5. Sebuah Kepergian
Bumi adalah panggung pertunjukan, dan langit adalah sebuah lensa besar yang ditugaskan merekam semua yang terjadi di bumi. Sementara para bintang merupakan barisan penonton dengan suasana alam sebagai bentuk ekspresinya.
Jika kalian tanya bagaimana suasana alam sekarang? Angin berbisik, rintihan menyesakkan akan segera terjadi. Rintik air yang tersapu angin sebuah pertanda akan ada kepergian hari ini, hal itu seolah memeluk tubuh perempuan yang diimpit oleh dua manusia. Tiada henti pikiran dan hatinya melahirkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan. Ingin sekali, ia mengaborsi pikiran dan perasaan itu detik ini juga. Namun, semakin ia mencoba seakan semakin cepat kemungkinan-kemungkinan itu dilahirkan.
Rinjani hanya bisa menyembunyikan wajahnya di balik punggung Langit, sementara Rini terus memberikan aura positif dengan menepuk-nepuk pelan punggungnya. Sayang, tak sedikitpun aura itu diterima oleh tubuh Rinjani.
Bangunan megah bercat putih, yang dipenuhi lorong dan kamar rawat itu menjadi tempat yang mereka tuju. Cekatan, ketiganya menyisir lorong yang akan membawanya ke kamar di mana Heri berada.
Rinjani dan Rini berjalan dengan cepat, sedangkan Langit berusaha menghubungi Ardhan yang entah melayang ke mana setelah kuliah ini. Setelah memberitakan hal ini kepada Ardhan, Langit menyusul keduanya.
Dari kejauhan, manik cokelat Langit sudah bisa menangkap apa yang dua perempuan itu dapatkan. Rinjani begitu panik dengan tangis sepecah-pecahnya. Langit berlari dan memeluk dua perempuan itu dengan kuat. Kenyataan ini membuat seluruh kekuatan di tubuh dua perempuan ini terserap habis, dan sudah dipastikan mereka tak akan mampu berjalan.
Dinding yang menghimpit mereka seolah berubah menjadi rangkaian klise yang memutar semua kenangan bersama Heri. Tidak ada yang menyangka, kalau sosok pemimpin dalam keluarga Rinjani akan pergi secepat ini.
Langit dan beberapa perawat di sini membantu Rinjani dan Rini berjalan memasuki ruangan di mana Heri terbaring lemah tanpa daya. Dua perempuan itu menyergap tubuh laki-laki yang di kepalanya terdapat banyak luka dan beberapa tetes darah yang mungkin sebagian sudah dibersihkan oleh perawat di sini.
Ruangan yang dulunya lenggang berubah menjadi panggung orkestra yang menyenandungkan kesedihan. Entah sudah berapa tetes air mata mengalir; menyapu pipi ketiganya.
Laki-laki berjaket parka—berhias percikan air—mematung di samping Langit. Tangannya membekap mulut yang merintih, membiarkan buliran air menyelimuti mata jatuh menyeret duka yang sudah berkemul di dada.
Kepergian adalah tentang kenangan. Waktu menciptakan kenangan, agar bisa bangkit dari keterpurukan bukan untuk jatuh ke dalam bayang-bayangnya. Sungguh, kenangan itu akan lebih menyakitkan jika kita terjatuh di dalamnya.
Keluarga kecil itu saling peluk menguatkan. Dalam tangisnya, Langit tersenyum penuh makna kepada mereka. Bagaimanapun mereka adalah keluarganya juga, tanpa ragu ia turut melemparkan peluk untuk mereka.
“Bapak sudah tenang di sana,” ucap Langit.
Mereka mengangguk setuju, sembari menyeka air mata yang tak kunjung reda. Mulai detik ini mereka harus bisa merelakan kepergian Heri. Cinta bukan hanya tentang menerima, tetapi tentang merelakan juga.
O0O
Hari ini menjadi hari paling kelabu bagi Langit. Semalaman ia benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak—tepatnya tidak tertidur sama sekali—setelah apa yang terjadi pada Heri. Bisa pulang dari kediaman Rinjani, setelah memastikan temannya itu tertidur sekembalinya dari pemakaman.
Mata dengan kelopak hitam penuh rasa lelah dan kesedihan, menoleh ke arah kamar Rinjani. Tempat itu terlihat beda dibandingkan dengan hari biasa, tak bernyawa. Langit hanya bisa berdoa agar Rinjani bisa menerima semua kenyataan ini.
Selama perjalanan menuju sekolah, hanya satu yang memenuhi pikiran Langit yaitu Rinjani. Biasanya yang duduk di boncengannya adalah Rinjani, kini hanya kekosongan yang mengisi. Jangan tanyakan Anggita, karena dia selalu berangkat dengan ayahnya.
Seperti biasa, Aldi—teman sebangku Langit—sudah stand by di tempat parkir lengkap dengan senyumnya. Dia adalah pemilik kaset film dewasa, dan ibu dari pemikiran-pemikiran aneh yang salah satunya memengaruhi otak Langit.
“Tumben sendiri, Rinjani mana?” sambut Aldi.
“Semalam bapaknya meninggal,” jawab Langit begitu turun dari motornya.
Aldi terlonjak, matanya menatap tak percaya. “Se-serius?”
“Serius,” balas Langit singkat.
Langit dan Aldi berjalan berdampingan menuju kelas, dan semua orang yang mengetahui segala kebiasaan mereka mulai mengerutkan dahi. Bukan hanya ketidakhadiran Rinjani, tetapi mata lelah milik Langit juga mencuri banyak perhatian.
“Rinjani mana?” Salma—teman sebangku Rinjani—bergegas mengahampiri dua laki-laki yang mulai duduk di bangkunya. “Mata lo kenapa, Lang? Kayak zombi.”
“Salma, bisa gak tenang sedikit.” Aldi mengembus napas pelan. “Semalam bapaknya Rinjani meninggal,” ungkap Aldi membuat Salma tersentak bukan main.
Beberapa teman sekelas lainnya mulai berkumpul mengerumuni bangku Langit, dan terkaget-kaget ketika mendengar berita duka ini. Mereka mulai bertanya-tanya mengenai apa yang sudah terjadi pada bapaknya Rinjani. Namun, tak sedikit pun Langit meloloskan satu kalimat yang bisa menghentikan keriuhan ini.
“Udah deh ya, mending kita berdoa aja setelah itu kita sedekah seikhlasnya,” lerai Senja.
Langit tidak sanggup jika harus menceritakan apa yang semalam diceritakan oleh pihak rumah sakit dan beberapa saksi yang melihat kejadian ini. Tubuh Heri terpelanting hingga membentur pembatas jalan saat sebuah motor dengan kecepatan tinggi menabraknya. Sayang, nyawa Heri tak tertolong dan dinyatakan meninggal lima menit setelah pemerikasaan. Terlalu banyak darah yang keluar dari kepala dan mulut Heri.
Lantas ke mana si penabrak? Entahlah, tidak ada satu pun yang berhasil mengejar dia.
Langitnya Rinjani tengah kelabu. Tidak ada tanda-tanda kebahagiaan, meskipun beberapa temannya berusaha memberi secercah semangat. Bahkan, Anggita sekalipun tidak bisa menerbitkan senyum dari bibir pacarnya ini.
“Lang, aku ke kelas dulu ya? Kita kan mau ujian tengah semester, kamu yang fokus, ya?” Anggita melepaskan genggamannya dari Langit. “Dah, Al, gue pergi dulu.” Anggita menatap Aldi sejenak yang fokus membaca buku.
“Ya, Gi!” Aldi menoleh sejenak ke arah Anggita, sebelum akhirnya menatap ke arah Langit yang masih menampakkan kesedihan. “Lang, menurut gue, lo gak usah sekolah kalo keadaan lo seperti ini. Lo istirahat aja di rumah. Kalo Rinjani tau lo seperti ini, dia pasti marah banget sama lo, ditambah sekarang ujian. Bisa kebayang, kan, kalo lo dapat nilai kecil, dia bakal gimana?” Aldi memutar posisi duduknya, dan fokus menatap Langit. “Sumpah, lo kacau banget, Lang. Mau ke UKS gak? Gue anterin deh!”
Langit dan dunianya memaklumi sikapnya hari ini. Semua orang tahu kalau Langit sudah berteman sejak kecil dengan Rinjani, bahkan mereka selalu dituduh berpacaran yang berakhir pada pemojokkan sosok Anggita. Sudah banyak bukti yang tergambar kalau mereka memang dekat; saat kerja kelompok mereka saling mengisi; sama-sama protektif satu sama lain; dan keluarga mereka ketika pengambilan rapor terlihat seperti keluarga besar.
Langit tertegun mendengar apa yang Aldi ucapkan, jarang sekali sosok mesum di sampingnya mengungkapkan kalimat penuh perhatian. Aldi memang teman yang baik, jenaka, meskipun kondisi rumahnya sangat hampa, sesekali Langit menemaninya atau dia yang memilih main ke rumahnya. Meskipun semenjak masuk kelas sebelas hal itu sudah jarang mereka lakukan, semuanya karena Langit yang sibuk dari segala sisi. Lebih tepatnya sok sibuk.
Aldi menghirup udara kasar. “Jadi lo udah nonton itu film?” tanyanya pelan.
Baik, sekarang laki-laki di sampingnya mulai mempersembahkan kegilaannya, kendati Langit tahu kalau ini adalah ajang untuk menghiburnya.
“Gimana, lo puas? Lo itu udah dewasa Lang, coba melangkah sedikit lebih jauh agar hidup lo gak lurus-lurus aja kek jalan tol,” terangnya masih dengan nada pelan. “Mau pinjem lagi, gak?” tawar Aldi dengan tatapan penuh harap.
Langit menggeleng. “Gara-gara lo, gue hutang cornetto ke Rinjani. Kaset lo kepergok Rinjani, ya untuk tutup mulutnya gue harus ngasih cornetto selama seminggu,” balas Langit.
Aldi tersenyum. Setidaknya Langit berhasil berbicara setelah hampir tiga puluh menit dia membisu. “Ya udah kasih aja. Terus kalo lo pengin nonton aman nanti gue kirim link aja ya?”
“Enggak usah, gue gak mau nonton kek gituan lagi.” Langit mulai membuka halaman demi halaman buku matematika yang baru saja dikeluarkannya.
“Oke, tapi kalo nanti tiba-tiba kepengen, lo tinggal bilang aja, gak usah malu.” Aldi masih kukuh dengan hasutannya; mempromosikan bentuk kemesumannya.
“Mending lo tobat aja,” cetus Langit.
“Setelah nonton gue tobat kok, eh besoknya kumat lagi!” Laki-laki berkulit putih itu memanjakan kedua alisnya, seraya cengengesan.
Baru saja Langit hendak membalas ucapan Aldi, bel tanda upacara berdering nyaring membuat beberapa orang di ruangan ini meracau enggak jelas. Karena enggak mau berdebat dengan OSIS atau guru, mereka serempak berjalan beriringan ke lapang utama sembari memasang topi.
Upacara berlangsung begitu lambat, membuat banyak siswa mulai berkeluh kesah apalagi ketika sinar matahari mulai mengelus lembut tubuh mereka hingga berair.
“Kita kan mau UTS, kenapa harus ada upacara sih?” keluh Aldi yang berdiri di samping Langit.
“Kalo mau protes langsung saja ke kepala sekolah, bukan ke gue,” sahut Langit.
“Yakali. Gak kebayang otak gue kek gimana saat ujian matematika nanti; ngebul kek cerobong pabrik!”
Hampir menyentuh tiga puluh menit, upacara resmi berakhir. Sebagian murid memilih untuk langsung ke kelas melanjutkan sesi menghafal, sebagian lainnya memilih untuk bersuka ria di kantin, melupakan sejenak masalah ujian tengah semester.
“Lang, ke kantin dulu, yuk? Gue butuh asupan sebelum ujian,” ajak Aldi.
“Gue belum ngafalin, anjir!” balas Langit.
“Selow aja kali, masih ada remedial.” Aldi menarik tangan Langit secara paksa.
“Ya udah cepetan, dan gak usah narik kayak gini. Jatuhnya gue kayak cowok murahan!” ketus Langit seraya membanting genggaman Aldi. Laki-laki itu tertawa pelan, lalu bergabung dengan yang lainnya.
Langit memilih untuk menunggu di luar kantin, sambil memaparkan senyum atau balas menyapa ketika murid yang melintas memanggilnya. Iya, seramah itu sosok Langit. Maka jangan heran jika banyak murid di sini mengidolakan laki-laki berambut agak ikal ini.
“Beli satu doang?” tanya Langit ketika Aldi hadir menggenggam minuman jeli.
“Emang lo mau?” Aldi menyedot minuman jeli itu hingga tersisa setengah. “Ya udah, nih, gue kasih!” Aldi menyodorkan minuman jeli tersebut kepada Langit.
Langit mendengkus, tapi tetap dia terima dan minum sampai tandas; lumayan untuk amunisi tambahan. Setelah itu, Langit menambah kecepatan langkahnya, membuat Aldi memaki dan berceloteh enggak jelas kepadanya.
“Langit, woy, santai dikit, napa!”
Langit tidak peduli, dan segera memanjakan buku catatan matematikanya dan mulai fokus pada rumus-rumus yang terlukis di setiap lembarnya. Namun, sosok wanita berseragam dinas tiba-tiba hadir; mengubah suasana ruang kelas yang sebelumnya riuh mendadak hening ketika sepatu miliknya mengentak di ruang kelas XI IPA 3 ini.
“Mampus, gue belum ngafalin betul-betul!” kesal Langit.
Aldi menampakkan deretan giginya. “Gapapa, gue siap kok nemenin lo remedial,” bisiknya.
“Bacot!”
Sebelum memasuki ujian, Ibu Yeti melambungkan bela sungkawa atas kepergian orang tua Rinjani dan meminta ketua murid serta bendahara untuk melangsungkan acara sedekah selesai ujian ini. Namun, hal ini tidak melunturkan ketegangan yang terlukis di wajah para murid di XI IPA 3.
“Baiklah, siapkan selembar kertas di atas meja beserta alat tulis dan penghapusnya. Buku paket dan buku catatannya harap dikumpulkan ke depan.” Ibu Yeti menyapu habis wajah anak didiknya tanpa terlewat satu pun.
Satu persatu siswa mulai bangkit mengumpulkan buku catatan dan buku paket ke hadapan Ibu Yeti yang duduk di sana sembari mengisi buku agenda. Barulah setelah semuanya siap, Ibu Yeti mulai membagikan secarik kertas yang berisi lima soal dengan masing-masing soal melahirkan tiga anak pertanyaan.
“Ibu tidak akan mentoleransi segala bentuk contekkan, jadi kerjakan sejujur-jujurnya dan seserius mungkin. Yang diseriusin bukan hanya cinta pada pasangan, tapi pada pelajaran yang menjadi tolak ukur masa depan kalian, paham?” jelas Ibu Yeti.
“Aseek! Mantap Bu!” seru Aldi dengan sekali tepuk tangan, tak peduli semua pasang mata di ruangan ini menatap ke arahnya termasuk Ibu Yeti.
“Baiklah, selamat mengerjakan!”
Begitu secarik soal berbisik, seluruh siswa langsung menunduk fokus terhadap lembar kosong; mulai menghitung. Semua rumus yang pernah berkencan dengan otaknya tak pernah hadir meskipun sekuat tenaga mereka mengundangnya kembali.
“Ya Tuhan tolong hamba!” jerit mereka dalam hati.
Berbeda dengan mayoritas kelas XI IPA 3, para deretan murid yang digemari guru mereka tampak fokus, menunduk setunduknya, tidak peduli seruan halus dari arah manapun.
“Ck!” Aldi berdecak sebal begitu berhasil mengamati suasana kelasnya. Ia bersandar menatap penuh lembar soal yang dipenuhi kolaborasi antara angka dan huruf.
“Itu bukan renungan Aldi ... kerjakan!” semprot Ibu Yeti.
Aldi terlonjak, dan terkekeh pelan sebelum akhirnya menunduk setengah melirik ke arah Langit. “Nyontek nomor satu dong, Lang.”
O0O
SEMOGA MASIH NYAMAN DENGAN CERITA INI😢
JANGAN LUPA VOTE COMMENT AND SHARE YA GAISSS❤
GAK VOTE, GAK ASIK!
JANGAN LUPA UNTUK MAMPIR KE HEART TO BREAK by tuteyoo EVRIBADIH!!! KALIAN AKAN DIAJAK BERKENCAN DENGAN AVA DAN ALBY❤
SEE YOU❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top