20. Kakak

Tidak ada malas-malasan bagi Rinjani, meskipun sekarang hari libur Rinjani selalu bangun tepat waktu. Dia membersihkan kamarnya, kemudian mandi yang dalam sekejap kamar seluas 2 X 3 meter ini berubah menjadi panggung pertunjukan, yang dikerumuni penonton lengkap dengan blitz ponsel yang menari di atas kepala mereka. Rinjani tebar pesona, layaknya sebuah bintang papan atas sebelum akhirnya suara kaca pecah terbiaskan menjadi suara paling merdu. Meskipun pada akhirnya, bayangannya di cermin yang membuatnya malu sendiri. Dalam sekejap ia mundur dari konser luar biasanya.

Sabtu pagi, Lintang akan mengajaknya bersepeda keliling Bandung. Terakhir kali bersepeda, sekitar tiga minggu yang lalu di mana hubungannya dengan Langit masih baik-baik saja. Terkadang takdir itu lucu, setelah dirinya jatuh cinta dengan orang lain, yang semestinya bisa bahagia seutuhnya, malah merasa ada yang kurang. Rinjani merasakan hal itu, semenjak hasil latihan kemarin mengambil fokusnya.

Rinjani mengakhiri mandinya dengan pikiran tidak menentu, meneriaki kebodohan yang telah terjadi. Bergegas Rinjani mengenakan kaus berwarna putih dengan garis-garis hitam, dan celana olahraga sekolah.

Sebelum ke lantai dasar untuk menikmati sarapan bareng Rini dan Ardhan, Rinjani memilih untuk bersantai terlebih dahulu di balkon. Huft! Semalam ia melupakan cokelat hangat di sini sendirian, Rinjani tidak peduli dan segera memotret pemandangan di hadapannya untuk dikirimkan ke Lintang.

Tatapan Rinjani teralih ketika laki-laki yang tengah menaiki sepeda di bawah sana melintas, dia Langit. Awalnya Rinjani kaget ketika Langit pagi-pagi sudah terbangun dari tidurnya, biasanya di hari libur dia selalu bablas kalau bukan dirinya yang menggebrak mengajaknya olahraga. Namun, sekarang melihat dia bangun pagi sudah menjadi hal biasa.

Rinjani menyadari sesuatu, Langit dan Anggita memang sepasang manusia yang sangat cocok untuk dipersatukan. Kebiasaan baru Langit membuktikan jika keduanya benar-benar saling mencintai, Anggita berhasil meruntuhkan kebiasaan buruk Langit ketika pagi. Toh, hampir selama ini Rinjani tidak pernah absen memantau kebiasaan Langit meskipun ia harus berdamai dengan kobaran lembut di dada.

Lintang

| Pagi juga, Rin. Bentar lagi aku otw, eh mau sarapan bareng atau gimana?

Rinjani melemparkan senyum, dan tanpa berpikir panjang ia langsung membalas pesan Lintang dengan mengajaknya bersarapan bareng. Rinjani juga merekomendasikan Bubur Ayam Mang Ujang, begitu juga dengan Nasi Gorengnya.

Lintang

| Boleh tuh, aku otw sekarang.

Lintang yang sudah siap berangkat ke rumah Rinjani yang memakan waktu kurang lebih setengah jam, tiba-tiba terhenti ketika sosok Beni muncul di balik pintu dengan sekantung keresek. Dia menelisik dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

“Mau ke mana?” tanya Beni, datar.

“Sepedaan, kenapa?” Lintang mengembuskan napas pendek, lalu pergi.

“Beberapa hari yang lalu gue ngikutin lo jemput Rinjani, dan gue ketemu Anggita sama cowoknya mungkin,” ungkap Beni membuat Lintang menghentikan langkah lalu menatapnya dengan sangat dingin.

“Jangan gangguin mereka, dan jangan sekali-kali nyentuh Rinjani. Asal lo tau, Anggita masih lemah.” Dalam beberapa detik emosi Lintang tersulut, tanpa sengaja pikirannya kembali menampilkan segala kehancuran dibalik kebejatan.

“Gue cuma mau minta maaf,” timpal Beni, masih dengan ekspresi datarnya.

“Cara meminta maaf terbaik buat dia hanya satu.” Lintang menjeda kalimatnya dan sorot mata yang begitu tajam. “Lo. Jangan pernah muncul lagi di hadapan dia.”

“Bagaimana dengan lo?”

“Gue lagi berusaha memperbaiki segalanya.” Tatapan Lintang melemah, deru di dadanya kembang kempis. Mengingat segala tindakan Anggita yang berusaha untuk terlepas darinya.

Beni tersenyum merendahkan. “Lo ngemanfaatin Rinjani buat deketin Anggita?”

“Gak! Gue kenal Rinjani jauh sebelum gue tahu kalo mereka satu sekolah,” tegas Lintang.

“Oke.” Beni tersenyum tipis, berlalu masuk ke kamar kos.

Lintang menghela napas panjang, membalikkan badannya dengan tegas lalu pergi. Apa yang dikatakan Beni barusan, hanya omong kosong. Ia tidak pernah berniat untuk memanfaatkan siapa pun termasuk Rinjani. Ia tulus mencintainya.

Laki-laki bersweater putih itu, menarik salah satu sepeda yang berderet di bawah tangga depan ruang tengah. Lintang hanya membalas sapa teman satu kosnya yang tengah menonton televisi sambi mengemil dengan senyuman. Beni telah merusak mood-nya pagi ini dengan pembahasan yang tentu saja menyulut emosinya. Jika bukan karena Beni adalah kakaknya, Lintang enggak akan mau seatap dengannya. Selain telah membuat luka di masa lalu, terkadang dia merepotkannya.

Suasana di luar kos sangat menusuk seperti biasa, secepat mungkin Lintang langsung mengayuh sepedanya. Sial! Ucapan Beni masih bertengger di pikirannya, Lintang menjadi sangat was-was jika laki-laki itu berkeliaran. Pertama, luka yang Anggita dapatkan sepertinya tidak akan pernah sembuh. Lintang bisa merasakan hal itu ketika tatapannya bertegur sapa. Kedua, Rinjani. Jangan sampai Beni menyentuhnya, kalau bisa bertemu pun jangan. Lintang ketakutan. Ya, Lintang menyesal mengenalkan Rinjani ke Lintang saat di Jajaka. Jauh sebelumnya, ia seharusnya tak perlu membawa Rinjani dalam cerita-cerita yang menyinggung kakaknya.

Dengan napas yang terengah, Lintang sampai di komplek perumahan di mana rumah Rinjani berdiri. Ia mengurangi kecepatan sepeda, seraya menenangkan irama dada yang membara. Sekali lagi Lintang menghela napas panjang, lalu masuk ke halaman rumah Rinjani.

Lintang mengirimkan pesan kepada Rinjani, memberitahu jika dirinya sudah tiba. Sembari menunggu Rinjani datang, Lintang duduk di anak tangga yang mengantarkannya ke beranda rumah. Matanya melayang menatap langit, yang sesekali burung-burung bertegur sapa dengannya.

“Hai, Kak!” Rinjani muncul dari garasi rumahnya dengan mendorong sepeda.

“Hai. Aku pikir kamu masih siap-siap,” balas Lintang.

“Aku enggak kayak cewek kebanyakan, yang ngabisin waktu pergi dengan merias diri. Aku, kalo udah mandi ya udah enggak pake apa-apa, atau paling tidak pake pelembap sachet-an!” Rinjani duduk di samping Lintang.

“Dan, kamu emang udah terlahir cantik,” tambah Lintang, menatap Rinjani.

Rinjani terkekeh pelan. “Kakak cape, ya?”

Belum sempat Lintang membalas, Rinjani sudah menggaet sebotol air yang bergeming di tubuh sepeda.

“Thanks!”

Rinjani melihat Lintang yang tengah menenggak air, jakunnya naik turun bersamaan dengan itu bulir-bulir peluh hilang dari kulit wajahnya. Dalam beberapa detik, Rinjani menjelajahi bayangan bersama Lintang—laki-laki yang ia percayai sebagai kekasihnya.

“Kenapa?” Lintang menutup kembali botol berwarna hitam itu lalu menyodorkannya ke Rinjani.

Rinjani tersenyum dan menggeleng. “Enggak.”

Tanpa mereka sadari sepasang mata mengarah kepadanya, ia menahan napas sejenak sebelum akhirnya melewati mereka sembari menuntun sepedanya.

“Pacaran terus sampe babi rusa berubah jadi babi kijang,” sindir Ardhan.

Keduanya menoleh menatap laki-laki yang melintas begitu saja, tentu saja hal ini membuat Lintang terkekeh sementara Rinjani ingin sekali menimpuk kakaknya karena telah merusak momen kebersamaannya.

“Jomblo mana paham!” seru Rinjani.

“Bang Ardhan!” susul Lintang, membuat laki-laki bercelana selutut itu memutar badannya.

Ardhan menatap Lintang yang menghampirinya, dengan Rinjani mengekorinya. Dia tampak kesal, sekaligus penasaran apa yang akan Lintang lakukan pada Ardhan.

“Kita sepedaan bareng, gimana?” tawar Lintang.

Rinjani mengerjap, kenapa Lintang harus mengajak Ardhan. Tidak setuju! Rinjani hanya ingin menghabiskan waktu bersama Lintang saja, tanpa ada campur tangan orang lain. “Ini kan acara kita, Kak!”

“Kenapa emang?”

Ardhan menatap Rinjani yang mendadak seperti bocah ingusan di depan Lintang, padahal sebelum dekat dengan Lintang dia seperti singa kesurupan. Meskipun begitu, Ardhan selalu menyayangkan sikap Rinjani karena telah melepas Langit begitu saja. Sudah dua minggu, laki-laki berambut agak ikal itu tak bermain ke rumahnya. Namun, Ardhan mengerti dan tak punya wewenang untuk mengatur Rinjani. Lihat dia sekarang, Lintang sudah menjadi pawangnya.

“Emang aku mau kalian ajak? Enggaklah!” Ardhan menaiki sepedanya dan melesat meninggalkan mereka.

Lintang menghela napas pendek. “Rin, aku cuma mau deket sama kakak kamu agar hubungan kita semakin lancar.”

“A Ardhan orangnya nyebelin, Kak. Enggak betah lama-lama kalo deket sama dia, bawaannya perang mulu,” terang Rinjani.

“Yaudah lain kali aja. Mau sarapan sekarang?” Lintang merangkul Rinjani seraya berjalan menuju dua sepeda yang terparkir di sana.

“Bilang aja udah lapar,” sewot Rinjani.

Lintang terkekeh. “Emang lapar!”

O0O

Jumat Malam Kutunggu Kau Putus update✨
Setelah melewati banyak fase akhirnya tertulis juga bab 20 ini😂

Ancang-ancang dulu buat konflik badas🤘😂

Jangan lupa VOMENTnya geis❤

Salam,
Tokohfiksi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top