I Needed You To Stay


Gutam mematikan shower setelah hampir satu jam berada di bawah pancuran air hangat sambil merenung. Entah itu masalah pekerjaan, atau tentang Raga, keduanya merasuk ke dalam pikirannya. Tapi pikirannya lebih kepada; betapa teganya Raga menunda pernikahan mereka.

Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk setelah keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian rapi. Gutam mengambil ponselnya dan menghubungi Kalea.

"Apa?" Jawab Kalea ketus setelah nada tersambung. Sejak pertikaian terakhir mereka tentang keputusan Gutam yang tidak disetujui semua orang, Kalea memutuskan untuk berhenti bicara dengan Gutam.

"Mas boleh minta tolong?" Tanya Gutam hati-hati.

"Aku lagi sibuk di kampus. Kenapa sih?" Jawaban ketus Kalea membuat Gutam tersenyum kecil. Kalea ini kalau sedang ngambek, persis seperti Raga. Wajahnya imut-imut lucu.

"Ntar siang anterin makan untuk Bundanya Raga ya, Kal. Please...."

"Kenapa nggak Mas saja yang anterin. Aku ndak mau!"

"Kal..." Gutam berdesis. "Kabarnya BTS mau adain konser di Singapore. Ada tiket gratis untuk kamu dan teman-teman kamu." Bujuk Gutam pada adiknya yang sangat mencintai para grup idola papan atas di Korea tersebut. Setiap kali berada di rumah, Gutam selalu mendengarkan Kalea nyanyi lagu-lagu Korea sambil ngedance meskipun adiknya itu tidak jago dance. Bahkan  di kamar Kalea-pun banyak poster-poster BTS ditempelin di dinding.

"Yaudah, ntar mau dianterin jam berapa?"

"Adiknya Mas baik banget yaaa..." Gutam nyaris tertawa karena Kalea berhasil masuk perangkapnya.

"Besok-besok aku nggak terima sogokan ya!"

"Siaap Tuan Puteri."

"Lagian kenapa bukan Mas aja sih yang anterin makanannya?"

"Nggak apa-apa, nggak enak saja ketemu dengan keluarganya Raga."

"Kenapa harus Mas yang jadi nggak enakan? Yang batalin pertunangan kalian kan Mba Raga. Harusnya dia tuh yang merasa bersalah. Sampai sekarang aja belum telepon Papi dan Mami untuk minta maaf. Sudah kusindir juga lewat insta story tapi ora mudeng..." Kalea mulai mengomel.

"Kal, Mas tutup dulu ya teleponnya. Telinga Mas budeg dengar ocehan kamu terus."

"Is!" Kalea cemberut di seberang sana. "Yaudah, bye!"

Setelah sambungan telepon dengan Kalea terputus. Ponsel Gutam berdering lagi, kali ini nama Mami berkelap-kelip di layar.

"Assalamualaikum, Mi..." sahut Gutam santai.

"Kamu dimana?" Mami justeru menjawab ketus,  persis seperti Kalea.

"Jawab dulu salamku, kalau nggak mau dosa," ujar Gutam dengan logat bercanda.

"Iya, walaikumsalam. Kamu dimana sekarang?"

"Di apartemen, kenapa Mi?" Gutam mengambil kunci mobil dan bergegas pergi.

"Loh, nggak ke rumah sakit?"

"Iya, ini mau berangkat." Gutam mengunci pintu apartemen setelah keluar dari ruangan apartemennya.

"Buruan ya, Gu. Ada Dokter baru yang masuk hari ini."

"Dokter baru gimana, Mi? Perasaan kita nggak kekurangan Dokter." Gutam menuju parkiran mobilnya.

"Itu loh, Dokter gigi Varia resign karena mau ikut suaminya ke Malaysia. Jadi kita akan ada penambahan Dokter baru untuk menggantikan Drg. Varia."

"Okay, Mi. Aku segera ke rumah sakit ya...." Gutam menyalakan mesin mobil.

"Gu..." Mami kembali memanggil.

"Hmm?"

"Dokter baru itu anaknya teman Mami, tolong dibantu yaa, Gu...."

Gutam menarik napas panjang. "Iya, Mi. Aku tutup dulu ya teleponnya."

Setelah sambungan terputus, mobil Gutam langsung melesak jauh meninggalkan basemant apartemen.

****

Raga menyukai pekerjannya.

Bukan.

Bahkan Raga sangat amat jatuh cinta dengan pekerjaannya yang sekarang!

Betapa bersyukurnya Raga dipertemukan dengan produser dan para crew di tempatnya bekerja yang merespons Raga hangat dan humble.

Hari ini Raga benar-benar sibuk pergi ke beberapa lokasi untuk meliput bersama tim-nya, sampai-sampai nggak kepikiran untuk mengecek ponsel; apakah Gutam menghubunginya atau tidak.

"Gila ya lo, Ra. Dari tadi nggak ada capek-capeknya." Mas Anto, kameramen yang bertugas dengan Raga saat ini duduk di trotoar jalan sambil meluruskan kakinya. Berhubung umurnya yang sudah kepala empat dan perutnya juga buncit, jadi Mas Anto gampang kelelahan.

"Pernah dengar pepatah nggak Mas, cintailah pekerjaanmu seperti pekerjaan itu telah mendarah daging di tubuhmu." Raga ikut duduk di trotoar pinggir jalan setelah memberikan sebotol minuman dingin untuk Mas Anto.

"Gaya banget lo. Paling nggak sampe sebulan juga udah K.O."

"Berani taruhan???" Raga menyipitkan mata.

"Ah, kagak-kagak. Yang ada gue bakalan kalah ni sama kurcil kayak lo."

"Hahahah, bisa aja sih..."

Tak lama ponsel Mas Anto berdering nyaring, korlip mereka bernama Saras meminta Mas Anto dan Raga meliput kebakaran yang baru saja terjadi di kawasan kebon jeruk. Mas Anto sempat mengeluh karena hari ini mereka seperti kerja rodi. Tapi seperti biasa Raga malah menerima tugasnya dengan senang hati dan meminta Mas Anto untuk ngebut membawa mobil.

Untunglah jarak tempuh mereka tidak terlalu jauh sehingga saat tiba di tempat kejadian, api masih lahap menyantap rumah-rumah yang ada di sana.

"Mas, kita liput agak deketan ya..." Raga nekat berdiri di jarak dekat dengan api sampai hawa panas ikut menusuk kulit mereka. Mobil pemadam kebaran masih belum tiba, warga membantu memadamkan api dengan ala kadarnya dan Raga asyik meliput di tengah kehebohan orang-orang.

"Ra, agak majuan dikit. Bahaya...," tegur Mas Anto. Tapi Raga masih terus fokus pada liputannya.

"Misi Mba, ganggu banget sih. Elaaah...." komentar salah satu warga yang sempat berlari ke arah Raga dan tak sengaja menyenggol bahu Raga. Nyaris Raga terjatuh.

Tak lama kemudian mobil pemadam kebaran dan juga polisi datang dan langsung bergegas untuk memadamkan api. Semua petugas berhamburan dengan gesit untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sebuah kayu yang dilahap si jago merah jatuh mengenai lengan Raga sampai Raga dibuatnya terkejut dan terjatuh.

"Ra, lo nggak kenapa-kenapa?" Mas Anto tampak panik menghampiri Raga.

Raga meringis kesakitan karena lengannya melepuh terkena luka bakar. Mas Anto segera membawa Raga ke rumah sakit.

Bukanya ketakutan, Raga malah tertawa saat di bawa ke ruang IGD.

"Lo tuh udah gila kali ya, udah sampai parah begini malah masih ketawa?" Dumel Mas Anto nggak jelas.

"Gue ketawa karena lihat muka elu yang nggak nyantai, Mas."

Mas Anto menggaruk kepalanya. "Gue panik, setan!" Seru Mas Anto. "Kalau elo kenapa-kenapa ntar ribet urusannya."

"Heheh... lagian ini juga luka kecil kok. Lihat nih, udah selesai kan?" Raga memperlihatkan lengannya yang sudah diperban oleh Dokter.

"Yaudah deh, kita langsung balik aja ke kantor. Lagian jam kerja kita tuh udah habis. Anak gue udah nungguin gue di rumah...." cecar Mas Anto sewot.

"Iya-iyaa. Baru juga sehari kerja sama gue, udah sewot amat sih lo, Mas."

"Kesel gue sama bocah keras kepala kayak elu."

Setelah menyelesaikan pengobatannya, Raga dan Mas Anto keluar dari ruangan IGD. Raga langsung terdiam membisu saat melihat seseorang yang terlihat familier lewat di hadapannya dengan cepat seperti hantu. Laki-laki bertubuh tinggi dan menggunakan jas Dokter berwarna putih dengan wajah tampak samar-samar. Tapi Raga tak yakin kalau orang itu adalah orang yang Raga kenal.

Memangnya Raga seterkenal itu sampai punya teman seorang Dokter? Jangan mimpi!

"Eh kurcil, kenapa lo? Kesambet jin?" Mas Anto menyenggol lengan Raga dan membuat Raga kembali ke alam sadarnya.

"Ha? Apa?" Raga bengong.

"Ha he ho aja lo. Ayo buruan pulang..."

"Oke-oke...."

.
.
.
TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top