8. Obrolan di Kantin
Sepasang mata cokelat terang tidak pernah absen menoleh dalam setiap sepuluh menit kepada perempuan yang sibuk bergelut dengan lembar soal dan jawaban. Langit kembali fokus ke soal-soal pendek di hadapannya, tapi jawabannya bisa memakan lima sampai sepuluh baris tergantung rumus yang mendukung soal tersebut.
Tidak! Langit tidak berharap kalau dia akan membantu dalam mengisi soal ujian ini, tapi semenjak Lintang masuk ke kehidupan Rinjani, membuat Langit selalu ingin memerhatikannya. Apalagi ucapan Ardhan tempo hari yang seolah mengingkatnya untuk tetap didekat Rinjani.
Ruangan seluas 4 x 5 meter ini tampak tenang, meskipun detik waktu membuat hampir seluruh penghuni kelas ini celingukkan berharap ada yang balas menatap dan sepakat untuk saling membantu satu sama lain. Sayang, Ibu Friska selaku guru Fisika tidak pernah beristirahat mengawasi anak muridnya. Hingga menit-menit terakhir Ibu Friska masih mondar-mandir di samping bangku mereka.
“Lang, lihat dong! Masa hampir dua jam ini gue baru ngisi empat nomor dari sepuluh soal, suka banget deh Ibu Friska nyiksa gue,” keluh Aldi.
“Kan tadi lo ngafalin, Al!” balas Langit.
“Otak gue mentok!”
“Makannya jangan kebanyakan nontonin bodi montok, nah kan otak lo jadi gampang mentok!”
“Langit! Aldi!” tegur Ibu Friska. Dari seberang sana guru cantik berkacamata itu, menghampiri bangku mereka. Hal ini membuat murid yang lain menatap ke arah mereka, atau bahkan mengambil kesempatan untuk bertukar jawaban dengan teman-temannya.
Langit dan Aldi menunduk, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Langit mendengkus kesal, kenapa teman sebangkunya ini hobi banget mencari keributan di saat waktu yang tidak tepat. Entah sudah berapa kali keduanya kena sembur oleh banyak guru di saat ujian, dengan alasan karena mereka selalu adu mulut. Memang tidak berisik, tapi lama-lama bisikkan mereka mengganggu dan sampai ke telinga guru.
“Waktu ujian untuk kalian telah selesai, sementara yang lainnya masih ada waktu lima belas menit lagi!” Ibu Friska meraih soal dan lembar jawaban Langit dan Aldi.
“Tapi, Bu. Aku belum selesai ngerjainnya, baru empat soal loh,” protes Aldi.
“Iya, Bu. Aku juga belum semuanya terisi, delapan nomor aja lagi otw, Bu!” timpal Langit.
“Kalian boleh keluar sekarang, masalah nilai nanti kalian bisa perbaiki di sesi remedial. Ini bukan soal tentang nilai, tetapi tentang kedisiplinan dan kejujuran. Dari awal ibu sudah bilang kalau pelajaran Fisika lagi pembelajaran apalagi ujian, semuanya harus fokus dan disiplin. Ibu ingin kalian fokus, disiplin, dan jujur. Kalian sudah menyetujui hal itu.” Ibu Friska mengedarkan tatapan, hingga tatapan tersebut terpojok di dua siswa yang kini menunduk. “Silakan, kalian keluar sekarang!”
Langit membuang muka dari Aldi dibarengi dengan dengkus penuh kekesalan, sementara Aldi hanya bergeming membuntuti Langit ke luar dari ruangan bercat biru yang dipenuhi pernak-pernik luar angkasa ini. Sebelum benar-benar keluar, Langit sempat menoleh ke arah Rinjani yang malah memberikan putaran bola mata tanda kecewa.
“Ke kantin yuk?” celetuk Aldi.
“Astaga! Lain kali kalo lo ngebet banget pengen cepat-cepat keluar dari kelas, gak usah ngajak-ngajak gue, Al! Masih mending lo diceramahinnya di sekolah aja, kalo gue sama Rinjani sama ibu gue, belum lagi adik gue pasti ngeledekin gue!” Langit mengusap-usap wajahnya kesal, setelah itu duduk di pilar.
“Emang gue ngajak? Gue hanya minta jawaban, tapi lo malah memperumit!” balas Aldi.
“Jadi ini salah gue, gitu?”
“Gue gak bilang, cuma gue mohon perhatiannya ke lo, udah itu aja.” Aldi mengangkat bahu merasa tak bersalah atas apa yang diperbuatnya. Lagi pun, setelah mendengar kata ada remedial dari Ibu Friska, Aldi tidak merasa kalau ini bencana.
“Serah deh! Kenapa lo pilih masuk IPA?” tanya Langit.
“Gue didaftarin sama ibu, gue mah tau-tau udah SMA aja. Masalah formulir, dan segala tetek bengeknya gue gak tau!” Aldi malah menendang udara kosong dengan kedua tangan memakan pinggang rampingnya.
“Astaga, Aldi!” Wajah Langit terlihat menyedihkan, hanya karena sikap Aldi yang terlalu santai dalam menjalani hidup. “Fiks, sekarang gue nyesel sebangku sama lo!”
“Dih, dari dulu yang minta sebangku sama gue siapa? Pas pertama masuk kelas setelah MOPD, tiba-tiba saja lo duduk di bangku gue, meminta izin dengan tutur kata yang sopan, berbasa-basi biar akrab dan gak ngerasa sendirian kalo di kelas, semua itu kan ulah lo. Gue mah simpel, ada yang mau sebangku sama gue ayo, enggak pun gue mah bodo amat,” terang Aldi panjang lebar, sedikit kesal.
Langit mengagguk pasrah, karena apa yang dilontarkan Aldi benar adanya. Dulu, Langit bingung hendak duduk di mana, enggak ada satu pun teman cowok saat SMP yang sekelas dengannya saat masuk SMA. Sebenarnya, masih ada beberapa kursi yang kosong, tapi entah apa yang dipikiran Langit saat itu hingga memilih kursi yang di sebelahnya Aldi.
“Lang, gak usah baper kali. Ini bukan tentang Fisika, tetapi tentang kedai penghapus lapar kita, ayo!” Aldi merangkul Langit untuk ke kantin lebih awal dari biasanya, toh, setelah ujian itu kelar memang waktunya untuk berpesta ria bersama jajanan kantin, kecuali grup manusia yang lebih memilih menitip ke temannya. Aldi selalu bilang, mereka adalah sekumpulan manusia enggak jelas yang hanya bisa memperumit orang lain dengan pesanannya yang bejibun.
Ruangan seluas lapangan bulu tangkis ini, masih terlihat sepi penghuni. Hanya beberapa murid yang mengisi beberapa bagian bangku kantin, mungkin mereka bolos atau izin ke toilet tapi menyangkutkan diri di sini. Meskipun di cap sebagai SMA favorit; terkenal akan kebersihan dan prestasinya, pasti ada saja murid nakal seperti ini. Terkadang para guru di sini pun, mempertanyakan kenapa bisa mereka mendapatkan nilai tinggi, sedangkan sikapnya melenceng dari kedisiplinan.
Aldi mengembuskan napas pendek melihat ekspresi Langit, seriuskah dia sekesal ini padanya? Tak perlu bertanya apa pesanan dia, Aldi langsung beranjak menuju kedai yang menjual berbagai macam mi instan dan minuman instan. Aldi memesan mi kuah tersedap se-Indonesia dan dua minuman jeruk.
“Lo masih kesal sama gue, Lang?” Aldi duduk di hadapan Langit.
“Enggak. Gue cuma kepikiran Anggita sama Rinjani,” balas Langit.
“Enak ya jadi lo, digilai banyak orang. Tembak sana, tembak sini, kayaknya lo gak akan pernah mengalami yang namanya cinta ditolak,” takjub Aldi, seraya menatap ke atas menjelajahi halusinasinya. “Langit Samudra Bintang, cowok dengan kepintaran rata-rata tapi serba bisa di bidang non-akademik.”
“Lo cemburu sama gue?” tebak Langit.
“Cemburu, karena lo digilai banyak wanita. Udah itu aja.” Aldi menatap pemilik kedai yang menghampiri dengan membawa pesanan di nampan. “Makasih, Bi. Nih, gue traktir karena gue ngerasa kalo lo masih kesal sama gue. Anggap aja ini sesajen permintaan maaf gue ke lo!”
“Thanks!” timpal Langit seraya menarik semangkuk mi dan minuman ke hadapannya. “Sebenarnya lo bisa dapetin cewek, dengan catatan lo pensiun dari tontonan berbau bok*p!” Langit memajukan wajahnya ke hadapan Aldi, lalu memelankan suaranya di ujung kalimat.
“Gue enggak secandu itu bego!” cetus Aldi.
“Karena lo gak candu, yaudah gak usah nonton-nonton lagi. Lagian buat apa sih nonton kek gituan?”
“Ya—“
“Stttt, jangan jadikan pembelajaran sebagai alasan, basi!” potong Langit cepat.
Aldi terdiam cukup lama, hingga bel tanda beristirahat berdering dengan nyaring. Tatapan Aldi mulai melayang menapaki setiap wajah perempuan yang melintas di hadapannya. Entahlah, kalimat yang diucapkan Langit seakan-akan menyengat perasaannya.
“Tatap terus sampai dapat, lama-lama gue tantang lo buat dapetin satu cewek berani, gak?” ujar Langit.
“Cewek itu enggak boleh dijadiin tantangan, Lang,” balas Aldi.
“Gue tau, maksud gue coba lo deketin cewek yang lo suka. Si Senja misalnya!” bela Langit.
Aldi menandaskan sisa mi instan di mulutnya. “Senja milik Fajar, Lang.”
“Emang mereka udah jadian? Orang si Fajar dingin, kaku, kayak tiang listrik!” Langit mendadak mengunci tatapan terhadap tiga perempuan yang baru saja memasuki kantin. Siapa lagi jika bukan Rinjani, Senja dan Salma.
“Entah, lagian sukanya gue ke Senja bukan atas dasar gue cinta ke dia, hanya suka biasa,” balas Aldi.
Langit masih menatap Rinjani, tapi semuanya berubah saat sesuatu yang dingin dan basah mencium pipi kanannya. Langit tersentak, dan mengehela napas pendek ketika wajah Anggita tertangkap di matanya.
“Halo Langit, gimana ujiannya?” tanya Anggita dengan menenteng minuman es jeruk, lantas duduk di sampingnya.
“Enggak buruk, kok. Kamu sendiri gimana?” Langit menatap penuh Anggita, membuat Aldi celingak-ceinguk merasa tak dianggap.
Sementara itu, Rinjani yang duduk tak jauh dari bangku yang ditempati Langit hanya bisa memutar bola matanya saat melihat adegan itu.
“Wajar enggak sih kalau gue cemburu sama hubungan seseorang?” celetuk Rinjani membuat kedua temannya menoleh bersamaan.
“Kok lo tiba-tiba nanya gitu?” Senja sangat heran atas apa yang Rinjani ucapkan, pasalnya dia tidak pernah bercerita tentang perasaannya. Bahkan saat dia ditodong kalau dirinya berpacaran atau ditanya soal rasa kepada Langit, dia malah membuang muka dan mengelak dengan seribu bahasa.
“Lo sedang jatuh cinta?” tuduh Salma, sambil menggigit sosis yang dibalut banyak saus.
“Kalo gue pacaran gimana?”
Kedua temannya semakin tidak percaya dengan apa yang Rinjani ucapkan, mereka sempat saling pandang, bahkan tangan Salma langsung rebahan di dahi Rinjani untuk mengecek kalau dia baik-baik saja.
“Lo sehat, kan?” Salma kembali bertanya.
“Gue sehatlah! Kenapa?” sewot Rinjani.
“Akhirnya, teman gue puber juga! Gue pikir lo gak nafsu sama apa yang namanya pacaran!” cerocos Salma.
“Biasa aja kali gak usah berlebihan!” Rinjani menoyor kepala Salma pelan.
“Emang lo jatuh cinta sama siapa?” tanya Senja, pelan.
“Ada sih, tapi dia enggak sekolah di sini.” Rinjani meneguk es teh dinginnya.
“Ganteng kah? Kaya kah?” seloroh Salma.
“Menurut gue sih ganteng, kalo kaya sepertinya iya. Gue belum terlalu kenal jauh, tapi gue ngerasain sesuatu ke dia,” terang Rinjani santai.
“Lo beneran cinta? Jangan sampai lo jatuh cinta ke dia karena lo punya dendam sama hubungan seseorang.” Senja memajukan wajahnya dan menatap Rinjani serius.
“Halah! Gini nih kalo berharap sama seseorang tapi dianya gak peka,” cetus Salma, membuat Senja mendelik garang kepadanya.
Rinjani terpaku, apa mungkin ini terjadi karena dirinya cemburu melihat kedekatan Langit dengan Anggita. Sejenak ia melirik ke arah sejoli tersebut, yang terlihat bahagia di sana.
“Enggak, gue beneran cinta kok!” tegas Rinjani.
Iya, gue beneran cinta. Serius! Hatinya meyakinkan, kalau dirinya benar-benar mencintai sosok itu, sosok yang beberapa hari ini hadir dalam hidupnya. Ya, kalian tidak perlu susah payah untuk menebaknya, kalian sudah mengetahuinya.
Sekali lagi, matanya menatap Langit dan Anggita di sana. Sesekali Anggita menyuapi Langit, kemudian becanda dan tertawa bersama.
Huft!
O0O
GIMANS BAB INI? SEMOGA TERHIBUR YAA❤
JANGAN LUPA UNTUK BACA LOVESICK GIRLS KARYA KAK NeissLyn YA❤❤❤
Ini cuplikannya❤
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top