bab satu. tetangga
Tema: masa kanak-kanak
Prompt: tetangga, teman main setiap hari.
☆☆☆☆☆☆
Hari ini, dengar-dengar ada tetangga baru. Siapapun yang akan menempati rumah kosong di sebelah, Damian tak peduli. Ia harus belajar serajin mungkin untuk mendapat peringkat terbaik karena muak terus-terusan mendengar orangtuanya membanggakan sang kakak. Memang, kakaknya adalah orang terhebat di dalam hidup keluarga Desmond, tetapi hal tersebut pula yang menjadi beban bagi si bungsu, Damian Desmond.
Tirai jendela kamar ia sibak, penasaran dengan ribut-ribut di luar. Sejak kemarin, mobil-mobil juga orang-orang sibuk mondar-mandir ke rumah kosong di sebelahnya karena akan ditempati. Jujur, Damian cukup terganggu karena tak dapat belajar tenang, tetapi dia juga tak bisa membiarkan diri tak menyentuh buku. Iris hazelnya mengerling ke luar, mendapati gadis mungil berambut merah muda bak gulali sedang memeluk boneka singa dan menatap rumah kosong yang akan ditempati.
Ternyata, gadis itu yang akan tinggal di rumah sebelah.
Sejenak Damian mendengkus, memutuskan untuk menarik tirai dan menutup jendela tetapi gadis gulali tersebut menoleh padanya. Mata zamrud yang berkilau di bawah sinar matahari membuat jantung Damian tiba-tiba tak berdetak. Iris mengkilap itu menatapnya disertai wajah polos, mengangkat tangan-melambai-diiringi senyum lebar. Sapaan tersebut membuat semburat merah muncul di pipi Damian, refleks menarik tirai kasar guna menutup jendela. Kenapa juga gadis itu tiba-tiba menyapanya? Mereka juga tidak kenal! Apalagi, ini kali pertama mereka bertemu.
Namun, pikirannya mulai penuh dengan gadis gulali yang memiliki mata sehijau batu peridot. Damian mengacak rambut gusar, mana mungkin dia langsung jatuh hati dengan perempuan yang baru saja dia lihat dari jendela. Dasar tidak masuk akal.
.
.
.
.
.
Itu yang dipikirkan Damian kemarin.
Suasana pagi mendukung untuk jalan-jalan santai. Damian sudah siap dengan pakaian olahraganya-kaos hitam, celana training berwarna senada, sepatu kets hitam-putih. Ia sudah siap untuk jalan-jalan mengitari perumahan, tetapi kepalanya spontan menoleh pada rumah sebelah yang sudah ditinggali keluarga-satu orang pria, satu orang wanita, dan satu orang gadis kecil-tepat yang dilihat Damian kemarin. Spontan ia menggeleng kuat, kenapa juga dia tiba-tiba melihat ke rumah hantu yang sudah tak ditempati bertahun-tahun? Hanya karena penghuninya sudah ada, bukan berarti Damian peduli!
Tangannya sudah memegang pagar putih, membukanya agar bisa keluar dari area rumah. Di saat yang sama, entah sejak kapan, seorang gadis gulali juga keluar dari pagar rumahnya membuat Damian tersentak.
Oke, Damian harus stay cool. Dia mana boleh terlihat salah tingkah di depan tetangga baru yang belum jelas siapa, darimana, kenapa bisa tinggal disini, juga sejak bila dia keluar dari pagar putih itu. Padahal Damian baru saja melirik pintu cokelat tua rumah sebelah yang tertutup.
"Halo!" Adalah sapaan pertama yang terlontar dari mulut gadis kecil tersebut. Sekali lagi, iris hijaunya begitu mengkilap membuat jantung Damian berdegup tak karuan. Kalau dipikir-pikir, ini memang aneh. Mereka belum pernah bertemu tetapi kenapa dia sebegitu termangu ketika berhadapan dengan gadis itu?
"Uhm." Damian membalas cuek, mengalihkan pandangan dan tidak menatap lawan bicaranya sama sekali. Tangannya ia masukkan ke saku celana, bertingkah sok keren padahal jantungnya sudah berisik sejak tahu gadis itu juga keluar dari pagar.
"Aku Anya," Gadis bernama Anya itu mengulurkan tangan. "Anya Forger!" Ia berseru, memyebut nama lengkapnya.
Damian terkaget dibuatnya, tiba-tiba mengenalkan diri tanpa aba-aba. Ya, dia memang dikenal kaum-kaum hawa karena ketampanan, kecerdasan juga keluarganya, tapi baru kali ini ada yang berani mendekati dan langsung mengenalkan diri.
Iris hijau itu tetap berkilau, menunggu tangan yang menggambang di udara terjabat. Anya sudah bicara, berkumpul sejak dirinya menempati rumah baru bersama keluarga. Ibunya bilang kalau tetangga sebelah rumah memiliki anak bungsu yang sebaya dengannya. Bukankah tak masalah jika dia ingin mendapatkan teman? Apalagi, mereka seumuran.
Anya selalu memantau kapan lelaki itu keluar rumah. Bisa dibilang, kali pertama mereka bertatapan saat dia berkunjung sebentar ke rumah baru sebelum benar-benar tinggal. Ia melihat lelaki yang mengintip dari jendela lantai dua, bahkan dirinya terdistraksi di kala kardus-kardus miliknya masuk ke rumah-diangkut para pekerja-dan tak sengaja mengenainya-walau tak begitu terasa. Di tempatnya berdiri saat itu, tampak lelaki berambut cokelat mendekati hitam dan iris hazel-walau tampak samar-samar warnanya. Sang lelaki terus menatapnya, spontan membuatnya melambai-menyapa lelaki itu. Namun, bukan sapaan yang diterima, tetapi tirai putih yang ditarik dan jendela itu pun tertutup. Saat mendengar cerita sang ibu pula, Anya bertekad untuk berkenal dan berteman dengannya. Hanya saja, sampai detik ini, tangannya masih tak terjabat.
Di lain sisi, Damian menatap tangan mungil tersebut tapi tak berani melirik pada sang empunya. Ia tak sanggup melihat wajah manis gadis itu, wajah yang membuat jantungnya berdegup kencang. Sekarang pun masih begitu, merasakan detak tak beraturan diiringi rona merah yang muncul tanpa permisi.
"... Damian." Lelaki itu berucap, perlahan menoleh pada Anya. Sekali lagi tangan itu ditatap, meneguk ludah sejenak dan menggerakkan tangannya untuk menyambut tangan mungil tersebut. Di saat itu pula mereka bersentuhan, saling berjabat tangan dan beradu tatap.
Secercah kebahagiaan tergambar di wajah Anya, mendapatkan teman yang merupakan tetangganya. Ia antusias ketika lelaki bernama Damian menaut tangannya, bahkan menggoncangnya ke atas-bawah-saking senangnya. Namun, wajah tersebut membuat Damian malu, refleks melepas jabat tangannya dan memasukkan tangannya kembali ke dalam saku celana. Ia merasa hawa panas pada kedua telinganya, terlebih pikirannya mulai penuh dengan suara juga raut muka Anya.
"Damian?"
"Apa?" sahutnya, terdengar galak.
"Namamu cuma Damian? Apa nama keluargamu?"
"Buat apa kau tahu nama lengkapku?" tanya Damian ketus. Ia melihat tampilan Anya dari bawah hingga ke atas-mengenakan kaos hitam, celana training hitam dengan gambar kepala kelinci pada bagian mata kaki, sepatu olahraga merah muda dan rambutnya diikat ponytail menambah kesan imut. Apalagi, muka penasaran Anya tengah menatapnya sekarang.
"Aku sudah menyebutkan nama lengkapku, harusnya kau menyebutnya juga."
Tidak adil bagi Anya ketika kau menyebut nama lengkapmu pada seseorang, tetapi orang tersebut hanya memberitahu nama depannya. Dia penasaran tentu, dengar-dengar tetangga sebelah rumahnya ini keluarga ternama. Tidak heran sih, bentuk rumahnya beda dari rumah-rumah yang ada di perumahan ini.
Decihan tercipta dari Damian, tak mampu menahan penasarannya Anya dan menatapnya penuh tanda tanya. "Desmond," Ia menjawab, menyerah dengan lawan bicara. "Damian Desmond," imbuhnya. "Sudah jelas 'kan?"
Anya mengangguk disertai bibirnya yang membentuk huruf 'O'. Dia tak tahu apa kehebatan keluarga Desmond, belum. Namun, kedua orangtuanya sudah bercerita dari sebelum mereka pindah rumah. Nampaknya dia akan menuruti rasa penasaran pada keluarga Desmond, dimulai dari Damian. Terlebih mereka sudah berteman sekarang.
"Apalagi yang mau kau tanyakan?"
Gadis gulali itu menggeleng. "Tidak ada lagi, hehe." Ia menjawab sembari terkekeh. "Damian mau jalan-jalan pagi 'kan? Ayo kita jalan bareng!" ajaknya.
"H-Hah? Jalan-jalan denganmu?" Damian bertanya. Mendengar ajakan itu terdengar seperti ajakan berkencan di pikirannya. "Jalan saja sendiri!"
Ia berjalan lebih dulu meninggalkan Anya, sementara sang gadis tak mengindahkan ucapan Damian. Kakinya bergerak menyusul lelaki di depannya, mulai bercerita bagaimana dia bisa pindah ke rumah baru tersebut. Damian juga tak protes ketika Anya mulai bercerita, hanya saja ia harus menjaga imej dan menahan rasa untuk salah tingkah karena jarak mereka yang begitu dekat.
Antusiasme Anya tak luntur, apalagi saat dia menceritakan bagaimana kedua orangtuanya memutuskan untuk pindah ke perumahan ini. Kali pertama juga ia mendapatkan seorang teman karena terus-terusan dikucilkan. Ia juga tak mengerti mengapa orang-orang bertingkah seperti itu padanya, tetapi masa lalu tersebut dikubur dalam-dalam. Anya sudah memiliki teman yang berjalan di sisinya, ia tak perlu khawatir. Ia sudah berkenalan dengan Damian, memutuskan untuk jalan-jalan pagi sebagai awal pertemanan dan bercerita.
Terlalu asik bercerita, membuat Anya tak sadar kakinya tersandung tiba-tiba. Beruntung, Damian sigap memegang tangan gadis kecil itu agar tidak terjatuh. Ia terkejut saat melihat Anya tersandung, untunglah refleksnya cepat, segera memegang dan menarik tangan Anya untuk berdiri.
"Bodoh! Kalau jalan tuh hati-hati." Damian membentak. Kali ini jantungnya berdegup kencang bukan karena malu, tapi marah sebab takut gadis itu terjatuh ... juga takut jika dirinya tak bisa melindungi Anya.
Anya terkejut, memanyunkan bibir dan memainkan jemari takut. "Maaf ...."
Hembusan napas kasar lolos dari bibir Damian. Ia tak mau marah-marah, lagipula itu 'kan tak sengaja. Anya terlalu asik bercerita, dia juga tak tahu jika langkah gadis itu salah.
"Sudahlah, kau mau kemana?"
"Damian ... gak marah?"
"Gak, marahku dah lewat," ucap Damian, tapi wajahnya ia tutup sebagian karena menahan malu. Wajah Anya yang terlihat memelas saat ini benar-benar menggemaskan.
Anya pun terlihat senang. Ia takut dikucilkan lagi, padahal dia baru saja mendapat teman baru. Keduanya kembali berjalan di tepi perumahan yang mereka tempati. Gadis itu tetap semangat bertutur, Damian pun mendengarkan meski kadang-kadang dia tersipu melihat Anya.
Begitulah awal pertemuan mereka sebagai tetangga dan teman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top