.

"Eh, gimana-gimana...." tiba-tiba Raga menyentuh lengan Gutam yang membuat lelaki itu bergidik. "Memang bagus banget kan pelayanan di sini, benar-benar nggak memandang kasta. Semua dilayani sama rata...."

"Rumah sakit ini sudah paripurna kok, Mba."

"Tuh kan, wajar dong rumah sakit seperti ini dapat penghargaan."

Gutam tak berhenti tersenyum melihat raut wajah Raga yang penuh ekspresi. "Udah selesai pengobatannya Mas? Yang dirawat Mas atau keluarga?"

"Ooh bukan-bukan, saya ke sini hanya berkunjung."

"Berkunjung?" Kerutan di dahi Raga muncul. "Oooh anak semester akhir yang mau riset untuk data penelitian ya?" Gutam tertawa. Tapi ia tak menjawab apapun pertanyaan Raga hari itu.

Karena kebingungan Raga tentang Gutam baru terjawab seminggu setelahnya saat mereka kembali di pertemukan di acara pernikahan sepupu Raga. Yah! Ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Dan hari itu Raga juga dibuat terkejut dengan kenyataan bahwa kemunculan Gutam di rumah sakit kemarin bukan sebagai pasien, ataupun mahasiswa semester akhir yang sedang ajukan riset di rumah sakit. Tapi Gutam seorang anak Dokter Orthopedi yang terkenal dan pemilik dari rumah sakit tempat Bunda Raga pernah di rawat.

"Nice to meet you...." Gutam mengulurkan tangan dan tersenyum manis.

Nggak ada yang menyangka bahwa pertemuan singkat mereka membawa hubungan Raga dan Gutam semakin jauh, sampai terjadilah adegan ciuman pertama di parkiran basemant mall.

"Sorry...." Gutam melepaskan bibir mungil Raga. Mereka menikmati ciuman pertama mereka yang tiba-tiba saja terjadi. Semua begitu cepat.

"It's okay." Raga bersandar di kursi mobil dan salah tingkah. Ia menyentuh kedua pipinya, terasa panas dan berubah warna menjadi merah.

"Kita pacaran aja yuk," kata Gutam tiba-tiba yang membuat Raga langsung menoleh kaget ke arahnya.

"Ha? Kamu lagi mabok ya?"

Gutam tertawa. "Ngapain aku mabok, Ra. Aku serius... setelah pertemuan-pertemuan yang kita jalani, kenapa kita nggak pacaran aja?"

Raga menelan ludah. Dicium dan ditembak dengan laki-laki sempurna seperti Gutam ini impian semua wanita. Tapi upik abu yang hanya bekerja sebagai reporter ecek-ecek dan kucel seperti Raga ini, apakah cocok bersanding dengan CEO Rumah Sakit yang memiliki tiga cabang di Yogyakarta, Jakarta dan Bandung?

Nggak-nggak, gue pasti mimpi! Raga memukul kedua pipinya pelan. Gutam kembali tertawa. "Kalau kamu diam berarti jawabannya iya, ya...."

Kesimpulan singkat yang dapat Gutam tarik bahwa Raga menerima cintanya.

****
Tiga tahun berpacaran dengan lelaki yang monoton seperti Gutam membuat hubungan mereka begitu-begitu saja. Tak ada yang berubah selain Raga mendapat pujian dari teman-temannya karena punya pacar ganteng dan kaya raya.

"Kita makan aja ya di mall."

Raga bersandar dan mendengus. Gutam selalu menolak diajak nonton bioskop, mungkin selama tiga tahun berpacaran—kalau dihitung hanya sepuluh kali mereka nonton bareng. Itu juga Gutam selalu ketiduran di bioskop. "Aku nggak hobby nonton, Yang, mending kita makan aja." Kalimat andalan Gutam setiap kali Raga mengajaknya nonton.

"Terserah deh," balas Raga acuh tak acuh. Melihat wajah kekasihnya lelah, Gutam menyeringai geli dan mengelus pipi Raga. "Kenapa?" Tanyanya. "Ada masalah lagi di kantor ya?" Gutam hapal betul gelagat pacarnya setiap kali ada masalah di kantor.

"Kerjaanku memang selalu capek. Lari sana-sini ngejar berita hot."

"Sudah aku bilang resign saja, kamunya nggak mau."

"Kalau aku resign malah lebih ngerepotin, By. Cari kerjaan itu susah, apalagi umurku sudah dua puluh tujuh tahun. Mana ada perusahaan yang terima perawan tua yang udah nggak cantik lagi kayak aku kerja di perusahaannya."

Lagi Gutam tertawa, Gutam senang mendengar ocehan Raga walaupun terdengar menyebalkan. Tapi wajahnya itu loh, lucu.

"Nggak perlu dipusingkan, kerja di tempat aku saja mau?"

"Ha?" raga kaget. "Maksudnya jadi sekretarismu?"

Gutam diam sejenak, ia masih fokus menyetir mobil sampai mobilnya terparkir di basemant mall.

"Bukan, tapi lebih dari itu."

"Apaan?"

Gutam melepas seatbelt dan mengubah posisinya berhadapan dengan Raga. "Jadi Ibu dari anak-anakku, kerjaan yang nggak terlalu sulit dan menyenangkan, kan?"

Mulut Raga setengah menganga. "Mabok ya kamu?"

"Sayang, aku mana pernah mabok." Yah, Raga percaya kalau Gutam nggak pernah mabuk walaupun pernah beberapa kali ke club-club malam bersama temannya untuk party. Tapi teman-temannya sendiri yang bilang kalau Gutam payah dalam hal minum. Karena setiap kali dia minum, dia pasti muntah. Minum-minuman aneh tidak cocok di perutnya, itu alasannya dia lebih suka minum air putih yang katanya bikin badannya sehat.

"Terus?"

"Nggak ada terus-terusan. Aku ingin kamu menikah denganku."

Mulut Raga semakin terbuka lebar. "Kamu prank aku ya? Kamu bikin vlog? Sejak kapan punya youtube? Mana sih kameranya?" Raga membongkar isi mobil Gutam dan lelaki itu langsung menyentuh pergelangan tangan Raga.

"Stop sayang. Aku nggak bikin video apa-apa."

"Terus?"

"Kok terus lagi? Yah ayok kita menikah."

"Gu...." Raga masih tak bisa mencerna kumpulan kalimat Gutam yang berupa ajakan 'menikah'.

Diam cukup lama, Raga memijit pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Kamu melamar aku?"

"Yah..." Gutam mengangguk.

"Di basemant mall?"

"Why not?" Gutam mengangkat bahu.

"Cincinnya mana?"

Gutam membuka dasbor dan mengeluarkan kotak berisi cincin. Karena Gutam tahu cepat atau lambat ia akan melamar Raga. Gutam merasa kalau Raga wanita yang paling pantas untuk dia nikahi. Hanya saja Gutam belum pernah mendapatkan waktu yang pas dan juga keberanian yang cukup.

"Sejak kapan kamu mempersiapkan ini semua?" Entah itu namanya terharu, tapi Raga berhasil dibuat speechless dengan kejutan yang dibuat Gutam. Seorang Gutam bikin kejutan? Boro-boro. Tiap ulang tahun saja cuma kasih kue doang kok. Itu juga kalau ingat.

"Ng...." Gutam menggaruk kepala, mungkin bingung. Gutam nggak pernah anggap hal ini kejutan, karena Gutam hanya menyimpan cincin saja di dasbor tanpa tujuan apapun selain dapat waktu yang pas untuk to the point ajak Raga nikah.

"Aku mau!" Raga menjawab cepat. Untunglah responsnya positif dan membuat Gutam lega. Pekerjaan yang melelahkan bikin Raga terus-menerus berpikir ingin menikah saja, itulah alasan dia langsung setuju ketika diajak menikah oleh Gutam. Mungkin banyak mimpi Raga yang belum terealisasi, mungkin banyak keinginan-keinginannya yang belum terwujud.

Dan ketika apa yang selama ini Raga impikan tiba-tiba saja terwujud ketika beberapa bulan lagi harus menikah, Raga sampai rela menunda pernikahaannya demi sebuah mimpi.

"Egois kamu, Ra," kalimat Gutam yang masih dia ingat sampai kebawa mimpi dan membuat Raga terbangun dari tidur singkatnya di ruang tunggu bandara. Suara perempuan yang menyebutkan keberangkatan pesawatnya terdengar. Ia segera bergegas dan menarik koper menuju pesawat.

"Maaf Gu, menikah denganmu juga impianku, bahkan impian semua wanita. Tapi bekerja di stasiun tv besar ini adalah mimpi pertamaku."

.
.
.
TBC

MAAAKKKK, Dokter gantengku manaaa...

Sabar sabar, kita senang-senang dulu dengan kisah cinta Raga dan Gutam yoo.

Apakah Dokter ganteng semua umat akan menjadi orang ketiga orang keempat orang kelima atau orang yang tersakiti.

Sek sek, pesek. Sabar...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top