2. Teman Dekat

Kekecewaan terberat adalah ketika waktu merenggut semua keindahan lebih cepat dari yang diharapkan. Rasanya baru beberapa menit keindahan itu menghujani sepasang kekasih yang kini tengah mengobrol tanpa tujuan sebagai usaha penguluran waktu. Tidak ada salahnya, kan, mereka melakukan hal ini? Tidak! Semua orang tahu, ketika sepasang manusia sudah terlena karena cinta, dunia serasa milik berdua, dan perputaran waktu seolah mereka yang mengatur. Lebih lambat lebih baik.

“Besok sore kamu harus datang ke rumahku, ya?” kata perempuan pemilik bola mata hitam di ujung percakapan dengan kekasihnya.

Laki-laki yang duduk di motor berpunggung besar itu, terdiam; mengingat-ingat jadwal yang akan ia lakukan besok sore. “Oke, besok aku datang,” balasnya seraya melebarkan senyum.

“Awas jangan telat apalagi sampai lupa!” ujar perempuan itu penuh penekanan, dan menajamkan tatapannya kepada sang kekasih.

“Iya, Anggita Novitasari kesayangannya cacing arab,” jawab laki-laki itu dengan ekspresi yang dibuat-buat.

“Akhirnya ngaku sendiri, bye-bye cacing arabku!” salam Anggita seraya pergi dan melambaikan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menjinjing sebuah totebag penuh belanjaan.

“Bye-bye kutu buku koreaku!” balas laki-laki itu senang.

Banyak alasan kenapa si cacing arab ini, mencintai Anggita. Selain baik dan pintar, Anggita itu manja, feminin, sabar, dan perhatian. Awalnya ia tak mengira kalau Anggita akan mengucapkan kalimat menyakitkan seperti beberapa jam lalu, tapi ia menyadari dan memaklumi apa yang Anggita lakukan karena hal itu bukanlah hal yang pertama Anggita temukan pada dirinya. Sekarang, ia akan berusaha sebisa mungkin agar tidak membuat kekasihnya itu patah hati untuk ke sekian kalinya. Ia sudah tidak bimbang lagi seperti sebelumnya.

Langit menepikan motornya sejenak, saat ponselnya bergetar di tengah lamunan yang menayangkan keindahan kekasihnya. Sebaris nama terpampang di layar ponselnya, tanpa berpikir panjang Langit langsung menggulir ikon telepon ke atas.

Lo di mana sih, Langit Samudra Bintang?

Langit malah terkekeh mendengar kekesalan temannya ini. Bagaimana tidak, toh, temannya ini telah mengirim pesan sekitar setengah jam yang lalu meminta dijemput dan dirinya malah asyik keluyuran di tengah keramaian jalanan.

“Gue masih di jalan, bentar lagi juga nyampe, lo masih di Jajaka, kan?” tanya Langit enteng.

Dia mendengkus.

Iya, gue masih di Jajaka. Kayaknya lo sengaja banget buat gue nunggu selama ini, anjir!

“Eits, anak baik gak boleh marah,” goda Langit.

Cepetan gak, atau gak mau gue laporin ke Mija?

Langit selalu heran dengan sikap temannya ini, kenapa dia tidak bisa bersikap tenang kalau berbicara dengannya? Padahal ketika di sekolah, wajah yang selalu ia lihat galak sekaligus menyebalkan mendadak menjadi wajah kucing yang menggemaskan.

“Iya, iya, gue otw lagi, nih!” putus Langit, lalu melanjutkan perjalanannya menuju Jajaka.

Segera hapus dalam pikiran kalian, kalau seorang Langit takut pada temannya. Langit malah lebih trauma sama sejenis Mija, ia memang menggemasakan dilihat dari bentukkannya. Namun, ketika Mija sudah menyentuh tubuhnya, rasanya Langit ingin berlari sambil bergidik dan berteriak keras mengumpatnya.

Similir angin kian memeluk para insan yang tengah menghabiskan waktu pada malam ini. Menemani keluarga, atau mungkin menemani para bintang yang tengah bercerita melalui kedipnya. Ah, kisah yang ditorehkan para bintang selalu menarik dan dituntut mengingatnya kala kisah itu berubah menjadi kenangan.

Sama halnya dengan Langit, entah sudah berapa ribu bintang yang bercerita padanya. Sekarang, dalam perjalanan ini, bintang menuntutnya untuk mengingat salah satu kisah yang menyenangkan bersama temannya.

Kala itu, bermain bola dan bermain tebak-tebakkan menjadi primadona di hidup Langit dan temannya. Sekali bolanya ditendang keras dan mengenai wajah temannya, dalam sekejap dia menangis atau berubah menjadi kucing garong yang siap menerkam Langit.

“Anjir, Lo! Kalo muka gue kenapa-napa gimana?”

“Yaelah, tinggal vermak pake setrikaan juga rapi lagi tuh muka!”

“Lo pikir muka gue pakaian?”

“Bukan, tapi sablon.”

Pada saat itu, temannya benar-benar marah besar, tampang dia bukan lagi seperti kucing garong melainkan singa yang kelaparan. Langit berlari menghindari, sampai temannya itu kelelahan dan bete parah kepadanya. Tetapi, semua itu mereda kala Langit memberikan minuman teh botol dingin sebagai permintaan maaf. Memang segalak itu dia, tapi, entah kenapa kegalakkan itu yang membuat Langit betah dengannya.

Perempuan dengan mulut terlipat, tampak mengempaskan kekesalannya. Dia berjalan menghampiri Langit yang baru saja tiba, lalu melayangkan totebag berisi buku catatan dan kamus ke punggung laki-laki yang menampakkan deretan giginya.

“Anjir!” pekik Langit. “Kenapa sih, setiap bareng sama gue bawaan lo marah terus, hah?” Entah sudah ke berapa ribu kali Langit melontarkan pertanyaan seperti ini kepada temannya.

“Kenapa sih, setiap bareng sama gue bawaan lo selalu pengen gue timpuk terus-terusan, hah?” Dia malah balik bertanya, dengan intonasi yang sama.

“Emang salah gue apa? Gue ini baik, tampan, manis, banyak yang puji, seharusnya lo itu bersyukur punya teman kayak gue!” tukas Langit penuh percaya diri.

Dia memajukan kepalanya ke samping Langit. “Dih, Bacot!” Dia menarik kembali kepalanya lalu memukul punggung Langit. “Cepetan, gue cape nih!” gerutunya.

“Iya-iya! Marah mulu, nanti cepat tua baru tau rasa!” decak Langit.

Begitu motor Langit melaju, dia menyandarkan kepalanya ke punggung Langit. Memang enggak salah nama itu diberikan kepadanya, sekarang dia merasakan bersandar di antara ribuan bintang, nyaman.

“Kok lo tau Jajaka, Ni?” tanya Langit.

“Lintang yang ajak, dia traktir gue ngopi,” balas Rinjani masih dalam sandaran.

“Lintang? Pacar lo?” celetuk Langit membuat Rinjani terperanjat dari sandarannya.

“Bukan! Enak aja lo!” elak Rinjani.

“Eh, lagian siapa sih yang mau pacaran sama kucing garong kayak lo,” gurau Langit membuat Rinjani menekuk wajahnya, kesal.

“Dih, mentang-mentang dah punya pacar ngomongnya gitu gitu banget,” timpal Rinjani baper. “Emang lo gak bakal cemburu kalo gue punya pacar?” goda Rinjani.

“Ngapain gue cemburu, orang gue udah punya pacar, udah setahun lebih lagi,” jawab Langit dengan nada angkuh.

“Sekarang bahagia, kalo udah putus baru tahu! Mewek tuh pasti, gak mau keluar kamar sama sekolah setahun,” celoteh Rinjani.

“Kalimat tadi itu menunjukkan kalau seorang Rinjani Mikayla Siregar cemburu sama gue. Gak usah bawa-bawa sesuatu yang gak mungkin deh, kalo cemburu!” Langit terkekeh seraya menggeleng secara berkala.

Tanpa Langit sadari apa yang baru saja diucapkannya, menumbuhkan kekesalan di hati Rinjani. Bisa-bisanya, Langit menghinanya seperti itu. Meskipun memang ada benarnya, toh, cemburu tak bisa diatur apalagi dimusnahkan; enggak mungkin. Posisi Rinjani dan Langit sudah berteman sejak kecil, tidak mungkin jika Rinjani enggak merasakan cemburu melihat temannya bersanding dengan orang baru apalagi statusnya pacar.

“Kalo gitu, gue tunggu lo putus!” tegas Rinjani. “Dan gue jamin apa yang gue bicarain tadi bakalan terjadi sama lo!” sambungnya.

“Gak mungkin Rinjani,” balas Langit tenang. “Justru gue tunggu lo jadian, gue pengen ngebuktiin apakah gue bakal cemburu seperti apa yang lo bilang tadi,” lanjutnya.

“Siapa takut!” balas Rinjani semangat. “Gue bakal buktiin, kalo lo bakal cemburu sama gue, dan lo gak bakal bisa move on saat lo dan pacar lo putus!” Rinjani mengingatkan.

Rinjani memalingkan wajahnya dari arah depan, dengan napas naik turun karena sangat kesal sama ulah Langit. Perlu diketahui, perdebatan aneh seperti ini bukan lagi hal baru di antara mereka. Meskipun begitu, mereka tidak bisa lepas satu sama lain. Bahkan sekarang, perasaan mereka mengklaim sebuah keraguan atas apa yang baru saja dilontarkannya masing-masing.

“Mau makan dulu atau langsung pulang?” tawar Langit setelah ekspresi Rinjani kembali seperti semula.

“Terserah,” balasnya tanpa ekspresi.

Langit mengulum senyum, dan menepikan Honda CB 100 di samping gerbang perumahan di mana mereka tinggal. Langit dan Rinjani turun dari motor, kemudian memesan nasi goreng dan Jasjus jeruk.

“Senyum kek, jangan cemberut wae!” cetus Langit begitu tatapannya menangkap pemandangan tak mengenakkan dari wajah Rinjani.

“Iya Neng Jani, ulah baketut wae, nanti cepet tua,” timpal Mang Ujang—penjual nasi goreng dan aneka gorengan.

“Tuh, dengerin apa kata Mang Ujang juga nanti muka lo cepet tua,” tambah Langit.

Langit dan Rinjani memang sudah menjadi langganan di sini, hal ini turun temurun dari orang tua mereka. Kalau lagi malas masak, atau pengin makan gorengan pasti Mang Ujang yang menjadi sasarannya. Selain jaraknya dekat, Mang Ujang merupakan tetangga mereka juga.

“Ngomong-ngomong kalian habis dari mana jam segini baru pulang?” tanya Mang Ujang seraya menyajikan nasi goreng dan Jasjus di hadapan sepasang teman ini.

“Biasalah, nganter Rinjani les,” balas Langit.

“Bilang aja lo apel sama pacar lo!” ketus Rinjani.

“Owalah!”

“Tuh, kan, lo cemburu sama gue?” tebak Langit.

“Ter-se-rah, gue gak peduli yang penting lo sekeluarga bahagia!” timpal Rinjani.

“Gusti nu agung! Kalian itu gak boleh ribut, kalian itu udah temenan dari segede ayam kate sampe segede ayam boiler gini! Udah sok baikkan!” oceh Mang Ujang, merasa risih melihat perdebatan dua orang yang sudah dikenalnya sejak kecil.

Langit menatap penuh Rinjani yang sama sekali tidak peduli dengan siapa pun kecuali sama nasi goreng dan Jasjus.

“Iya-iya, gue minta maaf, gue ngeselin, selalu buat lo marah, dan kawan-kawannya,” ucap Langit seraya mengulurkan tangannya.

“Makasih, gak usah repot-repot,” balas Rinjani.

Mang Ujang menjadi bingung sendiri. “Kalian itu ya, tiap makan di sini ribut mulu. Disuruh baikkan malah tambah ribut!”

“Mending Mang Ujang nonton sinetron aja,” perintah Rinjani.

Mang Ujang menggeleng seraya memegang kepalanya, kemudian beralih ke ke kursi yang dekat dengan televisi mini di sana. Sementara Rinjani kembali fokus dengan nasi gorengnya dan Langit merasa tidak enak rasa—seperti ada sesuatu yang akan menimpanya.

“Langit?” panggil Rinjani, saat Langit menunduk fokus memakan nasi gorengnya.

Begitu Langit mengangkat kepala, hendak menatap Rinjani, sebuah tembakan air jeruk dari sedotan tersembur mengenai wajahnya. Setelah itu, Rinjani tertawa puas, sangat puas.

“Sekarang gue maafin lo!”

“Astaga, Rinjani!” kaget Langit.

“Tadi lo bilang lo manis, kan? Nah, gue tambahin nih biar tambah manis sampe diabetes!” terang Rinjani. “Makannya jadi orang jangan nyebelin!” lanjutnya, disela tawanya yang kian mereda.

“Puas?”

“Belum sih, mau tambah lagi?”

Langit, Rinjani, jika ditulis tanpa koma akan tercipta sebuah panorama yang indah. Begitulah pertemanan mereka selama ini. 

O0O

Gimana tambah gakjel? Maap-maap yooo😭

Jangan lupa baca SLOW MOTION karya Kak Tasyayouth

Ini cuplikannya:

"Jangan diaduk."

"Loh, kenapa? Bukannya Mbak suka kalau bubur diaduk?" Shea kebingungan.

"Kamu percaya gak kalau kepribadian seseorang bisa dilihat dari cara dia makan bubur? Contohnya kalau bubur enggak diaduk, berarti orang itu bijaksana, teratur, dan pemikir. Okka orang yang kayak gini. Aku selalu kagum dengan kepribadiannya, jadi aku mencoba hidup dengan cara dia."

"Hei, Mbak! Dengerin aku. Aku ngerti perasaan Mbak yang ditinggal Mas Okka. Aku dan Radian juga merasa kehilangan. Kita semua kehilangan sosok itu. Tapi, kita juga harus bisa mencoba untuk menerima. Mungkin prosesnya lama, tetapi harusnya Mbak pelan-pelan mencoba memulihkan bukannya menyakiti diri kayak gini. Mbak, sebenarnya ada yang mau aku tanyain. Mbak cinta Mas Okka?"

JANGAN LUPA VOTE COMMENT AND SHARE!

SEE YOU!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top