Jarak
Hari ini Gutam bertugas mengantarkan Dokter gigi baru di rumah sakitnya untuk keliling dan memperkenalkannya kepada para management.
Namanya Drg. Felicia, tubuhnya ideal dan kulitnya putih, rambutnya sepanjang bahu berwarna kecokelatan. Dia lebih cocok menjadi Putri Indonesia sambil melambaikan tangan saat berjalan. Oke, lupakan tentang Dokter cantik yang tidak akan membuat Gutam terpikat. Karena bagi Gutam, Raga lebih cantik dan lucu dibandingkan wanita mana pun.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Gutam kembali ke dalam ruangannya dan duduk sembari menghadap ke arah jendela kaca. Menyaksikan gedung-gedung pencakar langit yang seolah-olah mengejek kesendiriannya di dalam ruangan ini.
Gutam mengotak-atik ponselnya dan melihat pesan terakihir dari Raga seminggu yang lalu.
Apa kabar ya dia?
Gutam menimbang-nimbang untuk menghubungi Raga, berulang kali ia membuka kontak Raga, lalu menutupnya lagi. Sampai ponselnya berdering dan nama Raga berkelap-kelip di layar ponselnya.
Gutam terekjut sampai tak sengaja menjatuhkan ponselnya.
"Ya Ra!" seru Gutam refleks saat telepon mereka tersambung.
"Kamu kenapa, Gu?"
"Eh, nggak apa-apa sayang. Ponselku jatuh..." Gutam memperbaiki posisi duduknya.
"Loh, kok bisa?"
"Ng..... Kaget kamu menelepon."
Raga tertawa kecil di seberang sana. "Saking nggak pernahnya ngebubungi aku ya, Gu? Sampai-sampai kaget waktu kuhubungi."
"Ng... bukan gitu, sayang...." Gutam menggaruk kepalanya bingung.
"Sibuk banget ya kamu, Gu? Sampai nggak ada waktu buat aku?"
Gutam menelan ludah dan tidak mengeluarkan sepatah katapun.
"Guuu....," panggil Raga lagi kali ini dengan nada manja. Ia berusaha mencairkan suasana yang sempat dingin. "Tanganku terkena luka bakar dan sempat dibawa ke IGD."
"Ha? Kenapa?" Sepertinya Gutam benar-benar terkejut.
"Gara-gara liputan terlalu dekat dengan lokasi."
"Tuh kan, aku kan sudah bilang kalau kamu harus hati-hati. Karena pekerjaanmu itu berbahaya, Sayang."
"Habisnya gimana dong, By. Seruuuuu! Heheheh..."
Gutam terikikik geli. Ia bisa membayangkan gimana ekspresi Raga saat ini. Dan Gutam sangat merindukan wajah lucu Raga ketika mengeluh.
"Terus sekarang kamu ada di mana?"
"Aku di rumah. Karena setelah kejadian itu aku diperbolehkan pulang."
"Baguslah, Ra, kamu jadi bisa istirahat yang cukup."
"Iya sih...." Raga membalikkan badannya di kasur. "Tapi aku bosan di rumah."
"Kalau aku ada di sana, pasti akan aku bawa kamu jalan-jalan, Ra."
"Emangnya kemana? Kamu aja sibuk terus. Diajak nonton juga nggak pernah mau...." Raga mendengus kesal.
"Ya diajak main ke rumah sakitku."
"Is!"
"Hahahaha..."
Lalu hening berkepanjangan sebelum Gutam memulai percakapannya kembali saat melihat jam di pergelangan tangannya.
"Yang maaf ya, aku tutup dulu teleponnya karena aku ada urusan penting."
"Okay," jawab Raga lemas. Sambungan terputus dan hanya hembusan napas berat yang keluar dari mulut Raga.
***
"Ra, gue dengar dari Mba Saras lo udah buat perjanjian kontrak untuk nggak liputan keluar kota naik pesawat ya?" Ujar Mas Anto sambil mendorong pintu kaca starbucks saat mereka mampir sebentar di teraskota sehabis liputan di tempat yang terik matahari.
"He'eh..." Raga mengangguk. Mereka berdiri mengikuti antrian.
"Kenape? Takut lu naik pesawat?"
"He'eh..." Raga mengangguk lagi.
Mas Anto melempar tatapan kaget pada Raga. "Yang bener lu? Masa udah segede ini takut naik pesawat sih."
"Yaah biasalah, Mas, masalalu gue." Raga malas menceritakan tentang kecelakaan pesawat yang membuat ayahnya meninggal. Raga hanya mau menceritakan hal itu kepada orang-orang yang menurutnya penting. Termasuk Gutam.
"Aneh amat sih lu." Mas Anto mengeluarkan ponselnya. "Eh ini gimana cara dapetin buy one get one?"
Raga menyikut Mas Anto. "Udah.... pake line gue aja."
"Sering lu ye beli minuman promo." Ledek Mas Anto.
"Namanya juga jiwa emak-emak, Mas. Kalau ada yang promo, kenapa harus repot beli yang full."
Mas Anto langsung tertawa sampai perutnya ikut bergoyang. "Mirip banget lo kayak istri gue."
Lalu mereka mendapat giliran untuk memesan. Setelahnya mereka kembali menunggu minuman yang dipesan untuk siap saji.
"Mba Raga..." barista memberikan minuman green tea cream frappuccino with caramel kepada Raga. Minuman favorit yang selalu Raga pesan setiap kali ke starbuck. Harus ekstra caramel.
"Mas Anto..." panggil barista lagi.
"Yaaa gua gua!" Mas Anto mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Ngapa pake absen segala sih, Ra?" Tanya Mas Anto pada Raga.
Raga tertawa. "Itu tandanya minuman lo udah siap mas."
"Oh gitu cara kerjanya..."
"Lah, elo nggak pernah ke starbucks?"
Mas Anto mengambil pesanannya dan menyedot minumannya pelan. "Ah, apaan nih rasanya. Enakan juga kopi di warung Bude Sum."
"Hahahaah ya beda lah, Mas. Gimana sih nggak bisa minum kopi mahal?"
"Mahal apaan? Gratisan doang nih."
Raga tidak berhenti tertawa melihat tingkah lucu Mas Anto. Mereka berjalan beriringan hendak menuju pintu keluar. Di pertengahan jalan langkah mereka terhenti dan minuman Raga sekita jatuh ke lantai.
Semua pasang mata langsung menatap ke arah Raga saat perempuan itu hanya bisa melotot dan tercengang menatap seseorang yang telah berdiri di hadapannya.
Jantungnya berdetak sangat cepat, ingin rasanya ia berlari sekencang mungkin. Tapi kakinya benar-benar kaku seperti dipaku dengan lantai.
"Ra, kenapa lo?" Mas Anto mencoba menyadarkan Raga. Tapi bibir Raga terus bergetar dan sulit berbicara.
"Raga?" Laki-laki berwajah familier yang Raga yakini kalau laki-laki itu adalah seseorang yang sangat amat ia benci di masalalu. Dan kini menyebut nama Raga dengan tanda tanya seolah ingin menyakinkah. Raga? Lo masih hidup?
"Raa, lo kenapa?" Mas Anto kembali menyentuh bahu Raga dan membuat Raga tersentak untuk segera sadar.
"Sorry...." hanya itu kata singkat yang mampu Raga keluarkan dari bibirnya yang bergetar. Lalu Raga melewati tubuh laki-laki tinggi itu dan keluar dari starbucks diikuti oleh Mas Anto.
Laki-laki tersebut mengejar langkah Raga, ia juga ingin memastikan apakah Raga yang dia temui sekarang adalah Raga yang sangat dia kenal dulu.
"Tunggu dulu..." laki-laki itu mencekal lengan Raga, dan Raga langsung menghempaskan sentuhannya.
Nggak mungkin dia harus bertemu dengan masalalunya di sebuah kota yang sangat amat luas ini.
"Lepasin!" Seru Raga tegas.
"Kamu Raga?" Tanya laki-laki itu. "Saya yakin kamu pasti Raga. Saya nggak mungkin salah."
"Iya kamu salah, saya bukan Raga. Oke?"
Raga berbalik badan dan menarik Mas Anto agar cepat-cepar pergi. Untungnya laki-laki itu tidak lagi mengejarnya. Raga sangat bersyukur.
Selama di perjalanan pulang, Raga hanya diam membisu. Pikirannya benar-benar kosong sampai dia mengabaikan panggilan masuk dari Gutam yang sempat berdering beberapa kali.
"Ra, lo nggak apa-apa kan?" Mas Anto berusaha bertanya apa yang terjadi dengan rekannya, tapi sejak setengah jam yang lalu Raga enggan berbicara.
"Kalau misalnya lo bete gara-gara kopi mahal lo jatuh, lo bisa gunain kupon line gue kok untuk dapati buy one get one," lanjut Mas Anto dengan hati-hati. Raga tahu Mas Anto bercanda, tapi maaf, ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.
Kepalanya bersandar di jendela kaca sambil menggigit kuku. Hanya ada keheningan sampai mobil Mas Anto berhenti di depan rumah Raga dan Raga turun tanpa mengucapkan salam perpisahan.
Ami membuka pintu rumah di ketukan kedua dan kaget saat Raga memeluknya dengan erat sambil menangis.
"Raa, lo kenapa Ra?" Ami tampak cemas. Tapi Raga hanya bisa menangis.
"Ra, please lo ngomong sama gue. Lo kenapa? Apa ada masalah di tempat lo kerja?"
Tangis Raga semakin pecah. Ami mengelus pundak Raga dengan maksud membuat wanita itu tenang.
"Lo bilang dunia ini begitu luas, Mi...." Raga berbicara sambil sesenggukan.
"Iya, memang.... Kenapa sih Ra?"
"Tapi kenapa gue harus bertemu dengan Dhipa, padahal dunia begitu luas!"
Ami langsung terdiam saat Raga menangis sekencang-kencangnya.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top