Kebetulan
Menjadi reporter itu harus siap dengan segala panggilan. Termasuk ketika tiba-tiba ponsel Raga berdering saat air lirunya nyaris jatuh ke bantal. Benar-benar sial!! Mimpinya tentang menjadi seorang host ternama di salah satu acara televisi dengan ratting tertinggi jadi hilang.
Nomor tidak dikenal berkelap-kelip di layarnya. Meski mata Raga masih kedap-kedip, Raga tetap berusaha mencapai ponselnya di nakas dan menempelkannya di telinga.
"Ya?" Suara Raga parau.
"Kamu baru bangun?" Sergah suara tak di kenal di seberang sana.
"Hoam..." Raga menguap. Ia melirik jam di atas nakasnya. "Masih pukul empat subuh. Elo yang nggak tidur-tidur ya?"
Laki-laki di seberang sana tertawa. "Maaf ya, saya sudah ganggu tidur kamu."
"Telaat!" Seru Raga jengkel. "Gue udah melek." Lalu Raga menatap layar ponselnya lagi sekilas. "Ngomong-ngomong ini siapa sih?"
"Oh iya, kamu nggak save nomor saya ya. Ini Vino, produser acada 'hidup sehat, hidup nikmat' di stasiun Number One Tv."
"Vino siapa?" Raga terdiam seketika, dan mencoba mengingat-ngingat nama familier tersebut. "Wha-what? Vi.. Vino? Eh... Mas Vino? Mas Vino?"
Vino kembali tertawa di seberang sana saat dia sudah bersiap-siap bekerja, Raga justru masih terlelap di kasurnya. "Harus berapa kali kamu panggil nama saya sih, Ra?"
"Maaf Mas..." hening sejenak, Raga masih syok karena Vino menghubunginya. Tidak biasanya.
"Oh iya, Ra, saya butuh bantuan kamu. Saya juga sudah konfirmasi dengan korlip kamu."
"Bantuan apa Mas?"
"Saya dengar kamu pernah menjadi host di acara tv lokal dan di acara youtuber terkenal di Jogja. Benarkah?"
"Iya Mas...."
"Jadi gini Ra, Gina, co-host saya nggak bisa hadir untuk dua hari ini karena orangtuanya meninggal. Kamu bisa nggak gantiin posisi Gina?"
"Ha?" Raga terjatuh dari kasur saking kagetnya sampai terdengar suara gedebuk yang kencang.
"Kita santai aja ya, saya nggak galak kok."
"I-iya Mas, tapi kenapa harus saya?"
"Karena saya percaya kamu, Ra..."
"Tapi, Mas...." Raga termenung, ia ragu. Tapi menjadi host adalah mimpinya sejak dulu.
"Ayolah." Vino memohon. "Atau kita ketemu langsung saja ya di kantor. Nanti akan saya jelaskan dengan detail sistem kerjanya. Saya berharap banyak dengan kamu, Ra."
Raga tidak bisa berkata-kata lagi sampai sambungan mereka terputus dan Raga merebahkan diri di atas kasur sambil menutup wajahnya dengan bantal. Ia berteriak. Bingung, apakah dia harus senang atau sedih.
***
Raga menggigit bibirnya, merutuki dirinya berulang kali sambil memukul-pukul pelan kepalanya.
"Bodoh! Raga bodoh! Bodohhh!" Iya bodoh, Raga mengakuinya. Kenapa dia harus diam saja saat Mas Vino memberitahu sistem kerja Gina dan memberi script untuk dia baca-baca di acara off air yang akan berlangsung nanti siang.
Iya nanti siang! Dan Raga nggak punya persiapan apa-apa selain harga dirinya dan script beberapa lembar.
"Geblek!" Serunya sekali lagi sebelum ia keluar dari bilik toilet dan bertemu dengan Sarah—host yang memimpin acara 'hidup sehat, hidup nikmat' .
"Kenape lu? Boker?" Sambar Sarah sembari mencuci tangannya di wastafel.
"Heheh, nggak Mba." Raga menggigit bibir dan ikut mencuci tangan di wastafel. Rasanya ia ingin menampar pipi kiri dan kanannya karena seperti mimpi akan berdampingan dengan Sarah. Sarah adalah salah satu host favoritnya yang sering ia tonton di televisi.
"Santai aja, Ra, gue tau lo bisa." Sarah memberi Raga semangat.
"Huff..." Raga menarik napas dalam-dalam. "Gue nggak pernah masuk acara televisi sebesar ini."
"Dulu Gina juga co-host yang baru terjun di dunia pertelevisian." Sarah berbisik. "Kaku banget kayak boneka. Tapi lama kelamaan, dia malah jadi co-host yang dicari-cari di stasiun televisi lain." Sarah memberi wejangan untuk membuat Raga semangat.
Ternyata apa yang di gossip-gossipkan oleh netizen tentang kepribadian Sarah yang jutek adalah salah besar. Sarah orang yang sangat amat ramah.
"Iyaa, Mba. Gue harus semangat! Karena ini impian gue sejak dulu," ujar Raga berapi-api.
"Nah, gitu dong...." Sarah menepuk pundak Raga pelan. "Lo tenang aja, ini acara off air kok." Sara mengedipkan sebelah matanya. "Yaudah yuk..."
Lalu Raga dan Sarah jalan berdampingan menuju studio sambil bercerita banyak hal tentang pengalaman lucu Sarah menjadi host. Dimana Sarah pernah merasakan yang namanya dibayar hanya dengan nasi kotak.
Sesampainya di studio, mereka tertegun saat melihat para kru berkumpul seperti meributkan sesuatu.
"Kenapa Vin?" Tanya Sarah saat menghampiri Vino. Wajah laki-laki itu tampak kebingungan sambil mengusap-usap wajahnya berulang kali.
"Dokter yang biasanya tampil nggak bisa ikut acara ini lagi," kata Vino yang membuat Sarah tertegun.
"Ha? Kenapa?"
"Gue nggak tahu. Dia batalin kontrak kita gitu aja. Ah sial!" Vino terlihat sangat kesal.
"Waduh, terus gimana dong. Nggak mungkin kita mulai acara ini tanpa adanya Dokter yang memberi nasihat di acara ini."
"Gila, bingung banget gue kenapa semua serba mendadak gini. Gina nggak ada, Dokter Roy juga nggak ada. Ah, sial!"
Mungkin ada sekitar lima belas menit mereka berdiam diri sebelum Nia, salah seorang kru datang menghampiri mereka.
"Mas Vin, kita dapat Dokter pengganti Dokter Roy."
"Serius?"
Nia mengangguk. "Dari riwayat yang saya baca, Dokter ini cukup bagus."
"Orangnya sudah datang?"
"Sudah Mas."
"Oke bagus!" Vino mengumpulkan seluruh kru dan memberi arahan tentang perubahan rencana. "Ayo kita mulai acaranya," katanya terakhir sebelum membubarkan kru dan Vino menatap Raga. "Lo pasti bisa... semangat!"
Lalu acara di mulai, Sarah membuka acara dengan apik dan Raga ikut menempatkan diri pada posisinya sendiri. Meskipun sempat cut beberapa kali karena Raga lupa script, tapi semua itu langsung bisa ditutupi.
"Okee deh, langsung saja kita tanyakan sama ahlinya tentang masalah tema kita pada hari ini. Kita panggil saja langsung Dr. Adhipa, Sps." Teriak Sarah saat memanggil bintang tamu.
Dan yang dipanggil pun langsung masuk ke dalam studio sambil tersenyum lebar. Melihat sosok yang sangat familier di mata Raga, perempuan itu pun terjatuh dari duduknya saat ia duduk di sudut sofa tempat duduk Sarah.
Gedebug! Suara terdengar sangat kencang sampai Vino berteriak; "Cut!"
"Loh, Ra, lo nggak apa-apa kan?" Sarah langsung membungkuk untuk membantu Raga berdiri.
"Nggak apa-apa, Mba. Sorry...." Raga salah tingkah.
"Bisa kita mulai lagi?" Tanya Vino.
Raga ragu untuk memulai syuting dalam keadaan canggung dan tegang seperti ini. Bahkan dia tidak berani menatap Dhipa yang ia yakini sedang menatapnya balik penuh kebingungan. Mengapa semesta begitu kejam mempertemukan mereka lagi.
"Ra...." panggil Vino.
Raga tersentak. "Iya, Mas, saya siap."
Dan acara pun berlangsung. Meski dalam suasana yang sangat amat mencekam, dan beberapa kali cut. Tapi Raga tetap berusaha seprofesional mungkin. Begitu pula dengan Dhipa yang berusaha curi-curi pandang ke arah Raga terus—berasa mimpi.
Ketika acara berakhir, tanpa basa-basi lagi Raga langsung pamit meninggalkan tempat acara.
"Ra...." seseorang yang Raga yakin betul pemilik suara itu adalah Dhipa sedang mengejarnya hingga ke basemant gedung.
"Jangan lihat ke belakang... jangan lihat ke belakang." Raga terus berdesis sepanjang jalan saat ia berusaha melangkah secepat mungkin dengan kakinya yang pendek.
"Ra, tunggu..." akhirnya Dhipa berhasil mendahuluinya dan berdiri di depannya—membuat langkah Raga terhenti.
Jangan mendongak! Jangan mendongak! Desis Raga dalam hati sambil berusaha terus menundukkan kepalanya.
"Ra..." Dhipa mengangkat dagu Raga dengan telunjuknya sehingga membuat mata mereka akhirnya berserobok.
Cukup lama saling menatap satu sama lain. Bola mata Raga berkaca-kaca, bahkan Raga sudah lupa kapan terakhir kali ia menatap Dhipa seperti ini.
"Ternyata benar, kamu beneran Raga." Dhipa tersenyum. Entah apa arti dari senyuman menyebalkan itu. Yang pasti, Raga membenci senyuman itu.
"Aku pikir kamu sudah mati," kata Raga sarkas dengan badan bergetar hebat.
Dhipa tertawa besar. "Hahahah, belum saatnya, Ra." Jeda sekenak. "Kamu apa kabar?"
"Jangan tanya kabarku.... bodoh!" Seru Raga penuh penekanan. Kedua tangannya terkepal geram.
Dhipa menghela napas panjang. "Apa salahku, Ra?"
Raga menaikan sebelah alisnya. "Gila ya kamu? Kamu tanya apa salah kamu?" Raga berkacak pinggang dan mengembuskan napasnya ke udara sambil tertawa.
"Lima tahun yang lalu...." Kalimat Dhipa berhenti sejenak. "Aku bisa jelasin semuanya."
"Maaf, Dhip, ngejelasin kronologis kejahatan kamu lima tahun yang lalu cuma buang-buang waktuku saja." Raga berjalan melewati tubuh Dhip. Tapi laki-laki itu menarik tangan Raga dan membuatnya berdiri di hadapannya kembali.
"Ra... please..." Dhipa menyentuh kedua bahu Raga.
"Apa?!" Tanya Raga galak. "Apa lagi!" Lalu Raga menangis. Tangis yang sangat kencang sampai ia tidak mampu melihat wajah Dhipa lagi.
Raga menunduk, badannya membungkuk dan kedua bahunya bergetar. Raga nyaris kesulitan berdiri dan ingin jatuh ke lantai sebelum Dhipa dengan sigap mendekapnya ke dalam pelukan, lalu mengusap punggung Raga.
"Sshhh... sshhh... i'm sorry." Dhipa memeluk Raga dengan erat. "Kamu tahu aku nggak bisa lihat kamu nangis, kan, Ra?"
Inilah Dhipa yang Raga kenal, sejak dulu, entah kapan itu, setiap kali Raga menangis... Dhipa selalu memberikan obat penenang dengan cara memeluknya.
Sangat berbeda dengan Gutam. Setiap kali Raga menangis, Gutam hanya diam dan menunggu sampai air mata Raga habis, baru ia berkata; "sudah nangisnya?" Kalau Raga mengangguk, berarti sudah waktunya Gutam memberikan tisu untuk Raga.
Ngomong-ngomong tentang Gutam, Raga jadi teringat dan langsung melepaskan Dhipa dari pelukannya. Buru-buru Raga pergi meninggalkan Dhipa—bahkan sampai berlari—menuju mobilnya.
Mobil Raga melesak jauh meninggalkan basemant. Dan Dhipa, dia hanya berdiri sambil menatap Raga penuh kebingungan.
.
.
.
TBC
Buat teman-teman pembaca Terbelahnya Muara, pasti ingat dong adegan Dhipa dan Kahyang saat ngobrol di rumah sakit dan Dhipa sempat membocorkan tentang masalalunya sedikit. Hayoo siapa yang bisa nebak di part manaa?
Hihihi, jd ini dia jawaban dari masalalu Dhipa yaah.
Happy reading anak-anak onlenku.
Dear Love, Mak Gutam hihi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top