6. Kisah Putri dan Pangeran
Rapunzel tidak terpenjara karena keadaan,
bahkan dirinya tidak sadar kalau dirinya sedang dipenjarakan secara lembut oleh ibunya. Berbeda dengan Rinjani yang seharian ini memenjarakan diri di kamarnya, tanpa sedikitpun memberikan tanda-tanda adanya kehidupan di sana. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan cantik itu, yang jelas dia berhasil membuat Rini dan Lia khawatir bersamaan.
“Rinjani! Jangan buat ibumu khawatir, Nak! Tante tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kita cintai, ibumu juga tahu itu. Tapi, bersedih terlalu lama itu tidak baik, dan Tante yakin bapak juga akan sedih melihat kamu begini!” Lia berseru lirih, dengan tangan mengetuk-ketuk pintu kamar Rinjani pelan.
Isak tangis Rini semakin menjadi. Kakinya melangkah hingga ke depan pintu, pipinya perlahan bersandar di pintu dengan tangan mulai mengetuk. “Jani, bapak selalu bilang kepada kita kalau dia membenci kesedihan yang gak berujung. Kamu masih ingat, kan?”
Di ruangan yang bisa dikatakan gelap—hanya bias cahaya yang terhalang tirai—perempuan bermata sembap dengan lingkaran hitam masih memertahankan kesedihannya meskipun air mata sudah tak berpihak lagi padanya. Baru saja kalimat yang dilontarkan Rini berhasil menggertak di dada, dan membuatnya mengembuskan napas begitu panjang. Rinjani ingat betul apa yang Heri ucapkan itu, tepatnya ketika sang nenek meninggal.
“Iya, Bu. Aku hanya ingin sendiri, Ibu dan Tante enggak usah khawatir, aku cukup baik-baik saja di sini.” Suara serak itu merambat lurus menabrak pintu, membuat dua wanita yang dicintainya mengembuskan napas lega.
“Jani mau makan sama apa?”
Masih dengan posisinya, Rinjani kembali larut dalam bayang-bayang yang entah sudah ke berapa kali berputar dalam otaknya. Apalagi kesaksian dari orang-orang mengenai sesuatu yang terjadi pada Heri, membuat otaknya enggan untuk mengalihkan perhatian atas kenangan bersama Heri.
“.... Saat bapak itu menyeberang, tiba-tiba ada motor dengan kecepatan tinggi kayak menyerempet gitu. Bapaknya jatuh membentur pembatas jalan, sementara si motor agak oleng tapi enggak sampai jatuh terus ngebut lagi....”
“Bapak mengalami pendarahan yang hebat di kep—“
Mendadak telinga Rinjani berdengung ketika pikirannya memutar apa yang dokter katakan semalam. Matanya menyipit, sementara tangannya menutup telinga dan bangkit dari tidurannya. Rinjani mengepal tangan dan meniup lubang yang terbentuk di sana, lalu didekatkannya ke telinga; terus seperti itu hingga dengung di telinganya menghilang.
Karena hal ini, Rinjani mengabaikan percakapan terakhir dengan Rini sampai dua wanita hebat di sana beranjak. Kesedihan ini membuatnya ingin sendirian, bersandar pada kenangan yang dipertunjukkan dalam bayang-bayang indah nan mustahil untuk dilupakan.
Rinjani menyingkap tirai; membiarkan sinar matahari siang bermain-main di kamarnya sesuka hati.
“Pak, aku minta maaf. Aku belum bisa bahagiain bapak, tapi aku berjanji akan membuktikan kalau mimpi yang sering aku ceritakan sama bapak akan aku capai.” Rinjani duduk di kursi balkon, sembari tersenyum. “I love you, Pak.”
Tak terasa air mata yang disangka sudah kering, kembali menunjukkan keberadaannya. Menetes, menyusuri pipi dengan lembut. Rinjani menyeka tetesan yang kedua kemudian tersenyum memandang langit, berharap bayangan wajah Heri tergambar di sana.
Langit mengingatkan pada langit yang lain. Lagi-lagi Rinjani tersenyum, pikirannya berubah seratus delapan puluh derajat saat sosok laki-laki berwajah gemas, berambut agak ikal, serta bermata cokelat terang itu hadir di dalamnya.
Lebih dari dua belas jam, Langit berada di sampingnya. Menopang sandaran, memberikan kehangatan, ketenangan, dan rasa semangat kepadanya; dia adalah yang terbaik. Mungkin sekarang dia tengah bergelut dengan pelajaran, atau malah dia bersembunyi di balik selimut meraih mimpi yang kesiangan.
Langit. Panorama yang tak pernah mengecewakan penduduk bumi, meskipun gelap gulita dia tetap menawan.
Baiklah, sekarang Rinjani mengharapkan laki-laki itu hadir di sampingnya.
Tapi ....
Jangan ada Anggita di samping dia.
O0O
Delapan jam telah terlampaui dengan sangat-sangat-sangat lambat, entah sudah berapa ribu kali mulut mereka melontarkan keluh-kesah, umpatan kecil kepada guru bahkan kepada waktu. Hari Senin semakin mengerikan ketika isinya dipenuhi ujian dan soal latihan, apalagi deretan pelajaran yang tersenyum di bawah hari ini adalah pelajaran penuh angka, rumus, dan tulisan layaknya sebuah koran.
“Halo, Langit!” sapa Anggita, saat Langit keluar dari kelasnya dengan kondisi wajah lebih buruk dari pagi tadi. “Kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?” Anggita begitu cemas, hingga menepuk pipi kanan-kiri Langit berkala.
“Iya, aku hanya butuh istirahat, kok. Ayo, pulang.” Langit merangkul Anggita, dan bibirnya masih bisa melambangkan senyum meski terlihat menyedihkan.
“Langit, aku saranin kamu naik kendaraan online aja, ya? Aku takut, nanti kamu jatuh, aku enggak mau kamu kenapa-kenapa,” risau Anggita.
“Enggak, Anggi. Aku baik-baik aja, percaya!” balas Langit, menatap Anggita serius. “Aku baik-baik aja, kamu enggak usah khawatir.” Langit kembali merangkul tubuh Anggita dan berjalan menuju tempat parkir.
Anggita menatap sendu wajah Langit yang kini sedang memasang helm, dadanya memburu ingin mengutarakan keresahannya sekali lagi. Namun, Langit cukup keras kepala untuk masalah ini, meskipun sedang tidak sehat dia selalu memaksakan diri.
“Setelah nganterin aku pulang kamu istirahat, ya? Jangan main keluar, main game, nonton film, atau apa pun itu. Aku enggak mau kamu sakit, aku ingin kamu bahagia, ceria, dan semangat seperti biasanya.” Anggita menunduk, mengempaskan napas panjang yang terdengar lembut.
Langit menatap Anggita, mengangkat kepalanya dengan lembut lalu mengangguk di bawah bayang-bayang senyum yang terukir di sana.
“Makasih, Anggi.”
Dalam perjalanan pulang, sejoli ini dipenuhi keheningan. Anggita memeluk erat tubuh Langit, dan bersandar di punggung mendengarkan degupnya yang menenangkan.
“Kamu jangan pernah ninggalin aku, Langit. Saat aku mau mutusin kamu di Jajaka, itu adalah sebuah kebohongan. Aku sangat mencintaimu, keluargaku sangat menyayangimu, makasih udah jadi langit terindah dalam hidupku.”
Motor yang melintas pelan di bawah pepohonan rimbun di sepanjang tepi jalan, membuat kalimat itu berhasil merayap memenuhi pendengaran Langit. Memang Langit bisa merasakan hal itu, keluarga Anggita sangat baik dan mempercayainya untuk Anggita.
“Makasih juga atas rasa cinta yang kamu hadiahkan untukku, Anggi.” Langit tersenyum. Ia tidak mau mengecewakan Anggita, apalagi menyakitinya.
Langit menghentikan motornya di depan sebuah rumah bercat krem, dan berpagar tinggi. Dulu, ketika mengantarkan Anggita pulang—setelah menembaknya—ia sempat enggak percaya diri saat bangunan besar ini adalah rumah keluarganya. Namun, Anggita tidak memedulikan hal itu.
“Ingat, kamu harus istirahat, jangan main, ya?” Anggita mengingatkan.
Langit mengangguk. “Iya, Anggi.”
Anggita tersenyum, mencium telapak tangannya, lantas menempelkan pada pipi Langit. “Udah, gih! Hati-hati!” Tangannya melambai lembut untuk melepas kepergian Langit.
“Dah!” Langit balas melambai, sebelum akhirnya beranjak dari hadapan Anggita.
Sekarang kalian tahu kenapa Langit bisa jatuh hati pada Anggita; dia baik, perhatian, meskipun terkadang suka cerewet atau kesal jika sudah menyinggung nama Rinjani. Kemarin saja, Anggita kesal karena secara tidak langsung Lia menyanjung Rinjani. Susah payah, Langit memulihkan mood Anggita yang turun drastis.
Rinjani, apa dia baik-baik saja sekarang? Maksudnya, apa dia sudah bisa menerima kenyataan pahit yang menimpanya? Langit berharap Rinjani sudah bisa menerimanya. Kendati, merelakan yang dekat pergi itu sangatlah sulit dan butuh waktu. Apalagi sosok Heri, sosok yang selalu Rinjani banggakan dalam keluarganya.
Rinjani. Kemegahan serta keindahan yang tak akan terenggut oleh waktu, pesonanya tidak pernah gagal dalam menghipnotis mata.
Sebelum tubuh ini rileks di atas dataran empuk, Langit memutuskan untuk singgah ke rumah Rinjani hanya untuk melihat kondisinya, setelah jutaan tetes air mata menyeret duka membangkitkan kenangan yang dulunya terasa indah dan kini terasa menyakitkan dalam diri perempuan itu.
O0O
Langit senja; momen di mana manusia menggantungkan renjana. Rinjani telah terduduk bersandar ke dinding tempat tidur hampir satu jam. Matanya menatap lurus ke luar pintu sekaligus jendela yang menghubungkan balkon dengan kamarnya.
Senyum Rinjani tercetak, saat sosok yang ditunggunya tiba. Suara motor Honda CB 100 mengguar pendengarannya, dan suara samar celoteh orang-orang di luar sana terdengar menyambut bernadakan keresahan ketika laki-laki itu menampakkan batang hidungnya.
“Jani?”
Tidak perlu susah payah menebak, karena suara itu sudah sangat akrab di telinganya. Rinjani membiarkan pintu tak dikunci seperti sebelumnya, ia menyilakan Langit masuk dan duduk bersama, bersandar pada dinding ranjang sembari menikmati langit senja.
“Gue denger lo gak mau keluar dari kamar dan gak mau makan, kenapa lo lakuin itu?” sambut Langit sembari duduk di samping Rinjani dengan sepiring nasi berhias sayur dan segelas air dibawanya.
“Gue lagi pengin sendiri, kejadian itu membuat gue kehilangan semuanya,” balas Rinjani.
Langit memang tidak bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan seorang bapak, mungkin jika hal ini menimpanya akan berlaku sama seperti Rinjani; sendirian meratapi kenyataan. Langit terdiam sejenak, sebelum akhirnya menyuapi Rinjani makan. Entahlah, tangannya memberikan intrupsi seperti itu, lagi pun enggak masalah bukan melakukan apa yang dulu selalu ia lakukan pada Rinjani?
“Gue emang gak tau rasanya bagaimana kehilangan bapak, tapi lo enggak seharusnya mengurung diri terus ngebiarin mamah sampe khawatir.” Langit kembali menyendok sesuap nasi lengkap dengan sayurnya.
Rinjani mengangguk lemah. “Gimana ujian lo?”
Langit mengangkat bahu. “Mungkin nilainya jelek, tapi gue udah siap sih dimarahi lo.” Sesendok nasi kembali melayang memasuk mulut Rinjani.
Rinjani menoleh, kemudian terkekeh. “Segalak itu gue?”
“Sadar diri aja dah!”
Tangan Rinjani menoyor bahu Langit pelan tetapi berhasil membuatnya terdorong. “Siniin tuh minum, kerongkongan gue ceket!”
“Nah, kan, makannya sadar diri, gak usah pura-pura. Udah dimarahin, dipukul pake bantal atau guling, dan yang paling nyebelin ngelibatin si Mija! Hobi banget lo nyiksa gue!” Langit memberikan segelas air kepada Rinjani.
Setengah gelas air berhasil Rinjani taklukkan, kemudian menyeka sisa air yang meluber di kedua sudut bibirnya. “Lo sendiri hobi banget buat gue marah, padahal gue cuma pengen lo lebih serius lagi dalam belajar. Lagian Tante Lia ngedukung gue buat terus ngelatih lo!”
“Intinya lo balas dendam ke gue secara terhormat gitu? Lewat jalur VIP?” cerocos Langit kembali menyuapi Rinjani.
“Iya, kenapa? Dari kecil lo itu udah hobi banget buat gue nangis. Ke senter bola, kesmash kok, ninggalin gue saat naik sepeda hingga gue jatuh, dan masih banyak lagi.” Rinjani menatap penuh Langit.
Langit menyodorkan suapan terakhir untuk Rinjani, setelah itu langsung menopang dagu balas menatap Rinjani. “Tapi, berkat semua itu lo jadi perempuan yang kuat dan punya keberanian.”
“Dan berkat kegalakkan gue, lo menjadi lebih disiplin, nilai lo bagus dan bisa masuk SMA favorit,” timpal Rinjani.
Akhirnya keduanya tertawa lepas setelah diselimuti kesedihan seharian ini, bersyukur bisa saling memiliki meskipun tidak terikat padahal rasa itu telah hadir dalam hati masing-masing. Percakapan ini membawa mereka pada waktu-waktu lalu, yang hanya bisa dijangkau oleh kereta bernama rindu.
Rinjani menidurkan kepalanya ke bahu Langit, dan Langit menidurkan kepalanya di kepala Rinjani. Momen ini yang akan membawanya pergi menjelajahi masa lalu yang penuh dengan keindahan.
“Dulu, kalo sore begini kita main bola sampai Magrib atau sepedaan sampai bapak dan mamah kita marah dan nakutin kita dengan Kalong Wewe.” Rinjani tersenyum mengingat masa-masa itu.
“Terus Langit ninggalin Jani, dan Jani nangis karena takut. Padahal yang benar-benar penakut itu Langit karena ninggalin Jani.” Langit menimpali yang juga memaparkan senyum.
“Besoknya Jani kesal dan bilang, kalau Langit enggak pantas jadi pangeran; yang pantas jadi pangeran itu A Ardhan atau bapak,” ucap Rinjani.
“Setelah itu, Langit sedih. Merasa bersalah karena udah ninggalin Jani. Tapi, A Ardhan hadir menjadi penasihat yang ngajarin Langit untuk tidak membuat Jani menangis.” Langit mengelus-elus bahu Rinjani.
“Dan A Ardhan bilang, kalau Langit udah layak jadi pangeran, dan meyakinkan Jani untuk tidak takut lagi. Kisah Putri Rinjani dan Pangeran Langit berakhir pada sore itu, di mana A Ardhan harus mulai fokus dengan dunia putih birunya.” Suara Rinjani mengecil.
“Kisah Putri Rinjani dan Pangeran Langit masih berlanjut hingga kini, meskipun kenyataan mulai mengubahnya secara perlahan,” ujar Langit, meskipun suaranya pelan tapi terdengar tegas.
“Kita akan bahagia dengan dunianya masing-masing?”
“Apa pun itu, terpenting kita sudah melewatinya bersama-sama.”
Langit dan Rinjani menghela napas panjang perlahan, agar masing-masing tidak mendengar arti lain dari keresahan itu. Langit dan Rinjani mengangkat sandarannya, begitu seruan Rini mengguncang di rumah ini.
“Jani, ada Lintang!”
Rinjani tersentak, menatap penuh wajah Langit sampai sebuah senyum usil tercetak di bibirnya. “Lo jangan cemburu, ya?” gurau Rinjani sembari beranjak dari samping Langit.
“Dih!” balas Langit yang perlahan matanya berubah sayu, entah karena efek kurang tidur yang semakin merajalela atau karena ucapan Rinjani. Tubuhnya kembali terempas bersamaan dengan hela napas panjang yang keluar dari hidungnya.
Perlukah membuat ucapan selamat datang untuk rasa cemburu?
O0O
SEMOGA TERHUNYAT BACA BAB INI🙈 GIMANA-GIMANA MASIH POEK YA?😪
JAN LUPA VOTE COMMENT AND SHARE YA GAISSS❤
JAN LUPA JUGA BUAT BACA JADI AKU SEBENTAR SAJA KARYA KAK VitaSavidapius❤❤❤
Cekidot!
"Abang sariawan, ya? Atau sakit gigi? Kok, diem, aja sih dari tadi?"
"Mika, please... Abang lagi banyak pikiran."
"Kalau gitu, ayo malam mingguan!"
Mika sudah berdiri dan mendekap alat tulis di dadanya. Setengah berlari dia memasuki rumah dan lima menit kemudian kembali dengan tas selempang kecil di bahu. "Ayo, Bang!"
Bukannya menjawab, Miko langsung berdiri dan berjalan ke rumahnya. Tentu Mika senang akhirnya dia bisa kencan dengan orang yang membuat dadanya berdebar. Hingga lima belas menit kemudian tak ada tanda-tanda Miko keluar dari rumah.
See you next chapter❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top